kepentok kacung kampret
Kepentok Kacung Kampret

Kepentok Kacung Kampret

Reads
197
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

12. Poor Girl

Perkembangan kesehatan Mama Renata cukup baik walau ditempatkan bukan di kamar VIP kebiasaan kalau ada keluarga Renata yang sakit.
Nyonya Rona mau tak mau harus terima bersama orang-orang biasa di kamar kelas 2 yang terdiri dari beberapa orang.
Gejala vertigonya berkurang sedikit demi sedikit, Supeno ikut membantu menjaga jika malam menemani Renata di rumah sakit dengan tidur di luar atau terkadang pulang baru paginya ke rumah sakit sambil membawakan sarapan.
Sementara baju-baju seadanya Renata ditaruh di rumah Supeno yang ternyata setiap hari buat kegiatan anak-anak kecil sekolah Paud dan sore mengaji.
Rumah Supeno ditempati oleh Ibu Hajah Nena yang merupakan adik Haji Oni yang menjadi guru mengaji setiap sore di rumahnya. Makanya Renata baru paham kenapa Haji Oni meminjamkan mobil ke Supeno dengan mudah untuk mengantar mamanya saat anfal.
Beberapa malam Renata jadi dekat dengan Supeno yang tetap saja sopan dan menjaga seperti waktu lalu, seolah menempatkan dirinya seperti pembantu alias Kacung Kampret yang dulu selalu dengan mudah dia suruh-suruh karena setelahnya akan memberikan imbalan.
Sekarang Renata jadi canggung, mau main suruh-suruh seenaknya gimana? Wong dirinya juga sudah tak punya apa-apa untuk disombongkan dan diberikan buat Supeno bila sudah selesai menjalankan tugasnya. Bahkan sekarang kebalikannya dirinya yang banyak hutang baik materi maupun moral.
Renata menulis di buku agendanya hutang dirinya terhadap Supeno dari biaya penggantian ganti rugi becak dan biaya pengobatan tukang becak yang ditabrak, bensin, dan makanan perjalanan pulang Yogyakarta – Purbalingga, biaya masuk rumah sakit Mamanya hingga keluar rumah sakit, dan sekarang Supeno tengah menawarkan agar mamanya mau tinggal dengan Ibu Hajah Nena di rumahnya yang ada listrik, air PAM, dan kamar yang cukup luas karena rumah Supeno sudah dipugar setelah pindah ke Yogyakarta menjadi rumah yang ukuran bagus dan besar.
Daripada menjadi rumah besar bagus dan kosong maka setahun lalu saat Haji Oni menawarkan untuk mendirikan Paud dan sekolah ngaji sore harinya, oleh Ibu Laila dipersilakan saja memakai rumah mereka, bahkan Bu Hajah Nena menempati salah satu kamar bersama putrinya yang juga membantu mengajar di Paud dan sekolah ngaji sore hari.
“Pen habis berapa lagi biaya Mama?” tanya Renata karena Supeno langsung menyimpan kuitansi ke tasnya.
“Udah gak banyak Ren, tenang aja. Kuitansi biar aku simpan ya ... nanti kalau kamu sudah punya uang gampang diganti, gak akan ada hutang di antara kita,” kata Supeno tenang tapi membuat Renata gak enak dan bingung sendiri.
“Ayooo, Mama pelan-pelan ...,” Supeno membimbing Mama Rona naik Kijang tua milik Pak Haji Oni.
“Iya, Nak terima kasih ....” jawab Mama Rona yang sudah tampak segaran.
Sepanjang perjalanan rumah sakit menuju rumah Supeno dan Renata jika malam-malam bisa berbicara bebas malah lebih banyak diam-diaman.
Masih teringat di salah satu malam di rumah sakit saat mamanya tertidur tiba-tiba Supeno menarik tangannya ke luar.
“Ada apa Pen?” tanya Renata.
“Makan yuk di depan, nasi gorengnya katanya enak,” info Supeno.
“Kata siapa?” Renata balik tanya, seharusnya dia gak perlu banyak basa-basi karena dari siang tadi dia sendiri hanya makan roti karena Supeno baru bisa datang malaman.
“Kata pak penjaga rumah sakit, ayo kan mama juga sudah tidur,” Supeno menggandeng tangan Renata, tanpa Renata bisa menolak. Tapi memang Supeno tetap seperti Supeno yang lalu, selalu tulus.
“Eh kamu belum pernah makan di emperan kaya gini kan?” Supeno menggoda Renata. Yang tahu persis selera makannya di waktu lalu adalah restoran berkelas, minimal makanan cepat saji tongkrongannya.
“Siapa bilang, ini pernah!” jawab Renata cuek menyantap nasi goreng gila namanya yang ternyata memang enak gila katanya saat Supeno bertanya gimana rasanya.
“Gila, enak banget nasi gorengnya,” jawab Renata cuek makan lahap tanpa harus jaga imej.
“Apa kubilang enak beneran kan, iya namanya nasi goreng gila padahal hanya nasi goreng biasa yang ditambah mie goreng, sedikit sosis, dan sedikit juga telur orak-arik. Sementara kalau nasi goreng yang sebenarnya gila enak beneran campurannya sosis, telor, udangnya sangat banyak. Harusnya sih bukan nasi goreng gila Ren,” jelas Supeno panjang lebar.
“Terus apa dong tepatnya?” jawab Renata menyeruput teh manis panasnya.
“Ini mah nasi goreng setengah gila belum sampai gila namanya,” jawab Supeno kocak.
Tak urung membuat Renata yang jarang tersenyum jadi tersenyum juga. Renata tak tahu Supeno merasa sedih dengan Renata yang berubah jadi pendiam dan pemurung, sangat berubah dengan Renata yang waktu lalu.
***
“Mama, kalau tak keberatan tinggal di rumah saya saja ya, biar ada temannya dan kebetulan masih ada kamar buat Mama,” tawar Supeno.
“Iya Nak, terima kasih banyak buat segala bantuannya ya Nak Peno, sampaikan maaf Mama terhadap Bu Laila soal cincin yang hilang, Mama telah menuduh tanpa bukti semua karena termakan hasutan Bi Siti yang ternyata merasa iri dengan ibu kamu,” ucap permintaan maaf Mama Rona dengan tulus.
“Iya Mah, sudah berlalu dan sudah dimaafkan. Mama tenang saja, siapa tahu di sini Mama akan terhibur karena pagi dan sore banyak anak yang belajar di sini. Mama juga bisa belajar ngaji dengan Bu Nena. Bu Nena semoga tak keberatan ada teman baru di sini ....” Jelas Supeno menegaskan kalau Mama Rona akan menetap sementara di rumahnya juga.
“Oh tentu saja enggak keberatan Nak, ini rumah kamu dan Ibu di sini bersama Murni kan hanya menumpang sambil mengajar,” jawab Bu Nena lembut.
“Tidak begitu Bu Nena dan Murni sudah kami anggap keluarga, demikian juga adanya Mama Renata di sini semoga bisa menjadi tambah keluarga besar,” jawab Supeno santun.
Dua hari Renata menemani mamanya dulu di rumah Supeno agar tidak kaget. Tapi tak bisa berlama-lama karena terhitung sudah mau seminggu dirinya meninggalkan Yogyakarta dan kuliahnya. Semalam Supeno sudah mengingatkan untuk sebaiknya segera kembali ke Yogyakarta untuk kembali kuliah dan sambil mencari pekerjaan.
“Atau sebaiknya aku tak meneruskan kuliah ya Pen, aku kembali ke Purbalingga dan kerja saja ya,” ujar Renata.
“Eits jangaaan, kamu lupa kemarin papa kamu pesan agar teruskan kuliah dan kamu sendiri janji akan meneruskan kuliah sambil kerja. Nanti aku bantu cari kerjaan asal kamu gak keberatan jadi seperti aku,” jelas Supeno.
“Jadi sepeti kamu? Maksudnya?” Renata balik tanya.
“Hmmm dalam dunia kerja kalau kita belum punya pengalaman pasti akan dari bawah, kamu akan disuruh-suruh seperti aku ya seperti kacung kampret. Tapi kan kamu akan dibayar sesuai dengan pekerjaan kamu, yang bisa dipakai untuk macam-macam,” terang Supeno lanjut.
“Iya ... aku tahu, tak ada yang mudah apalagi masalah kerjaan, aku gak ada pengalaman sama sekali. Kamu tau sendiri selama ini aku selalu mendapat fasilitas terbaik karena papaku. Semua gara-gara papa, membuat aku dan mama jadi hidup susah!” lagi-lagi Renata masih belum ikhlas sepenuhnya menerima kenyataan baru. Walau di depan papa dan mamanya sok tegar, tapi di hadapan Supeno mana bisa dirinya berpura-pura tegar sementara dirinya bingung memikirkan biaya hidup dan biaya sekolahnya.
“Sudah dijalanin saja, apa yang terjadi diambil hikmahnya Ren, kamu jangan putus asa. Nanti sampai Yogya aku bantu cari kostan termurah dan yang terdekat kampus jadi kamu cukup jalan kaki,” terang Supeno.
“Hmmm jalan kaki biasanya aku bermobil, sepertinya Bernard dan teman-temanku sudah tak akan sudi punya pacar dan teman seperti aku. Sekarang saja mereka sudah tak pernah menghubungi aku lagi,” Renata menjadi sedih mengingat kekasih dan sahabat-sahabatnya yang perlahan meninggalkan dirinya dalam titik nol.
“Udah jangan pikirkan mereka, kan masih ada aku. Supeno akan bantu kamu seperti waktu lalu, aku kan kacung kampret andalan kamu. Eling-eling ojo dikelalenin aku mau ngerjain opo sing kowe jaluk,” goda Supeno yang meminta ingat-ingat jangan dilupakan masa lalu dirinya saat selalu membatu Renata apa pun yang disuruh.
“Iiiih itukan dulu saat aku anak konglomerat sekarang aku anak konglomlarat alias wong kere pakai banget!” Renata cemberut.
“Gak ngaruh Ren, udah siap-siap besok pagi kita naik bis balik ke Yogya, malam ini kamu puas-puasin sama mama ngobrol apa aja ya,” Supeno menyarankan Renata menemani mamanya yang besok akan ditinggal kembali ke Yogyakarta.
***
Pas hari Minggu Supeno dan Renata dengan menaiki bis patas jurusan Yogyakarta kembali ke kota pelajar. Berat meninggalkan mamanya, Renata sempat berpelukan dan bertangisan agak lama, Supeno memberikan waktu untuk mama dan putrinya melepas kepergian dengan rasa berat.
Lagi-lagi hal yang sama seperti saat akan berpisah dengan Papa Hendrik, Supeno mendapat pesan orang tua,”Nak titip Renata ya, bantu Renata kalau ada kesulitan. Mama titip ya Nak, tolong bantu jaga ya ....” pinta Mama Rona dengan air mata masih menetes.
“Iya Mah, Peno akan jaga Renata semampu Peno,” jawab Peno santun.
Renata duduk di dekat jendela sambil memandang jalanan, pikirannya melayang entah kemana-mana.
Dan ngantuk menyerang, Peno kaget ketika tanpa sadar kepala Renata terjatuh ke pundaknya dan tetap dengan mata terpejam. Sepertinya Renata semalam ngobrol sama mamanya jelang tidur lama dan sekarang baru terasa ngantuk dan terlelap tidur bersandar di pundak kiri Supeno.
Supeno merasa serba salah, tapi mau menyingkirkan kepala Renata untuk bersandar di kaca bis juga tak tega. Supeno memilih menahan dan terdiam sambil dirinya juga berusaha memejamkan mata untuk juga beristirahat.
Tak terasa perjalanan pagi pukul 06.00 Purbalingga ke Yogyakarta memakan waktu lima jam.
“Wates ... Wates sudah masuk Yogyakarta, Supeno dan Renata terbangun bersamaan. Wajah Renata memerah sadar dirinya tidur di pundak Supeno.
“Eh maaf-maaf ya, aku saking ngantuknya gak sadar,” ucap Renata.
“Tenang gak ada iler kok, kamu gak ngiler kan?” jawab Supeno menggoda.
“Eh, enak aja!” Renata memukul pundak Supeno.
Sampai di daearah Condong Catur dekat kampus Renata dan Supeno turun dari bis. Supeno memastikan Renata pulang ke kostannya yang elit, tapi besok berencana pamit dan akan pindah ke kostan yang jauh dari yang sekarang, karena bulan depan sudah tidak bisa lagi membayar kost-kostan yang jutaan.
“Ren, ini aku masih ada sedikit uang kamu pegang aja, buat makan. Besok abis kuliah kita cari kost-kostan deket kampus. Aku tahu di belakang-belakang kampus emang agak deket sawah gak apa-apa kan? Di situ masih terjangkau, memang sih bukan anak kuliahan kampus kita semua banyak juga anak kuliah Kampus Pariwisata. Di situ murah soalnya kebanyakan juga anak-anak di situ kuliah sambil kerja,” terang Peno Sebenarnya Peno tahu karena ada salah satu yang kerja di counter bapaknya sebagai Sales Promotion Girl alias SPG.
“Pen, gak usah aku udah banyak pinjam uang ke kamu,” tolak Renata halus untuk menerima uang Supeno, walau sebenarnya memang dia butuh.
“Sudah aku tau kamu gak punya uang sama sekali Ren, jangan sungkan aku tulus membantu kamu, terima ya. Jangan jadi beban apa yang aku beri ke kamu ingat bumi itu berputar siapa tahu kapan hari aku yang perlu bantuan kamu,” terang Peno bijak.
“Hmmm baiklah, terima kasih ya ....” Renata tersenyum tipis.
“Iya, sampai besok habis pelajaran Pengantar Bisnis kita langsung ke belakang kampus dan packing barang-barang kamu Ren. Aku balik ya kalau ada apa-apa kabarin aja,” Supeno melambaikan tangan sekilas.
“Terima kasih ya,” Renata mengucapkan terima kasih tulus.
“Iya sama-sama, dahh,” dan Supeno segera berlalu.
***
Kostan elit tampak sepi, maklum hari Minggu pasti pada jalan-jalan, di luar juga yang biasanya mobil di parkir tampak lenggang.
Renata membuka kamarnya dan tiba-tiba ada kertas, dan Renata kaget tulisan kertas yang sangat tak bersahabat,”KOSTAN INI TIDAK MENERIMA ANAK KORUPTOR! SEGERA ANGKAT KAKI SEBAIKNYA!”
Renata memandang sekitar sesaat, sunyi sepertinya beberapa penghuni sudah jalan-jalan Minggu dan sebagian memilih santai di kamar dengan menonton film di tv kabel dengan layar LCD.
Renata merasa sendiri, tak ada satu orang pun yang bisa dijadikan tumpahan kesedihan. Kemana Bernard kekasihnya? Diaz dan Bano yang selama ini selalu jadi sahabat baik? Ternyata persahabatan ini tak tulus.
Dengan malas-malasan Renata mulai memasukan baju-baju dalam tas yang ada, buku-buku, dan beberapa barang-barang yang sempat dibeli selama empat semester ini.
Semua tiba-tiba berubah tak ada teman satu kostan yang menyapanya, biasanya sebentar-sebentar ada yang suka ketuk kamarnya mengajak makanlah, mencicipi makanan, nontonlah, atau apa saja.
Hampir sore tak terasa Renata mengepak barang yang ada dan sesekali ke luar tapi tetap saja sunyi senyap, apakah semua teman-teman kost menyingkirkan dirinya.
Renata hanya bisa berdiam diri terima nasib. Sepertinya takdir baik sudah berpaling dari kehidupannya, dirinya harus siap menghadapi takdir buruk yang menimpanya.
“Tek ... tek ...tek ...tahu kupat !” teriak penjual tahu kupat yang selama ini tak pernah Renata pedulikan, tapi sekarang perutnya benar-benar keroncongan.
Renata lari ke luar dan ternyata ada beberapa teman-teman kostan yang tengah ngumpul sambil makan-makanan cepat saji seperti biasa dia makan kalau habis jalan-jalan menghabiskan week end sepanjang Malioboro.
Tapi sepertinya semua cuek tak ada yang menawarinya, Renata memanggil,”Pak, mau tahu kupatnya!”
“Oh iya Neng, berapa?” tanya si bapak tahu kupat.
“Satu aja Pak, jangan pedas ya,” jawab Renata tanpa memedulikan ada suara cekikian di belakangnya. Iya Renata tahu mereka tengah menertawakan kemiskinannya. Perubahan dirinya yang drastis, yang tadinya gak kenal jajanan jalanan sekarang terpaksa harus makan jajanan itu juga.
“Ini Neng, jadi enam ribu,” kata si bapak.
“Ini Pak, sisanya ambil aja Pak,” jawab Renata memberikan uang sepuluh ribuan yang tadi juga dapat dari Supeno.
“Wah Ren, tumbeeeeeeen belinya tahu eh tahu kupat!” goda Silva salah satu teman kostannya yang terkenal tajir habis setelah dirinya seharusnya. Renata tahu Silva suka iri dengan dirinya yang dianggap paling tajir, dan sepertinya sekarang waktu yang pas buat membuat dirinya dihina-hina.
“Hahahaha ....,” yang lain ikutan tertawa.
Renata menatap tajam sekilas teman-temannya dan segera berlalu masuk ke kamarnya. Tak terasa sambil memakan tahu kupat air matanya meleleh, sudah seminggu ini dia belajar untuk menerima apa adanya. Apa yang dimakan dan mulai perlakukan yang tak enak berawal dari kekasih dan sahabat terdekatnya yang tak pernah menyapa sama sekali sejak dirinya minta tolong untuk ada yang menemani pulang seminggu lalu ke Purbalingga.
Dan “Cring” ada pesan masuk ternyata dari Bernard yang mengirim foto dirinya bersama cewe cantik yang Renata tahu itu adik kelas di bawahnya Fakultas Hubungan Internasional juga.
Tiba-tiba pesan Bernard masuk,”Uppps sorry Ren, salah kirim harusnya aku kirim ke Marreta kok jadi ke kamu abis namanya hampir sama, sorry-sorry Darling.” Dengan icon minta maaf.
“Apa maksudnya sih?” Renata menggerutu, hatinya panas terbakar cemburu dan juga marah. Tapi buat apa? Renata tahu jadi selama seminggu dirinya tengah menghadapi masalah berat, Bernard malah deketin Marreta yang anak Jendral tajir melintir juga.
“Dasar play boy jelek!” tanpa sadar Renata mengirim jawaban ke nomor Bernard.
Dan ternyata Bernard menaggapi dengan marah.
“Biar play boy jelek, yang penting bukan anak koruptor! Dan Marreta suka aku dan terima cintaku. Sorry ya Ren! Kita Good Bye alias P u t u s !”
“Greeeeeh ....” Renata menggeram kesal sendiri. Tak mau menaggapi lagi!
Dan malam terakhir di kostan elitnya serasa menunggu 1000 tahun penantian untuk segera hengkang dari sini. Dan menerima dunia nyatanya! Selamat datang si gadis miskin!
***
Renata tergesa-gesa masuk ke kelas Pengantar Bisnis 2 yang dipandu Pak Bejo, tergopoh-gopoh datang terlambat.
Saat masuk semua kelas terdiam memandang dengan berbagai pandangan, biasanya ada saja yang menawarkan bangku untuk duduk sekarang semua diam saja dan untung ada Supeno yang,”Pssssst Ren! Sini!”
Tergesa Renata mendekati bangku kosong dekat Supeno.
Supeno menyambut dengan sumringah dan membantu Rena yang kesulitan bawa setumpuk buku, pandangan kedekatan mereka tak lepas dari Rindu yang duduk beberapa jarak bangku di belakang, memandang dengan tatapan tajam dan bingung dalam hatinya bertanya,”Ada apa dengan Peno dan Renata? Bukanya mereka musuhan? Kenapa sekarang Supeno tampak akrab dengan Renata? Pantesan aku tadi gak boleh duduk di sebelahnya ternyata ....” Rindu tiba-tiba merasa sakit hati dan cemburu melihat pemandangan barusan. Dirinya harus cari tahu, yang pasti dia tak akan rela cewek yang namanya Renata merebut Supeno dari dirinya dan terlebih hanya akan mempermainkan Supeno seperti waktu-waktu yang lalu.
“Awas aja!” geram hati Rindu panas.
Dan kekesalan Rindu semakin terasa saat dirinya mengajak ke makan siang tapi Supeno menolak,”Maaf Rin, aku udah janji mau temani Renata cari kostan di deket kampus.”
“Apa? Memang kenapa dia harus cari kostan murah segala? Jatuh miskin?” nada sinis Rindu meluncur begitu saja, hatinya tak rela tiba-tiba dicuekin begitu saja. Selama mau empat semester ini dia yang selalu membela Supeno karena mirip dengan almarhum pacarnya Arjuna.
Dan tak akan mau melepas Supeno untuk cewek lain apalagi Renata! Tak akan pernah sudi!
Dan Rindu hanya bisa memandang pias membiarkan Supeno memboncengkan Renata dengan sepeda motor bebek tuanya. Rindu penasaran ingin cari tahu ada apa yang terjadi dengan Renata, mengapa Supeno begitu perhatian dan selama seminggu ini mereka berdua juga tak masuk kuliah? Apakah artinya seminggu ini mereka bersama? Rindu menjadi merasa sangat bodoh, kecuekan dia ternyata membuat dirinya menjadi posisi yang serba salah.
Rindu pikir seiring jalannya waktu Supeno akan sadar kalau dirinya menyukainya, tapi memang dirinya tak mau menunjukan rasa suka yang amat sangat, sifat tomboi dan cueknya membuat Rindu memilih sikap seperti berteman saja dan berharap Supeno akan sadar kalau dirinya berharap tidak sekedar sahabat.
***
“Nah lumayan kan meskipun kecil tapi ada jendela dan menghadap sawah, udaranya jadi sejuk kamar kamu Ren,” Supeno membantu membereskan kamar sewaan Renata yang jauh lebih murah dari kostan elit sebelumnya.
“Gak apa-apa kan kamar kecil gak ber AC? Ini aku udah bawakan kipas angin biar kalau panas kamu masih bisa pakai kipas angin atau buka aja jendelanya, eh tapi jangan buka jendela kalau malam berbahaya mengundang penjahat. Jangan ya!” Supeno mengajak banyak Renata ngobrol karena mendadak Renata jauh jadi pendiam.
Ya Renata siang tadi selepas kuliah Pengantar Bisnis, sempat melihat bagaimana Benard dengan mesra bersama Marreta dengan mobil VW Battle biru muda Marreta yang baru. Renata tahu Bernard pura-pura tak melihat dirinya, padahal jelas-jelas mereka sempat bertatapan. Tapi Marreta mengalihkan wajah Bernard ke dirinya.
“Hai sudah jangan pikirin Bernard dengan Marreta tadi, toh kamu kan juga boncengan dengan cowok lain meskipun hanya dengan BMW, kan gak kalah kereeeeen,” goda Supeno.
“BMW apanya? BMW dari Hongkong?” jawab Renata asal.
“Eiiits Bebek Merah Warnanya alias BMW. Benarkan?” Supeno tersenyum polos.
“Hah bisa aja kamu, sudah sana pulang aku mau istirahat, eh titip beliin cairan pembersih kloset dong Pen, kamar mandi kayaknya kotor deh! Nanti aku mau mandi tak bersihin dulu deh,” kata Renata dengan wajah menunjukan mimik jijik karena ingat kamar mandinya agak jorok.
“Hmmm yakin kamu akan bersihin kloset kamar mandi?” Supeno curiga.
“Ya iya habis kan gak ada yang bersih-bersih di kost murahan ini, kalau bukan penghuninya? Siapa lagi?”
“Baiklah Ndoro Putri,” jawab Supeno beranjak.
Supeno ke warung terdekat kostan baru Renata dan membeli cairan pembersih kloset dan lantai kamar mandi.
“Eh aku pulang ya Ren, maklum kacung kampret habis ini aku harus sopirin Tuan Saputera ke counter-counternya, kamu mulai buat surat lamaran aja. Aku lagi cari informasi lowongan yang bisa part time, biar kamu tetap bisa kuliah,” terang Supeno.
“Iya, terima kasih ya Pen,” tapi wajah Renata keliatan sangat mendung, tadi tanpa sepengetahuan Supeno dirinya dipanggil oleh bagian administrasi keuangan perihal kasus papanya. Apakah dirinya akan tetap kuliah dengan konsekuensi harus tetap bisa bayar SPP, dan Renata belum bisa berjanji sepenuhnya hanya bisa menjawab diusahakan. Sungguh menjadi pikiran yang memberatkan belum lagi Bernard, Diaz, dan Bano yang sudah tak peduli sama sekali. Berat sekali melewati masa sulit ini.
Belum lagi berpikiran jernih tiba-tiba kamarnya diketuk dengan keras,”Iya sabar, sebentar ....” tergopoh Renata membuka pintu. Ternyata dua bapak-bapak berperawakan tinggi besar dan dua-duanya di lengan kanan kiri, tangan ada tatonya. Renata langsung ciut nyalinya.
“Hai kamu Mba Renata ya, benarkan?” tanya salah satu bapak bertato yang lebih tinggi dari sebelahnya.
“Iya, Pak .... ada apa ya?” Renata menjawab agak ketakutan.
“Hmmm jadi kami berdua adalah dept kolektor yang menagih jam yang Mba beli dengan Kartu Kredit beberapa bulan lalu, karena sudah tiga kali Mba gak ada pembayaran maka jam akan kami sita sekarang!” dengan suara keras membuat nyali Renata ciut.
“Ya ampun jam bermerek itu ada di Bernard karena aku memang kasih tiga bulan lalu sebagai hadiah ulang tahun, matiiiii aku,” jerit hati Renata.
“Tapi jam itu sudah ....” belum selesai Renata menjelaskan.
“Gak penting masih ada atau tidak! Kalau ada kembalikan sekarang! Kalau tak ada ya lunasi atau kami harus cari paksa yang ada bisa kami sita heh!” Dan tanpa basa-basi dua bapak sangar itu memaksa masuk dan mulai merazia apa yang bisa di ambil dengan kasar.
“Hai! Keluar! Apaapaan kalian!” tiba-tiba Supeno muncul.
Dan anehnya, dua dept kolektor itu melihat Supeno langsung menurut pergi tanpa banyak omong.
“Pen, aku takut bangeeet,” Renata menghambur ke pelukan Supeno.
Supeno salah tingkah.
“Eeee maaaf, aku takut banget. Dua bapak itu maksa masuk kamar dan lihat kamar jadi berantakan lagi!” Renata sangat kesal dan bercampur pucat-pasi wajahnya, melepas pelukan dari Supeno.
“Sudah, sudah aman. Aku kenal tahu dua bapak tadi dan tadi aku berpapasan, aku curiga makanya aku balik lagi ternyata benar mereka sudah dapat infomasi kosatan kamu dan menagih hutang kartu kredit. Kamu beli apa sih Ren?” tanya Supeno.
“Aku tiga bulan lalu beli jam tangan mewah buat ulang tahun Bernard Pen, jadi saat mereka minta barangnya ya ada di Bernard dan gak mungkin aku minta lagi karena aku udah kasih sebagai kado ulang tahun,” terang Renata sedih.
“Hmmm ya udah, kamu tenang aja. Aku pastikan dua orang itu gak akan macam-macam lagi ke kamu,” jawab Supeno tenang.
Mana Renata tahu, kalau dua dept kolektor itu tahu kalau Supeno putra Pak Saputera salah satu konglomerat di Yogyakarta. Mereka juga tahu kebaikan Pak Saputera yang memperlakukan semua karyawan termasuk mereka pernah jadi karyawan Pak Saputera walau akhirnya mengundurkan diri karena ada tawaran yang ternyata menjadi tukang tagih yang harus berlaku kejam terhadap para piutang kartu-kartu kredit.
“Terpenting sekarang kamu sudah tak ada kartu kredit dan segala hal-hal yang berhubungan dengan hutang-hutang ya Ren?” pertegas Supeno.
“Enggak ada. Aku hanya sekalinya membeli pakai kartu kredt jam mewah itu, selebihnya aku selalu bayar tunai kok,” jawab Renata.
“Syukurlah, aku gak mau kamu dikejar-kejar dept kolektor lain lagi Sayang ....” tak sadar Supeno memanggilnya Sayang.
“Eh maksudku Ren,” secepat kilat Supeno meralat.
Tak urung membuat mereka terdiam sesaat.
“Aku pulang, kali ini aku benar-benar pulang dan sampai ketemu besok di kampus ya. Dahh ....” Supeno berpamitan.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices