hellend ( noni belanda )
Hellend ( Noni Belanda )

Hellend ( Noni Belanda )

Reads
200
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

Chapter 11

Kantor penerbitan Black Rabbit masih lengang. Beruntung, kantor penerbitan itu sudah dibuka lima belas menit lalu. Resepsionis berpenampilan menawan lantas menyambut kedatangan Sarah dengan senyuman.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
“Saya ingin bertemu Kasman!” katanya dengan wajah kesal yang tak bisa ditutup-tutupi. Membuat dahi si resepsionis berkerut. Menyadari sesuatu, Sarah meralat ucapannya.
“Maksud saya, saya ingin bertemu Pak Kasman. Baru saja kami sudah membuat janji lewat telepon.” Sarah tahu, jika ia terus bernada marah, resepsionis yang terbilang cantik tadi tidak akan membiarkannya masuk.
“Oh, silakan. Kebetulan Pak Kasman sudah datang lima menit yang lalu.”
Setelah melempar senyum basa-basi, Sarah segera meninggalkan resepsionis tadi. Ia benar-benar ingin memberi perhitungan pada Pak Kasman. Kalau boleh jujur, Sarah bukanlah tipe orang yang bisa marah-marah. Tapi ini menyangkut keselamatan putrinya, Amely. Maka apa pun caranya ia akan mati-matian melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan bocah itu.
Pintu ruangan yang berada di paling sudut itu tidak terkunci. Pak Kasman tampak sedang memperhatikan layar laptopnya. Barangkali laki-laki berkacamata itu sedang mengamati prospek penerbitan ke depannya.
Mendapati ada yang menerobos masuk tanpa permisi, lelaki itu terperanjat.
“Kasman, tolong jelaskan semua ini!” Sarah melemparkan setumpuk foto yang sedari tadi dibawanya.
“Apa maksudmu, Sarah?” Pak Kasman berlagak tak paham dengan lembaran-lembaran foto yang pernah ia berikan kepada Sarah sebagai pendukung pengerjaan novelnya yang kini berserakan di atas meja.
“Itu foto-foto Hellen dan rumahnya yang sekarang kami tempati, kan?!” Sarah murka. Wajahnya merah padam. “Lalu novel itu, outline yang sudah disediakan, semuanya adalah kisah Hantu Hellen, kan?!”
“Hantu Hellen?” Lelaki berkacamata itu lantas tersenyum licik. “Jadi, kamu sudah tahu semuanya.”
“Aku tidak mau menyelesaikan proyek novel ini. Banyak bagian outline tidak sesuai dengan kisah nyata hantu noni Belanda penghuni rumah itu. Barangkali karena itu juga dia terus menggangguku!”
“Sewaktu aku kecil, aku hanya mendengar cerita Hellen dari kakek buyutku. Katanya cerita itu adalah warisan dari mulut ke mulut keluarga kami. Dan belakangan ini, hantu Hellen kerap menghantuiku. Padahal aku baru saja menempati rumah tempat di mana dulu Hellen pernah tinggal. Rumah yang juga merupakan warisan keluargaku dari zaman kolonial.”
“Apa dengan begitu kamu bisa mengorbankan keluargaku!”
“Ingat, Sarah, kamu sudah terikat kontrak denganku.” Pak Kasman tampak mengancam. Menyadari sudah ada perjanjian hitam di atas putih, Sarah tak bisa berbuat apa-apa. “Tapi, kalau kamu sudah tahu kisah yang sebenarnya, itu bagus. Kamu bisa melanjutkan tulisanmu sesuai dengan yang kamu ketahui. Bukankah itu mau si Hantu Belanda itu?” Sungguh, saat ini Sarah ingin sekali menampar wajah Pak Kasman yang tampak begitu picik. Ia seperti tak peduli pada nasib Amely.
“Aku akan melaporkan semua perbuatanmu, Kasman!”
“Coba saja. Kamu bahkan tak memiliki bukti apa-apa, Sarah. Dan perlu kamu ingat, di zaman sekarang, segalanya bisa dibeli dengan uang.” Pak Kasman terkekeh penuh kemenangan.
“Jadi, alangkah baiknya kamu tetap bersikap manis, Sarah. Kembali ke rumah dan segera selesaikan novelmu atau aku akan memanggil security untuk mengusirmu.”
“Baiklah, kalau itu maumu, Kasman. Aku akan melakukannya. Tapi, ingat kita tidak pernah tahu misteri apa yang tersembunyi di rumah milikmu itu,” ujar Sarah sebelum meninggalkan ruang kerja Pak Kasman.
Sarah kembali mengendarai mobilnya ke rumah di mana Amely dan Kevin tengah menunggunya. Pikirannya kalut. Belum lagi setelah semalaman perempuan tersebut tidak tidur, ia merasakan matanya kini diserang kantuk. Untuk jaga-jaga agar ia tetap fokus berkendara, Sarah memutuskan singgah di sebuah mini market di pinggir untuk membeli kopi.
Setelah menepikan mobil, Sarah menuju ke rak minuman dan mengambil sekaleng minuman kopi favoritnya. Tepat ketika ia hendak menuju meja kasir, ia menabrak seorang perempuan seusianya. Perempuan itu mengenakan pakaian rider serba hitam.
“Maaf,” kata Sarah sambil sedikit menundukkan kepala.
“Sarah?” ucap perempuan yang tadi ditabraknya.
Sarah memandang wajah yang ternyata cukup familiar baginya. Setelah delapan detik mencoba mengingat-ingat, akhirnya ia mengenali perempuan di hadapannya itu. “Maharani,” pekiknya pelan. “Ya ampun, sudah lama banget, ya, kita nggak ketemu.”
Keduanya lantas berpelukan. Hangat. “Iya, terakhir kita ketemu pas perpisahan SMA,” sahut Maharani yang kerap dipanggil Rani itu. Tapi, seketika ekspresi wajah Rani berubah drastis. Alisnya berkerut, seperti merasakan sesuatu. “Eh, tunggu, Sarah. Apa kamu sedang ada masalah yang berkaitan dengan makhluk tak kasat mata?” Rani melepaskan pelukan rekan semasa sekolahnya dulu dan memandangi baik-baik aura yang menguar dari wajah letih Sarah.
“Bagaimana kamu ….” Sarah tak melanjutkan kalimatnya. Ia segera ingat kalau teman SMA-nya itu sedari dulu memang paham benar dengan sesuatu yang berbau gaib. Keturunan dari ibu yang seorang paranormal di kampungnya. Waktu itu banyak yang menjauhi Rani. Tapi tidak dengan Sarah. Perempuan itu sejak dulu tidak pernah membeda-bedakan teman. Baginya, selama orang itu tidak menganggu dan merugikannya, ia akan tetap mau berteman. Malah, itu yang kemudian membuat keduanya menjadi sahabat dekat.
“Ya, Sarah. Aku meneruskan kini tradisi keluargaku. Aku jadi paranormal sekarang. Meski belum sepopuler orang-orang.” Penampilan Rani kini menang terkesan lebih ‘misterius’ dibandingkan dulu. Bukan dengan pernak-pernik ala cenayang. Perempuan tomboi itu tampil dengan mengenakan pakaian rider ketat berwarna hitam.
“Kalau begitu, tolong aku, Ran. Anakku sedang dalam bahaya. Keluarga kami diganggu hantu noni Belanda. Apa kamu bisa membantuku?” Tanpa basa-basi, Sarah meminta bantuan Rani.
“Kebetulan, aku hari ini sedang tidak ada panggilan. Berikan saja aku alamat lengkapmu. Nanti aku akan segera menyusul. Tapi, sekarang aku sedang ada perlu sebentar.”
Sarah segera meminta selembar kertas kecil pada kasir juga meminjam pena. Di kertas tadi, Sarah menuliskan alamat lengkap rumah yang dipinjamkan Pak Kasman sebagai fasilitas itu. Tak lupa, di bawahnya ia bubuhkan nomor telepon. Jaga-jaga jika sewaktu-waktu Rani hendak menghubunginya.
“Ini, Ran.” Sarah menyerahkan kertas tadi. “Terima kasih sebelumnya.”
Rani mengangguk. “Kamu hati-hati di jalan. Aku janji, setelah urusanku kelar, aku akan segera ke rumahmu.”
“Sekali lagi, terima kasih banyak, Ran.”
“Sama-sama.”
Setelah Sarah membayar minumnya dan minuman yang diambil Rani, perempuan itu kembali masuk ke mobil. Dari balik kaca mobil, Sarah bisa memperhatikan Rani yang perlahan menaiki motor Harley Davidson. Sungguh, gaya perempuan tomboi itu sama sekali tak pernah berubah sedikit pun sedari sekolah menengah atas dulu. Ia lebih suka mengendarai motor-motor sport.
***
Deru suara motor gede terdengar di halaman yang mulai gelap. Sesaat kemudian pintu depan rumah berarsitektur zaman kolonial diketuk beberapa kali. Di dalam rumah, sepasang suami istri duduk dengan tidak tenang. Raut gusar terpatri jelas di wajah mereka.
“Barangkali itu dia, Pi, teman Mommy,” ujar Sarah pada Kevin yang sejak tadi menunggu kedatangan Rani.
Kevin menyahut, “Ayo kita suruh masuk, Mom. Mudah-mudahan dia bisa membantu keluarga kita.”
“Mudah-mudahan.”
Kevin membuka pintu, yang langsung menampilkan sosok perempuan seusia istrinya. Namun penampilan perempuan tadi jauh dari kesan paranormal. Pakaian rider serba hitam, melekat di tubuhnya.
“Kenalin, Pi, ini yang namanya Rani.” Sarah memperkenalkan dua orang yang baru pertama kali bertemu ini.
“Kevin,” ujar Kevin sambil menjulurkan tangan kanannya pada tamu yang baru saja bertandang tersebut.
Menjabat uluran tangan suami dari sahabat lamanya, Rani kemudian balas menyebutkan nama. “Rani.”
Ketiganya lantas masuk dan melangkah bersama menaiki anak tangga ke kamar di mana tubuh Amely yang seharian, sejak kejadian malam tadi, tidak juga sadar. Badannya panas. Dari penerawangan Rani, roh Amely sedang disandera hantu Hellen.
“Ayo kita mulai interaksi dengan makhluk yang mengganggu keluarga kalian. Kita lihat apa maunya.”
Sarah mengangguk. Kali ini Rani meminta yang mengikuti ritual hanya Sarah. Sedang Kevin, diminta untuk menjaga tubuh Amely yang sedang terbaring. Takut hantu penunggu rumah tersebut berbuat yang tidak-tidak selama proses interaksi berlangsung.
“Tutup matamu, Sarah. Sebentar lagi kita akan berada begitu dekat dengan ‘mereka’.” Rani mencoba mengingatkan.
Rani mengambil secarik kertas khusus, lalu bertanya dan menuliskan sebuah nama di atas kertas tersebut dengan darah yang berasal dari ujung telunjuknya yang sengaja ia gigit.
“Aku memanggilmu, wahai Hell—End, si hantu noni Belanda.”
Tak terjadi apa-apa.
Rani mengulang sekali lagi proses pemanggilan arwah penasaran tersebut.
“Aku memanggilmu, wahai Hell—End, si hantu noni Belanda. Beri tahu apa maksudmu mengganggu keluarga ini?”
Tetap tak ada reaksi apa-apa.
Merasa aneh, Rani menanyakan kepada Sarah perihal nama si noni Belanda yang selama ini mengganggu keluarga mereka. “Sarah, apa aku sudah menulis nama hantu itu dengan benar?”
“Hellen, bukan Hell End.”
Rani lantas menyodorkan kertas di tangannya. “Bukan begini ejaannya?” tanyanya.
Sarah menggeleng cepat. “Hellen. Double ‘l’, tanpa spasi dan tanpa akhiran ‘d’. Lebih lengkapnya Hellen van Stolch.” Sarah ingat nama lengkap Hellen dari nama tokoh di dalam novelnya itu. Juga nama yang tertera di sebuah buku harian usang berbahasa Belanda—Indonesia tempo hari. Bukankah itu kisah nyata noni Belanda tersebut.
Rani mengigit sekali lagi menggigit ujung jari telunjuknya. Lalu meminta Sarah untuk menuliskan nama yang dimaksud.
Setelah membaca mantra, Rani memanggil sosok hantu noni Belanda untuk yang terakhir kalinya. “Aku memanggilmu, wahai Hellen van Stolch, si hantu noni Belanda. Katakan apa maumu.”
Lampu ruangan tempat mereka berada lantas berkedip-kedip. Angin yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba mengembus. Anak-anak rambut kedua perempuan itu lantas terangkat ke sembarang arah. Berputar-putar. Sedang Kevin, fokus memeluk tubuh putrinya yang tampak bergetar-getar hebat.
Lalu entah bagaimana ceritanya, dalam hitungan detik, roh Sarah seperti terpisah dari raganya. Perempuan itu lantas seperti bermimpi. Satu-satunya yang ia rasakan hanyalah ia seperti berada di ujung sebuah lorong gelap dengan sebuah cahaya yang menyilaukan di ujung yang lainnya.
“Sarah, melangkahlah, ikuti ujung cahaya itu.” Meski tak melihat sosok Rani, tapi Sarah bisa mendengar dengan jelas suara sahabat semasa SMA-nya itu yang terus mengarahkan ke mana ia harus bergerak.
Setelah berada di ujung lorong yang dimaksud, sesaat kemudian Sarah seperti dilemparkan ke teras sebuah rumah. Di sekitarnya, luas areal perkebunan cengkeh terhampar. Sarah juga pelan-pelan mengamati pakaian zaman kolonial yang entah sejak kapan membalut tubuhnya. Dan melalui kaca pintu rumah yang tertutup, Sarah bisa melihat pantulan wajahnya. Ia kenal betul refleksi wajah di kaca tadi, bukan wajahnya, melainkan wajah Hellen van Stolch.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices