kepentok kacung kampret
Kepentok Kacung Kampret

Kepentok Kacung Kampret

Reads
186
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

15. Sesama Cungpret

Renata membasuh muka yang masih ber make-up tebal dan sudah acak-acakan karena keringat dan juga merasa badannya bau asap.
Renata ke dapur memasak air panas, dirinya tak berani langsung mandi air dingin karena kondisi tubuhnya yang juga kelelahan, bersyukur ini hari Minggu. Renata berniat mandi dan keramas sekalian mencuci seragam rokoknya, untuk segera mengembalikan pada Ratih.
Dirinya menyesal tidak mendengarkan saran Supeno untuk bersabar saja pada satu kerjaan, tapi memang untuk SPP pembayaran semester 5 masih kurang, makanya Renata mau ambil pekerjaan sebagai SPG rokok.
Kalau kejadian kaya tadi dan sekarang dirinya juga rada-rada takut kalau di jalan tiba-tiba ketemu om gendut yang ternyata cerita Supeno suka dipanggil Om Plontos dan ketua preman lagi, kalau tiba-tiba dirinya dipukuli oleh anak buahnya kan sangat mengerikan.
Pasti si Om Plontos sangat dendam terhadapnya, pantesan tak ada yang melawan untuk menolong saat dirinya dijambak. Renata bergidik kalau tak ada Supeno jadi apa dirinya?
“Untung ada Supeno, kalau gak ada Supeno aku bisa babak belur. Hiiii, kenapa hidup kejam sekali,” Renata melaras sendiri, sembari memasukan air panas ke ember untuk mandi.
Setelah mandi dan mencuci seragam SPG Rokok, Renata tertidur pulas hingga siang terbangun karena,”Rennnnn, banguuuun udah jam dua siang lho!”
Renata melihat jam weker di meja kecilnya dan memang sudah menunjukan pukul 14.05 Dirinya tertidur setengah hari ini, membayar kelelahan bekerja seharian kemarin hari Sabtu dan juga semalam yang mengerikan.
“Reen, ada kabar baik loh. Banguuuun ...,” panggil Supeno dari balik pintu kamar.
“Iyaa, bentar aku udah bangun kok,” jawab Renata berjalan membuka kunci pintu kamar, tak peduli rambut panjangnya acak-acakan.
“Hmmm putri kesiangan,” komentar Supeno.
“Kamu taukan aku kemarin seharian jadi kacung kampret. Capeee Pen, ditambah kejadian semalam liat dua jari kakiku bengkak gara-gara sepatu tinggi kesempitan sialan!” rutuk Renata.
“Tapi Pen, sumpaaah aku berterima kasih banget kamu datang pas aku bermasalah dengan si gendut!” Renata meradang ingat semalam rambutnya dijambak sakit sekali.
“Namanya Om Plontos, aku belum tahu sampai mana marahnya, ada baiknya kita hati-hati Ren, anak buahnya juga banyak. Sudahlah, kamu belum tahukan .... kamu lolos lho beasiswa,” Supeno tersenyum cerah.
“Hah, yang bener Pen?” Renata seperti tak percaya mendengar kabar barusan.
“Dari mana kamu tahu aku lolos?” tanya Renata antusias.
“Kamu sih tidur seharian, coba cek hp ada SMS dari Bu Asih dan aku juga di info karena aku gak lolos,” jawab Supeno sok sedih.
“Ah yang benar?” Renata segera mengecek hp dan tertanya benar Bu Asih menginformasikan untuk mengurus besok hari Senin segala administrasi. Dan bahagianya Renata beasiswa termasuk full SPP sampe lulus dengan catatan nilai tak mengalami penurunan.
“Apa kubilang, selalu ada jalan lain kan? Kamu sih gak bersabar mau kemaruk semua kerjaan aja!” nasihat Supeno.
“Yah haruslah! Aku harus bekerja, bekerja untuk bisa survive Pen,” semangat Renata mengungkapkan keinginannya untuk bekerja keras agar bisa memenuhi janji pada papanya terus kuliah.
“Iya aku tahu, dan aku juga senang kamu bersemangat mandiri dengan bekerja. Kuharap bersabarlah dan bertahanlah dengan yang sekarang. Semua ada waktunya, pasti tak selamanya kamu jadi cleaning service dan tak selamanya aku juga jadi kacung kampret terus. Kalau kita mengantongi ijazah, setidaknya sekarang nilai-nilai kita bagus, sudah bisa jadi modal untuk melamar ke perusahaan lain yang menjanjikan,” terang Supeno seperti biasa cool tak bermaksud menggurui Renata yang keras kepala.
“Siaaap CungPret, eh sesama CungPret kita!” ralat Renata sambil tersenyum merah.
“Tapi kamu CungPret cantik dan sangat galak, semalam berani benar gaplok ketua preman, hmmm aku yakin ini pasti masih berbuntut,” Supeno tercenung.
“Iya, sorry ya Pen. Semalam tapi seru, kamu serasa detektif yang nolongin partnernya yang sudah di ujung tanduk,” kata Renata cuek, membuat Supeno menggelengkan kepala.
“Kamu yaaaaa, bandel dan cewek super keras kepala ternyata disamping cewek jutek, sombong, manja, dan kaya di waktu lalu,” terang Supeno jujur.
“Ya begitulah aku kira-kira, tapi aku bukan cewek seperti itu lagi kan Pen? Setiap masalah mengajari kita untuk berubah juga,” ucap Renata sok bijaksana.
“Keluar yuuk, lapar ...jalan-jalan sekedar merayakan keberhasilan kamu mendapat beasiswa, gimana? Setuju?’ ajak Supeno.
“Baiklah, disamping aku lapar sepertinya kita butuh refreshing ya . Aku mandi dulu ya!” Renata beranjak dari ruang tamu untuk siap-siap.
***
Dan di sinilah Supeno dan Renata menikmati makan gudeg Mbah Lindu di daerah Sosrowijayan. Penjual seorang nenek tua yang ramah namanya Mbah Lindu. Sudah sangat sepuh, kulitnya keriput termakan usia dan rambutnya juga hampir memutih semua.
Mbah Lindu juga terkenal ramah dan bersedia bercerita mengenai perjalanan sejarah yang dijalaninya, termasuk bertransaksi dengan mata uang benggol dan sen. Mbak Lindu juga menjadi saksi sejarah kedatangan Jepang ke Indonesia.
Saat makan di warung gudeg Mbah Lindu, kita bisa merasakan kesederhanaan khas Yogya. Rasa gudegnya masih sama dengan gudeg era saman penjajahan.
Karena menurut Supeno maknyus dan ternyata memang sangat nikmat, Renata sampai menambah.
“Lapar apa doyan?” celetuk Supeno.
“Ya ampun Pen ini kan ngerapel makan pagi dan siang sekalian,” jawab Renata cuek.
“Habis ini jalan-jalan ke Benteng Vredeburg yuk, masih ada dua jam cukuplah untuk keliling-keliling biar kamu tahu benteng peninggalan sejarah Belanda yang tersohor di Yogyakarta,” terang Supeno sambil menikmati Yogyakarta jelang sore bersama Renata dengan motor bebek tuanya.
Renata memakai celana kain abu-abu tiga perempat dengan kaos putih agak besar, sendal jepit pink hello kitty, dan tas kain cangklong. Tampilan yang sederhana tapi selalu membuat Supeno terpukau.
“Okelah aku ikut kamu saja, asal jangan ke jurang aja,” canda riang Renata.
“Sampai kita, aku juga baru sekali sih ke sini sejujurnya hahahaha, aku cari teman yang mau aku ajak ke sini dari waktu lalu gak ada yang mau,” kata Supeno.
“Bohooong, coba kamu ajak Rindu pasti maulah diajak kemari,” goda Renata membuat wajah Supeno tak urung memerah.
“Kok jadi ke Rindu sih? Kalau Rindu sukanya ke toko buku Ren atau nonton konser musik sih .... mana mau dia diajak kemari,” jawab Supeno adanya.
“Mauuuuu, kamunya aja yang belum coba ah!” Renata masih berusaha menggoda yang ditanggapi cuek oleh Supeno. Sikap Supeno malah membuat Renata penasaran akan hati sahabatnya ini terhadap Rindu, yang Renata tahu kalau Rindu suka padanya. Tapi entah Supeno yang tenang-tenang saja menghadapi Rindu yang tengah berusaha untuk membuat Supeno suka padanya.
“Ayooo, aku penasaran liat dalamnya,” Supeno mengalihkan pembicaraan. Dan sepertinya memang lebih seru melihat keadaan di dalam dengan diam daripada berdebat mengenai perasaan Rindu.
Renata menahan diri, karena sepertinya asik juga melihat minirama yang menggambarkan secara rinci proses perjuangan bangsa menuju kemerdekaan. Ada empat bangunan diorama yang masing-masing dilengkapi dengan berbagai media penerangan sejarah.
Tidak hanya itu, di setiap ruang juga terdapat koleksi foto para pejuang kemerdekaan. Yang menarik, ada pula layar sentuh yang bisa digunakan untuk membaca sejarah perjuangan bangsa.
Beberapa patung pahlawan terlihat di beberapa sudut museum. Umumnya, para pengunjung menyempatkan berpose di samping patung pahlawan. Tak ketinggalan Renata kerap meminta Supeno difoto di beberapa sudut.
Ada juga koleksi realia yaitu koleksi bersejarah bukan tiruan yang dikelola oleh Museum Benteng Vredeburg yang berupa perlengkapan rumah tangga, perlengkapan dapur, naskah penting, pakaian, hingga senjata yang digunakan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Pukul 17.00 museum ditutup, hampir satu setengah jam Supeno dan Renata berkeliling-keliling. Dan pukul lima sore benteng ditutup, semua sisa pengunjung keluar .
Supeno dan Renata duduk-duduk di kantin Benteng Vredeburg, menimati es jeruk dan pisang goreng.
Tiba-tiba ada telepon dengan nomor asing masuk di hp Supeno, “Hai Mas Supeno putra Bapak Saputra konglomerat kaya di Yogyakarta, apa kabar? Semalam sungguh penyelamatan luar biasa pada cewek galak yang berani menampar saya. Hahahaha baru sekalinya ada orang yang berani menampar saya, dan cewek lagi! Sampai sekarang rasa malu saya belum habis. Dan yang bisa membuat saya tak lagi marah dan dendam pasti kamu tahu pengusaha muda yang tak ber-seri uangnya.”
Supeno sadar kalau dia tengah ditelepon oleh Om Plontos yang sudah pasti bisa ditebak mau memerasnya dengan mengancam akan membuat Renata celaka kalau tak dipenuhi permintaannya.
“Hmmm berapa yang kamu perlukan?” tanya Supeno tanpa basa-basi.
“Ini yang aku suka dari putra andalan Bapak Saputra tak pelit dan langsung to the point! Tak perlu basa-basi, he he he,” jawab Om Plontos.
“Cukup sepuluh juta dan setelah itu saya lupakan masalah semalam, ingat transfer malam ini atau cewek kamu besok oleh anak buahku dikerjain!”
“Clik!”
Supeno terdiam sejenak. Renata tahu ada yang tak beres dengan telepon bernada tegang barusan. Renata hanya bisa menebak-nebak saja pasti semacam ancaman, tapi siapa yang diancam?
“Siapa Pen?” tanya Renata.
“Om Plontos Ren, dia tahu kalau aku kerja sebagai kacung kampret di Tuan Saputera dan dia minta ganti rugi atas perlakuan semalam kamu,” terang Supeno berusaha tenang.
“Oh ya, dia minta apa ke kamu?” Renata menatap tajam Supeno.
“Ren, bukan permintaan dia yang aku pikirkan, tapi aku takut keselamatan kamu. Anak buah Om Plontos itu gak kalah kejam dengan Om Plontos. Bisa saja Bapak Saputera memberi yang dia minta karena anak buahnya, hanya saja dia tidak menepati janji. Kamu harus hati-hati ya Ren, kalau ada yang mencurigakan lebih baik kamu cepat meminta bantuan,” pesan Supeno dengan wajah yang khawatir.
“Oke, aku akan hati-hati. Maafkan aku ya Pen, aku gak tahu akan buat ribut kaya gini,” sesal Renata.
“Sudah gak apa-apa, semoga dia menepati janji ....” dan diam-diam Supeno mentransfer sepuluh juta yang diminta Om Plontos sebagai ganti rugi nama baik semalam yang hancur karena penggaplokan Renata di depan umum dengan e-banking dari hp-nya.
Renata jadi mendadak nampak murung,”Haaaai sudah sesama CungPret akan saling membantu dan melindungi.” Hibur Supeno mencoba membuat Renata untuk tidak bersedih tiba-tiba, bukannya mereka tengah merayakan keberhasil Renata lolos mendapat beasiswa sampai wisuda bebas SPP.
“Sesama CungPret ya ....” Renata bergumam dan berdua kembali ke kostan Renata.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices