Death Cafe

Reads
130
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

3. Teror Boneka Barbie

"What? Kalian berdua kembali ke kafe itu? Sinting!" Pekik Fajar tak percaya. Bisa-bisanya kedua temannya tersebut kembali mengunjungi kafe kematian. Dan mereka bilang, mereka melihat hantu wanita yang menarik kepalanya sendiri hingga terlepas dari badannya. Fajar tertawa sumbang saking tidak percaya dengan kebodohan kedua temannya. Dan kini Fajar yakin bahwa apa yang selama ini orang-orang katakan tentang kafe itu memang benar adanya.
"Wah, kacau! Gimana kalau kalian berdua jadi tumbal si hantu cewek itu?" Cemas Fajar merasakan hatinya tidak tenang.
"Gak mungkin," sahut Sakti. Fajar ingin sekali menjitak kepala Sakti karena tidak mengerti kenapa Sakti masih berlagak santai setelah apa yang terjadi.
"Maksud lo apanya yang gak mungkin? Jelas-jelas semalam kalian udah dijadiin target sama tuh hantu."
"Gak mungkin cuma kita berdua maksudnya. Lo juga jadi daftar targetnya, Jar."
Willi terbahak mendengar banyolan Sakti. Di saat tegang seperti ini, Sakti masih saja membuat lelucon.
Fajar mati kutu. Wajahnya berubah kaku. "G-gue?"
Sakti mengangguk yakin. Mungkin terdengar seperti sebuah gurauan, tapi ia sungguh bukan sedang bercanda. Bukankah malam pertama kali mereka datang ke kafe itu mereka pergi bertiga? Jadi Sakti meyakini demikian.
"Tapi kok gue merasa ada sesuatu yang ganjal ya?" Tungkas Willi serius.
"Gue juga. Mana ada hantu di dunia ini. Pasti ada yang ngerjain kita," ungkap Sakti meski hatinya tidak seratus persen yakin dengan pernyataannya barusan.
"Haha, Sakti... Sakti... lo gila?" Kesal Fajar. Dari cerita mereka tentang tadi malam, mereka berdua sangat ketakutan. Dan saat ini Sakti sedang berlagak keren dengan bilang bahwa mereka hanya dijahili? Tidak ada hantu sungguhan di kafe itu.
"Jangan main-main dengan hantu. Makhluk ghaib itu ada. Kalau kalian sompral, kalian sendiri yang akan celaka."
"Pak Narto,"
3 sekawan itu berdiri saat guru matematika mereka menyela percakapan mereka.
"Siang, Pak." Ketiganya serempak menyapa.
"Hmm, siang. Jam istirahat akan habis. Silakan kalian bersiap kembali ke kelas!" titahnya.
"Baik, Pak."
Sakti, Fajar, dan Willi, mereka beranjak dari kursi besi yang terletak di bawah pohon di taman sekolah. Kursi itu sudah menjadi tempat tongkrongan mereka saat jam istirahat selain kantin. Pak Narto mendecak. Anak-anak nakal itu selalu memiliki banyak topik untuk dibahas.
Sepanjang jam pelajaran, Sakti melamunkan banyak hal mengenai kafe kematian. Dengan sangat jelas, semalam di kamar atap itu tidak ada siapa pun. Namun tiba-tiba ada suara benda jatuh dan mendadak muncul sosok hantu wanita. Sakti mulai memiliki keraguan. Hatinya bertanya-tanya, apa benar hantu itu ada?
"Ey, gak mungkin."
"Apanya yang gak mungkin?" Fajar menyahut. Rupanya gumaman Sakti terdengar olehnya.
"Heh? Nggak." Sakti berbohong.
"Gak ada yang gak mungkin di dunia ini. Termasuk adanya hantu gentayangan," cecar Fajar sedikit ceramah. Sakti menanggapi tak acuh.
"Kalian berdua! Jika mau ngobrol silakan keluar!"
Sakti dan Fajar seketika bungkam saat guru yang sedang mengajar menegur mereka. Sakti pun kembali merenung. Sesungguhnya apa yang dia lihat?
***
Sakti meregangkan otot-otot sendinya. Pergi ke sekolah untuk belajar banyak pelajaran membuatnya jenuh. Tapi, hanya sekolah tempatnya bersenang-senang. Ia dapat mengusili teman-temannya saat merasa bosan di kelas.
"Ma! Sakti pulang!" Teriaknya saat memasuki rumah.
"Anak Mama sudah pulang. Sini, Sayang. Muah, muah. Emm, bau asem. Gimana pelajarannya?"
Begini, mengapa Sakti tidak betah di rumah. Ia sudah kelas 3 SMA, tapi mamanya masih memperlakukan Sakti seperti anak TK. Barangkali karena Sakti anak satu-satunya, Sakti diperlakukan dengan sangat manja. Orang tuanya over protektif terhadap apa yang Sakti lakukan. Maka dari itu, akan hancur imej Sakti sebagai siswa badung bila teman-temannya tahu bagaimana Sakti di rumah. Sakti akan menjadi seorang anak yang penurut.
"Sakti ke kamar dulu, Ma."
"Mandi ya, Sayang. Nanti turun untuk makan."
Sakti hanya melambaikan tangannya dan mulai menaiki anak tangga.
"Ah, iya. Ada kiriman paket untuk kamu."
Sakti berhenti, ia berbalik menuruni anak tangga melihat mamanya membawa kotak besar berwarna cokelat.
"Dari siapa, Ma?"
"Gak ada nama pengirimnya," jawab Sang mama.
Kemudian Sakti membawa kotak itu ke kamar. Kotaknya tampak besar, namun tidak berat. Sakti penasaran apa isinya. Sebelumnya ia tidak pernah mendapatkan paket. Hari ini juga bukan hari ulang tahunnya ataupun ada sesuatu hal yang istimewa.
Sakti terkejut. Ia nyaris terjungkir dari kasur karena kaget. Kotak berwarna cokelat yang dikirimkan untuknya berisi boneka barbie. Tidak salah lagi. Itu boneka barbie yang Sakti lihat di kafe kematian. Siapa yang mengirimnya?
"Apa maksudnya semua ini?"
Sakti segera menghubungi kedua kawannya. Tak butuh waktu lama untuk Fajar dan Willi sampai di rumah Sakti. Mereka berdua sama terkejutnya. Fajar yang memang baru pertama kali melihat boneka itu tak banyak bertanya. Awalnya Fajar pikir mungkin Sakti memiliki penggemar, dan penggemar itu memberi Sakti hadiah berupa boneka.
"Jelas-jelas semalam gue lihat di pelipis sama bibir boneka ini ada garis darah. Lo lihat gak, Sak?"
Sakti mengangguk. Bukan hanya Willi, ia juga jelas melihat ada noda darah pada boneka itu.
"Malam pertama, gue gak lihat ada darah. Tapi malam kedua, darah itu ada. Dan sekarang, gak ada darah sama sekali." Jelas Sakti.
"Mungkin boneka yang berbeda," tungkas Fajar. Tumben sekali otaknya sedang lancar.
"Mungkin juga," timpal Willi.
"Ah, gue ingat!" Sakti segera membalikan boneka barbie itu lantas menyibakan rambutnya. Boneka barbie di kafe kematian memiliki ukiran nama di leher belakangnya. Sakti mengerutkan dahi, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
"Kemala Evelyn. Nama yang cantik," puji Willi saat menengok ukiran nama yang tertera di leher belakang si barbie.
"Kemala? Bukankah... "
"Apa? Lo tahu sesuatu?" Todong Sakti.
"Bukankah namanya sangat cocok buat jadi hantu? Ke-ma-la, hih!"
Sakti dan Willi menoyor kepala Fajar bergantian. Fajar mengaduh lantas merebut bonekanya. Ia memperhatikan boneka itu dengan seksama. Tidak ada yang aneh, sama seperti boneka pada umumnya.
"Kalian yakin ini boneka yang sama dengan boneka yang kalian lihat di kafe? Tapi gak ada yang aneh sama bonekanya," ucap Fajar.
"Gue yakin. Gue sempat melihat ukiran nama itu di lehernya. Boneka yang sama, dan nama yang sama!" Tegas Sakti. Ia kebingungan, siapa yang mengantarkan boneka itu ke rumahnya.
"Gimana bisa bonekanya sampai sini? Apa ada seseorang yang sengaja mengirimnya untuk menakuti kita?" Willi mulai menyimpan curiga.
"Bisa jadi. Tapi... tentang yang meninggal di kafe itu, kalian tahu siapa? Maksud gue, yang mati di sana hanya pelanggan biasa atau pemilik kafe itu?" Sakti mulai penasaran dengan cerita horor yang katanya sudah melegenda di masyarakat.
"Gak tahu juga. Kayaknya cuma pelanggan biasa," sahut Fajar. Ia masih bermain-main dengan boneka barbie yang terlihat sangat cantik.
"Gue juga gak tahu. Tapi katanya sih, cewek seumuran kita. Kalau udah 5 tahun yang lalu berarti..." Willi menghitung jarinya, "Mungkin sekarang umur dia udah 23 tahun."
"Seriusan matinya karena diracun?" Sakti semakin penasaran.
"Katanya." Singkat Willi. Dia pun tidak tahu benar apa salah. Dia hanya sering mendengar tentang kisah kafe kematian itu dari orang-orang.
"Anjir!" Fajar memekik seraya melemparkan boneka barbie itu dari tangannya. Jantungnya tersentak kaget. "M-m-matanya nyala." Tunjuk Fajar.
Sakti dan Willi kebingungan. Kemudian mereka meraih boneka yang Fajar lempar. Tidak ada yang aneh. Boneka itu baik-baik saja selayaknya boneka yang berjejer di toko mainan.
"Serius. Gue lihat matanya bersinar jadi biru. Dia juga senyumin gue. Gue yakin ini emang boneka hantu. Buang, Sak! Lo harus buang bonekanya." Fajar mulai meracau. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia sedang asik memperhatikan boneka tersebut, namun tiba-tiba sebuah sinar biru muncul dari kedua bola mata si boneka.
"Aaaaaa." Willi kembali melempar boneka yang diraihnya. Ia terkejut dengan apa yang matanya temukan. "Darah," singkatnya
Ketiganya mengawasi boneka yang kini tergeletak di sudut tembok kamar. Darah segar mengucur dari pelipis dan sudut bibir si boneka barbie. Pelan-pelan tangan serta kaki boneka itu bergerak. Boneka itu kemudian berdiri dengan sendirinya. Bola matanya yang belo mengeluarkan pendar biru seperti laser. Bibir tipisnya melengkung membuat senyuman misterius. Seperti sebuah boneka yang dapat bergerak karena remote, boneka itu mulai berjalan kaku mendekati si pemilik kamar beserta kedua temannya.
"Aaaaaaaaaaaa." Mereka bertiga berteriak sembari melempar bantal dan segala macam benda yang ada di dekat mereka ke arah boneka yang mendadak dapat berjalan tersebut. Fajar mepet-mepet bersembunyi di balik punggung kedua temannya. Sedang Willi dan Sakti mencoba menyerang boneka itu dengan apa saja. Jantung mereka bergemuruh hebat. Bintik peluh bermunculan di sisi wajah ketiganya.
"Ini ada apa sih, hah? Kenapa gue harus lihat hantu." Rengek Fajar benar-benar ketakutan. Matanya mulai berkaca-kaca ingin menangis.
Tiba-tiba boneka itu berhenti bergerak. Boneka itu kembali tergeletak di lantai. Darah di wajahnya mulai mengering. Sinar birunya tidak lagi tampak pada bola matanya. Sakti, Willi, dan Fajar, mereka menghentikan aksi mereka. Mereka saling berpandangan tak paham. Sakti mulai merangkak dari tempatnya. Ia mendekati boneka hantu tersebut lambat-lambat. Fajar gemetar di sudut. Willi membuntuti Sakti yang menghampiri si boneka.
Suara isak tangis mulai terdengar. Rintihan kesakitan yang Sakti dan Willi dengar di kafe malam itu kembali terngiang di telinga mereka.
"Bo-bonekanya nangis?" Untuk Fajar, ini pertama kali ia mendengar desah kesakitan dari mulut si boneka.
Sakti masih mencoba mendekati boneka itu. Benar, suara tangis itu berasal dari boneka yang terkapar di lantai kamarnya. Telapak tangan Sakti gemetar. Ia mencoba menyentuh boneka tersebut, lalu...
"Aaaaa SAKTI!" Pekik Fajar dan Willi bersamaan.
Boneka itu mencekik leher Sakti. Sinar kebiruan di matanya muncul kembali. Tangannya yang kecil melingkar erat pada leher Sakti. Sakti menjerit berusaha menepis tangan kecil boneka tersebut.
"Anjir. Gimana ini?" Panik Fajar.
"T-tolongin gue," lirih Sakti.
Fajar teringat saat Sakti ketiduran di aula latihan karatenya. Sakti meneriakan kalimat serupa saat Sakti bermimpi. Sakti bukan mimpi dipeluk kuntilanak, namun dicekik boneka itu?
"Bantu gue, Jar!" Teriak Willi. Willi berusaha menarik boneka barbie tersebut dari tubuh Sakti. Wajah Sakti sudah memerah. Kedua telapak tangannya yang besar masih berusaha melepaskan tangan mungil si boneka dari lehernya. Fajar segera menghampiri kedua temannya. Ia membantu Willi menarik badan si boneka. Mereka tidak percaya boneka tersebut begitu kuat menempel di leher Sakti.
"Aaaaaaa." Willi dan Fajar terjengkang ke lantai. Mereka berhasil menarik si boneka menjauh dari leher Sakti. Sakti terbatuk-batuk berusaha menormalkan kembali pernapasannya.
"Lo gak apa-apa, Sak?"
Sakti menggeleng. Jika dia masih dapat bernapas, berarti dirinya masih baik-baik saja.
Mereka bertiga kembali mengawasi si boneka barbie yang terlempar ke kasur. Boneka itu tergeletak kaku. Tidak ada tanda-tanda bahwa boneka itu akan kembali bergerak. Perlahan mereka pun mendekat. Suara jantung mereka seolah terdengar oleh ketiganya. Boneka itu berangsur normal seperti layaknya boneka. Boneka barbie itu kembali menjelma sebagai boneka barbie yang cantik pada umumnya.
Klek! Pintu kamar Sakti terbuka tiba-tiba. Ketiganya nyaris berteriak sebelum tahu siapa yang datang.
"Kalian kok teriak-teriak, ada apa?" Mama Sakti datang dengan beberapa gelas berisi jus di nampan yang ia bawa.
"Gak ada apa-apa, Ma. Cuma lagi nonton film horor aja." Tidak mungkin Sakti memberitahu mamanya bahwa ada boneka berubah menjadi hantu.
"Iya, Tante." Willi dan Fajar serempak menimpali.
"Oh, iya, Ma. Mama beneran gak lihat siapa yang kirim paket untuk Sakti?"
"Nggak. Mama nemu paket itu di depan pintu. Ada nama kamu. Berarti paketnya untuk kamu."
Mereka bertiga kembali saling berpandangan. Dalam kepala masing-masing memiliki pertanyaan yang sama. Siapa pengirimnya?
Setelah mamanya Sakti meninggalkan kamar, mereka kembali berunding apa yang harus dilakukan. Fajar kukuh harus membuang boneka itu. Willi menyarankan untuk mengembalikan bonekanya ke kafe. Sakti dilema. Dia berpikir untuk kembali ke kafe dan melihat apakah boneka barbie yang dia lihat waktu itu masih ada di sana, atau boneka yang ada di kamarnya adalah boneka serupa.
"Buang aja, Sak. Buang jauh-jauh dari rumah kita. Biar hantunya gak ngikutin kita."
***
Fajar menguap di meja belajarnya. Berusaha menjadi anak baik memang sulit. Namun menjadi anak nakal pun hanya akan mendapat omelan dari orang tuanya. Fajar menutup bukunya lantas melompat ke kasur. Tak lupa lampu meja belajarnya ia matikan. Ia tidak dapat tidur bila lampu kamarnya terang benderang. Dalam menit kelima, Fajar mulai terlelap. Fajar tipe orang yang mudah tidur bila sudah menemukan bantal. Tidak seperti yang lain yang akan berkhayal dahulu sebelum memejamkan mata.
"Bukan salahku, kamu yang menyakitiku terlebih dulu."
Di sebuah lorong gelap Fajar mendengar gema suara. Fajar tidak tahu dia sedang berpijak di mana, tetapi di sekelilingnya gelap gulita. Fajar meyakini bahwa dirinya sedang berada di sebuah gua atau sebuah lorong kereta api. Sangat gelap, hanya di ujung lorong, Fajar melihat setitik cahaya.
"Bukan salahku. Kamu yang menyakitiku terlebih dulu."
Lagi, Fajar mendegar gauman suara. Kakinya mulai berjalan mendekati cahaya tersebut. Ia tidak tahu apa saja yang ada di jalanan yang ia pijaki. Ia hanya melangkah lurus mencoba mencari tahu sumber cahaya yang matanya tangkap.
Ternyata tak membutuhkan waktu lama untuk Fajar sampai ke tujuan. Fajar tiba di sebuah ruangan putih dipenuhi sinar. Sampai-sampai Fajar tidak tahu ruangan seperti apa yang ia datangi. Fajar mulai berkeliling mencari-cari sumber suara yang beberapa kali terdengar oleh kupingnya.
"Bukan salahku. Kamu yang menyakitiku terlebih dulu."
Kini suara itu terdengar jelas diikuti sebuah rintihan. Fajar mendengar isak tangis yang mengiringi gemaan suara wanita tersebut.
"Bukan salahku. Kamu yang menyakitiku terlebih dulu."
Akhirnya Fajar menemukan siapa yang menggumamkan kalimat itu berulang. Fajar melihat seorang wanita tengah menekuk lututnya. Gaun putih yang ia kenakan menutupi tubuhnya hingga di bawah lutut. Rambut ikal sebahu berwarna hitamnya berkilauaan. Fajar melangkah mendekat. Wanita itu masih sesegukan di tempatnya. Fajar ingin bertanya kenapa wanita itu menangis sendirian di tempat ini. Namun pada saat Fajar akan menyentuh pundaknya, wanita itu mengangkat kepala.
"Aaaaaaaaaaa." Fajar terbangun dari tidurnya. Mimpinya begitu mengerikan. Wanita berambut hitam sebahu itu memiliki wajah buruk rupa. Sebelah bola matanya nyaris mencuat keluar. Bagian pelipis serta sudut bibir wanita itu mengeluarkan darah segar. Tatapan matanya tajam namun begitu menyedihkan. Fajar meraih gelas minumnya lalu kemudian mengatur napasnya. Baru kali ini ia bermimpi menyeramkan. Fajar bertanya-tanya, apa ia lupa membaca doa sebelum tidur?
Fajar beranjak keluar kamar untuk pergi ke kamar mandi. Ia harus mencuci wajahnya supaya mimpinya yang ngaco tidak muncul lagi.
Air keran memercik pada wastafel. Fajar sibuk mencuci mukanya meski penasaran kenapa semua lampu di ruang tengah rumahnya padam. Tidak biasanya mereka mematikan lampu ruang tamu.
Wush... angin berhembus kilat namun kencang. Bulu kuduk Fajar meremang. Dari pantulan cermin ia melihat bayangan hitam. Setengah takut Fajar kembali mencuci wajahnya. Dilihatnya kembali kaca di hadapannya, tidak ada apa pun. Fajar menghela, ia hanya berhalusinasi.
"Loh? Ada apa nih?" Lampu kamar mandi berkedap-kedip. Fajar sedikit panik. Dalam pikirannya terlintas sudah pasti ada setan yang sedang mengganggunya. Fajar buru-buru membuka pintu. Pada saat itu Fajar bertabrakan dengan sosok berwajah putih. Yang tersisa hanya bola matanya yang hitam bergerak ke sana kemari.
"Aaaaaaaa setaaannnnn!" Tak ayal Fajar berteriak lantas terbirit-birit menemukan jalan menuju kamarnya. Keterkejutannya membuat Fajar seolah lupa ingatan.
"Kamu kenapa sih? Ini Mamih."
Fajar menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke arah pintu kamar mandi yang ternyata masih satu meter di belakangnya. Fajar memeriksa kebenarannya. Ia mengawasi bagian bawah tubuh sosok berpiyama tidur itu. Kakinya terlihat menapak pada lantai.
"Mamih? Mamih ngapain sih malem-malem maskeran? Nakutin Fajar tahu gak!"
Fajar benar-benar lega karena sosok di depannya memang benar maminya yang mengenakan masker pada wajah.
"Untuk perawatan, Nak."
Fajar menghampiri mamihnya. Ya, Fajar lupa mamihnya selalu memperhatikan penampilan. Meski sudah tua katanya harus tetap terlihat muda.
"Terus itu lampu kamar mandi kenapa kedap-kedip, Mih? Lampu ruang tamu juga mati."
"Lampunya padam berjamaah. Mamih lupa nyuruh Papih kamu benerin."
Fajar hanya melongo membentuk huruf o di mulutnya. Kemudian ia pamit kembali ke kamar tidurnya.
"Hati-hati loh, ini jam 2 malam. Nanti ada setan nemenin kamu tidur."
"Mamih!"
Mamihnya hanya cekikikan melihat raut wajah Fajar. Fajar cepat-cepat masuk kamar lantas mengunci pintunya. Takut juga kalau-kalau setan benar masuk kamarnya.
Deritan suara kasur empuk milik Fajar terdengar saat Fajar melentangkan diri. Selimut tebalnya ia kenakan hingga menutupi leher. Fajar meraba guling di sebelahnya untuk ia peluk. Bukan rasa lembut, Fajar justru merasakan tekstur gulingnya berubah menjadi keras. Fajar melongokan kepalanya ke dalam selimut mencari tahu apa yang salah. Bola mata Fajar nyaris mencuat dari kelopaknya saat Fajar mengetahui apa yang saat ini tangannya genggam. Boneka barbie yang dia lihat di rumah Sakti kini ada di kasurnya. Boneka itu menyunggingkan senyum misterius. Tak lupa sinar biru yang selalu keluar dari matanya diperlihatkan. Sejurus kemudian Fajar meloncat dari kasurnya menuju pintu. Fajar melihat boneka itu bergerak mengikutinya. Sepertinya adalah sebuah kesalahan bahwa Fajar mengunci pintu kamar. Kini Fajar sulit membuka pintu kamarnya yang terkunci karena rasa panik yang menguasai.
"Mamih... tolong, Mih! Mamih... Mih!" Teriaknya berulang kali. Berharap mamihnya masih ada di luar.
Boneka itu semakin dekat, dekat, dan dekat dengan Fajar. Fajar mulai berkeringat dan merasakan tubuhnya bergetar. Dalam sekali hentakan, boneka itu terbang dan menyerang Fajar. Bukan melawan, Fajar justru pingsan di tempat.
***
Malam berikutnya, Fajar memohon kepada kedua temannya untuk menginap di rumah Fajar. Setelah insiden jatuh pingsan gara-gara boneka hantu, Fajar tidak berani tidur sendiri. Yang membuat Fajar heran adalah, bagaimana bisa boneka itu tiba-tiba ada di kamarnya. Jelas-jelas boneka itu ada di rumah Sakti.
"Cepet tidur gih! Lo berisik banget, Jar!" Kesal Willi. Fajar memintanya untuk menginap, namun sampai detik jam berada pada pukul 11 malam, Willi belum memejamkan mata. Setiap kali kelopak matanya akan tertutup, Fajar membeo. Fajar memastikan teman-temannya masih ada di kamarnya.
"Tapi seriusan lo gak bakal ke mana-mana kan, Will?"
Willi memutar bola matanya, "Malem-malem gini gue mau ke mana sih? Udah ah tidur sonoh! Ngantuk nih gue."
"Sak, lo udah tidur?" Pertanyaan Fajar dibalas dengan dengkuran oleh Sakti. Biasanya Fajar akan mudah tidur, namun malam ini ia benar-benar gelisah. Segala macam sugesti bersarang di otaknya.
Angin bertiup kencang menerbangkan gorden kamar Fajar. Lampu kamar Fajar yang biasa dimatikan, malam ini tetap terang benderang.
"Hey, kalian. Bangun!" Tidak nyaman dengan suara angin yang bertiup, Fajar menowel kedua temannya yang mulai terlelap.
Suara kerotak terdengar dari luar. Fajar beringas mencubit tangan kedua temannya agar mereka bangun. Mau tidak mau Sakti dan Willi membuka mata mereka.
"Apaan sih lo?" Sakti jengkel setengah mati. Malam-malamnya kini tidak pernah terasa nyaman setelah dirinya memasuki kafe kematian.
"Tinggal merem doang apa susahnya sih, Jar? Jangan ganggu orang tidur kenapa." Sungut Willi.
Fajar tak bereaksi. Pandangannya tertuju pada jendela kamarnya yang kini setengah terbuka. Entah karena angin atau karena hal lain. Jakunnya naik turun tanda Fajar sedang merasa cemas.
"Li-lihat jendela!" Sahutnya terbata.
Willi dan Sakti mengikuti tatapan Fajar. Mereka bertiga memasang penglihatannya baik-baik. Sosok wanita berambut ikal sebahu dengan gaun putih di bawah lutut berdiri di depan jendela kamar Fajar. Jantung ketiganya mulai berdentam. Bola mata mereka membelalak memperhatikan sosok wanita tersebut. Wanita yang sama dengan yang ada dalam mimpi Fajar maupun Sakti. Wanita yang sama saat Willi lihat di kamar atap kafe kematian.
"S-siapa lo? Mau lo apa?" Tanya Sakti. Andai kesadarannya tidak hilang, Sakti akan menertawakan dirinya karena bertanya kepada hantu.
Fajar menggandeng erat lengan kedua temannya. Posisinya yang berbaring di tengah membuatnya lebih mudah untuk mencari perlindungan.
"Lo mau apa dari kita? Apa salah kita?" Kini Willi memberanikan diri berbicara. Dia penasaran kenapa setelah mereka pergi ke kafe kematian, hantu wanita itu selalu mengikutinya. Barangkali benar mereka akan dijadikan tumbal.
"Kita bukan tumbal yang tepat. Mending lo pergi aja!" Usir Fajar. Mental polosnya kembali dalam situasi seperti ini.
Sosok hantu wanita itu tidak bergerak sama sekali. Ia hanya menatap 3 sekawan itu dari luar jendela. Pandangannya melemah. Hantu wanita itu mulai memperlihatkan wajah kesakitan. Detik kemudian dia menangis. Bukan air mata biasa yang keluar, namun darah segar mengucur dari kedua matanya. Fajar, Sakti, dan Willi, mereka saling berpandangan. Mereka memutuskan untuk beranjak dari kasur. Fajar sibuk melindungi diri di balik punggung Sakti.
"Sebenernya mau lo apa? Kenapa selalu ganggu kita?" Cecar Sakti. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya bertanya kepada hantu.
Mereka bertiga mendekat ke jendela, memastikan sosok bergaun tidur itu dari dekat. Tiba-tiba sosok hantu itu mengeluarkan cahaya kebiruan dari matanya, lantas menghilang. Ketiganya terkejut. Mereka segera berlari mencari hantu wanita itu. Tidak ada jejak. Hantu wanita itu menghilang.
"Ke mana dia?" Fajar kini sok berani dengan menanyakan keberadaan hantu tersebut. Padahal sebelumnya ia hanya mengendap-endap melindungi diri.
Sakti sedikit heran. Dalam mimpinya, hantu wanita itu mencekiknya. Tetapi kini hantu wanita itu tidak melakukan apa-apa. Ia hanya menatap mereka lantas menangis darah. Begitu pula dengan Willi, ia merasa ada yang aneh. Hantu wanita yang ia temui di kamar atap waktu itu, hantu itu mengejarnya. Tapi kini hantu itu hanya memandangi mereka dari luar jendela.
"Eh, apaan tuh?" Fajar menunjuk kaca jendela kamarnya. Sesuatu menempel di sana.
"Itu sebuah tulisan." Tambahnya lagi.
Sebuah kalimat tertulis di kaca. Horornya, kalimat itu tertulis bukan dengan tinta, melainkan dengan cairan kental berwarna merah. Darah itu mengucur pelan di kaca. Mereka bertiga melompat keluar melalui jendela untuk memastikan apa yang tertulis di kaca bagian luar tersebut.
Bukan salahku. Kamu yang menyakitiku terlebih dulu.
Ketiganya saling menatap tak mengerti. Berkali-kali mereka mengulang membaca kalimat tersebut, akan tetapi tidak menemukan jawaban.
"Kamu yang menyakitiku terlebih dulu? Salah kita apa?" Fajar mulai mengoceh. Dia juga menceritakan mimpinya bahwa ia mendengar kalimat yang sama dengan apa yang tertulis di kaca.
"Gue gak ngerti. Gimana bisa beneran ada hantu di dunia ini?"
Fajar dan Willi tidak percaya dengan apa yang baru saja Sakti katakan. Di saat mereka bingung memikirkan apa yang telah mereka buat, Sakti sibuk meragukan pemikirannya tentang hantu.
"Boneka ini? Gimana bisa ada di sini?"
Fajar langsung memekik saat Willi menemukan boneka barbie di rumput. Noda darah tergores di wajah boneka tersebut.
"Apa hantu itu keluar dari sana?" Pertanyaan konyol Fajar lontarkan seraya menunjuk bonekanya.
"Gak mungkin. Bisa saja hantu itu merasuki boneka ini." Balas Willi.
"Tunggu, boneka itu udah gue buang."
"Kapan?" Tanya Willi dan Fajar bersamaan.
"Sebenernya, gue langsung buang boneka itu pas kalian pulang daai rumah gue. Gimana bisa sekarang bonekanya ada di sini?"
"Anjir." Fajar sedikit kesal mendengar penjelasan Sakti. Jadi, sebenernya malam kemarin saat boneka itu menyerangnya, boneka itu tidak ada di rumah Sakti? Sakti membuangnya? Dan boneka itu malah pergi ke rumahnya? Fajar tertawa dalam hati. Dia tidak menduga hidupnya akan menjadi kacau.
"Jadi boneka itu ngikutin gue sampai rumah?" Fajar masih tidak percaya.
"Yang terpenting sekarang bukan itu. Kita harus cari tahu, apa boneka ini ada hubungannya dengan hantu wanita itu ataupun kafe kematian. Atau mungkin ada sesuatu yang lain. Bisa jadi kan?"
Fajar tidak tahu bagaimana seorang Willi mendadak jadi pemberani. Dan kini Willi berlagak jadi detektif yang akan memecahkan kasus horor? Tak ayal Fajar benar-benar tertawa. Sedang Sakti bergelut dengan pemikirannya sendiri. Sakti masih tidak percaya bahwa kini dia berurusan dengan hantu.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices