hellend ( noni belanda )
Hellend ( Noni Belanda )

Hellend ( Noni Belanda )

Reads
198
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

Chapter 3

Menjelang malam, Sarah masih tampak sibuk membereskan barang-barang dari dalam kardus. Sedang Kevin, memilih menata kamar tidur yang akan mereka jadikan tempat istirahat malam ini. Sebab tak mungkin jika malam ini mereka tidur di ruangan yang masih berantakan. Kasur, lemari dan kamar mandi, sudah ia bersihkan bersama Sarah tadi, sebelum istri kesayangannya itu berpindah ke ruangan lain.
Mendadak, dari lantai bawah, terdengar alunan denting piano yang berantakan. Tanpa irama. Seperti deretan tuts berwarna hitam dan putih itu ditekan dengan sembarang. Kevin yang tengah sibuk merapikan beberapa lembar pakaian di dalam lemari yang terbuat dari kayu jati kualitas tinggi, merasa terganggu.
“Mommy, suruh Amely berhenti memainkan piano. Ini sudah malam. Berisik,” teriak Kevin dari kamar tidur.
Sarah tersenyum. Namanya juga anak-anak, pasti suka memainkan hal-hal baru, batinnya. Namun, demi sang suami, Sarah akan meminta putri kecilnya untuk berhenti bermain. Benar kata suaminya, hari sudah petang. Tak elok membikin keributan. Baru saja perempuan berambut hitam panjang itu hendak menuruni tangga, tiba-tiba Amely mengagetkan dari belakang. Gadis kecil itu memeluk pinggangnya, membuat Sarah menahan napas untuk beberapa saat.
Anehnya, meski saat ini Amely sedang berada di dekatnya, namun suara denting piano masih mengalun dengan tuts yang ditekan sembarangan. Hingga beberapa detik kemudian, suara itu mendadak terhenti.
“Amely, bantu Papi merapikan kamar, Sayang,” perintah Sarah, sedang manik matanya masih tertuju pada ruang piano di lantai bawah.
“Okay, Mommy.”
Amely segera meninggalkan Sarah yang malah memilih tetap menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Ia benar-benar merasa penasaran dengan siapa yang tadi sempat memainkan piano. Padahal, di rumah yang tergolong besar tersebut, mereka hanya tinggal bertiga. Jika bukan mereka bertiga, lalu siapa? Dengan bulu kuduk yang merinding, Sarah memberanikan diri memeriksa.
Di ruangan yang ia tuju, piano tua masih berselimut kain putih yang dipenuhi debu. Belum ada yang menyentuhnya. Namun bagaimana mungkin sesaat lalu ada yang baru saja memainkan. Aneh sekali. Sedang, seperti yang Sarah takutkan, tak ada siapa pun di ruangan tersebut.
Bulu kuduknya sekali lagi berdiri. Lebih baik ia kembali bersama anak dan suaminya. Sebab, pikiran perempuan bertubuh jenjang tersebut tiba-tiba kepikiran hal yang tidak-tidak.
Baru saja Sarah hendak memutar arah, tiba-tiba …
Treeng!
Piano di belakang Sarah kembali berbunyi. Kali ini jelas sekali berasal dari bunyi beberapa tuts yang ditekan secara bersamaan. Membuat Sarah terlonjak. Jantungnya seperti terhenti. Kaget.
Beruntung, begitu perempuan berpenampilan elegan dan modis tersebut menoleh, seekor tikus melompat dari dalam kain putih penutup piano. Membikin Sarah mengelus dada, lantaran merasa sedikit lega. Padahal sedari tadi, gara-gara pikiran yang aneh-aneh, dada Sarah dipenuhi ketakutan. Ia pikir ada hantu penunggu rumah tua ini. Tapi, mendapati fakta kalau pelakunya hanyalah seekor tikus, pikiran buruknya segera ia tepis. Sebab, ia tidak sepenuhnya percaya pada hal-hal yang berbau mistis seperti demikian. Toh, pada akhirnya, logika selalu mampu menjelaskan semua yang terjadi.
Kembali Sarah memutar arah, hendak kembali ke lantai atas untuk menyusul anak dan suaminya yang pastilah sedang membutuhkan bantuan. Baru empat langkah meninggalkan piano tua yang tertutup kain dan berdebu, tiba-tiba saja piano kembali berdenting. Tapi, kali ini Sarah sama sekali tak menghiraukannya. Pastilah bunyi piano itu lagi-lagi ulah tikus yang tak sengaja menekan tuts-tuts tadi. Meski, tanpa di sadari Sarah, di kursi piano yang sejak tadi kosong, sesosok perempuan berwajah pucat tampak sedang memainkan piano usang tersebut. Perempuan berwajah mengerikan dengan pakaian khas kolonial. Hantu noni Belanda.
***
Sarah terbangun dari tidurnya. Suara piano lagi-lagi berdenting dari lantai dasar. Kali ini bunyinya merdu. Seperti sebuah lagu yang dimainkan oleh seorang pianis kenamaan. Pencahayaan di kamar mereka begitu remang. Dengan penerangan seadanya, yang berasal dari cahaya purnama yang menyeruak dari jendela yang tirainya lupa ditutup, ia tatap Kevin yang mendengkur di sampingnya. Lelaki itu pasti sangat kelelahan setelah seharian membantunya merapikan rumah baru mereka. Sedang Amely, sejak pertama kali masuk ke dalam rumah ini, memilih tidur di kamarnya sendiri. Bocah perempuan itu sudah terbiasa mandiri.
Denting suara piano semakin terdengar jelas. Sarah menegakkan tubuh dan mencoba menyalakan lampu tidur. Nihil. Lampu itu tak kunjung menyala. Pastilah saat ini sedang mati lampu. Sekali lagi Sarah menoleh ke arah Kevin yang sedang terlelap nyenyak. Tak tega rasanya jika ia harus membangunkan suaminya tersebut.
Suara piano dari lantai dasar masih mengalun. Berbekal senter di tangan, Sarah memberanikan diri menuruni tangga. Di kepalanya, pikiran kalau tikus pastilah lagi-lagi menjadi pelaku penyebab bunyi-bunyian itu masih bercokol. Jarak ruang piano dengan kamar tidur yang sebetulnya lumayan jauh, terasa singkat. Namun begitu sampai di ruang tengah, tanpa sengaja senter di tangan Sarah malah menyorot wajah sesosok perempuan asing. Sarah bahkan melonjak saking kagetnya. Ternyata, yang disorotnya tadi hanyalah foto perempuan muda Belanda bersama sosok seorang lelaki tua berkacamata dengan seragam kompeni, yang menggantung di dinding dengan ukuran yang terbilang besar.
Sambil mengatur napas yang sempat memburu lantaran keterkejutannya tadi, Sarah kembali melanjutkan langkah menuju ke arah ruang piano. Nada denting piano masih terus mengalun merdu. Meski kemudian perempuan tersebut sadar bahwa tak mungkin tikus bisa menekan tuts piano sekebetulan itu. Menciptakan resonansi suara yang mengalun indah sekaligus mencekam. Tapi, kali ini rasa penasaran jauh mengalahkan ketakutan di dada Sarah. Perempuan itu memilih terus melanjutkan langkahnya.
Tepat di hadapan piano yang masih tertutup kain putih, Sarah berdiri. Ia mengarahkan senter ke segala arah. Tapi, lagi-lagi ia tak menemukan siapa-siapa. Sedang suara piano mendadak berhenti. Sarah menghela napas panjang. Lega. Sebab, tak ada sesuatu mengerikan yang ia temukan.
Berbalik, tiba-tiba terdengar satu nada berdenting. Nada sol. Menoleh, Sarah kembali menyorot ke arah piano, namun tetap tak ada sesuatu yang ganjil di pandangan matanya. Ia bahkan menyesali mengapa listrik harus padam di situasi seperti ini. Sekali lagi Sarah berbalik, bulat sudah keputusannya untuk meninggalkan ruang piano sesegera mungkin. Sebab tak bisa ia pungkiri, kalau ketakutan tiba-tiba merambat di dalam dadanya.
Namun, kebetulan yang sekali lagi tidak mungkin, terjadi. Piano itu lagi-lagi memainkan ritme dengan kasar, meski iramanya masih tetap terjaga. Kali ini tidak hanya satu nada, melainkan beberapa tuts sekaligus. Seperti ada yang mengikuti partitur musik menegangkan yang ditekan dengan keras dan mengentak-entak.
Sarah terkejut. Bulu kuduknya seketika berdiri. Dengan wajah panik, perempuan berkulit putih itu menyorot kembali areal di sekitar posisi piano. Di kursi kecil, tempat duduk pianis, Sarah menemukan sesuatu. Dari bawah kaki piano, di dasar lantai, istri dari Kevin itu mendapati ujung gaun berwarna putih kusam yang entah tengah dikenakan siapa. Dan yang lebih menegangkan, sejak kapan ada perempuan duduk di kursi tersebut.
Sarah terus menyusuri gaun tadi dengan sorot senternya. Tepat ketika sampai di posisi yang seharusnya adalah leher si sosok perempuan yang kini kulitnya terlihat pucat, tiba-tiba noda darah merembes dari sebuah luka yang menganga. Membasahi gaun dan lantai pualam berwarna putih. Menjadikannya seketika merah pekat.
Sarah menjerit, apalagi ketika senter masih menyorot ke arah yang sama, ia bisa melihat dengan jelas wajah sosok perempuan mengerikan tadi bergerak dengan cepat ke arahnya. Membungkus tubuh Sarah dengan kain yang semula menutupi piano tua. Penulis novel tersebut gelagapan, masih dengan mulut yang menjerit kian hebat. Ketakutan bercampur panik terpatri jelas di wajahnya.
“Tolong!” Sarah memekik. Sedang tangannya sekuat tenaga berusaha meloloskan diri dari buntalan kain yang terus saja membelit tubuh.
Napas Sarah seketika sengal. Jeritannya mendadak teredam, sebab segumpal kain dari penutup piano yang sama, seakan menyeruak, memaksa masuk ke rongga mulutnya yang menganga. Menyumbat jalur napas.
Sarah kehabisan napas. Tubuhnya semakin meronta. Hingga di suatu saat, wajah sosok perempuan bertampang seram dengan rambut pirang seperti berhasil menembus buntalan kain yang membelit tubuh Sarah. Membuat wajah mengerikan dan beraroma busuk menyengat itu kini hanya berjarak tak lebih tiga jari dari wajah Sarah.
Dengan sisa-sisa napas, lantaran mulutnya yang masih tersumpal gumpalan kain, perempuan berkulit putih itu mencoba menjerit sebisanya. Juga mencakar apa saja yang ada di hadapan.
“Sayang … Sayang! Bangun!” Kevin mengguncang-guncang tubuh Sarah yang sedari tadi berteriak kencang di atas tempat tidur. Rupanya perempuan itu hanya mimpi buruk.
Sarah membuka mata. Peluh sebesar bulir jagung menggantung di pelipis. Padahal suhu ruangan bisa dikatakan dingin, hasil dari udara yang diembuskan AC di salah satu sudut kamar. Perempuan berambut hitam panjang tersebut berusaha mengatur irama napasnya agar teratur. Ia akhirnya bersyukur bahwa apa yang baru saja terjadi hanyalah mimpi buruk. Meski terasa begitu nyata.
“Mimpi buruk lagi?” tanya Kevin yang dijawab anggukan lemah istrinya tersebut.
Ini sudah mimpi kedua di malam yang sama yang dialami Sarah. Mimpi yang pertama, dua jam lalu. Tepat ketika jam di dinding kamar menunjukkan pukul dua belas malam. Dan sekarang, sudah pukul dua dini hari.
“Kamu sepertinya terlalu kelelahan. Sampai-sampai mimpi buruk begini.” Kevin mencoba menenangkan. Ia mengusap rambut Sarah dengan lembut. Sarah kini memilih menyandarkan kepalanya di bahu Kevin. Bagi Sarah, berada di dekat Kevin, selalu bisa memberikan ketenangan dan juga kenyamanan.
Sedang dari luar kamar yang pintunya terbuka itu, tanpa mereka sadari, sesosok perempuan berwajah pucat pasi dengan pakaian khas noni Belanda tampak tengah memperhatikan keduanya dengan sorot mata tajam. Dari mulutnya, menetes gumpalan darah pekat berwarna legam dan beraroma anyir.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices