by Titikoma
2. Bayangan Putih
Sakti menguap berulang kali. Dia sudah sampai ke rumah lantas menyelinap masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua. Dengan cara memanjat pohon mangga yang tumbuh tinggi hingga balkon kamarnya, Sakti selamat tanpa ketahuan mama dan papanya. Jam sudah bergerak ke angka tiga. Itu artinya matahari akan segera terbit. Akan tetapi, sepulang dari kafe Sakti belum dapat memejamkan mata. Ia teringat kejadian sebelum mereka pulang dari sana. Di dalam kafe, saat Sakti membaca nama yang tertera pada leher si boneka, Sakti melihat bayangan putih di dinding. Barangkali karena terlalu kaget, Sakti langsung berteriak dan melompat keluar jendela. Sudah sering dikatakan, Sakti tidak takut hantu. Jadi Sakti meyakini bahwa dia hanya terkejut karena melihat sesuatu yang berwarna putih di antara gelapnya ruangan.
Sama halnya dengan Sakti, Willi pun masih berada di depan laptopnya. Ia melihat kembali isi rekaman dari kamera yang Sakti bawa. Tidak ada kejadian yang mengejutkan, hanya wajah boneka barbie yang Sakti sodorkan ke kamera yang membuat rekaman video itu tampak konyol. Satu hal yang membuat Willi penasaran. Di sana, seperti ada seseorang yang mengawasi mereka.
Teeeeeeettttttttt.....
Bel masuk kelas berbunyi. Semua anak dengan seragam yang sama masuk ke kelas masing-masing. Fajar sudah tampan dengan rambut belah pinggirnya yang mengkilap karena gel. Sakti tampak kusut, Fajar meyakini teman sebangkunya bangun kesiangan dan tak sempat mandi. Sudah menjadi kebiasaan Sakti jika dia datang ke sekolah dengan dandanan berantakan seperti sekarang.
"Lo kesiangan, Sak?" tanya Willi. Sakti mengangguk sembari menutupi mulutnya yang menguap lebar.
"Gue malah gak tidur," timpal Willi.
"Kenapa? Pantas mata lo kayak mata panda. Ada lingkaran hitamnya."
"Lo perhatian banget sama Willi, Jar. Lo bukan homo, kan? Will, kamu ada masalah? Kenapa gak bisa tidur? Ini ada jus. Kamu bisa minum. Biar segar. Aku ke depan ya. Bye."
Semua melongo karena kedatangan Karin yang tiba-tiba. Sakti menggait botol minuman yang Karin bawakan untuk Willi. Matanya benar-benar segar setelah menenggak jus jeruk itu. Willi ingin melarang, namun botol itu sudah telanjur kosong.
"Selamat pagi, anak-anak."
"Selamat pagi, Pak."
"Kumpulkan ke depan tugas kalian yang kemarin Bapak berikan."
Yaaaaahhhh... Sebagian murid sibuk menyontek karena tidak sempat mengerjakan tugas matematika yang kemarin Pak Narto berikan. Sebagian lagi langsung berlarian mengumpulkan ke depan agar kertas tugas mereka tidak ada yang mencontek.
"Astaga, gue lupa." Pekik Fajar. Kemarin mereka sibuk main truth or dare. Semalam sibuk berburu hantu kafe yang ternyata tidak ada. "Buku lo mana, Sak?"
Sakti menggeleng. Dia tidak ingat sama sekali dengan tugas yang Pak Narto berikan.
"Will!" Fajar menendang kaki kursi Willi. Willi menoleh lantas mengacungkan buku matematikanya.
"Kayaknya hari ini lo bakal dapat hukuman, Jar."
"Anjir." Fajar sibuk mengutuk karena ternyata Willi mengerjakan tugasnya. Willi berjalan santai ke depan untuk mengumpulkan tugasnya tanpa menoleh ke arah Fajar yang berharap Willi memberinya contekan kilat.
"Ini, Pak."
Pak Narto mengangguk. "Semalam kamu selamat sampai rumah, Will? Jangan sering pulang malam!"
"Baik, Pak." Semalam ia bertemu Pak Narto di angkot. Mungkin karena itu Pak Narto memperingatkannya.
"Kalian berdua tidak mengumpulkan tugas kalian?"
Sakti dan Fajar hanya tertunduk saat Pak Narto menghampiri mereka di bangkunya.
"Maaf, Pak. Saya lupa." Fajar menyahut sambil nyengir.
"Kamu?"
"Saya? Saya juga lupa, Pak,” Jawab Sakti. Bagi Sakti sudah biasa ia mendapat hukuman gara-gara lupa dengan tugas yang gurunya berikan.
"Jangan mengerjakan hal-hal yang tidak berguna. Nanti kalian celaka. Anak SMA itu tugasnya hanya belajar."
"Maksudnya, Pak?"
Pak Narto tak meladeni kebingungan Sakti dan Fajar. Beliau kembali ke mejanya dan menyuruh muridnya mempelajari bab yang akan mereka bahas selanjutnya.
"Ah, iya. Kalian berdua saya hukum membersihkan gudang sepulang sekolah nanti," sahut Pak Narto.
Sakti dan Fajar saling berpandangan. Untuk Fajar, ini kali pertama ia mendapat hukuman. Meski ia tidak sepintar Willi, tapi ia selalu mengerjakan perintah yang gurunya berikan. Hanya gara-gara semalam sibuk memikirkan rasa takutnya karena Willi mengajaknya mengawasi Sakti uji nyali.
"Tapi hari ini saya pulang sore, Pak. Saya ada ekskul. Lo juga kan, Sak?" Fajar menyikut lengan Sakti. Sakti menganggukan kepalanya.
"Bukan masalah. Kalian bisa membersihkannya sepulang ekskul."
Fajar merengut kecewa. Jadwal pulangnya nanti pukul 6 sore. Setelah itu ia masih harus tinggal di sekolah untuk bersih-bersih.
"Kalau kalian mau dapat nilai nol, tidak dikerjakan juga tidak apa-apa."
Ancaman Pak Narto membuat Fajar semakin menyesal. Apa kata mami sama papinya nanti jika ada kata 'tidak terlampaui' dalam rapornya. Sementara Fajar mencemaskan banyak hal, Sakti tidak terpengaruh sama sekali.
"Itu Pak Narto kita yang ramah, kan? Kenapa jadi kejam sekali," oceh Fajar.
Sakti selesai ekskul pada pukul lima sore. Masih ada waktu satu jam untuk mulai membersihkan gudang. Sebelum Fajar ke lapangan untuk bermain baseball, ekskul yang Fajar ambil, Fajar meminta Sakti menunggunya. Mereka harus menjalankan hukuman bersama-sama. Sakti setuju saja. Ia tidak tega meninggalkan Fajar si penakut itu sendirian.
Sakti belum mengganti seragam karatenya. Setelah teman-teman anggota club karatenya pulang bergantian, Sakti masih belum beranjak dari ruangan tempatnya berlatih. Sakti kembali mempraktekan gerakan-gerakan yang hari ini dia pelajari. Sakti percaya bahwa sebagai laki-laki setidaknya ia harus menguasai gerakan beladiri. Untuk melindungi dirinya juga orang lain dari kejahatan. Makanya dengan penuh semangat Sakti memilih karate sebagai kegiatan ektra kulikuler di sekolahnya. Walau terkadang Willi dan Fajar menyebut bahwa Sakti sering menyalah gunakan ilmu beladiri itu untuk adu jotos dengan siswa lain atau siswa-siswa dari sekolah tetangga.
Mendadak lampu ruangan padam. Sama sekali tidak ada jendela di ruangan tersebut. Semua menjadi gelap gulita. Sakti buru-buru meraih tasnya, lantas meraba-raba dinding untuk mencari pintu.
"Sial, kenapa bisa mati lampu? Gue belum ganti baju pula," oceh Sakti.
Akhirnya setelah berkeliling meraba dinding yang terasa dingin menurut Sakti, Sakti menemukan gagang pintu. Sakti segera menariknya, namun yang terjadi, ruangan itu terkunci.
"Woy! Buka, woy! Lo semua ngerjain gue ya?" Sakti mencurigai bahwa teman-teman clubnya sedang mengusilinya.
"Awas lo semua nanti. Buka, woy!"
Sia-sia saja, tak ada yang mendengar atau mau mendengar teriakan Sakti. Sakti bersumpah serapah mengutuk mereka yang menjahilinya. Sakti mencari ponsel di tas. Sudah setengah enam sore. Sakti terpaksa kembali duduk untuk menunggu Fajar. Dia mengirim pesan kepada Fajar untuk menemuinya di tempatnya latihan. Sakti memberitahu bahwa dirinya terkunci dari luar.
Angin berhembus dengan kencang. Sakti tertegun sejenak. Bagaimana bisa ada angin masuk ke ruangan tertutup? Sakti mulai menggosok-gosok tengkuk lehernya yang terasa dingin. Tiba-tiba lampu pun berkelap-kelip. Nyala-padam-nyala-padam, membuat mata Sakti kleyengan. Hawa dingin semakin menusuk membuat Sakti mencari jaketnya di dalam tas, kemudian mengenakannya.
"Apaan sih nih?" Bingung Sakti karena suasananya mendadak horor.
Sakti mengucek matanya berulang. Saat lampu padam, Sakti melihat banyangan putih dengan sedikit cahaya menyilaukan. Ketika lampu menyala, tidak ada apa-apa.
"Siapa tuh? Woy! Cemen banget lo ngerjain gue. Gue gak takut!"
Sakti nyaris terjungkal saat bayangan putih itu membentuk sosok wanita berambut ikal sebahu dengan mata bercahaya kebiruan. Di pelipis serta sudut bibirnya mengucur garis darah.
"S-s-siapa lo?" Tanya Sakti tergagap. Perlahan Sakti bangkit lalu kemudian melangkah mundur mendekati pintu. Sosok itu tak bergerak, dia hanya terus menerus menatap Sakti. Sakti menelan salivanya susah payah.
"Lo siapa, woy? Candaan lo gak lucu!" Teriak Sakti. Dia bertekad akan membalas orang yang telah mengusilinya nanti.
Sakti mendadak merinding saat telinganya mendengar rintihan. Suara tangisan itu terdengar menyedihkan juga seperti tengah menahan rasa sakit. Sakti memberanikan diri menengok sosok bayangan tadi, namun sosok itu sudah tidak ada di tempatnya. Yang tersisa hanya sebuah suara yang membuat telinga Sakti tidak nyaman.
"Anjir, sebenarnya lo siapa hah? Lo gak tahu gue? Gue Sakti, raja badung di sekolahan ini. Kalau kalian tertangkap basah, mampus kalian di tangan gue!"
Baru kali ini ada orang yang berani menjahili Sakti. Di sekolahnya tidak ada satu pun orang yang berani mengusik Sakti, akan tetapi sore ini mereka berani menyerang Sakti dengan hal konyol. Lampu masih berkelap-kelip, dan Sakti masih berusaha menarik kenop pintu. Sesekali Sakti mendobrak pintunya, tapi yang ia terima hanya rasa sakit di bahu. Sekujur tubuh Sakti kembali meremang. Sakti terkejut seraya menahan napas. Sosok wanita berambut ikal sebahu itu kini tepat di hadapannya. Wanita itu memandang Sakti dengan tatapan seolah sedang melucuti Sakti.
"S-s-siapa lo?" tanya Sakti terbata.
Sakti tidak mendengar jawaban. Sakti pun bergerak perlahan menggerayang tembok mencoba menjauh dari wanita di depannya. Kini ruangan sepenuhnya gelap. Jantung Sakti mulai berdebar cepat. Setiap Sakti melangkah, wanita itu mendekat. Sakti melempar tas ke arahnya, namun wanita itu tak bereaksi. Darah di pelipisnya semakin deras mengucur hingga gaun putih yang dikenakannya sudah dilumpuri banyak darah.
"Siapa lo, hah? Lo pikir lo bis... ARGHHHHH!"
Sakti berteriak saat sosok wanita itu mencekik dirinya. Napas Sakti tersenggal. Sakti merasakan tenggorokannya kering kerontang. Mata wanita itu menyorot berkilauan, kontras dengan bibirnya yang pucat.
"Sak, lo di mana?"
"T-tolong, t-tolongin gue, Jar!" Sakti mencoba meminta tolong saat telinganya mendengar panggilan Fajar.
"J-Jar, tolong!" Lirihnya.
"Lo kenapa, Sak? Sakti?"
Sakti tidak tahan. Suhu badannya berubah panas. Cekikan di tenggorokannya semakin menguat. Ingin sekali Sakti menendang sosok wanita di hadapannya, namun kakinya seakan lemas tak dapat digerakkan.
"Sak, lo kenapa?"
"T-tolong gue! Tolo..."
"SAKTI! Bangun, woy!"
Napas Sakti memburu. Sakti mengerjapkan matanya berulang kali. Segera Sakti menyentuh bagian lehernya. Masih baik-baik saja. Lampu ruangan pun tampak kembali terang secara keseluruhan. Sakti mengedarkan pandangan ke sekililing. Ruangan tempatnya latihan sudah kosong. Ia mengingat teman-temannya pulang terlebih dahulu.
"Lo kenapa, Sak? Mimpi?"
Sakti kembali membawa matanya mengawasi sudut ruangan. "Wanita itu? Wanita itu sudah pergi?"
"Wanita? Lo kenapa sih? Mimpi dicium kuntilanak lo?" Fajar terbahak menyaksikan ekspresi wajah Sakti yang seperti baru dipeluk kuntilanak. Sakti terlihat takut dan kebingungan. Wajahnya penuh keringat seolah sudah mengikuti lomba lari agustusan.
Sakti menengok jam di tangannya, pukul 18:15 tertera di sana. Sekali lagi Sakti mencoba memastikan, ia mencari sosok wanita berhias banyak darah di wajahnya.
"Ayo, cabut! Kita masih harus bersihin gudang." Fajar bangkit mengingatkan Sakti tentang hukuman yang harus mereka jalani.
"Jar, tadi gue terkunci di sini kan?"
"Ngomong apa sih lo?"
"Lo yang bukain pintu tadi?"
"Jelas gue sendirilah. Siapa lagi?"
"Jadi gue beneran terkunci di sini?"
Fajar semakin bingung dengan pertanyaan juga pernyataan yang Sakti lontarkan. Memang benar kata orang tua, jangan pernah tidur di sore hari, nanti persis orang linglung. Sakti salah satu korban yang Fajar temukan.
"Pintunya baik-baik aja. Otak lo yang terkunci. Makanya jangan molor jam segini. Nanti dirontok setan!"
Fajar beranjak meninggalkan Sakti yang masih berusaha memulihkan kesadarannya. Saat datang, Fajar mendapati Sakti tengah berbaring di lantai masih dengan seragam karatenya. Fajar berasumsi bahwa Sakti kelelahan hingga ia tertidur saat menunggunya. Beberapa detik kemudian Fajar dikejutkan dengan teriakan minta tolong dari Sakti. Fajar malah cekikikan menyaksikan raut wajah Sakti yang menurutnya lucu. Sakti pemberani, semacam anugerah bila seseorang dapat melihat wajah Sakti yang sedang ketakutan.
Sesuai dugaan mereka, gudang sekolah benar-benar tak terurus. Bangku serta meja yang pincang yang sudah tidak dapat digunakan berceceran di seluruh penjuru. Sarang laba-laba sudah mengklaim gudang tersebut adalah istananya.
"Tugas penjaga sekolah apa sih sebenernya? Kenapa di sini berantakan banget?"
Sakti menggeleng tak paham dengan ocehan Fajar. Penjaga sekolah, jelas sudah tugasnya menjaga bukan membersihkan sekolah.
"Aaaaaa."
"Ada apa, Jar?"
"Nggak. Kaget aja gue. Nih!"
Fajar menunjuk reflika tengkorak untuk pratek IPA yang terpajang di sudut. Segala macam yang sudah lama tidak digunakan memang tersimpan di gudang. Membutuhkan beberapa jam untuk membereskan agar gudang tidak terlalu berantakan.
Sakti mulai merapikan bangku-bangku, sedang Fajar menghalau debu. Sakti memang bekerja, namun pikirannya kembali melayang pada mimpinya. Jika benar itu mimpi, kenapa Sakti merasa bahwa kejadian itu nyata? Wanita berambut ikal sebahu itu, Sakti tak bisa mengeyahkan bayangannya. Matanya yang terang kebiruan, pelipisnya yang banyak mengeluarkan darah segar, juga lengkungan bibirnya yang pucat pasi. Tak lupa suara tangisannya seolah tak mau pergi dari telinga Sakti.
Sakti mengerejap. Ia kembali mendengar suara itu. Suara isak tangis seorang wanita yang hadir di mimpinya. Sakti memperhatikan ke sekeliling sudut, tidak ada siapapun kecuali Fajar yang masih melakukan pekerjaanya.
"Jar, lo denger suara?"
"Suara apaan?" Fajar menyahut.
"Suara cewek nangis."
"Cewek? Apa suara kentut gue kayak suara cewek nangis? Haha,"
Sakti melempar sapu ke arah Fajar. Dia sedang serius, tapi temannya justru bercanda.
"Sak, d-d-di belakang lo, Sak!"
Wajah Fajar berubah tegang. Telunjuk tangannya yang gemetar menunjuk ke arah pintu gudang yang terbuka lebar. Sakti menengok perlahan. Sosok gadis dengan wajah putih dan sekitar kelopak matanya berwarna hitam berdiri di ambang pintu. Rambutnya terurai menutupi sebagian wajahnya.
Hi... hi... hi... hiiiii
Sosok itu mulai tertawa bak kuntilanak yang ada di film-film. Jantung Sakti tertegun kaget. Fajar langsung melompat bersembunyi di balik punggung Sakti. Lampu gudang yang memang tidak terlalu terang, juga keadaan di luar sudah gelap karena mulai petang, membuat suasana hati keduanya makin gugup tak karuan. Wanita tak terlihat wajahnya itu masih tertawa tak bergerak dari tempatnya. Gaun panjang putih menutupi kakinya.
"S-siapa lo?" Mau tak mau Sakti ketakutan juga. Ini kedua kalinya Sakti melihat penampakan kuntilanak
Kuntilanak itu mendekat membuat Sakti dan Fajar memundurkan langkahnya. Fajar makin mengeratkan tangannya di baju seragam Sakti.
"Berani lo melangkah, gue tonjok lo!"
Fajar melongo mendengar ancaman Sakti. Yang di depan mereka adalah hantu, bagaimana bisa Sakti mengancam akan memukulinya.
"Pergi lo! Janji deh, kita gak bakal ganggu tempat ini," ucap Fajar gemetaran.
Namun sosok kuntilanak itu keras kepala. Dia tetap bergerak mendekati mereka berdua yang kini terpojok di sudut lemari.
"Anjir, lo gak denger apa kata gue?"
Sakti mulai melempar beberapa barang ke arah kuntilanak itu. Fajar pun ikut melakukan apa yang Sakti lakukan. Kini Fajar siap melempar sapu yang tak jauh dari tempatnya.
"Aww!"
Pandangan Sakti dan Fajar saling bertabrakan. Kuntilanak itu mengeluarkan pekikan. Tangannya kini mengusap-usap kepalanya yang terkena ujung sapu yang Fajar lemparkan.
"Stop! Ini gue Karin. Sakit kepala gue. Siapa barusan yang ngelempar sapu? Sialan banget."
Kuntilanak itu menegakan wajahnya, lantas merapikan rambutnya yang berantakan. Barulah saat mereka menyadari bahwa kuntilanak itu benar Karin, teman sekelasnya, Fajar dan Sakti mulai bernapas lega.
"Ngapain lo dandan kayak gitu, hah?" Kesal Fajar. Kini bertambah satu orang lagi yang tahu dirinya penakut.
Karin malah nyengir, "Sorry."
"Gak ada kerjaan banget lo!" Timpal Sakti. Ia melepas tangan Fajar dari bajunya kemudian kembali ke tempatnya bersih-bersih.
"Gue mau latihan teater. Gak sengaja lewat sini lihat kalian berdua. Sesekali ngerjain lo berdua gak apa-apa dong. Ya udah deh, gue cabut. Salam buat Willi ya!"
Dengan tanpa dosa Karin meninggalkan mereka begitu saja. Jantung keduanya masih belum berhenti berdebar cepat. Sakti benar-benar mulai tidak nyaman. Semenjak keluar dari kafe itu, Sakti sering dibuat terkejut.
"Woy, lo mau ke mana?" teriak Fajar saat tak lama kemudian Sakti berlenggang keluar meninggalkan gudang.
"Cabut, Jar. Lo bersihin sendiri."
Fajar melihat ke seluruh ruangan, bulu kuduknya tak elak berdiri. Fajar membayangkan bagaimana kalau nanti kuntilanak sungguhan datang menemaninya bersih-bersih.
"SAKTI! Tunggu, woy!"
Tak mau tinggal seorang diri, Fajar berlari menyusul Sakti yang sudah tidak terlihat punggungnya. Gudang itu dibiarkan Fajar begitu saja. Tak peduli bila esok ia mendapat hukuman lagi.
***
Sakti menatap bangunan tak berpenghuni itu dari seberang. Masih dengan suasana yang sama seperti kemarin malam, sunyi dan suram. Sakti tidak dapat menahan diri lagi. Ia penasaran dengan death cafe yang selama ini orang-orang perbincangkan. Malam ini, tepat pukul 12 malam, Sakti kembali mengunjungi kafe kematian. Sakti ingin membuktikan apakah kafe yang sudah lama tak beroperasi itu benar kafe kematian atau bukan. Setelah kemarin dia berlari begitu saja karena terkejut, Sakti merasa ada sesuatu di kafe ini. Sakti seolah belum puas dengan apa yang terjadi kemarin. Sakti ingin mengetahui sebenarnya bayangan putih yang dia lihat itu adalah apa. Sakti terpikirkan sosok wanita berambut sebahu yang ada dalam mimpinya. Dia berpikir mungkin saja mimpi konyol itu ada hubungannya dengan kafe ini.
Sakti menyebrang, mulai mendekati kafe. Lampu bohlam masih bersinar temaram. Tidak cukup untuk menerangi seluruh bagian depan toko. Sakti menarik napas berulang kali. Seumur hidup Sakti, tidak pernah ada kata takut dalam kamusnya.
"Sak!"
Sakti berhenti bergerak saat akan melompati jendela. Ia menoleh untuk menengok siapa yang memanggil namanya.
"Willi?"
"Ngapain lo di sini?" Willi berdiri di belakang Sakti dengan menenteng kamera kesayangannya. Kacamata bacanya mengkomfirmasi bahwa itu benar Willi temannya.
"Lo yang ngapain di sini?" Sakti balik bertanya. Ia meloncat mendekati temannya.
"Gue... sebenarnya gue penasaran sama tempat ini," jelas Willi. Sakti mengangguk paham.
"Sama. Makanya gue balik lagi ke sini," balas Sakti.
"Ya udah, gue ikut masuk."
Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk masuk. Tidak ada yang berubah, ruangan kafe itu masih kotor dipenuhi debu. Sakti dan Willi berkeliling melihat isi ruangan yang tak sempat mereka telusuri seluruhnya kemarin.
"Kemarin lo kenapa teriak? Lo lihat sesuatu?"
Sebenarnya Sakti tidak ingin teman-temannya tahu tentang bayangan putih itu, tak pelak ia mengiyakan juga.
"Gue lihat bayangan. Gue kaget, jadi gue teriak. Makanya gue balik lagi ke sini. Mau membuktikan bayangan putih itu ada apa nggak. Mungkin kemarin gue cuma halusinasi." Sakti menjelaskan dengan bola mata yang masih mengawasi ke sekitar.
"Sebenarnya, kemarin gue juga merasa ada yang mengawasi kita. Makanya gue nekat balik lagi ke sini. Oh, ini boneka barbie yang kemarin lo pakai buat jahilin si Fajar kan?"
Willi meraih boneka barbie dari lantai. Ia merasa ada sesuatu yang asing, namun ia tidak tahu apa. Sakti menghampiri Willi. Ia mengambil boneka itu dari tangan Willi. Ada yang berbeda. Di pelipis serta sudut bibir boneka itu ada goresan darah. Sakti mengingat mimpi konyolnya tadi siang. Sosok wanita berambut ikal sebahu itu... mungkinkah?
"Kenapa, Sak?"
"Hah? Nggak." Sakti mengelak.
Willi merasakan ada sesuatu yang salah, tapi tidak bertanya lebih lanjut.
"Sak."
Sakti ikut menggerakan kepalanya menuju tempat yang Willi tunjukan lewat pandangan matanya. Di sudut ruangan dapur terdapat sebuah tangga dari kayu. Willi dan Sakti mendekati tangga yang tingginya tak lebih dari 3 meter. Mereka memutuskan untuk naik. Tangga yang mereka yakini sudah tua dan reyot, nyatanya baik-baik saja saat mereka pijaki. Hanya sebuah deritan terdengar saat kaki mereka satu persatu menaiki anak tangga.
Sebuah kamar di atas atap. Senter yang Sakti dan Willi bawa mereka sorotkan ke segala sudut. Benar sebuah atap yang disulap menjadi sebuah kamar tidur. Satu kasur yang lebarnya cukup untuk satu orang tergeletak di ujung. Satu set lemari plastik juga meja rias terpajang di sisinya. Sebuah jendela kaca berbentuk segi empat tertempel di antara genteng-genteng. Mungkin dipasang bermaksud agar cahaya mentari melongok dari sana saat siang hari. Sebuah lampu tidur juga tertata di meja rias. Tentu saja rumah laba-laba tergantung di mana-mana. Tak lupa makhluk kecil bernama kecoa ikut menjadi penghuni.
"Mungkin dulunya tempat istirahat pemilik kafe," ucap Willi mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya. Sakti memiliki pemikiran yang sama.
Gubrak! Suara benda jatuh membuat keduanya terkejut. Sakti dan Willi segera mencari sumber suara. Tidak ada apa-apa. Mereka tidak melihat barang atau sesuatu lain yang terjatuh. Willi mengusap kedua lengannya erat. Baru saja sebuah angin berlari kencang lewat di depannya. Begitu pula dengan Sakti, Sakti mulai merasakan perasaan aneh. Sakti mulai merasa badannya kedinginan.
"Sak, lo denger sesuatu?" Setengah deg-degan Willi merapat pada temannya.
Sakti mengangguk kecil. Gendang telinganya baru saja mendengar rintihan. Tangisan yang ia dengar di mimpinya kini terdengar lagi. Persis suara seseorang yang sedang menahan rasa sakit.
"Kita balik," gumam Sakti menyarankan.
Keduanya pun mulai menggerakkan kakinya lambat-lambat untuk menghampiri tangga tempat mereka merangkak sampai ke atas. Suara tangisan itu semakin lama terdengar semakin kencang, membuat jantung Sakti dan Willi berpacu.
Gubrak! Lagi, suara benda terjatuh mengagetkan keduanya. Kini mereka saling mengkode untuk melihat apa yang baru saja jatuh di belakang mereka.
Jakun di tenggorokan Sakti dan Willi naik turun. Wajah keduanya tampak tegang. Mereka menyorotkan senter mereka ke sudut ruang kamar. Sebuah benda tergeletak di sana. Di kasur yang tak lebar itu terdapat sesuatu. Bukan! Bukan benda. Sakti dan Willi mempertajam pandangan mereka. Suara isak tangis semakin memenuhi kamar atap.
Willi ingin berkata, namun mulutnya hanya mampu mangap-mangap tidak jelas. Sama halnya dengan Willi, Sakti hanya dapat menutup mulutnya rapat-rapat. Di kasur itu, sesosok tubuh terbujur kaku. Jelas sekali saat mereka datang, mereka tidak mendapati apa pun di sana. Namun kini kasur itu diisi oleh seseorang yang entah dari mana munculnya. Mereka memercayai bahwa suara gubrak itu berasal darinya. Dalam hitungan detik, sosok itu bangkit memperlihatkan wajahnya yang dilumuri darah. Rambutnya yang sebahu menutupi satu matanya. Sakti dan Willi gemetar di tempat. Mereka tidak sanggup melangkahkan kaki hingga mereka melihat sosok itu beradu pandang dengan mereka. Tiba-tiba bola mata sosok wanita berambut sebahu itu berubah membesar lantas mengeluarkan cahaya kebiruan. Cairan merah mengucur deras dari pelipisnya. Lalu kemudian wanita itu menarik rambutnya sendiri dengan tangannya yang penuh bekas sayatan. Rambutnya pelan-pelan tertarik dari kulit kepala. Dan...
"Aaaaaaaaaaaaaaa."
Sakti dan Willi terperanjat menyeret kaki mereka menuruni tangga. Kepala wanita itu nyaris copot karena wanita itu menarik rambutnya sendiri dengan sekuat tenaga.
"Argh, kaki gue!" Willi memekik saat tubuhnya terguling dari anak tangga. Untungnya, anak tangga ketiga dari bawah. Willi terpeleset saking terburu-burunya mereka berlari.
"Lo gak apa-apa, Will?" Jantung Sakti sungguh-sungguh seperti akan meloncat dari dadanya. Wanita itu, wanita yang ada di mimpinya tadi siang.
"Sak, awas, SAK!"
"Aaaaaaaaaaa."
Sakti menjatuhkan diri dari tangga, sedang Willi tertatih-tatih berdiri. Wanita itu sudah berada di ambang pintu atap dengan keadaan tangannya menenteng kepalanya sendiri.
"Sak, lo gak apa-apa?"
"Gue gak apa-apa. Cepat keluar!" perintah Sakti seraya mencoba bangkit. Sosok hantu wanita itu mulai menuruni tangga mengejar mereka. Sakti dan Willi terbirit-birit menyelamatkan diri melompati kusen jendela. Napas mereka terengah saat berhasil menjauh dari kafe. Keduanya tidak ada yang sanggup berbicara walau banyak sekali yang ingin mereka katakan.
Sedangkan sosok hantu itu sudah tak terlihat. Yang tersisa hanya suara rintihan sendu dari kamar atap.
***