Death Cafe

Reads
129
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

4. Bukan Sianida

Sakti, Willi, Fajar, tiga sekawan itu kini lebih banyak merumpi. Di rumah, bahkan di kelas, mereka hanya membicarakan death cafe. Mereka hanya tidak habis pikir kenapa setelah mereka pulang dari kafe itu, malam-malam mereka tidak tenang. Fajar percaya bahwa mereka memang akan dijadikan tumbal si cewek yang meninggal di kafe tersebut. Willi masih kurang yakin, namun memercayai juga. Sedang Sakti masih enggan untuk percaya.
"Gue mau ke toilet," ujar Sakti. Dia meninggalkan kelas yang memang biasa ricuh bila tak ada guru yang datang.
Sakti bersiul menyusuri lorong sekolahnya yang bertingkat tiga. Kelas 10 berada di lantai paling bawah, sementara kelasnya berada di lantai paling atas. Kelas lain dalam keadaan tenang karena masing-masing gurunya sedang mengajar.
"Pak Narto." Sakti memicingkan mata dari kejauhan. Pak Narto terlihat sedang terburu-buru berjalan menuju arah gudang. Bukankah hari ini jadwal kelasnya Pak Narto? Sakti menanggapinya acuh. Menurutnya bagus tidak ada guru yang datang ke kelas, waktu untuk bercanda dengan teman-temannya lebih banyak. Sakti berbelok menuju kamar mandi siswa yang berada di ujung lantai 3.
Setelah menyelesaikan tugasnya, nongkrong di wc gara-gara perut melilit, Sakti bermain-main sebentar dengan rambutnya. Dengan mulut yang masih asik bersiul, Sakti bercermin di depan kaca merapikan lalu kemudian mengusutkan kembali rambutnya berulang kali. Sakti berniat memundurkan waktu untuk masuk kelas.
Sakti berhenti memainkan rambutnya saat ia melihat sesuatu dari pantulan cermin. Cairan merah mengucur pada dahi hingga menelusuri lekuk hidungnya. Sakti menyapu cairan itu dengan jari, bau amis tercium. Batinnya bertanya-tanya dari mana asal darah tersebut. Sakti menengadahkan kepalanya ke atas langir-langit, tapi ia tidak menemukan apa-apa. Lantas darimana darah itu berasal?
Sakti tertegun. Rambutnya lepek bukan karena air yang sengaja ia cipratkan, melainkan karena darah. Jemarinya mencoba menyisir kembali rambutnya, benar darah yang membuat rambutnya basah. Sakti menatap ke cermin, rambutnya berubah setengah berwarna merah. Sakti memutar keran berniat membersihkan rambutnya dengan air, namun bukan air yang keluar, melainkan gumpalan darah.
"Ada apa nih?" Gumamnya tak paham.
Sakti masuk kembali ke kamar mandi. Ia melihat bak mandi yang ternyata telah berubah menjadi kolam darah. Sakti mulai panik. Ia menyalakan setiap keran air pada masing-masing kamar mandi, termasuk kamar mandi guru. Yang keluar adalah cairan darah.
Suara berisik muncul dari salah satu bilik kamar mandi. Sakti menajamkan penglihatan juga pendengarannya. Kakinya perlahan mendekati kamar mandi yang mengeluarkan suara. Tangannya mendorong pelan-pelan pintu kamar mandi dari bahan plastik tersebut. Suara decitan menambah detakan jantung Sakti. Sakti menghitung dalam hati. Layaknya adegan menegangkan dalam sebuah film, Sakti merasakan jantungnya tersentak. Nyaris saja Sakti berteriak.
"Siapa, woy?" Panggil Sakti.
Tak ada apa pun dan siapa pun. Akan tetapi tiba-tiba suara rintihan pun muncul. Tangisan yang akhir-akhir ini sering Sakti dengar.
"Keluar! Lo siapa?"
Gubrak! Suara benda jatuh terdengar. Sakti memutar tubuhnya. Ia beralih membuka satu per satu pintu kamar mandi. Kini lebih cepat tanpa ancang-ancang. Saat Sakti membuka bilik terakhir, di situlah Sakti melihat sosok hantu wanita berambut sebahu tergeletak. Masih dengan gaun yang sama. Juga gores darah yang serupa. Sosok wanita yang beberapa hari ini mengganggu Sakti terbaring di ubin kamar mandi. Dengan mengesampingkan rasa takut, Sakti mendekati sosok yang terbujur kaku tersebut. Tangan Sakti sedikit gemetar saat akan menyentuh tubuh wanita berambut sebahu yang selama ini ia lihat dan ia temukan di mimpinya.
Sosok yang tergeletak di lantai kamar mandi itu tiba-tiba membuka mata. Sinar kebiruan terpancar dari sana. Sakti terkejut. Sosok wanita itu bangkit lantas menghunus Sakti dengan tatapannya yang sengit. Tanpa ba-bi-bu lagi, Sakti berlari meninggalkan kamar mandi. Ia berharap hantu wanita itu tidak mengejarnya. Ya, Sakti mulai percaya bahwa wanita itu benar hantu. Sakti kini percaya di dunia ini memang ada hantu gentayangan.
Sakti mengerem kakinya secepat kilat. Rupanya hantu itu mencegatnya di depan pintu gudang. Wanita bergaun putih itu mendekat. Sakti lantas mundur per langkah. Tanpa Sakti duga, sosok hantu wanita itu seolah terbang dan menyerang Sakti. Leher Sakti kembali menjadi sasarannya.
"Sak! Sakti!"
Sakti mendengar panggilan kedua temannya. Sakti meronta meminta tolong. Cepat-cepat Willi dan Fajar mendekat. Awalnya mereka berniat menyusul Sakti yang terlalu lama di kamar mandi. Tetapi dari jauh mereka mendapati Sakti tengah melawan wanita bergaun putih. Segera mereka berusaha melepaskan cekikan hantu wanita itu dari leher Sakti.
"Aaaaa." Fajar terhuyung ke tembok. Hantu itu melayangkan tangannya kepada mereka yang menghalangi.
"Fajar!" Willi terperanjat.
Sakti mengerahkan semua tenaganya. Dengan seluruh kekuatan, Sakti menendang tubuh si hantu dengan kakinya. Hantu itu melayang di udara, kemudian jatuh mendarat di lantai. Setelah berhasil meloloskan diri, Sakti berlari menghampiri Fajar. Willi turut membuntuti dari belakang.
"Lo gak apa-apa?"
Fajar mengangguk. Tak ada luka serius. Hanya punggungnya terasa linu.
"Kepala lo berdarah?" Sahut Fajar melihat rambut Sakti yang kemerahan. Willi ikut memekik.
"Bukan. Gue baik-baik aja. Ayo balik ke kelas!"
"Hantu itu ke mana?" Tanya Willi. Sakti menggeleng. Entahlah, yang penting kini hantu wanita itu sudah pergi.
Mereka memapah Fajar. Masing-masing berpikir bahwa benar mereka adalah target si hantu untuk dijadikan tumbal. Fajar mengaduh beberapa kali. Ia tidak menginginkan mati muda. Apalagi penyenyab mereka meninggal adalah korban tumbal hantu gentayangan. Rasanya tidak lucu sama sekali. Sedang Sakti, ia merasakan sesuatu yang aneh. Namun ia sendiri merasa bingung karena tidak menemukan jawabannya. Di kepalanya hanya terpajang kalimat 'Ini aneh. Tapi apanya yang aneh?' Sementara itu, Willi penasaran kemana perginya si hantu. Willi jelas melihat hantu itu terpental saat Sakti menendang perutnya. Willi lupa bahwa hantu dapat menghilang.
"Pak Narto!" Fajar memanggil Pak Narto yang tampak tergesa-gesa. Ketiganya cepat-cepat menyusul guru mereka.
"Pak, ada hantu, Pak." Sahut Fajar tanpa basa-basi. Pak Narto menghentikan langkahnya. Ia mencoba menanggapi muridnya.
"Ada hantu di kamar mandi, Pak." Fajar kembali membuka mulut.
"Air di kamar mandi berubah menjadi darah." Tambah Sakti.
"Kepala kamu berdarah? Kamu juga Fajar, kenapa kamu?" Pak Narto menunjuk rambut Sakti dan melihat Fajar memegangi pinggangnya.
"Bukan darah. Tadi saya mencuci rambut saya. Saya gak tahu kalau yang keluar dari keran ternyata darah."
"Serius? Gimana bisa?" tungkas Willi tak percaya.
"Saya nyaris mati gara-gara hantu itu, Pak. Uh? Tangan Bapak kenapa berdarah?" Fajar menemukan tangan Pak Narto kemerahan.
"Oh," Pak Narto cepat-cepat menyembunyikan tangannya. "Tidak apa-apa, tangan Bapak sedikit tergores paku saat membetulkan kursi di gudang.
Sakti mangguk-mangguk paham. Saat berjalan ke kamar mandi, Sakti melihat gurunya memang memasuki gudang.
"Tunggu, Bapak dari gudang?"
Pak Narto mengangguk sebagai balasan pertanyaan Willi.
"Bapak gak lihat hantu di sana? Tadi kami diserang hantu di sana, Pak." Fajar mengadu.
"Tidak ada apa-apa. Sebaiknya kalian kembali ke kelas. Jangan berbicara aneh-aneh!" Pak Narto mengambil langkah meninggalkan anak didiknya. Ketiganya merenggut karena sepertinya guru mereka tidak mempercayai kejadian yang baru saja mereka alami.
Alih-alih kembali ke kelas untuk belajar, mereka bertiga kembali ke kelas untuk mengambil tas mereka. Ketiganya berencana bolos. Mereka berpura-pura mengantar Fajar pulang karena pinggangnya kseleo. Fajar berakting kesakitan agar ketua kelas mengizinkan.
Sakti, Willi, Fajar, sejak 30 menit lalu tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Ketiganya membisu menyelami isi kepala mereka yang menyimpan banyak pertanyaan. Bola mata mereka menerawang mengawasi bangunan tua di seberang. Desain serta interiornya tampak model jaman dulu. Anehnya, di siang hari pun bangunan tua yang dibiarkan usang dan kosong itu terlihat menyeramkan. Ditambah pemandangan hijau nan rindang pohon beringin yang tumbuh lebat di lahan kosong samping bangunan tersebut membuat nuansa seakan tidak bersahabat.
Fajar sudah membayangkan hal-hal aneh. Ia sungguh takut bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa hari. Willi penasaran dengan cerita sebenarnya. Kenapa hantu itu menargetkan semua orang yang masuk ke kafe itu untuk dijadikan tumbal. Sedang Sakti, ia mulai ragu akan kepercayaannya bahwa di dunia ini tidak ada hantu. Pertahanan Sakti mulai goyah. Kini ia memercayai bahwa hantu gentayangan memang ada. Bahkan dirinya adalah contoh korban yang hampir mati dicekik hantu gentayangan.
"Kok rasanya ada yang ganjal ya?" Celetukan Fajar membuat kedua temannya saling menoleh.
"Lo ngerasa kayak gitu juga?" Willi tak percaya seorang Fajar yang lemot dapat berpikir demikian.
"Lo tahu kan si Mirna yang diracun sama si Jessica Wongso? Gue gak pernah denger tuh di berita kalau si Mirna gentayangan. Dia pan diracun sianida juga. Tapi kenapa yang diracun sianida di kafe ini gentayangan?"
Sakti dan Willi tampak anteng mendengar cerita Fajar. Memang terdengar konyol dan tidak penting, namun cukup masuk akal.
"Biasanya yang gentayangan kayak gitu, dia punya dendam," sahut Willi.
"Dendam?" Fajar dan Sakti menyahut bersamaan. Willi mengangguk pasti.
"Jadi maksudnya, hantu cewek itu ingin membalaskan dendam sama orang yang ngeracunin dia? Terus kenapa dia ngejer-ngejer kita? Kita kan gak tahu apa-apa."
"Mungkin karena hantu cewek itu mengira bahwa orang yang masuk ke kafe itu adalah pelakunya." Willi membalas ucapan Fajar.
"Berarti tuh hantu salah fokus!" Tuding Fajar. Sakti dan Willi kompak mendengus.
Mereka kembali menghanyutkan diri ke dalam perandaian dan pertanyaan yang mereka miliki mengenai kafe kematian tersebut. Andai saja mereka tidak masuk ke kafe itu. Andai saja mereka tidak bermain-main dengan game truth or dare. Andai saja mereka tidak melakukan apa-apa, mungkin hantu kafe itu tidak akan menargetkan mereka sebagai tumbalnya.
"Eh, eh, Pak Narto,"
Sakti beringsut pindah ke bagian belakang warung tenda yang sepi tak ada pelanggan. Sejak mereka duduk setengah jam lalu, mereka tidak mendapati pembeli yang masuk ke warung tenda itu. Pemiliknya pun tidak banyak bicara. Wanita setengah baya si pemilik warung tenda tersebut tampak judes. Willi dan Fajar mengikuti Sakti ke bagian belakang warung. Terlihat Pak Narto berjalan pelan dengan kantong kresek dan tas kerja di tangannya.
"Bisa gawat kalau Pak Narto tahu ternyata kita bolos." Panik Fajar.
"Kita gak bolos. Kita udah izin sama ketua kelas," sela Sakti. Mereka hanya tidak pulang ke rumah.
Willi menyembulkan kepalanya di balik tembok bambu warung tenda. Kulit dahinya membentuk lipatan. Sementara teman-temannya saling berdebat kecil, matanya menangkap gerak-gerik guru matematikanya.
"Hey, kalian! Ada yang tahu rumah Pak Narto di mana?" Bisik Willi seraya pandangannya tidak berpaling.
"Nggak." Sakti menjawab singkat.
"Bukannya gak ada satu pun siswa di sekolah kita yang tahu rumah Pak Narto?" Pangkas Fajar. Setahu dirinya, tidak ada teman sekelasnya yang tahu di mana tempat tinggal guru matematikanya tersebut.
"Lihat! Lihat! Pak Narto masuk ke kafe kematian."
Sakti dan Fajar bergantian menyembulkan kepala menoleh ke arah bangunan usang tersebut. Terlihat Pak Narto berdiri di depan pintu kafe. Kepalanya menoleh kanan kiri seolah mewaspadai sekeliling. Beberapa menit kemudian pintu kafe terbuka. Setelahnya, Pak Narto raib ditelan pintu. 3 sekawan itu membulatkan bola matanya.
"Kok Pak Narto bisa masuk?" Rasa heran yang Fajar rasakan dialami pula oleh kedua temannya.
"Lo berdua lihat Pak Narto pegang kuncinya?" Pertanyaan Sakti dibalas anggukan oleh yang lain.
"Jangan-jangan... kafe itu milik Pak Narto." Meski tidak yakin, Sakti dan Fajar menyetujui kemungkinan yang Willi pikirkan.
"Aya naon, Cep?"
Mereka bertiga terkejut saat suara berat di belakang mereka menyapa dengan logat sunda yang khas.
"Eh, gak ada apa-apa, Mang." Cepat-cepat Willi menjawab.
"Kunaon aya di dieu? Sekolahna libur kalian teh?"
Mereka bertiga mengangguk berjamaah. Dijelaskan panjang lebar pun seorang bapak yang mereka panggil mamang itu tidak akan mengerti.
"Emm, Mang. Apa Mamang tahu siapa pemilik kafe di seberang?"
Sakti tidak tahan untuk tidak bertanya. Hanya ada bapak berbadan mungil di depannya yang berkeliaran di sekitar sini. Ah, dan si ibu judes yang menjaga di warung.
"Oh, satu lagi, Mang. Apa Mamang tahu siapa yang meninggal karena diracun di kafe itu 5 tahun lalu?"
Rona wajah si bapak berubah gelisah. Untuk beberapa menit beliau hanya menunduk lantas menatap ketiga pemuda di hadapannya dengan ragu. Terlihat oleh ekor mata Sakti, si mamang meremas jari jemari tangannya. Sakti dibuat yakin bahwa si mamang mengetahui sesuatu.
"Sebenarnya... Neng Kemala bukan diracun. Neng Kema ..."
"Bapaaaakkk... ulah sok loba carita! Kadieu!" [1]
1 = Bapak, jangan banyak bicara! Kemari!
Sakti Cs mendengar teriakan si ibu judes penjaga warung. Dengan logat sunda yang kental, si ibu berteriak menyuruh suaminya kembali dan untuk tidak banyak bicara. Tanpa menyelesaikan kalimatnya, bapak berkumis lele itu pun tergesa meninggalkan ketiga pemuda yang kini semakin merasa penasaran dengan kafe kematian.
"Muhun, Bu. Sakedap!" (Iya, Bu. Sebentar!)
Ketiga siswa yang terlantar di belakang warung tenda itu menghela bersamaan. Untuk sesaat mereka saling pandang lantas menerawang ke segala arah. Memikirkan apa yang sedang terjadi sebenarnya hanya membuat kepala mereka pening. Kemudian mereka menyembulkan kepala mereka lagi, mencoba mengintip kembali bangunan kafe. Sunyi, senyap, bangunan bekas kafe itu mengandung banyak misteri. Satu hal lagi, kini mereka menyimpan banyak pertanyaan untuk guru matematika mereka.
"L-l-lihat!" Tunjuk Fajar. Nada suaranya bergumam pelan. Bola matanya menangkap sosok bayangan hantu wanita yang selama ini mengejar mereka. Dari balik kusen jendela yang tanpa kaca tersebut, Fajar mendapati sosok hantu wanita itu sedang memandang ke arah mereka. Tatapannya terlihat sendu. Perlahan wajahnya pun terhias garis darah.
"Cewek itu..." Sakti ikut memperhatikan arah telunjuk tangan Fajar.
"Kemala Evelyn." Tegas Willi.
Ketiganya seolah susah payah menelan ludahnya saat menyadari siapa hantu wanita yang selama ini mengejar mereka. Orang yang mati diracun itu namanya Kemala Evelyn. Ah, salah, menurut mamang berkumis lele itu, wanita yang bernama Kemala itu bukan mati karena sianida, melainkan... melainkan, mereka harus mencari tahu jawabannya.
"Bonekanya?" Tiba-tiba Sakti mengingat boneka barbie yang bertuliskan nama Kemala di belakang lehernya. Sakti kini yakin bahwa boneka itu adalah milik Kemala. Bisa saja selama ini Kemala merasuki boneka itu sebagai jalan membunuh tumbal-tumbalnya.
"Terakhir ada di rumah Fajar," sahut Willi.
"Oke, kita ke rumah lo, Jar."
Mereka terburu meninggalkan warung tenda serta kafe kematian yang kini menyimpan rasa penasaran untuk mereka. Sejenak Sakti mengawasi kembali jendela kafe yang menampakan bayangan Kemala di sana. Namun rupanya sosok hantu Kemala sudah hilang entah ke mana.
Sakti Cs mulai mengobrak-abrik kamar Fajar. Sayangnya boneka barbie tersebut tidak terletak di sudut manapun. Lantas mereka beralih mencari ke halaman rumah Fajar, tempat terakhir kali mereka menemukan bonekanya.
"Malam itu kita taruh bonekanya di mana?" Sakti mulai lelah. Mereka belum dapat menemukan keberadaan si boneka.
"Bukankah bonekanya kita bawa masuk ke dalam? Tapi kok gak ada." Fajar merasa heran. Seingatnya malam itu mereka terpaksa memungut boneka yang terkadang mengeluarkan darah dari pelipis serta sudut bibirnya tersebut.
"Ah, gue inget! Boneka itu kan bisa pindah sendiri." Fajar mengingat fakta bahwa dia tidak membawa boneka itu ke rumahnya, tetapi boneka barbie itu mendadak ada di kamarnya. Padahal Sakti berkata bahwa dia sudah membuang boneka itu.
"Cabut ke rumah gue!" Ajak Sakti.
Mereka pun berpindah tempat. Kini giliran rumah Sakti yang mereka acak-acak. Sialnya boneka itu tetap tidak mereka temukan. Boneka itu pun tidak berada di rumah Sakti.
"Mamaaaaaa... lihat boneka barbie gak di kamar Sakti?" Sakti berteriak bertanya pada mamanya. Takut mamanya menemukan kemudian membuang boneka barbie itu.
"Nggak. Mama gak lihat ada boneka. Tapi sejak kapan kamu main boneka, Sayang?" Mamanya balas berteriak dari arah dapur.
Sakti tak merespon. Dia mengajak kedua temannya untuk mendatangi rumah Willi. Bukan tidak mungkin boneka itu kini tergeletak di kamar Willi. Hanya rumah Willi yang belum mendapat teror si boneka.
"Kalau kita menemukan bonekanya, kita apa kan?"
"Kita bisa mencari petunjuk lewat boneka itu." Willi menjawab keingintahuan Fajar.
"Mencari petunjuk tentang apa? Kematiannya? Bagaimana bisa?"
Willi menghela. Memang akan menjadi rumit karena mereka hanya mengetahui bahwa boneka itu milik Kemala Evelyn, wanita yang kini gentayangan akibat cara meninggalnya yang tidak wajar, diracun sianida. Meski ada kemungkinan hal tersebut bukan alasan sebenarnya. Namun nama yang tertulis di leher belakang boneka itu bisa jadi sebuah petunjuk.
"Kita akan main jelangkung pakai boneka itu. Kita bisa tanya-tanya kan, kenapa hantu itu ngejer-ngejer kita. Kita juga bisa tanya kenapa dia bisa meninggal dan gentayangan."
"Hah?" Fajar melongo. Bukan karena pernyataan berani yang baru saja Sakti utarakan, tetapi karena kalimat yang Sakti ucapkan seperti bukan seorang Sakti yang mengatakannya.
"Lo percaya adanya hantu sekarang?" Tanya Fajar dengan wajah polos yang ia miliki.
"Di sini!"
Fajar dan Sakti tak sempat melanjutkan percakapan, mereka segera menghampiri Willi yang telah menemukan bonekanya. Benar saja, boneka barbie itu kini menyelinap masuk kamar Willi. Boneka itu tergeletak di bawah kolong meja belajar Willi. Hantu itu sungguh-sungguh berniat membalaskan dendamnya kepada mereka. Mereka bertiga pun saling melirik tak percaya.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices