death cafe
Death Cafe

Death Cafe

Reads
120
Votes
1
Parts
7
Vote
by Titikoma

1. Truth Or Dare

"Pak Narto gak masuk. 2 jam terakhir kosong."
Yeaaaaaaa...
"Tapi kalian harus mengerjakan tugas bagian 3 dan 4, halaman 127. Besok Pak Narto akan periksa."
Huuuuuuuhhhhh...
Ruang kelas berubah riuh saat si penanggung jawab kelas memberitahukan bahwa salah satu guru mereka tidak hadir. Alhasil, mereka yang notabennya siswa-siswi nakal, girang tak terkira. Walau mereka sudah duduk di kelas 12, mereka masih sangat kekanakan layaknya anak SD. Kelas 12-A SMAN 1 Bogor ini terkenal dengan kebadungannya. Dalam seminggu ada saja siswa yang masuk ruang BP atau mendapat skor. Namun bila ditilik dari sisi baiknya, mereka siswa-siswi berprestasi. Nakal dan pintar, keduanya jadi seimbang.
Seperti ruang kelas pada umumnya yang ditinggalkan guru, penghuni kelas mulai sibuk dengan kenakalan masing-masing. Para siswi penggosip mulai berceloteh ria. Mulai dari membicarakan artis kesayangan mereka, gebetan mereka, hingga make-up mahal yang mereka idam-idamkan. Sebagian memilih mengerjakan tugas yang diberikan agar tidak mendapat hukuman, sebagian lagi memilih melarikan diri ke kantin atau tidur di meja masing-masing. Ada pula yang mengeluarkan bakat menyanyi serta ngeband mereka dengan memukul-mukul meja sebagai alat musiknya. Cukup ramai dibanding pasar pagi.
"Will, lo ikut kan? Jangan sok sibuk deh. Sak, ayolah!"
Willi menutup bukunya lantas memutar badannya berbalik menghadap meja Fajar. Sejak diumumkan bahwa guru mereka tidak hadir, Fajar terus menerus mengajaknya bermain. Fajar persis cewek yang tidak akan berhenti merengek sebelum ajakannya direspon. Sedang Sakti, teman sebangkunya, ia mulai risih dengan rungutan Fajar yang serupa bocah, lantas Sakti mengangguk saja.
"Oke. Kertas, gunting, batu. Yang kalah mesti milih truth or dare."
Keduanya mengikuti perintah Fajar meski terpaksa. Teman-teman yang lain tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing yang tidak penting.
"Lo, Will. Truth or dare?" Todong Fajar saat Willi melipat jarinya membentuk batu, sementara Fajar dan Sakti mengasongkan telapak tangan mereka.
"Truth." Singkat Willi.
"Oke, emm..." Fajar berlagak mikir. "Lo serius belum pernah pacaran, Will?"
Willi menajamkan pandangannya. Fajar orang yang paling usil. Sudah berapa lama mereka bersahabat, tapi Fajar selalu menanyakan hal yang benar-benar tidak berguna.
"Gak ada pertanyaan lain, ya? Bukannya gue selalu jawab pertanyaan yang sama dari lo? Gak kreatif banget!" Cecar Willi. Fajar hanya cengar-cengir.
"Oke, ganti. Menurut lo, hantu itu ada gak?"
"Ada." Willi menyahut cepat, mulai kesal dengan Fajar. "Yang lagi di depan gue semacam dedemit gitu."
"Sialan lo!"
Sakti terbahak melihat air muka Fajar yang keki. Memang benar bahwa Fajar orang yang membosankan, namun mereka betah saja bersahabat. Sejak awal masuk, saat mereka dihukum gara-gara telat waktu hari pertama MOS. Sudah sejak masa itu mereka menjadi tiga sekawan.
"Lanjut!"
Kini giliran Fajar dan Sakti duel. Fajar mengacungkan dua jarinya menyerupai gunting, sedang Sakti mengepalkan tangannya.
"Oke, gue kalah. Kalian mau nanya apa?"
Sakti dan Willi berpandangan sebal. Begitulah Fajar. Kadang sangat percaya diri, kadang tidak punya nyali. Orang paling aneh di antara mereka bertiga.
"Menurut lo, hantu itu kayak apa?" tanya Willi.
"Hantu? Bukannya tadi lo bilang gue mirip dedemit? Kenapa lo nanya lagi?"
Sakti kembali terkikik mendengar jawaban polos Fajar. Willi tak tahan, ia menjitak batok kepala Fajar.
"Iya, emang," timpal Willi benar-benar kesal.
"Kalau di film-film sih, hantu itu pakai baju putih, rambut panjang, make up tebal, macem si Karin tuh!" Fajar menunjuk teman cewek satu kelasnya. Mungkin maksud Fajar adalah penampilan Karin yang berlebihan. Karin lupa bahwa dirinya masih anak SMA yang tidak perlu memoleskan bedak atau maskara terlalu tebal. Tidak heran jika Karin mendapat peringatan dari guru BP hampir setiap hari.
"Wah, lo! Gue bilangin Karin loh. Karin!" Sakti melambaikan tangannya ke arah Karin yang berada di bangku paling depan, sementara mereka bertiga berada paling belakang.
"Eh, apaan lo? Wah, mulut comber!" Cepat-cepat Fajar menarik tangan panjang Sakti supaya turun. Sayangnya Karin sudah menoleh dan bertanya dengan tatapan, apa?
"Gak jadi deh." Sakti mengelak.
"Apaan sih? Pada gak jelas deh. Lagi ngomongin gue ya?" Karin menaruh curiga.
"Gak ada apa-apa kok, Rin." Sergah Fajar. Jari tangannya memelintir tangan Sakti dengan cukup kasar. Sakti mengaduh kesakitan.
"Will, ada apa? Kamu sama teman-teman kamu gak lagi ngomongin aku, kan?"
"G-gue?" Mendadak Willi tergemap. Sakti serta Fajar menghentikan pertikaian mereka. Mereka berdua mulai cengar-cengir kemudian mencolek bahu Willi bergantian.
"Cie, Willi. Kamu gak lagi ngomongin aku? Kamu? Hahaha..." Fajar asik tertawa, disusul Sakti. Mereka semua sudah tahu jikalau Karin memiliki perasaan tertentu untuk Willi. Willi yang memang berwajah hitam manis, juga seorang pecinta fotografi, dan salah satu siswa dengan rangking 3 besar, digilai para gadis di kelasnya. Namun seperti yang dikatakan Fajar sejak awal, Willi belum berniat memiliki pacar.
"Apaan sih? Kok jadi pada gagal fokus gini. Balik ke topik!" Willi mencoba mengalihkan perhatian teman-temannya. Kicauan Karin pun ia abaikan. "Lo, Sak. Lo pilih apa? Truth or dare?"
"Gue? Emm... dare."
"Wah, seperti yang kita duga. Sakti teman kita memang pemberani." Fajar pun mulai melupakan couple yang tidak terdeteksi masa depannya itu. Maksudnya, Willi dan Karin.
"Gimana kalau lo uji nyali?" Lanjut Fajar.
"Setuju." Timpal Willi.
"Lo tahu kan death cafe yang di jalan Ceremei, Bantar Jati? Itu sih cuma nama julukan doang. Dulu nama kafenya gak serem, malah lucu. Tapi katanya gara-gara ada yang mati di sana, kafe itu jadi dinamakan death cafe. Kafe kematian."
"Kenapa?"
"Lo gak tahu?" Fajar balik bertanya kepada Sakti. Sakti menjulingkan matanya. Itu alasan dia bertanya kenapa, bukan?
"Katanya di kafe itu ada cewek yang mati diracun." Sahut Willi. Willi pernah mendengar beberapa gosip dari tetangganya. Dan sejujurnya sudah banyak orang yang sering membicarakannya. Mungkin karena Sakti orang yang tidak percaya rumor, Sakti enggan peduli.
"Sianida. Katanya kopinya dimasukin bubuk sianida," tambah Fajar.
"Sianida? Kayak yang lagi heboh di berita itu? Ya elah, lo berdua lagi tebar gosip?" Todong Sakti tidak percaya.
"Gue serius. Katanya, si cewek yang mati itu, dia gentayangan. Dan siapa pun yang masuk ke kafe itu, mereka akan jadi tumbal si hantu. Hiiiih." Fajar mulai menggosok belakang lehernya. Kalau harus mengaku, Fajar orang yang penakut.
"Makanya sekarang kafe itu tutup. Kejadiannya udah lama sih, sekitar 5 tahun yang lalu. Tapi rumornya masih beredar sampai sekarang. Semacam legenda."
"Jadi?" Sakti mulai risih. Kedua temannya mulai bertingkah serius.
"Jadi? Ya, lo uji nyali di sana. Berani?" Tantang Fajar tidak lagi basa-basi. Willi mengangguk, satu sekutu dengan Fajar.
Sakti terdiam sejenak. Baginya hantu gentayangan tidak ada. Itu hanya ulah manusia usil yang penuh rasa takut. Perasaan takut berlebih yang dimiliki orang-orang pecundang menyebabkan rumor 'hantu gentayangan' itu ada di dunia. Mana bisa orang mati bangkit lagi? Kecuali kiamat nanti. Pernyataan tersebutlah yang selalu Sakti lontarkan ketika orang-orang mulai membicarakan tentang hantu.
"Oke." Sakti mengiyakan tantangan kedua temannya.
"Yakin?" Tanya Fajar dan Willi bersamaan.
"Ada setannya, loh." Fajar menambahkan.
"Yes. Cuma uji nyali doang mah cetek. Apa sih yang seorang Sakti takutin? Apa pun gue jabanin. Termasuk dedemit kayak lo!" Telunjuk Sakti berada tepat di ujung hidung mancungnya Fajar. Begitulah Sakti. Tak jarang ia suka berbicara sembarangan. Namun apalah, Fajar dan Willi hanya berpikir bahwa Sakti orang yang jujur apa adanya. Sakti juga tipe orang yang friendly. Mereka nyaman bersahabat dengan Sakti walau dia siswa badung dan urakan di kelasnya.
"Oke. Kebetulan, nanti malam Jumat. Kita kumpul depan rumah lo, Sak. Dan nanti sekitar jam 12 kita otewe ke kafe itu."
"Gue ikut?" Fajar mulai cemas. Sakti dan Willi meyakini bahwa jiwa penakut Fajar kambuh.
"Lo takut?"
"Gue? Haha, siapa bilang? Nggaklah." Fajar mengelak meski roman wajahnya mulai berubah.
"Ya sudah, nanti malem kita kumpul di rumahnya Sakti. Gue bakal rada telat sih. Sore ini ada praktek cekrek-cekrek."
Willi mengambil ekskul fotografi. Kecintaannya terhadap pemandangan indah nan unik membuat Willi bercita-cita menjadi seorang fotografer. Agar dia bisa mengabadikan segala hal yang dia suka.
"Sepakat."
Akhirnya mereka mengakhiri permainan tidak penting mereka dengan keputusan 'uji nyali' untuk Sakti. Sakti santai-santai saja, toh dia tidak mempercayai hal yang belum terbukti kebenarannya. Sakti juga tipe orang yang tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Sementara itu, dalam hati Fajar merasa was-was. Dia sudah banyak mendengar kabar burung mengenai kafe yang lama tidak berpenghuni tersebut. Fajar sering berpikir kenapa kafe tua itu tidak mereka ratakan saja dan didirikan bangunan baru. Namun rumor kembali tersebar bahwa siapa pun yang menghancurkan tempat itu, mereka akan dibayangi hantu penunggu kafe alias si cewek yang mati keracunan sianida saat minum kopi di sana. Lantas sekarang Fajar harus ikut serta menjalankan misi uji nyali dengan temannya? Fajar mulai merasakan hatinya tak nyaman.
***
Jam kecil di tangan Willi sudah memperlihatkan pukul 8 malam. Willi terburu pergi dari sekolah setelah menyerahkan tugasnya ke guru ekskul. Sebentar lagi dia sudah harus datang ke rumah Sakti untuk menyiapkan aksi uji nyalinya Sakti. Selagi menunggu angkot yang akan ia tumpangi, ia melihat kembali hasil jepretannya. Willi tersenyum sendiri. Sepertinya ia akan menjadi fotografer profesional suatu saat nanti.
"Bang!" Willi melambaikan tangan ketika angkot lewat di hadapannya. Willi masuk lantas mencari tempat kosong. Sudah malam begini angkot masih saja penuh.
"Eh, Pak Narto. Malam, Pak." Willi menyapa guru matematikanya yang siang tadi tidak masuk. Kebetulan di ujung kursi panjang, Pak Narto duduk dengan menjinjing kantong kresek cukup besar.
"Eh, iya, Nak. Baru pulang ekskul?" Balas Pak Narto. Pak Narto tidak hapal satu-satu nama muridnya. Tetapi karena Willi cukup aktif di kelas, Pak Narto tidak ragu mengenalinya.
"Iya, Pak. Bapak habis dari mana tadi siang tidak masuk? Bapak sakit?"
"Ah, tidak. Bapak ada urusan." Jawab Pak Narto ramah. Lelaki paruh baya yang memiliki cacat di lengan kirinya itu adalah guru paling ramah di sekolah. Pak Narto cukup akrab dengan banyak siswa. Kadang Pak Narto pun menjadi tempat curhat murid-muridnya karena sikapnya yang bersahabat.
Willi tidak bertanya lagi. Wajah Pak Narto yang nyaris menua tampak lelah. Ia terlihat menguap beberapa kali dan termanggut-manggut. Pak Narto salah satu guru yang dihormati Willi. Willi tidak mau mengganggunya dengan banyak bertanya.
Tak sengaja Willi melirik tentengan yang dibawa Pak Narto. Semacam gundukan rambut hitam tebal menyembul dari sana. Willi juga membaca nama toko yang tertera pada kantong plastik berwarna putih itu. Sejenis toko yang menjual rupa-rupa aksesoris. Willi meyakini bahwa itu sebuah wig. Cukup aneh mengingat Pak Narto yang seorang lelaki membeli wig. Willi sedikit berpikir, apa selama ini Pak Narto memakai rambut palsu? Akan tetapi Willi tak memikirkan berkelanjutan. Ia justru iseng memotret ke arah Pak Narto yang sibuk menahan kantuk.
***
Tampak Fajar dan Sakti sudah berkumpul di depan pagar rumah Sakti. Willi sedikit ngos-ngosan. Pasalnya dia berlarian dari rumah. Ah, rumah mereka cukup dekat. Masih satu perumahan, hanya berbeda blok.
"Sorry, telat." Ucap Willi.
"Ini kita beneran harus ikut?" Belum apa-apa Fajar sudah terlihat ingin pingsan. Jaket parasut yang dikenakannya tampak mengkerut seperti nyalinya yang menciut.
"Jelaslah. Kalau kita gak ikut, lo gak bakal tahu si Sakti masuk apa nggak ke kafe itu. Bisa aja dia curang," jelas Willi.
"Kalau takut bilang aja. Lo bisa tinggal di rumah gue. Tapi gue bakal umumin ke satu sekolahan kalau lo cowok cemen." Sakti menyadari mental tempe yang Fajar miliki. Dia malah menggoda Fajar yang seolah akan pipis di celana. Padahal mereka masih di rumah Sakti yang terang karena lampu neon yang bertebaran.
"Enak aja. Ayo, siapa takut!" Fajar berpura-pura tidak terima.
"Oh, iya. Ambil ini! Selagi lo masuk ke dalam, kita akan menunggu di luar. Kalau gak kuat, lo lambaikan tangan aja ke kamera." Willi bertingkah layaknya host uji nyali salah satu acara tv yang tayang tengah malam. Sakti mengambil handycam yang Willi serahkan. Adegan Sakti saat di dalam kafe akan terekam oleh kamera yang Willi sudah operasikan agar tersambung ke laptop yang dia bawa.
"Oke, lets go!"
Mereka bersiap pergi dengan motor gede kepunyaan Sakti. Tidak apa bonceng tiga tengah malam seperti sekarang, tidak akan ada polisi yang menilang mereka. Hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai ke tempat tujuan mereka bila berkendara dengan motor secara kebut-kebutan. Siapa dulu yang membawa motor itu terbang? Sakti si raja badung di sekolahnya. Kalau di rumah, nanti kalian akan mengetahuinya.
Akhirnya dengan keterampilan Sakti dalam membawa kendaraan roda dua, mereka tiba dengan selamat walau Fajar sempat ingin turun karena Sakti melajukan motornya secara menggila. Di hadapan mereka sebuah bangunan yang cukup usang berdiri kokoh. Memang terlihat menyeramkan karena hanya lampu bohlam bercahaya temaram yang menerangi bagian depan kafe. Di samping kafe, sebuah lahan kosong dengan banyak bebatuan juga beberapa pohon beringin tampak sangat gelap. Menurut informasi, tadinya lahan itu akan dibangun sebuah toko. Namun mereka menghentikan pembangunan karena para pegawai mulai tidak nyaman sering mendengar suara-suara aneh dari kafe. Bulu tengkuk Fajar mulai berdiri tegak. Tangannya menarik ujung baju Willi. Fajar berpikir para kuntilanak mungkin menjadikan pohon beringin yang berjejer itu sebagai rumah mereka. Belum lagi para bocah kecil berkepala botak yang hanya memakai celana dalam alias tuyul pastilah menjadikan lahan kosong itu sebagai tempat bermain mereka.
"Apaan sih lo, Jar?" Willi meronta berusaha melepas tangan Fajar dari kemeja bagian belakangnya.
"Balik aja, yuk! Gak lihat tempatnya angker gini?"
"Yang mau masuk kan gue, kenapa lo yang mau pingsan? Balik sendiri aja sonoh!" Sakti mendapati wajah Fajar yang sudah pucat pasi. Bagai tidak ada darah yang mengalir dalam tubuhnya.
"Iya kali gue balik sendiri. Lo pikir ini jam berapa? 12 malem, anjir." Fajar semakin mengeratkan jemari tangannya pada kemeja Willi. Willi membiarkan karena tak mau adu mulut.
"Lo masuk sekarang aja deh. Daripada nanti kita harus gotong dia pas balik karena sekarat di sini," titah Willi. Padahal Fajar sendiri yang memberi tantangan kepada Sakti untuk uji nyali di kafe ini.
"Kita tinggalin dia di sini aja biar dimakan wewe gombel. Ngapain repot-repot digotong."
"Maksud gue, kita gotong dia ke lahan kosong di sana. Kita mah pulang aja."
"Kampret!" Fajar dongkol. Dia meninju kecil lengan kedua temannya.
"Ya udah, masuk, Sak! Seperti apa kata gue, lo lambaikan aja tangan lo ke kamera kalau ada apa-apa."
Sakti mengacungkan jempolnya. Ia mulai meraih kenop pintu kafe, namun tak dapat dibuka. Kafenya terkunci. Lantas mereka melihat jendela di sampingnya tak berkaca. Sakti memanjat jendela yang tingginya sebatas pinggangnya.
"Kita tunggu di seberang." Ucap Willi sebelum Sakti benar-benar masuk ke dalam.
Willi berjalan menyebrangi jalan menuju sebuah warung tenda yang sudah tutup. Diikuti Fajar yang tak mau melepaskan cekalannya pada kemeja Willi. Willi keki, tapi berusaha memaklumi. Willi meletakan laptopnya di bangku kayu. Ia mulai mengoperasikan benda canggih itu dan menyalakannya untuk melihat gambar pada kamera yang dibawa Sakti. Sesuai rencana, Sakti hanya perlu masuk ke dalam, diam di ruangan kafe itu selama beberapa menit atau selama yang Sakti inginkan. Namun Willi berkeyakinan bahwa Sakti akan bertahan meski mereka menyuruhnya diam di dalam sana selama beberapa jam. Mereka berdua tahu bahwa Sakti orang yang pantang arang. Ciri pria sejati.
Sakti terbatuk saat debu masuk lubang hidungnya. Sesuai dugaan, kafe ini memang tak terurus. Sarang laba-laba tergantung di seluruh penjuru tembok. Di dalam tidak ada penerangan, Sakti hanya berbekal senter kecil yang disiapkan Willi. Sakti meletakan kamera yang pemberian Willi pada sebuah meja. Di dalam kafe peralatannya masih terlihat lengkap. Beberapa meja dan kursi yang tersisa masih tampak utuh. Jadi, Sakti santai saja mendaratkan pantatnya di kursi yang terbuat dari kayu tersebut.
Sepuluh menit berlalu sejak Sakti masuk. Sakti mulai bosan. Ia mengarahkan senter ke seluruh dinding. Ternyata masih ada gravity serta lukisan-lukisan yang tergantung. 'MIMI CUCU KAFE' Sakti terkekeh geli saat tak sengaja melihat tulisan besar di dinding paling depan. Benar kata Fajar, nama kafe ini sangat lucu. Malah terkesan kocak. Sakti beranjak dari kursinya. Ia mulai berkeliling memperhatikan sudut kafe yang katanya angker. Tapi sudah dua puluh menit berlalu, tidak ada sesuatu yang membuat jantung Sakti meloncat. Semua baik-baik saja.
Sakti membaca beberapa tulisan yang memang masih terpajang meski tulisannya sudah mulai pudar. Sakti mulai paham kenapa kafe ini bernama "Mimi Cucu", semua menu di kafe sepertinya berbahan dasar susu. Sakti membaca list menu yang tertulis. Bermacam olahan dari campuran susu yang dijual murah meriah cocok untuk anak sekolahan. Ada apple cooler, sunrise smoothies, oreo milkshake, delicious chocho shake. Nama-nama yang sedikit rumit menurut Sakti. Tapi tunggu, bukankah yang mati di sini diracun kopi sianida?
"Eh, Will. Itu apaan tuh yang di belakang si Sakti?"
Willi yang sedang jepret-jepret dengan kameranya mengalihkan pandang. Fajar katanya takut, tapi layar laptop di depannya diawasi juga. Katanya khawatir kawan pemberaninya dirontok setan di dalam sana.
"Bukan apa-apa." Willi menyahut lantas kembali mengarahkan kameranya untuk mengambil gambar. Dia tidak menyiakan kesempatan berburu suasana mistis seperti sekarang. Jalanan sepi serta bangunan kafe tua itu tak luput dari kamera Willi. Warung tenda yang mereka tempati pun nuansanya tidak begitu bagus. Willi merasa penasaran juga kenapa pemilik warung tenda ini begitu berani berjualan di sini, di dekat kafe yang katanya berhantu. Hanya beberapa bangunan yang berdiri di sekitar kafe kematian. Kebanyakan masih berupa lahan kosong dan persawahan.
"Dalam keadaan kayak gini aja sempet-sempetnya lo bawa kamera kesayangan lo. Apanya yang mau difoto sih?" Fajar merutuk tak percaya. Suasananya gelap gulita, memangnya siapa yang Willi jadikan model? Kuntilanak?
"Gue serius, Will. Lo pik... ARGH!"
Sakti tergelak sendiri membayangkan wajah kaget Fajar di luar sana. Baru saja ia mendengar jeritan Fajar. Sakti sengaja mengarahkan sebuah boneka barbie yang ia temukan ke arah kamera. Mungkin muka close up boneka itu membuat jantung Fajar benar-benar melompat dari paru-paru.
"Dasar penakut! Haha... eh, apa nih?" Sakti menyibakan rambut si boneka barbie yang berukuran sebesar bayi. Pada leher boneka itu terdapat ukiran sebuah nama yang melingkar.
"Woy, bangun! Lo kenapa? Fajar! Bangun, Jar!" Kali ini tidak bohong. Fajar serius tak sadarkan diri. Willi menghela napas lantas terus menepuk-nepuk pipi temannya.
"Apaan sih teriak-teriak?"
"Lo gak pingsan?"
Fajar nyengir, "Gue cuma kaget. Si Sakti sinting. Dia ngerjain gue."
Willi tak paham, kemudian ia memperhatikan layar laptopnya. Di sana Sakti terlihat sedang memegangi sebuah boneka. Willi yakin temannya yang satu itu memang mengusili Fajar.
"Sudah 30 menit. Tuh orang masih bertahan? Apa emang gak ada apa-apa di sana?"
Willi membawa bola matanya mengecek jam tangan. Sudah nyaris pukul satu malam. Willi tidak yakin bahwa di dalam sana baik-baik saja. Sepanjang dia terduduk di sini, dia sendiri cemas. Lantas ia mengalihkan rasa khawatirnya pada kamera yang sengaja dibawanya. Dan barangkali memang karena Sakti pemberani, di dalam sana anak badung itu pasti santai-santai saja.
"Hoaaaanjiiirrrrrrr!"
Fajar melompat dari kursinya saat mendengar teriakan Sakti. Sakti muncul dari balik jendela tanpa kaca tempat ia masuk sebelumnya. Willi serta Fajar langsung berlarian menuju Sakti yang berhambur ke motornya.
"Ada apa, Sak? Seriusan ada hantu? Nah, kan, apa gue bilang? Hih, merinding gue. Ayo cabut!" Segera Fajar memeluk pinggang Sakti.
"Apaan sih lo? Jijik banget. Lepas!" Sakti mendadak geli. Mending kalau yang melingkar di pinggangnya itu seorang cewek.
"Ada apa, Sak?" Willi pun penasaran kenapa tiba-tiba Sakti menjerit dan berlari keluar.
"Gak ada apa-apa. Gue laper. Yuk, balik!"
Sebuah tanda tanya seolah terbentuk di kening Fajar dan Willi. Sakti memang penuh kejutan. Kawannya itu tidak pernah memiliki ketakutan terhadap apa pun, kecuali rasa lapar. Mereka bertiga pun cekikikan lantas bersiap pulang dengan si jaguar, nama panggilan yang diberikan Sakti untuk motor kesayangannya. Willi kembali ke seberang untuk membawa laptopnya. Sebelum kembali, keningnya sedikit berkerut. Di samping bangunan kafe itu, Willi melihat sesuatu. Tapi saat Willi kembali ke tempat teman-temannya, Willi tidak menemukan apa pun.
"Jadi, di sini beneran gak ada apa-apa, Sak? Jadi, selama ini cerita yang beredar itu cuma fiktif belaka?"
Fajar tak berhenti mengoceh. Dia masih penasaran dengan rumor yang seakan sudah menjadi cerita turun temurun di kalangan masyarakat tempatnya tinggal. Berarti selama ini cerita itu hanya karangan semata.
"Muka lo tuh yang fiktif!"
Willi menahan tawa mendengar jawaban Sakti. Sudah waktunya mereka pulang ke rumah dan tidur. Orang tua mereka akan mengamuk jika mereka tahu bahwa di balik selimut di kamar anaknya hanyalah sebuah guling yang sengaja dilentangkan untuk menggantikan mereka. Sepeninggal 3 remaja itu tidak ada yang tahu bahwa di bawah lampu remang kuning di samping bangunan kafe ada yang mengawasi mereka dengan mata berkilatan.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices