Aku Bukan Pilihan

Reads
177
Votes
0
Parts
11
Vote
by Titikoma

6. Darah Untuk Mama

“Jadi ceritanya nelepon kali ini menunjukkan kamu senang di Yogyakarta di ulang tahun kamu yang ke-23, sementara Mama kamu sendirian kesepian di Jakarta,” Mama Kinanti berkata dengan nada datar dan dingin.
Shinta sudah siap menghadapi amarah mamanya, tadi dia bercerita banyak sampai lupa titik koma tentang pengalamannya selama di Yogyakarta, terutama sambutan keluarga Rama yang sangat hangat.
“Tentu saja sambutan mereka hangat, karena Shinta gadis yang spesial. Cantik, pintar, putri tunggalku! Tapi aku akan tetap mencarikan yang terbaik buat Shinta dan aku tidak pernah setuju dengan Rama yang berasal dari keluarga biasa saja!” Mama Kinanti tetap tidak setuju dengan kedekatan Shinta dengan Rama.
“Mah sekali ini ya izinin Shinta memilih pasangan hidup, Shinta merasa cocok dengan Mas Rama. Mah kasih kita kesempatan untuk bersama-sama berjuang untuk membina rumah tangga,” Shinta memohon pada mamanya di telepon.
“Terserah kamulah! Tapi Mama tahu yang terbaik! Mama lihat kalau Rama itu berasal keluarga biasa, oke karier Rama mulai bagus dan ada kesempatan ambil S2 tahun ini seperti cerita kamu kalau kamu tidak berbohong agar Mama bangga dengan Rama. Tunjukkan kalau Rama tahun ini ambil beasiswanya dan dua tahun lulus! Jadi Mama akan pertimbangkan ulang hubungan kalian.”
“Benar ya Mah, Shinta akan dorong Mas Rama untuk ambil tawaran beasiswa dari kantor. Jadi Mama bisa bangga punya mantu yang lulusan S2,” Shinta merasa bersemangat karena ada satu jalan terbuka agar mamanya mau menerima Rama yang kemarin mengabarkan proposal pengajuan beasiswanya diterima.
***
Shinta tersenyum-senyum setelah handphone-nya ditutup. Barusan berbicara dengan mama sepertinya ada angin segar yang akan membawa hubungan dia dan Mas Rama bisa diterima.
“Woii dari tadi senyam-senyum gak jelas,” Mutia meledek Shinta yang wajahnya cerah mendadak.
“Iiiih memang yang boleh senyam-senyum cuma calon pengantin?” Shinta pura-pura protes terhadap Mutia yang akan menikah dua bulan lagi.
“Iyeee duh Nyonya Rama nih sensitif banget! Tuh yang diomongin orangnya datang,” Mutia balik ngeledek sambil wajahnya menunjuk kehadiran Rama.
“Mas Rama tuh Shinta kayanya siang ini rada-rada aneh deh!” celetuk Armi tidak mau kalah ngegodain Shinta.
“Oh ya... nggak hangat kok dahinya,” Rama memegang dahi Shinta dan langsung Shinta tarik soalnya Rama berniat berlama-lama memegang dahinya.
“Mas makan yuk, kangen soto Jalan Bank,” Shinta merajuk seperti anak kecil.
“Baiklah Tuan Putri,” jawab Rama.
“Aduh indahnya hidup kalian semua, hiks kapan aku punya pacar biar bisa seperti kalian?” Armi, sesama admin support yang belum punya pasangan curhat. “Sabar dong Ar, habis kamu kita jodohin ama Lody nggak mau. Padahal Lody ngebet banget sama kamu!” goda Mutia.
“Aduh yang lain dong? Lody terlalu gemulai, yang ada kalau ada preman aku yang harus berkelahi bukannya Lody. Toloooong deh!” Armi memberengut.
“Iya nanti kalau ada cowok high quality jomblo kita jodohin deh,” Rama menghibur Armi.
“Siiip deh Mas Rama,” Army memberikan dua jempol dan senyum kelincinya.
***
“Oh jadi ini yang buat kamu bahagia siang sampai sore ini Sayang?” Rama baru tahu setelah mendengar kalau Mama Kinanti akan memberikan kesempatan menikahi Shinta bila bisa meraih S2-nya cepat.
“Baiklah, demi gadisku aku besok langsung mengurus proses beasiswa dan dua tahun bantuin ngejar biar kelar S2-ku ya Sayang. Kamu siap hidup susah bersama aku?” Rama mencari kepastian di dua bola mata Shinta yang bulat.
“Iya pastilah aku akan mendukung kamu, jadi acara malam Minggu kita ke depan sibuk ngerjain tugas-tugas kuliah kamu ya Mas” Shinta tersenyum senang.
Dan tidak ada yang membahagiakan selain Tuhan menunjukkan sebuah jalan agar apa yang menjadi keinginan untuk menyatukan hati mama dengan hati mereka tercapai.
***
Rama menepati janjinya dalam jangka waktu sebulan sudah mulai mengikuti perkuliahan kelas eksekutif Strata Dua yang dijalani hari Jumat, Sabtu dan Minggu.
Rama dan Shinta mulai menabung untuk urusan pernikahan yang mereka rencanakan setelah selesai menempuh S2.
Shinta mendukung sepenuh hati dan selalu memberi semangat pada Rama. Tanpa terasa semester satu terlewati dengan nilai-nilai yang sangat memuaskan.
Mama masih saja bersikap dingin dan hanya sesekali bicara, Shinta tahu semester satu dengan hasil nilai-nilai Rama yang maksimal belum cukup meyakinkan mama kalau mereka serius dalam hubungan percintaan mereka.
Mama masih saja memandang sebelah mata usaha mereka. Tapi sudahlah, Shinta dan Rama hanya bisa bersabar sambil terus berusaha menyelesaikan kuliah S2 dengan sempurna dan Shinta mengejar selesainya ikatan dinas yang masih satu setengah tahun lagi.
Terakhir bertemu dengan Mama Kinanti, Rama teringat mama dari gadis yang dicintai masih dengan nada mengancam, “Jangan berharap banyaklah dengan hubungan kamu berdua, buktikan S2 kamu akan menjamin Shinta bahagia! Maka saya tidak keberatan melepas satu-satunya permata hidup saya ke kamu!”
***
Shinta menatap Mutia yang tengah hamil lima bulan dan tampak lebih cantik. Membayangkan dirinya bila hamil seperti apa.
“Kamu bahagia Mut dengan Mas Dony?” Shinta iseng bertanya.
“Tentu saja aku bahagia Shin, buat wanita tidak ada yang lebih membahagiakan selain dicintai dan sekarang mengandung buah cinta kami. Tenang saja kamu dan Mas Rama juga akan mengalami. Bersabarlah...” Mutia tahu kalau hubungan sahabatnya masih belum direstui oleh Mama Kinanti.
Beruntung mempunyai sahabat seperti pasangan suami istri Mutia dan Dony. Mutia menyabarkan Shinta sementara Dony mendukung usaha Rama untuk menyelesaikan kuliah S2 demi meraih hati mamanya Shinta.
***
Jam menunjukkan pukul 19.00, tiba-tiba Shinta berurai air mata menuju tempat IT bekerja di ruang kaca tertutup. Rama membuka pintu tergesa melihat Shinta yang nampak panik.
“Shin kenapa? Kamu menangis?” Rama langsung menenangkan. Suasana kantor sudah sepi, tinggal beberapa orang yang melembur.
“Mas Rama barusan aku ditelepon sekretaris Mama, katanya Mama mengalami kecelakaan dan sekarang tengah di rumah sakit. Aku harus segera ke Jakarta, temani aku ya Mas,” Shinta menangis tersedu-sedu. Pikirannya sudah negatif saja, siapa lagi yang dia miliki selain mama setelah papanya saja sudah tidak pernah menghubungi dirinya bertahun-tahun.
“Tenang Shin, kita masih bisa naik kereta api Purwojaya pukul 21.00 sampai Jakarta 01.00 dan langsung ke rumah sakit,” Rama coba menenangkan Shinta.
Rama dan Shinta bergerak cepat termasuk izin pada Pak Hernowo yang mungkin akan semingguan tidak masuk kantor, lihat situasi juga karena belum tahu seberapa parah kecelakaan yang menimpa Mama Kinanti.
***
Pukul 21.00 kereta api Purwojaya eksekutif yang sangat dingin membawa Rama dan Shinta meninggalkan Kota Purwokerto dan menuju ke Jakarta.
Shinta merapatkan tubuhnya yang menggigil dan pikirannya kacau, Rama merangkulnya, berdua mencoba memejamkan mata.
Pukul 01.00 pagi turun di Stasiun Gambir dan langsung menuju Rumah Sakit Persahabatan. Tampak Mama Kinanti dengan beberapa luka di wajah, tangan dan kaki. Juga ada memar di beberapa tubuhnya. Tapi ada pendarahan juga di kepala, tampaknya kecelakaan yang dialami cukup parah.
Dari keterangan Mbak Aning sekretaris mamanya, mama habis meeting dan takut hujan deras tak reda dan banjir di mana-mana yang membuat mama agak ngebut dan selip mobilnya.
Tiba-tiba Dokter Toni yang menangani Mama Kinanti mendekati Shinta dan Rama, “Mama Kinanti mengalami benturan keras di kepalanya dan cukup banyak darah yang keluar. Beliau butuh donor darah, apakah Shinta sebagai putri Ibu Kinanti bersedia jadi donor darah?” jujur Shinta memang paling takut sama jarum suntik. “Saya belum pernah jadi donor Dok?”
“Golongan darahnya B dan kita sangat butuh, tapi sayangnya golongan darah B sekarang stoknya lagi kosong,” kata Dokter Toni serius.
“Kalau begitu saya saja Dok, sudah ada setahun saya nggak donor, kebetulan golongan darah saya B,” Rama menawarkan diri.
“Baiklah, mari silakan ke ruang PMI dan nanti dituliskan untuk siapa darahnya. Sabar saja kita akan lakukan yang terbaik buat Mama Kinanti,” Dokter Toni pun berlalu untuk mengecek pasien lain.
***
Mama Kinanti menerima transfusi darah dari Rama paginya dan menunggu kesadaran penuh beliau setelah proses transfusi selesai.
Sore hari, Shinta dan Rama diperbolehkan masuk dan menengok mama yang hanya diam. Sepertinya mama masih shock dan belum bisa ditanyai apa-apa. Hanya tersenyum tipis dan ada air mata mengalir di pipi mama. Shinta menghapus sambil berkata, “Mama jangan berpikir macam-macam... pasrah pada Allah ya...”
Karena Mama Kinanti butuh waktu lama untuk perawatan sementara pekerjaan di Purwokerto tidak bisa ditinggal lama-lama, Rama memutuskan pulang terlebih dahulu hari Selasa. Sementara Shinta ditinggal di Jakarta untuk merawat mamanya dulu. Siapa lagi yang akan merawat mamanya kalau bukan Shinta.
Tapi Rama terus memantau perkembangan kesembuhan Mama Kinanti lewat Shinta, dan syukurlah Mama Kinanti berangsur-angsur membaik. Beruntung sekali bos Shinta, Pak Hernowo tidak meributkan Shinta yang izin dua minggu demi merawat mamanya.
Dua minggu kemudian Mama Kinanti diizinkan pulang walau masih dengan kursi roda, untung Shinta sudah mendapat suster yang sabar dan bersedia menjaga mamanya di rumah.
***
Shinta mulai bisa kembali bekerja seperti biasa, sementara mama dapat izin istirahat panjang dari kantornya.
Rasa kangen Rama tak terbendung, dua minggu tak bertemu dan siang itu langsung mengajak Shinta makan bareng untuk bercerita bagaimana di Jakarta. Walau setiap hari meluangkan waktu dengan menelepon, tapi belum puas kalau belum dengar cerita langsung.
“Oh ya aku pribadi mengucapkan terima kasih banyak karena berkat darah dari Mas, Mama tertolong nyawanya,” Shinta tersenyum penuh terima kasih.
“Iya sudah kewajiban kita saling tolong menolong Sayang, nggak ke Mama Kinanti saja... kalau ada yang butuh darah dan kita bisa kenapa harus takut? Jadi donor darah itu bagus buat kesehatan kok, jadi selain menolong kita sendiri juga terjaga kesehatannya,” Rama meraih tangan Shanti. Hampir dua minggu tidak bertemu rasanya kangen sekali dengan gadis ini.
Shinta menghangat, genggaman Rama selalu menenangkan dan memberinya kekuatan untuk melewati hari demi hari.
***
Dua semester S2 terlewati dan nilai-nilai tidak jauh dari sangat memuaskan. Hampir semua A, hanya ada satu B.
Rama memang cerdas dan pintar membagi waktu. Waktu bekerja, belajar, dan memperhatikan Shinta.
Dari cerita Shinta, dua bulan dari kecelakaan, Mama Kinanti sudah sehat dan beraktivitas ngantor lagi.
Ada yang membahagiakan setelah mama tahu kalau dalam dirinya mengalir darah Rama, mama kerap menanyakan Rama bahkan sepertinya mama mulai bisa menerima hubungan Shinta dan Rama.
Mama sengaja mengambil cuti seminggu untuk menikmati liburan di Purwokerto. Mama ingin melihat langsung tempat-tempat wisata yang sudah Shinta dan Rama kunjungi, sekaligus mencoba berkompromi hatinya dengan Rama yang selama ini selalu beliau remehkan..
“Pokoknya Mama mau ditemani kamu dan Rama, titik! Mama ingin mencoba dekat dengan calon menantu Mama,” kata Mama Kinanti di telepon saat ngobrol dengan Shinta. Perkataan mama tentu saja membuat Shinta sedikit lega. Berharap ini akan menjadi jalan mulus dirinya dan Mas Rama melangkah ke arah serius.
Tentu saja berita barusan membuat Shinta dan Rama surprise.
“Semoga Mama bisa menerima hubungan kita lebih baik ya Mas Rama,” Shinta berharap cemas dan Rama tersenyum berharap juga.
“Ya, semoga Shin,” ada harapan dalam hati agar Mama Kinanti bisa bersikap lebih bersahabat.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices