by Titikoma
7. Death By Chocolate
Warga berkumpul di sekitar area kafe kematian. Garis polisi melintang memperingatkan warga agar tidak mendekat. Beberapa pria berseragam tampak berjaga-jaga di luar. Sebagian lagi masuk ke dalam. Masyarakat pun kembali berdesas-desus mengenai cerita kafe kematian yang selama ini beredar.
"Kesalahan kita cuma satu. Tidak menguburkan dia dengan layak."
Tiga sekawan itu mengerti. Berat bagi Karin untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Tetapi mereka sangat berterima kasih karena Karin mau berbicara terus terang kepada mereka.
Setelah si mamang lele menceritakan kejadian yang diketahuinya 5 tahun silam. Sakti, Willi, Fajar, mereka mengejar Karin. Setiap hari di sekolah mereka mendekati Karin untuk bertanya banyak hal mengenai kafe kematian. Bukan bermaksud menyudutkan, mereka hanya ingin tahu kebenarannya. Tentu, awalnya Karin bungkam. Ia selalu menghindar setiap kali tiga sekawan itu menghampirinya.
"Gue gak tahu apa-apa."
Akan tetapi setelah Willi menyodorkan bukti-bukti berupa foto yang Willi ambil dan juga barang yang mereka temukan, mau tidak mau Karin pun mengaku.
"Pak dhe gue gak salah. Itu hanya sebuah kecelakaan. Dan kami terlalu takut orang lain akan tahu tentang apa yang terjadi. Pak dhe merasa menyesal. Pakde selalu menyebut bahwa dia yang membunuh Kak Kemala. Tapi gue berani bersumpah, itu semua hanya ketidaksengajaan."
Semua yang terjadi memang berawal dari Kemala. Jiwa Kemala yang terguncang membuat Kemala cenderung menyakiti dirinya sendiri dan orang lain. Kemala meninggal karena penyakitnya sendiri. Sebab Kemala gentayangan, itu karena Karin dan Pak Narto menguburkan Kemala dengan tidak semestinya.
"Sebenernya Kemala benar gentayangan atau cuma akal-akalan lo sama Pak Narto doang? Jangan-jangan... selama ini yang jadi hantu itu elo?"
Karin mengangguk. Ia mulai terisak. Selama ini ia memang menyamar sebagai hantu atau kuntilanak untuk menakuti warga sekitar. Malam itu Karin melihat teman sekelasnya memasuki death cafe. Karin sejujurnya tidak ingin mengusili mereka, namun Karin takut rahasia yang tersimpan selama 5 tahun akan terbongkar. Alasan Karin dan Pak Narto bersekongkol untuk menakuti orang-orang yang mendekati atau memasuki kafe adalah agar mereka menjauhi kafe yang sengaja ditutup setelah kejadian tak terduga tersebut. Mereka takut orang-orang akan mencium tindakan mereka yang memang di luar sadar.
"Anjir, jadi selama ini hantu itu gak ada?" Fajar menggeleng tak percaya.
"Gue emang sering nyamar jadi hantu, tapi... Kak Kemala benar gentayangan kok. Gue pernah lihat penampakan dia. Wajahnya terlihat sedih. Gue sangat menyesal, tapi gue gak tahu harus berbuat apa. Begitu juga dengan Pak dhe."
Bila dipikir-pikir, mereka bertiga memang melihat bayangan berbeda dari hantu Kemala yang mendatangi mereka. Kadang wajahnya terlihat begitu pilu, kadang tampak beringas.
"Lalu soal boneka yang nyekik gue? Apa itu cuma boneka mainan yang lo gerakan pakai remot?" Sakti masih merasakan bagaimana napasnya sesak saat boneka barbie itu mencengkram tulang lehernya.
"Boneka? Gue gak tahu apa-apa tentang boneka. Gue justru sering merasa aneh karena boneka itu. Kadang boneka itu ada di kafe, kadang gak ada."
"Anjir." Lagi-lagi Fajar memekik. Antara kesal dan merasakan tubuhnya meremang. Kemala benar merasuki boneka barbie miliknya.
"Itu boneka kesayangan Kak Kemala. Kak Kemala tidak akan pernah membiarkan orang lain menyentuh bonekanya."
Sakti terhenyak. Selama ini ternyata dia berhadapan dengan hantu sungguhan. Haruskah Sakti benar-benar percaya bahwa hantu itu ada? Tak dapat dipungkiri bahwa Sakti merasa aneh bila harus mempercayai rumor jikalau orang yang telah meninggal dapat gentayangan. Kini ia melihat dan merasakan sendiri bagaimana ia terlibat dengan sosok orang yang sudah meninggal dan bergentayangan sebagai hantu. Sakti dibuat merinding.
"Tentang racun sianida."
"Gue yang menyebarkan berita bohong itu." Karin menyela ucapan Willi. "Gue sengaja membuat gosip. Gue tahu gue salah, tapi pada saat itu gue bener-bener takut. Gue cuma gak mau Pak dhe terus menyalahkan dirinya sendiri. Dan itu ide gue buat nakutin orang-orang."
Tiga sekawan itu menghela bersamaan. Sebuah penyesalan dan rasa bersalah memang terkadang menjadikan kita sebagai seseorang yang berpikir rumit. Kadang kita akan segera tersadar dan meminta maaf atas kesalahan tersebut, terkadang pula justru kita melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan.
Tim forensik keluar dengan membawa kantong berwarna oranye dari dalam kafe. Mereka menemukan tulang benulang yang diyakini berasal dari bagian-bagian tubuh Kemala. Karin dan Pak Narto menguburkan Kemala di bawah lantai dapur kafe. Waktu itu bisa saja mereka melakukannya tanpa sadar.
"Semua akan baik-baik aja." Willi menepuk pundak Karin. Karin diapit dua bapak polisi di sampingnya.
"Nanti kita akan menyusul ke kantor polisi," sahut Sakti. Karin mengangguk seraya tersenyum tipis. Para petugas polisi pun menggiring Karin ke dalam mobil dinas mereka.
Sama halnya dengan Karin, Pak Narto pun dikawal dua orang polisi. Raut wajahnya tidak terlihat baik-baik saja. Mereka bahkan melihat Pak Narto beberapa kali meneteskan air mata. Entah karena merasa menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Atau karena dia tak kuasa melihat jasad putri dari seorang wanita yang pernah dicintainya dulu. Pak Narto tampak terus menunduk berjalan ke dalam mobil diiringi langkah bapak polisi.
Para warga mulai sibuk menggosip. Sakti Cs merasa lega dan juga merasa bersalah. Setelah Karin menjelaskan kepada mereka, mereka dibuat dilema. Antara melaporkan kejadian yang sudah lima tahun berlalu itu, atau berpura-pura tidak tahu menahu tentang apa yang telah terjadi. Seperti yang dilakukan si mamang lele dan istrinya selama ini. Tetapi pada akhirnya mereka memberanikan diri melapor kepada pihak berwenang. Tentu mereka lakukan setelah meminta pendapat Karin. Karin sendiri mengiyakan karena ia sudah tidak sanggup lagi mengarang cerita dan berpura-pura menjadi hantu untuk menakuti warga. Ia juga terlalu takut untuk melaporkan perbuatannya.
"Terima kasih, Mang. Mamang sudah membantu kami," ucap Sakti tulus. Si mamang berkumis lele itu membalas uluran tangan Sakti.
"Sama-sama, Cep. Berkat kegigihan kalian, Mamang juga berani untuk bercerita."
Mereka bertiga memahami apa yang si mamang dan istrinya rasakan. Pantas saja mereka tidak takut berjualan di kafe kematian. Ternyata cerita mengenai hantu yang meminta tumbal memang hanya sebuah kebohongan.
"Ibu minta maaf. Ibu hanya takut celaka," sahut istri si Mamang Lele.
Akhirnya terungkap sudah bagaimana cerita sesungguhnya. Tidak ada yang mati karena diracun sianida saat minum kopi di kafe tersebut. Mungkin memang benar bahwa Kemala terkadang menampakan diri, tapi tidak sampai meminta tumbal. Orang yang merasa bersalah karena tak sengaja membuat dia menghembuskan napas terkahirnya lah yang selama ini membuat para warga ketakutan. Desas-desus serta rumor yang beredar hanya karangan fiktif belaka.
***
Beberapa bulan kemudian
Istilah horor tidak hanya terdapat di film-film atau dalam sebuah buku saja. Kejadian horor dan mistis terkadang memang nyata terjadi. Sakti yang awalnya tidak memercayai keberadaan hantu, kini ia mulai percaya. Setelah merasakan dan melihat sendiri penampakan makhluk yang sering tak kasat mata tersebut, Sakti kini lebih berhati-hati dalam berbicara.
Fajar sendiri yang sejak awal memang takut hantu, ia semakin yakin bahwa di dunia ini masih dihuni oleh para orang yang telah meninggal walau ia tak bisa melihatnya. Hantu gentayangan memang ada. Dan itu karena kematian mereka terjadi secara tidak wajar. Mereka gentayangan karena ingin menuntaskan segala permasalahan yang terjadi ketika mereka hidup. Semacam memiliki dendam atau sebuah penyesalan.
Sementara Willi, ia bangga dapat membantu mengakhiri rumor palsu yang selama ini beredar di sekitar tempatnya tinggal. Di sisi lain Willi merasa bersalah harus menyeret guru matematika serta teman sekelas mereka ke kantor polisi. Untungnya, Karin tidak perlu merasakan tinggal di balik jeruji besi. Karin mendapat pelepasan bersyarat karena masih anak sekolah. Sedang Pak Narto, ia mendapat pasal percobaan penganiayaan hingga korban meninggal dengan hukuman penjara kurang lebih 7 tahun.
"Sudah beberapa bulan berlalu tapi gue masih merasakan gimana takutnya gue sama kafe ini. Hih." Fajar mulai mengoceh kembali.
Mendengar kata horor saja, pastinya sudah sangat menakutkan. Apalagi jika berbicara soal hantu. Bagi sebagian orang lebih baik tutup kuping ketimbang mendengarnya. Sama halnya dengan tiga sekawan itu. Mereka tidak kapok berurusan dengan hantu. Tapi kalau bisa, mereka tidak ingin sekali lagi terlibat dengan hantu.
"Woy, di sini!" Fajar melambaikan tangan ke arah pasangan yang... ehem, mereka kini pedekate sungguhan. Sakti latah ikut mengangkat tangannya.
Willi dan Karin menghampiri Sakti sekaligus Fajar yang sudah standby sejak sore hari. Willi menyelesaikan dulu ekskul fotografer yang diikutinya lalu kemudian menjemput Karin.
"Kalian sudah pesan?" tanya Karin. Ia menarik kursi lantas duduk satu meja dengan ketiga cowok itu.
"Udah dong. Gue pesen pancake scary snake kesukaan gue." Fajar menyergah lantang.
"Kalau soal makanan, dia nomor satu," celetuk Sakti.
"Bukannya elo yang selalu laper?" Serang Fajar. Willi menggeleng maklum. Kedua kawannya memang sering berdebat hal tidak penting. Bahkan mereka bertiga terkadang membahas hal-hal ngaco. Sakti tak membalas, ia kembali terdiam.
"Kamu mau pesen apa?"
"Cie kamu..." Fajar beralih menggoda Willi yang entah sejak kapan membuat panggilan aku-kamu di antara dirinya dan Karin. Willi berpaling tak menanggapi.
"Aku hot chocolate aja deh."
"Gak makan?" Karin menggeleng. Willi pun memesan hidangan untuk mereka.
"Tiap kali datang ke kafe ini gue selalu kangen Kak Kemala." Gumaman Karin membuat ketiga pemuda itu tertegun sesaat. Mereka pun tidak akan pernah melupakan hantu yang bernama Kemala Evelyn tersebut. Mereka memang tidak mengenal siapa Kemala. Akan tetapi setelah melalui kejadian horor kemarin, mereka seakan telah lama mengenal Kemala. Kemala seperti teman sekolah mereka sendiri.
Setelah ditemukannya raga Kemala yang berupa tulang, akhirnya nama kafe kematian kembali bersih. Pak Narto pun mencoba memasang iklan untuk menjual bangunan miliknya. Tak disangka ada yang tertarik membeli bangunan usang dengan banyak rumor aneh tersebar tersebut. Si pembeli mengatakan bahwa latar belakang kafe kematian itu menarik. Sehingga kini si pembeli pun menyulap kembali bangunan kosong itu menjadi sebuah kafe.
Death by chocolate, si pemilik kafe menamakan kafe yang dibukanya sekarang. Sesuai namanya, kafe yang berada di wilayah Bogor Tengah itu memiliki konsep yang menyeramkan, dengan dipasangkan hiasan seperti tengkorak dan hantu-hantu di beberapa sudut ruangannya.
Tidak hanya konsepnya saja yang horor, menu makanannya pun dibuat serupa dengan hantu. Ada beberapa menu andalan, seperti Chocolate cake "Death by Chocolate" atau Pancake Stawberry Wajah Hantu yang wajib dicoba. Ada lagi yang membuat kafe ini tampak unik. Setiap weekend, pelayan di sini akan menghias wajah mereka menyerupai hantu. Kostum yang mereka pakai pun ala-ala hantu populer macam kuntilanak, pocong, drakula, zombie, dan yang lainnya.
"Argh." Fajar memekik saat pelayan berkostum pocong dengan wajah yang sudah dicorat-coret make up menghampiri meja membawakan pesanan mereka.
"Anjir! Gue udah sering ke sini tapi masih suka kaget kalau mereka muncul tiba- tiba."
Sakti, Willi, dan Karin cekikikan. Meski Fajar bilang bahwa kini dia sudah menjadi pemberani, tetap saja Fajar akan berteriak jika ia menonton film horor atau suasana berubah gelap gulita.
"Sekali penakut tetep aja penakut," ejek Sakti tak tahan. Fajar hanya mengangkat kepalan tinjunya.
"Gue seneng kafe kematian ini kembali hidup," ucap Karin. Ia menerawang dan kembali merasa bersalah atas kejadian 5 tahun lalu.
"Jadi sekarang namanya kafe kehidupan dong." Fajar meladeni ucapan Karin dengan gurauan. Sakti dan Willi menjulingkan mata mendengar candaan Fajar yang garing abis.
"Eh, kita foto," sahut Willi mengeluarkan kameranya dari dalam tas. Tangan Willi selalu gatal bila ada momen menarik yang tak dipotretnya. Fajar dan Karin antusias bersiap pasang gaya paling alay. Sedang Sakti mempertahankan imej coolnya.
"Satu, dua, ti...ga." bunyi cekrek terdengar menampilkan keempat remaja yang tersenyum lebar dengan berbagai macam pose. Tidak jauh di belakang mereka sosok bergaun putih tampak berdiri melihat ke arah mereka dengan lengkungan kecil di bibirnya. Bola matanya yang berwarna kebiruan berbinar indah. Benar kata Fajar, kini kafe kematian bukan lagi kafe kematian, melainkan kafe kehidupan. Kehidupan baru untuk sebagian atau semua orang.
TAMAT