by Titikoma
Chapter 4
Pagi ini, setelah menyelesaikan beberapa bab awal novel horornya, Sarah beranjak ke dapur. Ia berniat menyeduh teh hangat. Perempuan yang mengikat rambutnya ke atas itu, melewati ruang tengah. Sesaat ia berhenti di hadapan foto lawas sepasang ayah dan anak perempuan berpakaian ala kolonial Belanda. Sarah kemudian teringat akan mimpi-mimpi buruknya tentang hantu noni Belanda. Padahal ia baru pindah ke rumah baru ini sepekan yang lalu. Tapi, mimpi buruk selalu saja mengusik malam-malamnya.
Sesaat, Sarah memfokuskan pandangan pada sorot mata dua sosok dalam foto yang terlihat begitu nyata. Seperti mereka berdua kini sedang saling beradu pandang. Selalu seperti itu. Foto yang sejak awal menggantung di ruang tengah tersebut seakan hidup dan memberikan kesan mistis. Tak jarang, Sarah mendapati foto itu seperti melirik atau malah pernah terlihat berkedip.
Sarah mengurungkan niatnya dari menyeduh teh. Kali ini ia malah beranjak ke ruang makan, mengangkut sebuah kursi dari sana dan meletakkannya tepat di bawah foto tadi. Dengan pijakan yang mantap, perempuan berpenampilan modis itu menaiki kursi. Sarah bermaksud untuk menurunkan foto lawas yang terkesan menyeramkan tadi dan mengganti dengan lukisan karyanya.
Baru saja menyentuh bingkai foto lama itu, tiba-tiba kursi yang menjadi pijakan Sarah bergoyang. Membuat ia oleng dan kehilangan keseimbangan. Padahal ia sudah meyakini dan memeriksa kalau kursi itu tadi baik-baik saja sebelum ia menaikinya.
Braaak!
Kursi tergeletak di lantai. Untung saja tak demikian halnya dengan tubuh Sarah. Sebab, Kevin datang tepat waktu. Lelaki berkumis tipis itu berhasil menangkap tubuh istrinya sebelum terguling ke keras lantai rumah.
“Hati-hati, Sayang. Kamu hampir saja mencelakakan dirimu sendiri.”
Sarah tak menjawab, pandangannya kini beralih ke arah suaminya yang sepagi ini sudah bangun dan mandi. Rambut Kevin juga masih basah. Lelaki itu saat ini hanya mengenakan celana pendek dan kaus dalam. Dari tubuhnya tercium aroma parfum cool water.
“Papi mau ke mana? Tumben sekali jam segini sudah mandi.” Alis mata Sarah terangkat sebelah. Tatapannya seakan menyelidik.
“Barusan atasan Papi telepon. Rekan kerja Papi yang ditugaskan ke luar kota, berhalangan berangkat karena ada kemalangan. Jadi, Papi diminta untuk menggantikannya,” terang Kevin.
“Semendadak ini?”
Kevin hanya mengangguk, mengiyakan.
“Berapa hari Papi di sana?” tanya Sarah lagi.
“Paling lama seminggu. Kalau urusan sudah selesai, Papi pasti bakal buru-buru balik. Mana bisa Papi pisah lama sama Mommy dan Amely.”
Sarah tersipu sebelum kemudian melepaskan pelukan Kevin dan beranjak menuju ke lantai dua. “Sebentar. Akan kubangunkan Amely. Daripada ia nanti menanyakan ke mana Papi kesayangannya pergi.”
Begitu sampai di depan pintu kamar Amely yang tertutup, belum sempat Sarah memutar handle, perempuan penyayang dan bersifat keibuan tersebut mendengar putri semata wayangnya tertawa terbahak-bahak di dalam kamar. Bagi Sarah, tidak biasanya juga jam segini Amely sudah bangun. Bukannya membuka pintu, Sarah malah menempelkan daun telinga di pintu berwarna kecokelatan tadi. Mencoba mencuri dengar apa yang ditertawakan Amely. Apalagi, samar-samar terdengar pula Amely sedang berbincang-bincang. Entah dengan siapa. Sebab, tak ada pula yang menjawab ucapannya.
Tiba-tiba pintu terbuka dengan sendiri. Gagang pintu kamar Amely seperti ada yang memutar dari arah dalam. Membuat Sarah nyaris saja terjungkal. Sebab, sedari tadi, Sarah menyandarkan bobot tubuh pada daun pintu kayu itu.
Amely yang tengah melompat-lompat di atas tempat tidur seketika berhenti dan menoleh. “Mommy, nggak papa?”
Sarah menggeleng. “Nggak papa, Sayang.”
Ibu satu orang anak itu lantas berdiri dengan berpegangan pada gagang pintu. “Hari ini Papi mau pergi jauh. Dia mau cium pipi kamu, Sayang. Ayo cuci muka dulu.”
Amely mengangguk. Ia kemudian mengikuti langkah ibunya sampai ke kamar mandi. Setelah membasuh wajahnya di wastafel, Sarah membantu Amely menggosok gigi.
“Amel, tadi kamu main sama siapa?” Sarah ingat kejadian tadi, ketika pertama kali membuka pintu kamar anaknya.
Dengan mulut dipenuhi busa dari pasta gigi, Amely menjawab, “Tante.”
“Tante?”
Amely mengangguk. Seketika Sarah merasakan bulu kuduknya berdiri.
Belum sempat Sarah bertanya lebih jauh, dari kamarnya, Kevin berteriak menanyakan di mana kemeja biru kesayangannya diletakkan. Mau tak mau, Sarah kembali meninggalkan Amely sendirian.
***
Kevin menyalakan mobil. Memanaskannya. Lalu, sesaat kemudian, Sarah menenteng koper kecil di tangan kanan, diikuti Amely yang menggandeng sebelah tangan yang lain.
“Baju dan perlengkapan mandi Papi sudah Mommy siapin di dalam sini. Nggak ada lagi yang kelupaan, kan, Pi?”
“Sepertinya sudah semua. Berkas-berkas yang Papi butuhkan juga sudah Papi masukkan ke dalam mobil.” Kevin yang sedari tadi berdiri di samping pintu kemudi yang terbuka, sesaat kemudian beranjak mendekati Sarah dan Amely yang berdiri di depan teras. Penampilan Kevin sudah sebegitu rapi. Memang, semenjak menikah dengan Sarah, penampilan Kevin selalu rapi dan bersih. Maklumlah, Sarah sendiri adalah istri yang terkenal modis. Bahkan beberapa orang yang belum terlalu mengenal Sarah, kalau berpapasan, pasti akan mengganggap kalau ibu dari satu orang anak tersebut belumlah menikah. Masih tampak lajang, kata mereka.
“Mommy, Papi pergi dulu, ya,” ucap Kevin sembari mengulurkan tangannya yang segera disambut dan diberi kecupan lembut Sarah.
“Belikan boneka baru, ya, Papi,” rengek Amely.
“Satu? Eh, tidak … dua, cukup?” Kevin tersenyum.
Senyum Amely seketika ikut mengembang. “Cukup!”
Bocah itu lantas minta dipeluk ayahnya sebelum pergi. Tak lupa, Kevin mendaratkan ciuman di pipi dan kening putri kecil kesayangannya tersebut.
“Hati-hati, Pi. Kabari kalau sudah sampai,” pesan Sarah yang dijawab anggukan kepala Kevin.
Sesaat kemudian deru lembut mobil meninggalkan pekarangan, lalu menghilang di kejauhan. Menghilang di jalanan yang kiri kanannya ditumbuhi rimbun pepohonan rindang.
“Ayo, Sayang, kita masuk,” ajak Sarah sembari menarik pergelangan tangan Amely. Amely menurut. Namun, sebelum ibunya itu menutup pintu rumah, Amely berteriak pelan.
“Sebentar, Mommy!” Bocah itu lantas kembali melambaikan tangan ke arah pekarangan rumah. “Dadah!” katanya lagi.
“Kamu dadah sama siapa, Sayang. Mobil Papi sudah hilang dari tadi.” Sarah jelas heran, sebab memang sedari tadi mobil suaminya sudah tidak lagi tampak. Tapi, mengapa Amely masih berdadah-dadah. Kening Sarah berkerut.
“Sama teman-teman Amel, Mom.”
Lagi. Bulu kuduk Sarah seketika meremang. Karena seperti apa yang dilihatnya, di pekarangan rumah mereka kini, tidak ada siapa-siapa. Kosong. Buru-buru perempuan berambut hitam panjang itu menutup pintu.
Benar memang, Sarah tidak bisa melihat apa yang tampak oleh mata Amely. Sebab, sebenarnya di pekarangan rumahnya tadi, tiga orang bocah berwajah pucat sedang melambai-lambai ke arah putri kecilnya. Ya, Sarah tidak pernah tahu kalau ternyata Amely adalah seorang indigo, memiliki kemampuan untuk bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata.
***