kepentok kacung kampret
Kepentok Kacung Kampret

Kepentok Kacung Kampret

Reads
211
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

11. Tak Tersisa

Dan sisa perjalanan bisa Temanggu Purbalingga cukup mencairkan kekakuan yang sempat tercipta di antara Renata dan Supeno.
Telah terbiasa menghadapi bawahan di perusahaan Ayah tirinya dan juga bernegosiasi dengan klien membuat Supeno lebih kalem dan dewasa dalam pembawaan. Dirinya telah banyak bermetamorfosis dari kehidupan melarat menjadi anak pengusaha yang tetap rendah hati.
Dia tidak marah jika teman-teman di kampusnya menganggap orang tak punya bahkan memang itulah yang Supeno inginkan. Semua fasilitas dari bapaknya tak akan dipakai saat ke kampus, biarlah semua mengira dirinya hanya orang miskin yang pantas disuruh-suruh dan memanggil dirinya kacung kampret, toh tak merubah apa-apa juga dalam keseharian.
Lebih nyaman dikenal sebagai orang biasa, coba kalau semua tau dia pewaris tunggal perusahaan DogCat yang terkenal di Yogyakarta pasti semua maunya dekat tapi kedekatan karena ada pamrih.
Demikian Rindu yang menjadi sahabat dekat pun tak tahu kalau dirinya sebenarnya bos sekaligus anak owner gerai kaos Geguyu salah satu produk favorit yang tengah digemari anak-anak muda manapun.
“Eh kayanya waktu tepat buat aku minta maaf peristiwa terfatal yang pernah aku lakukan padamu. Waktu lalu aku benar-benar gak bermaksud mempermalukan kamu karena aku menciummu, aku lakukan karena syok kamu yang tiba-tiba diam saat jatuh dari flying fox,” jelas Supeno.
“Iya sudahlah aku juga sudah gak mempermasalahkan, lupakan ....” balas Renata tersenyum dan selalu senyum itu membuat Supeno gelisah.
Lagu-lagu menemani laju Pajero putih menembus kegelapan jalan yang naik turun menuju kota kecil Purbalingga.
Melihat joglo ucapan selamat datang memasuki kota Purbalingga membuat Renata semakin gelisah. Supeno dapat menangkap kegelisahan yang terpancar dari wajah Renata.”Ren tenang semua akan baik-baik saja, kamu sabar ya,” Supeno coba menenangkan Renata.
Renata menekan senyumnya dan menarik nafas panjang. Supeno masih hafal jalan menuju rumah Renata yang terletak di perumahan elite.
Mereka memarkir mobil dan tampak rumah gelap gulita dan sangat sunyi, yang Supeno ingat di waktu lalu adalah rumah megah ini tampak tenang dengan penjagaan satpam yang terletak di dekat pintu gerbang masuk.
Tak menunggu lama untuk mengetahui ternyata ada papan segel bertuliskan. “RUMAH INI DISITA ATAS PERMINTAAN PEMERINTAH.”
“Mama, Mama di mana?” Renata tiba-tiba merasa lemas tubuhnya, jika Supeno tak segera menahannya dia akan jatuh.
“Ren, Ren!” sigap Supeno menahan tubuh Renata yang limbung dan membimbingnya kembali ke mobil.
“Kamu tidak apa-apa?” Supeno memastikan Renata baik-baik setelah duduk di dalam mobil.
“Pen, aku khawatir mama, mama sekarang dimana dari siang tadi aku sudah gak bisa hubungin lagi,” air mata Renata mengalir.
Supeno celingukan untuk mencari orang yang mungkin bisa dimintai informasi, tapi di sekeliling rumah megah Pak Hendrik tak ada siapa-siapa.
“Hmmm kita ke coba ke pak satpam di pintu masuk, siapa tahu ada informasi yang bisa kita peroleh.”
Supeno memundurkan mobil dan putar balik ke arah jalan awal mereka masuk untuk menemui penjaga perumahan.
“Selamat malam Pak, maaf saya dan ini teman saya namanya Renata mau cari informasi keluarga Pak hendrik kemana ya? Karena rumahnya kosong?” tanya Supeno sopan.
“Oh ... ini Mba Renata putri tunggal Pak Hendrik ya?” pak satpam dengan nama di dada Ujang malah balik bertanya.
“Iya Pak, saya putri Pak Hendrik. Maaf saya mau tanya di mana ya mama saya saat ini?” Renata tak bisa menahan diri untuk segera menanyakan keberadaan mamanya.
“Sabar Mba, Mang Jaliiiiil siniiiii!” teriak Pak Ujang.
Tergopoh-gopoh pak satpam yang Supeno masih ingat waktu lalu suka menggoda dirinya yang suka dengan Renata datang tergopoh-gopoh.
“Ya ampuuun, Mbak Renata? Dan yaaa ampun kamu Bujang eee siapa ya kamu anaknya Bu Laila .... duh .... Bang Jalil kok lupa, kamu tuh yang suka banget sama Non Renata? Aduh P...e ...no! Iya Penokan?“ Bang Jalil masih saja latah dan gak mikir dulu kalau ngomong.
Tak urung wajah Supeno memerah karena Bang Jalil jujur banget bilang kalau dulu dia yang suka sekali dengan Renata.
“Iya Bang, saya Peno masih ingat ya Bang ternyata?” jawab Supeno malu.
“Iyalah, mana bisa Bang Jalil lupa dengan kamu yang kerap nanyain Non ini,” jawab Bang Jalil senyum menggoda.
“Gini loh Bang, mau tanya Mama Rona sekarang dimana ya?” Supeno bertanya keberadaan mamanya Renata. Sementara Renata memilih diam.
“Ya ampun sampai kelupaan langsung kasih tau, ayo Mama Non Renata sementara di Bi Isah. Kasian dari tadi siang sejak pagi subuh Pak Hendrik di gelandang ke Kepolisian, Ibu Rona bolak-balik pingsan,” jelas Bang Jalil.
“Bang bisa anterin kami ke rumah Bi Isah?” tanya Peno.
“Ayoo bisa-bisa, naik mobil aja soalnya keluar kompleks dan lumayan jauh kampung Bi Isah,” jawab Bang Jalil.
“Iya mangga Bang, minta tolong antar kami ya,” pinta Renata.
“Ayoo, ayo Non dengan senang hati Bang Jalil akan antar Non dan Peno,” Bang Jalil manggut-manggut.
Jam sudah menunjukan pukul 23.00 kota kecil Purbalingga sudah sepi, Renata memilih untuk diam. Bang Jalil juga tersadar kalau putri tuannya sepertinya sangat sedih, siapa yang tak menyangka kalau Pak Hendrik terlibat korupsi di kantornya.
Memecah kesunyian Bang Jalil jadi bertanya,”Non Renata pulang dari Yogyakarta kok bisa bareng dengan Peno? Bukannya kamu Pen sudah dua tahunan ya pindah entah kemana? Tak ada yang tau satu pun dari kita kamu kemana? Bu Laila dan kamu hilang kaya ditelan bumi saja.”
“Iya Bang, kita pindah ke Yogyakarta dan kebetulan aku kuliah bareng dengan Renata jadi ya sekarang aku bisa anterin Renata karena ketemu di sekolahan,” jelas Peno singkat.
Kurang lebih dua puluh menit sampai ke kampung Bancar tempat rumah Bi Isah. Dan ternyata rumah Bi Isah sangat sederhana masih terbuat dari bambu dan penerangan hanya lampu teplok.
Mobil parkir jauh di gubuk Bi Isah karena tak memungkinkan untuk masuk kendaraan beroda empat.
“Assalamu'alaikum Bi Isah, ini Jalil dengan Non Renata!” seru Bang Jalil.
Agak lama untuk mendapat jawaban dan tiba-tiba pintu gubuk terbuka, tampak Bi Isah yang memegang teplok mengarahkan pada Bang Jalil.
“Lil, kamu datang dengan siapa? Non Renata?” Bi Isah bertanya cepat.
“Iya Bi, ini Non Renata ingin ketemu mamanya.”
“Ya ampuuuun Non Ren, sini cepet-cepet masuk kasian sekali mama Non dari tadi pingsan berulang kali ini baru sempat bisa tidur. Pelan-pelan ya bicaranya takut ngebangunin,” jawab Bi Isah lirih.
Di bawah lampu teplok Renata menatap mamanya yang tampak kelelahan,”Kasihan mama pasti sangat terpukul dengan peristiwa ini, oh papa teganya melakukan hal ini pada kami,” laras Renata sedih.
“Sudah sabar Ren, besok sebaiknya kita antar mama ke dokter. Malam ini biar mama beristirahat dulu dan kamu juga,” saran Peno.
“Kamu mau kemana Pen?” tanya Renata.
“Aku sebaiknya jalan saja pulang ke rumahku, gak terlalu jauh Ren. Dan Bang Jalil katanya mau naik ojek aja, mobil aku parkir di depan tadi ya soalnya gak ada tempat lain. Besok pagi aku kemari, aku temani kamu ke dokter dan jenguk papa kamu gimana?” tanya Supeno.
“Hmmm, Pen aku takut ... temenin aku di sini gimana? Maksudku aku temenin mama di sini dan kamu kalau tak keberatan tidurlah di ruang depan ... kurasa Bi Isah gak keberatan,” pinta Renata.
Supeno menatap wajah Renata, dirinya dalam hati kecilnya juga gak tega meninggalkan Renata sebenarnya.
“Baiklah, ya sudah kamu cuci tangan kaki dan salat dulu. Aku juga ... habis itu sebaiknya coba istirahat ya,” jawab Supeno lembut.
Dan malam itu Renata dan Supeno berusaha untuk merebahkan badan berisitirahat setelah hampir 7 jam perjalanan Yogyakarta – Purbalingga yang mencairkan amarah di antara mereka.
***
Baru saja Supeno terbangun setelah subuh dan salat baru bisa tertidur, karena suara ketukan dan sepatu yang terdengar tegas seperti tentara berbaris.
“Selamat pagi!” suara sosok berseragam coklat dan ada dua sosok di belakangnya juga sosok lelaki berbaju preman biasa.
“Iya selamat pagi ...,” jawab Supeno bersamaan Renata juga muncul dari ruang tengah.
“Kami petugas yang diharuskan menyita barang berharga yang bisa kami sita dan mendapat informasi putri dari Pak Hendrik kemari membawa mobil pribadinya dan dengan berat hati mobil juga akan kami sita sekarang juga. Mohon surat-surat dan kunci diserahkan kepada kami,” kata petugas berbaju coklat tegas dan wibawa.
“Baik, tapi boleh kami minta surat tugas penyitaannya?” jawab Peno setenang mungkin, Peno sadar kalau dirinya panik maka Renata akan jadi lebih panik dan ketakutan maka dia berusaha untuk bersikap tenang seperti biasa menghadapi klien-klien rekan bisnis ayah tirinya.
“Silakan ....” petugas menyerahkan surat-surat izin penyitaan.
“Ren, surat tugasnya benar. Gak apa-apa ya mobil mereka tarik ... yah semoga bisa megurangi kesalahan papa kamu. Ikhlaskan saja berarti udah bukan rezeki kamu lagi,” saran Peno pelan di telinga Renata.
Renata menyerahkan kunci, STNK, dan BPKB mobilnya yang langsung dibawa petugas entah kemana.
“Non Renata, cepetan mama Non,” Bi Isah menarik tangan Renata.
Supeno mengikuti dari belakang dan tampak susah payah mama Rona mencoba duduk tapi sepertinya kepalanya sangat pusing sampai-sampai terjatuh lagi.
“Ren kepala Mama pusing sekali, muter sekali Nak .... sampai rasanya mual ....,” keluh Mama Rona memegangi kepalanya.
“Iya Mah, sebaiknya Mama tenang dulu .... Renata pijitin pundak Mama. Sabar ya, kita ke dokter,” jawab Renata.
“Kita enggak punya uang Ren, enggak punya apa-apa lagi! Kita jatuh miskin ... sangat miskin! Gak ada yang tersisa! Tak tersisa apapun! Teganya papamu melakukan hal ini pada kita,” suara Mama Rona serak dan sangat sedih.
“Sudah Mah, jangan salahkan Papa. Papa melakukan itu juga karena ingin membuat kita bahagia pada dasarnya, dan sekarang Papa sedang menunggu hukuman yang bisa kita lakukan hanyalah tetap mendukungnya. Semoga kita bisa melewati semua dengan baik, Renata berjanji akan berusaha sebisa Renata untuk membantu Papa dan Mama. Sudah jangan bersedih Mama,” Renata berusaha tegar agar mamanya bisa lebih tenang dan menerima cobaan dengan lapang dada.
Tapi tiba-tiba Mama Rona pingsan dan membuat panik Renata juga Peno.
“Ayo cepat kita bawa mama kamu ke rumah sakit, sebentar aku ke rumah Pak Haji Oni seberang pinjam mobil untuk antar mama kamu,” tanpa menunggu jawaban Supeno berlari ke rumah seberang agak jauh yang dia kenal sebagai Pak Haji Oni. Entah apa hubungan Peno sampai kenal Pak Haji Oni yang ternyata sangat mudah dipinjami mobilnya.
Supeno, Renata, dan Bi Isah melarikan Mama Rona ke Rumah Sakit Nirmala yang terdekat dan langsung di tangani di Unit Gawat Darurat.
Supeno mencoba tenang dan menenangkan Renata yang bejalan mondar-mandir karena diminta menunggu saat penanganan mamanya.
Setengah jam Dokter Yayan yang sepertinya menangani Mama Rona meminta Renata dan Supeno ke ruangannya.
“Gimana mama saya Dok?” tanya Renata tak sabar.
“Tenang Mba, hmmm Mama kamu terkena gejala vertigo. Mungkin 3-5 hari ini beliau butuh istirahat total di sini. Tak perlu khawatir berlebihan, akan membaik jika sudah meminum obat. Kita akan siapkan kamar untuk mama kamu. Silakan ke bagian administrasi, baik obat dan ketersediaan kamar bisa diurus terlebih dulu,” terang Dokter Yayan ramah.
“Eee tapi Dok .... eh,” Renata tersekat karena tiba-tiba Supeno yang menjawab.
“Oh Baik Dok, kita akan segera urus agar Mama Rona bisa segera dipindahkan ke kamar pasien,” jawab Supeno santai.
“Pen, aku uang dari mana?” bisik Renata.
“Udah, ada ... tenang,” jawab Supeno pendek menarik tangan Renata.
“Tunggu! Pen! Aku serius, kamu tahu keadaan kami sekarang! Aku harus bayar pakai apa? Pakai daun!” jawab Renata ketus.
“Aku masih punya tabungan, kamu boleh pakai dulu itu kalau kamu mau mama kamu selamat Ren,” jawab Supeno halus tapi tegas.
Supeno paham benar Renata belum pernah menerima pertolongan hal keuangan, karena dia terbiasa mempunyai uang yang sangat berlebih. Tapi sekarang apa yang tersisa semua harta keluarga Hendrik sudah ditarik pihak yang berwajib untuk dipertanggungjawabkan.
“Pen, aku pasti ganti uang yang aku pinjam padamu. Beri aku kesempatan ya ... by the way terima kasih banyak kamu begitu banyak membantu aku saat aku terjatuh,” kata Renata tulus.
“Sudah jangan dipikirkan, sudah kewajiban kita harus tolong menolong Ren,” Supeno tersenyum meyakinkan kalau Renata tak perlu khawatir akan pertolongan yang dia berikan. Supeno selalu tulus.
Mama Rona mendapat kamar di kelas B dengan beberapa pasien yang lain, saat ini bukan waktunya untuk mengeluh apalagi merasa gengsi.
****
Setelah agak tenang mamanya dan ditunggu Bi Isah, Supeno mengingatkan Renata untuk menjenguk papanya di penjara.
“Renata, ada baiknya kita sempatkan jenguk papa kamu dulu nanti kita balik ke sini lagi untuk bergantian jaga mama kamu. Yah paling tidak kita di sini seminggu memastikan mama kamu sehat dan papa kamu mendapat dukungan mental dari kamu putri satu-satunya dan mengabarkan mama akan baik-baik saja agar beliau merasa tenang. Hmmm bagaimanapun papamu adalah orang yang harus kamu hormati dan tetap kamu sayangi apapun yang tengah terjadi Ren,” ucap Supeno bijak.
“Iya Pen, kamu mau temani aku jenguk papa?” tanya Renata memastikan.
“Emang kamu ada temen lagi yang mau temani?” jawab Supeno menggoda.
“Hmmm gak ada, semuanya sepertinya memilih jauh dariku. Bernard, Bano, dan Diaz sepertinya malu punya sahabat anak koruptor Pen. Ternyata hanya segitu persahabatan kita,” jawab Renata sedih.
“Sudah, bisa jadi mereka sedang banyak urusan sendiri Ren, ayo aku anterin! Gak usah sedih gitu, jelek tau!”
“Hem! Biarin aja, biar gak ada yang suka aku lagi sudah jelek, miskin lagi!” jawab Renata ngasal.
“Aku tetap menemani kamu Ren, jangan khawatir aku gak akan marah juga kalau kamu tetap gak suka aku, aku itu udah sadar diri dari awal menyukai kamu. Kita bagai langit dan bumi, beauty and the beast atau kata Bano aku bagai pungguk merindukan bulan,” lanjut Supeno mengingat kembali tulisan jujur hatinya di waktu lalu yang dibaca keras-keras di kelas oleh Bano.
“Hmmm sekarang tak ada lagi itu Pen, aku bukan apa-apa,” Renata berusaha tersenyum tegar.
Tak terasa mobil tua milik Pak Haji Oni sudah parkir di depan penjara tempat papa Renata di tahan.
“Papa ....” Renata memeluk papanya.
“Maafkan Papa ya Ren, Papa khilaf ... maafkan Papa ya, Mama kamu gimana Ren? Pasti mama kamu stres sekali ... Papa merasa sangat bersalah. Maafkan Papa, tapi Papa akan bertanggung jawab menerima keputusan hakim berapa lama pun Papa akan ditahan. Karena Papa sadar, hanya ini jalan satu-satunya yang harus Papa lewati,” Pak Hendrik tak tahan menangis di depan putri yang amat disayanginya.
“Sudah Papa, Renata dan Mama pasti memaafkan Papa, kita tahu Papa melakukan semua ini karena papa ingin menyenangkan Mama dan Renata. Papa yang tegar demi Mama dan Renata, kita akan lewati bersama-sama ya ....” Renata mengelus punggung papanya, mencoba memberikan kekuatan yang tersisa dari dalam dirinya.
Supeno hanya bisa terdiam menyaksikan kepedihan seorang papa dan putrinya. Tak menyangka sama sekali akan ada peristiwa seperti ini dan kenapa harus menimpa keluarga Pak Hendrik yang waktu lalu bagaimanapun perlakukan terakhir Mama Rona sangat menyakitkan, tapi mereka sudah membantu banyak ibu, Aimah, dan dirinya. Dan segi positif dari rasa sakit karena tuduhan mencuri cincin adalah jodoh kedua ibunya yang sekarang sudah merubah nasib mereka sangat jauh dari berlebih. Hanya saja Supeno memilih untuk tak ada yang tahu kalau keluarga dirinya sekarang termasuk jajaran orang kaya raya di Yogyakarta. Supeno selalu merasa segala yang dimiliki adalah punya Ayah Saputera, dirinya tetap seorang Kacung Kampret.
Lega bisa mendengarkan Renata dan papanya mulai bisa berbicara ke hal yang lebih ringan bahkan rencana Renata akan kuliahnya.
“Papa gak usah mikirin kuliah Renata, Renata akan tetap kuliah dan menjadi sarjana seperti yang papa harapkan. Renata akan bekerja setelah ini, doakan Renata bisa dapat pekerjaan dan tetap bisa biayai kuliah. Yang sekarang harus banyak Papa lakukan adalah berdoa, berdoa, dan berdoa mumpung Papa gak lagi bekerja! Papa akan punya cukup waktu untuk lebih banyak berdoa. Doakan semua akan baik-baik dan kita bisa ambil hikmahnya,” Renata sok bijaksana, walau dalam hatinya meragukan apa yang dia baru saja utarakan.
“Oh ya, Ren ini teman kamu? Siapa ya? Sebelumnya Papa gak pernah tahu,” tanya papa.
“Ini Supeno Paaah, anaknya Ibu Laila yang dulu bekerja di rumah kita hanya saja pindah di Yogya dan ternyata jadi teman kuliah Rena juga di sana,” jawab Renata ringkas.
“Oh iya ya, hmmm maafkan Mama Renata waktu lalu ya Nak ... Papa ingat kalau mama kamu Ren menuduh Bu laila mencuri cincin hadiah dari Papa waktu lalu, eh ternyata gak berapa lama memang ketemu ya,” kata papa memastikan.
“Iya, Renata juga sudah bilang ke Peno ... maafin mamaku ya Pen,” pinta Renata.
“Iya sudah gak apa-apa, ibuku sudah pasti memaafkan,” jawab Supeno.
Dan tak terasa waktu besuk habis, sebelum pergi Papa Hendrik sempat meminta pada Supeno,”Mas tolong bantu jagain Renata, maaf kalau kamu tidak keberatan karena saat ini saya sebagai lelaki yang seharusnya paling bertanggung jawab tak berdaya, hukum harus ditegakkan dan saya harus mempertanggung jawabkan kesalahan saya.”
“Iya Pak Hendrik, semampu saya akan menjaga Renata,” jawab Supeno, mencoba memahami dan menenangkan Papa Hendrik.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices