Dream Analyst

Reads
168
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

Chapter 3

_Jay Hyu Tomo_
Jadwal tour leader minggu ini kosong. Sedangkan Vizara punya jadwal event di Cengkareng. Hari ini ia mengurus segala sesuatu tentang pernikahan kliennya. Sebagai pengurus acara pernikahan, Vizara adalah seorang yang selalu bekerja secara professional. Kadang ia sampai lupa menghubungi gue saking konsennya bekerja.
"Jay, clubbing yuk!" Ajak seorang kawan lamaku.
Gue menolaknya. Bukan apa-apa, gue tak terlalu suka berada di diskotek dengan suasana yang terlalu ramai. Suara hentakan musik, bau alkohol dan rokok membuat gue pusing, padahal gue sendiripun kadang merokok. Tapi entah mengapa gue tak suka diskotek.
"Ayolah, sekali ini saja!" rayu Karl, si lelaki kardus.
Akhirnya gue menuruti permintaannya. Sesampainya di sana, puluhan mata wanita memandangi kami berdua. Bukan gue yang menarik perhatian para wanita penghuni diskotek ini, tapi Karl. Pria blasteran indo-belanda ini jelas saja menarik perhatian mata wanita jalang yang haus uang. Karl menarik gue untuk bergabung dengan beberapa wanita yang ternyata sudah dikenalnya.
"Nikmati saja dan lupakan Vie-mu malam ini," bisikknya. Baginya ini adalah lelucon, tapi buat gue ini hanya permainan sia-sia belaka.
Gue tak berminat untuk memainkannya. "Gue balik duluan." Gue berpamitan pada Karl yang sudah berada dalam pelukan wanita-wanita itu.
Namun langkah gue tertahan, seorang wanita sangat cantik menahan lengan gue erat.
"Di sini saja, please. Sebentar saja." Ia berbisik merayu.
Dan entah setan apa yang merasuki jiwa, gue beralih padanya dan mengikutinya ke sebuah tempat yang agak jauh dari Karl.
Tempat ini tampak seperti sebuah ruangan, namun masih terdengar kencang dentuman musik disko dari luar ruangan ini. Wanita cantik yang membawa gue ke sini menghenyakkan tubuhnya di sisi kananku. Ia duduk mengangkat sebelah kaki kanan yang ia tumpangkan pada paha kirinya. Tampak jelas mulus pahanya, membuat darah lelaki manapun berdesir ketika menatapnya.
"Liana," ucapnya menyebutkan namanya.
Tangannya menyalakan api rokok dengan lihai. Gue pun menelan ludah menatap pahanya yang terbuka. Gue hilang fokus hingga gue tak menyadari ia sudah berada lebih dekat dengan gue. Tangannya kini menyentuh pipi gue, sungguh membuat gue terlena.
Yang dapat gue lakukan saat ini hanya diam seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Ia pun menarik kedua tangan gue untuk menjelajahi wajahnya. Anehnya, gue menurutinya, seakan ada keinginan untuk menjamah wajahnya yang cantik dan putih bening seperti berlian. Sejenak bayangan Vizara luput dari benak.
Klik.
Lampu diskotek tiba- tiba padam tepat saat gue mendekatkan wajah padanya. Suara dentuman musik berhenti, yang terdengar hanya suara riuh para pengunjung yang kecewa karena lampu mati.
Klik. Lampu menyala kembali, tapi Liana tak lagi ada di hadapanku. Kemana Liana? Ah shit, nanggung banget tadi. Kesal gue dalam hati.
Klik. Lampu mati sekali lagi, keriuhan terdengar kembali. Mungkin ada kerusakan listrik dalam diskotek ini. Gue menunggu dalam gelap. Tiba-tiba gue mendengar suara seperti rintihan seorang perempuan. Gue diam dan mendengarkan karena di sini terlalu gelap untuk mencari sumber suara. Lama-lama suara tersebut makin terdengar lebih dekat denganku, bahkan tangisannya lebih menyayat hati. Gue penasaran, tapi tak ada yang bisa gue lakukan sekarang kecuali menebak-nebak apakah perempuan menangis ini adalah korban kekerasan pria di sini atau salah satu petugas kebersihan diskotek yang belum terima gaji? Entahlah.
Klik. Lampu nyala kembali. Begitu terkejutnya gue saat melihat Liana sudah berada di depan gue kembali, dan ternyata ia lah yang menangis tersedu.
Baru saja gue akan menyentuhnya, ia menyeringai pada gue lalu wajahnya tetiba berubah menjadi sosok menyeramkan.
Bola mata kanannya keluar dari sarang matanya, dan mata sebelah kirinya justru melesak ke dalam wajahnya. Mulutnya berlumuran darah dan menyeringai sangat lebar. Wajahnya hitam dan luka bopeng menyelimuti wajahnya yang sangat tidak karuan. Tanpa komando gue berlari terbirit-birit meninggalkan diskotek.
"Jay!" Seruan Karl tidak lagi gue hiraukan.
***
_Vega Aulia_
"Vega!"
Aku menoleh, seruan seseorang tak kukenal ini membuatku heran. Bagaimana bisa ia tahu namaku.
"Ya, anda siapa ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku hati-hati.
Seorang pria berkumis yang kutaksir usianya sama dengan ibuku ini memandangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Maaf," kataku. Aku tak suka dipandangi seperti itu.
"Anakku, Vega. Ini ayahmu, Nak." Serunya terharu seraya memelukku.
Aku berusaha melepaskan diri darinya. Ayahku memang sudah lama pergi dari rumah. Aku bahkan tak pernah tahu bagaimana wajahnya. Ibu bilang, ayah dan ibu bercerai ketika aku masih berumur tujuh bulan.
"Kalau ia menemuimu nanti, kamu harus berbuat baik padanya. Bagaimanapun ia adalah ayahmu betapapun ia pernah menyakitiku." Begitu pesan ibuku.
Pesan yang selalu kuingat dan kutunggu. Ya, aku menunggu saat-saat ayahku pulang dan memelukku. Tapi sekarang justru aku risih dipeluk olehnya seperti ini karena sekarang aku sudah dewasa. Walaupun aku tahu ia ayahku, namun ini adalah pertemuan kami yang pertama. Wajar saja jika aku menaruh keraguan padanya.
"Ayah?"
"Ya. Tak senangkah kau bertemu denganku, Nak?" Ia bertanya balik dengan raut wajah sedih.
"Bukan begitu. A.. aku..."
"Sudahlah, mari ikut ayah ke rumah. Rumah ayah tak jauh dari sini!" Ajaknya lembut.
Aku menggeleng. Aku baru saja mengenalnya, bagaimana kalau ia bukan ayahku? Bagaimana kalau ia orang jahat yang mengaku sebagai ayahku? Batinku bergolak.
"Lihat, ini foto waktu kamu TK. Ibumu pernah mengirimkan ini padaku." Ujarnya. Ia memperlihatkan padaku sebuah foto lama.
Benar saja, itu adalah foto diriku ketika aku TK. Berarti benar ia adalah ayahku. Aku mulai berpikir untuk ikut dengannya atau tidak.
"Baiklah, hanya untuk tahu rumah ayah ya. Karena aku harus segera pulang. Ibu menugguku di rumah," kataku akhirnya.
Kami tiba di rumahnya yang tak berapa jauh dari lokasi kami bertemu tadi. Ayahku ternyata seorang lelaki kaya. Rumahnya besar sama dengan rumah ibuku yang ia perjuangkan dengan jerih payahnya sendiri.
"Masuklah!" Ia ramah sekali memersilakanku masuk ke rumah bertingkat tiga.
Seorang wanita yang kutaksir usianya lebih muda dari ibuku berdiri di ruang tamu. Ia memandangiku dengan sinis.
"Siapa dia?" Tanyanya judes.
"Vega, anakku," jawab ayah sambil tersenyum.
"Untuk apa kamu bawa dia kemari?"
"Dia akan tinggal bersama kita," jawab ayah datar.
Aku melongo mendengar jawabannya. Aku tak ingin tinggal di rumah ini.
"Kan aku sudah bilang akan pulang, Ayah." Ada rasa canggung ketika aku menyebutnya ayah.
"Untuk beberapa hari saja. Tidakkah kamu ingin berbakti pada ayahmu yang sisa umurnya dapat dihitung dengan jari?"
Apa maksudnya? sisa hidup, katanya? Ia tampak segar bugar di mataku saat ini.
"Aku menderita kanker otak stadium akhir. Tinggallah di sini untuk beberapa waktu, Nak!" Pintanya memelas.
Akhirnya aku mengalah. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan tuhan untukku berbakti pada ayah yang tak pernah membesarkanku. Kuhubungi ibu, kukatakan aku ada jadwal hiking mendadak selama beberapa hari ke depan.
Ayah memiliki dua anak dari wanita judes itu. Satu laki-laki dan seorang perempuan yang judesnya sama dengan ibunya. Anak laki-lakinya sebaya denganku, menandakan bahwa ketika aku lahir, ayah sudah menduakan ibu dengannya. Mengingat ini darahku naik dibuatnya. Tapi demi sisa umurnya, kukesampingkan masa lalu.
Ini adalah hari ketigaku tinggal di rumah ayah. Ayah mulai menunjukkan kelemahan akibat penyakitnya. Ia tampak jauh lebih tua dari ketika pertama kali bertemu. Penyakitnya kumat, kepalanya sakit menjadi-jadi, begitu tuturnya padaku saat aku mengantar bubur ke kamarnya.
"Sebagian harta ayah nanti adalah milikmu, Nak. Untuk itulah selama ini aku mencarimu, karena kutahu ibumu tak ingin lagi menemuiku.
Jika aku mati nanti, tolong sampaikan maafku pada ibu. Aku sudah menyiakan hidupnya," tuturnya disela batuk kerasnya.
Entah harus sedih, marah karena ayahku sakit keras, atau senang karena orang yang menyakiti ibuku telah mendapat balasan di dunia ini. Aku bingung. Namun yang jelas, yang tampak di mataku saat inilah kenyataannya. Mau tak mau aku harus menghadapinya.
Bump!
Suara bantingan pintu kamar ayah membuatku menoleh seketika. Tapi tak ada siapapun di sana.
Keesokan harinya rumah ayah didatangi oleh banyak orang. Ayahku menghembuskan nafas terakhirnya subuh tadi. Tak ada air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Mungkin hati ini membuatnya beku. Hanya jeritan ibu tiriku serta anak-anaknya yang menggema di seluruh penjuru rumah. Rekan dan kerabat ayah bahkan tak ada yang tahu bahwa aku adalah anaknya juga. Tapi salah satu dari mereka menghampiriku dan mengajakku bicara empat mata setelah acara pemakaman usai.
"Ini adalah sertifikat rumah besar ini. Simpan ini untukmu, ini bagianmu, Nak. Warisan ini bagianmu," katanya menekankan.
Aku tak dapat merimanya. Entahlah, aku merasa itu bukan bagianku.
"Tidak, ini bagianmu. Cepat simpanlah!" Bisiknya.
Bump! Sekali lagi daun pintu terbanting tanpa siapapun di dekatnya.
Siapa sih? Batinku.
Sudah kubulatkan tekad untuk pergi dari rumah ini besok pagi-pagi. Sebenarnya aku sangat ingin pergi dari sini saat ini juga, namun tamu terus berdatangan. Rumah menjadi sangat ramai, membuatku susah untuk keluar dari rumah. Terpaksa aku mengunci kamar malam ini.
Kamar yang kutempati adalah kamar cantik nan sama luas dengan kamarku di rumah. Sebuah tempat tidur besar dengan seprai warna putih memberi kesan bersih. Sebuah meja rias bercermin di sisi kanannya. dan sebuah lemari kayu jati berdiri kokoh di dekat jendela. Aku menyukai desain interiornya. Biasanya kamar ini hanya ditempati oleh tamu ayah begitu kata Bi Minah, pembantu di rumah ini.
Suasana rumah kembali sepi pada pukul dua belas malam, mungkin semua tamu sudah pulang. Pikirku. Aku kembali ke tempat tidur untuk memejamkan mata setelah berdoa untuk ayahku di sana. Tak lama aku terlelap.
Di tengah sepi malam aku terbangun terengah. Mimpiku barusan membuat kepalaku pusing. Semua benda tampak berputar-putar dan melayang.
Kreeet.. bunyi dahan pohon di samping kamarku tertiup angin.
Kletuk. Sebuah benda seperti batu seperti dilempar ke arah jendela kamarku . Tiba-tiba jendelanya terbuka, angin malam menghambur ke dalam ruangan. Apa aku lupa menguncinya? Benakku.
Aku berjalan ke arah jendela untuk menutupnya, aku tak ingin masuk angin. Kurasakan tangan besar membekap mulutku dari belakang tepat saat aku sedang meraih daun jendela untuk ditutup.
Aku kelabakan dan meronta minta dilepaskan, namun tangan itu terlalu kuat hingga aku terseret olehnya. Tangan-tangan itu berhasil mengikat tanganku ke belakang, dan menyumpal mulutku dengan kain sumpal yang bau. Ya, tangan-tangan. Pelakunya tak hanya satu. Mereka menghempaskan tubuhku ke kasur.
"Jangan pikir kamu akan dapatkan rumah ini dengan mudah." Suara seseorang yang mulai kukenal menggema di seluruh kamar ini.
Aku tak dapat menjawab karena mulutku penuh.
"Hahaha, mana mungkin gadis tengil seperti dia mendapatkan rumah sebagus ini kami yang telah bertahun-tahun tinggal di sini," sahut Kirana, saudara tiriku sambil tertawa.
Aku meronta, ingin rasanya kuteriakkan padanya, "ambil saja rumahmu ini, aku tak butuh harta. Rumah ibuku bahkan lebih besar dari ini, dasar keji lapar harta." Namun tak ada suara selain ringisan yang keluar dari mulutku.
Sumpah serapah telah kulontarkan dalam hatiku.
"Kita apakan dia?" Tanya Robi, tampangnya bak pembunuh berdarah dingin.
"Biar aku saja," kata Kirana mengambil alih.
Sebilah pisau si tangannya ia angkat di atas kepala yang kuyakin tak ada isinya itu. Aku dapat memprediksi apa yang akan dilakukannya. Aku panik dan sangat takut. Namun rasa marah dalam dadaku membuncah hingga kedua mataku menjadi merah.
Kulihat ia menyeringai bagai setan di film horror yang pernah kutonton, bahkan seringai Kirana lebih menyeramkan. Aku menggeliat ingin melepaskan diri, namun terlambat. Kirana mulai mengayunkan tangannya dan,
Byar..
Semua menjadi sangat pekat.
***
_Frisky Pradana_
Gunung Papandayan, Tasikmalaya bukan gunung yang sulit didaki, tapi juga tidak mudah didaki. Banyak pendaki pemula menilih untuk mendaki gunung ini karena memang jarak dan medan pendakiannya masih bisa dibilang santai. Tidak terlalu banyak hambatan dan medan terjal.
Gue beserta empat karib sejati sudah berada di Terminal Guntur, Garut dan siap untuk mendaki. Hari sudah sore, namun tak menyurutkan semangat kami untuk mendaki malam ini juga. Pendakian malam lebih enak karena selain tidak panas, pemandangan akan betapa tinggi gunung yang akan kita daki tidak terlalu ketara. Setelah turun dari pick up, kami bersiap untuk mulai berjalan kaki. Jay mempersiapkan penerangan untuk kami. Setelah semuanya siap, kami berdoa bersama.
"Siap gaes?" Seru gue.
"Yuhuu," sahut mereka penuh semangat.
Jalanan berbatu menyambut langkah-langkah pertama kami. Hanya bermodalkan headlamp kami menelusuri jalan berdebu yang mulai menanjak.
"Ky, Frisky. Rehat bentar dong, gue capek ni, pengen minum!" Seru Vega terengah di belakang gue.
Gue pun memberi tanda pada yang lain untuk berhenti.
"Minumnya dikit aja, Ga." Gilang mengingatkan.
"Lo pucet banget Vie. Mau madu?" Gilang menawarkan madu pada Vizara.
Vizara menggeleng. "Atau mau aku gendong?" Kali ini Jay, kekasihnya yang menawarkannya bantuan.
Vizara tetap menggeleng. "Gue kuat kok. Ayo jalan lagi!" ajaknya menyulut semangat telletubbies lainnya.
Kami memang tim yang kompak. Kemanapun kami pergi bersama, kami pasti saling sokong satu sama lain.
Tak terasa dua jam sudah kami mendaki. Mulai tercium bau belerang yang menyengat, menandakan kami tengah berada di dekat kawah gunung. Masker wajah sudah siap terpasang di wajah kami masing-masing.
"Sini pegang!" ujar Jay dari atas membantu dua wanita kami.
Ini adalah tanjakan paling terjal yang kami lewati. Setelah berhasil melaluinya, jalan sempit menurun harus kami hadapi. Jalanannya sangat licin, bukan karena hujan, tapi karena aliran mata air di sekitar sini, membuat langkah kami lebih payah.
"Hati-hati!" seru gue memperingatkan sambil menuntun Vizara dan Vega berjalan pelan-pelan.
Satu jam kemudian kami sampai di tempat camping, Pondok Saladah. Di sinilah kami mendirikan tenda. Jay memilih tempat yang paling nyaman. Syarat lahan camping nyaman adalah datar, lapang, dan tidak dekat aliran air.
"Di sini aja!" Titahnya. Ia memang yang paling pandai menentukan tempat untuk membangun tenda.
Biasanya Papandayan ramai pendaki, tapi kali ini lumayan sepi. Hanya ada beberapa tenda yang bermalam di sini. Padahal pada waktu liburan, lahan camp ini nyaris kekurangan tempat untuk sekedar mendirikan hammock, apalagi tenda. Kami mendirikan dua tenda. Satu untuk tidur, satunya yang lebih kecil untuk menaruh tas dan barang-barang lainnya.
Tempat ini bukan puncak Papandayan. Masih ada Tegal Alun yang biasa orang sebut puncak, walaupun sebenarnya puncak Papandayan belum jelas ada. Beberapa orang mengatakan bahwa gunung ini tidak memiliki puncak seperti gunung Sindoro, Sumbing, Slamet atau gunung lainnya. Namun banyak juga yang mengatakan bahwa TegaL Alun adalah puncaknya.
Untuk sampai ke Tegal Alun, membutuhkan waktu tempuh satu sampai dua jam mendaki bukit. Kami akan bermalam di sini, lalu besok pagi-pagi kami akan melakukan perjalanan ke Tegal Alun untuk mendapatkan pemandangan indah di hutan mati dan kebun edelweis.
"Aku lupa bawa sleeping bag." Vizara panik. Tangannya sibuk mengocek carriernya dalam gelap. Lampu led sudah kami padamkan untuk menghemat daya.
"Udah, kamu pake sleeping bag-ku aja, hunny." Jay seraya membantu Vizara membereskan carriernya kembali.
Mereka memang pasangan serasi. Gue mengenal mereka saat mereka sudah menjadi pasangan kompak, dan hingga saat ini mereka masih kompak.
"Terus kamu pake apa, Yang?"
"Nih, ada trash bag," jawab Jay nyengir.
"Tapi kan dingin. Biar aku bareng Vega aja deh sleeping bag-nya."
"Asal di dekatmu, aku pasti merasa hangat." Jay setengah berpuisi, mengundang sorak sorai dari kami semua. Tak lama kamipun terlelap kelelahan.
Krek, krek, krek..
Tiba-tiba gue mendengar suara dari luar tenda. Seperti suara kayu dipatahkan. Posisi gue tidur adalah paling pinggir dekat pintu tenda, berjaga-jaga andai ada apa-apa saat mereka berempat tertidur pulas.
Kreek.. suara itu terdengar lagi, bahkan makin dekat dan makin keras terdengar, membuat gue penasaran untuk mengeceknya ke luar tenda. Akhirnya gue buka sedikit pintu tenda demi melihat apa yang berbunyi.
Tenda lain letaknya agak jauh dari tenda kami. Tidak mungkin bunyi tersebut bersumber dari tenda lain. Gue makin penasaran, dan gue benar- benar keluar tenda untuk memastikannya. Gue melirik jam tangan yang menunjukkan pukul dua. Udara makin dingin menerpa wajah gue.
Kreek..
Gue berbalik dan melihat sesosok kakek tua sedang berjongkok mematah-matahkan kayu sepuluh meter dari pandangan gue. Oh, kakek itu yang berisik. Gumam gue, lalu kembali ke tenda.
Kulihat Jay menggigil kedinginan, dan Vizara sedang berusaha menyelimutinya dengan jaket yang ia pakai.
"Lo ngapain keluar?" Tanya Vizara saat melihat gue masuk .
"Tadi gue dengar suara orang matahin kayu, pas gue cek ternyata ada kakek tua yang matahin kayu bakar di depan sana," jelas gue.
"Kakek?" Vizara mengernyitkan dahi.
"Yups, tidurlah. Jay gimana? Aman?"
"Dia pilek karena kedinginan. Salah gue lupa bawa sleeping bag, sekarang dia yang sengsara," katanya menyesal.
"Nggak apa, Yang. Sini tidur lagi." Jay yang ternyata terbangun, menarik Vizara lebih dekat dengannya.
Gue merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Tapi pikiran masih melayang entah kemana.
Ngapain kakek tadi matahin kayu malam-malam?
Keesokan paginya, sesuai target, kami sudah siap untuk melakukan 'puncak attack' ke Tegal Alun. Perjalanan ke Tegal Alun memang tidak seterjal perjalanan mendaki dari kaki gunung sampai ke Pondok Saladah, namun medan yang harus didaki cukup tinggi dan sempit. Jurang di kiri dan kanan, atau hutan belantara masih mendominasi pemandangan.
Sebelum naik ke bukit paling tinggi, kami melewati hutan mati. Pemandangan kapur putih dengan pohon dan ranting kayu mati terhampar bagaikan hutan tandus kekeringan. Tapi justru di situlah letak keindahan hutan mati ini.
Kalau lo pernah ke kawah putih, Ciwidey, maka lo akan bisa bayangkan betapa indahnya alam Indonesia yang satu ini. Hutan kami mati, tapi tetap indah. Itu adalah kalimat keren yang meluncur dari bibir tipis Vega saat kami berpose ria di area hutan mati ini. Sungguh pemandangan alam yang tiada duanya.
Setelah itu kami beranjak mendaki puncak tertinggi, Tegal Alun. Kata orang kalau ke Papandayan tapi nggak sampai ke Tegal Alun, berarti belum kesana rasanya. Setengah jam kemudian kami tiba di puncak Tegal Alun. Ratusan bahkan ribuan pohon edelweis terhampar di sana. Vega langsung menghambur ke tengah-tengah kebun edelweis. Gue tersenyum melihat tingkahnya.
"Paradise!" serunya girang. rambut ikalnya beterbangan ke wajahnya terhempas angin segar puncak Papandayan.
Vizara mengikutinya, "heaven." Serunya berlari kecil diantara pohon edelweis yang sedang bermekaran.
Setelah puas bermain di antara edelweis, kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Hari makin gelap karena sudah sore, ditambah lagi langitnya tiba-tiba menjadi mendung. Khawatir hujan akan turun sebelum kami tiba di tenda nanti.
Kami bergerak cepat menuruni perbukitan terjal.
"Naik nggak terasa, pulang berasa ya." Komen Vega kelelahan.
"Nikmati saja. Namanya turunan, beban di kaki kita menjadi delapan kali lipat," kata gue santai.
Jalan turun tampaknya berbeda dengan jalan naik. Ada banyak jalur untuk turun, dan bodohnya gue lupa jalur mana yang membawa kami sampai ke Pondok Saladah. Jalur yang kami lewati membuat kami kembali ke jalur semula.
"Fix. Kita tersesat," ujar Gilang mengusap peluh.
Langit makin gelap, hujan akan segera datang.
"Begini saja, kita berpencar untuk cari jalur yang benar. Patokannya di sini. Satu jam lagi kembali ke sini, semoga salah satu dari kita dapat menemukan jalur yang benar." Jay memberi ide yang langsung kami sepakati bersama.
Kami berlima pun mulai berpisah satu-satu. Gue berjalan ke arah timur sampai agak jauh. Makin ke timur makin hutan yang kudapati, tapi ada jalur yang kelihatannya pasti menuju Pondok Saladah. Tak ada papan penunjuk jalan, tak ada tanda-tanda apapun yang memberi sinyal Pondok Saladah, hanya jalur setapak lah yang terus menuju ke timur.
Gue terus berjalan tanpa terasa sudah hampir satu jam tapi gue tak juga menemukan jalan, jadi kuputuskan untuk kembali ke meeting point.
Sesampainya di meeting point, gue tak temui satupun anggota telletubbies. Vega, Vizara, Jay dan Gilang mungkin belum sampai. Pikir gue.
Dua jam sudah gue menunggu, tak ada tanda-tanda kepulangan mereka. Apakah mereka sudah sampai Pondok Saladah? Tapi masa mereka tega meninggalkan gue? Atau jangan-jangan mereka tersesat dan tak tau arah kembali ke sini? Pikiran gue berkecamuk, sementara hari makin malam.
Gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan sekarang. Headlamp sudah menyala dan terpasang dengan baik di kepala gue, menjadi satu-satunya penerang jalan.
krek.. krek..
Tiba-tiba gue mendengar suara riuh kayu yang dipatahkan. Persis suara yang gue dengar dari tenda semalam. Kali ini gue jadi yakin bahwa gue sudah dekat dengan Pondok Saladah karena berarti ada kakek tua yang semalam gue lihat di dekat sini.
Gue berjalan lagi mendekati sumber suara. Kreek.. krekk..
Makin dekat dan makin dekat, hingga kulihat sang kakek sedang berjongkok membelakangi gue.
"Maaf, kek, saya mau tanya jalur ke Pondok Saladah sebelah mana ya?" Tanyaku pelan dan hati-hati.
Si kakek bergeming, lalu gue bertanya padanya sekali lagi. Mungkin ia tak mendengar gue.
"Kek, maaf, saya mau tanya."
Kali ini ia berbalik. Si kakek berwajah rata itu berbalik menghadapi gue, membuat gue kaget setengah mati. Gue tercekat dan ingin lari saat itu juga, namun ia keburu menjawab, "di sana" dengan kepala yang menggelinding ke arah barat.
***
_Gilang Ramadhan_
Gue merasa ada yang aneh dalam hidup gue akhir-akhir ini. Sesuatu mungkin telah terjadi pada gue, tapi entah apa itu, gue nggak tau. Seakan ada yang hilang dari hidup gue.
Gilang. Begitu mereka menyebut nama gue. Padahal rasanya itu bukan nama gue. Atau memang itu adalah nama gue , tapi gue lupa. Ya, lupa. Dua hari yang lalu gue bahkan lupa total siapa gue dan ada dimana gue saat itu.
"Gilang. Kamu sehat kan, Nak?" Ujar seseorang wanita yang gue nggak kenal.
"Gilang?" Tanya gue heran.
Wanita itu menggernyitkan dahi menatapku, tampaknya ia lebih heran dari gue.
"Iya, Gilang. Ini ibu," Katanya.
"Ibu?"
Sejak itulah gue tau nama gue Gilang. Lalu wanita itu bercerita bagaimana gue bisa berada di rumah sakit. Saat itu gue mengalami kecelakaan hebat di jalan raya ketika mengendarai mobil. Polisi setempat yang membawa gue ke rumah sakit. Mungkin benturan keras di kepala membuat gue lupa ingatan. Entahlah.
Satu hal yang membuat gue sangat tak nyaman saat ini adalah gue bisa melihat dan berinteraksi dengan orang-orang yang baru saja meninggal. Gue baru sadar hal ini ketika kemarin gue sedang berjalan-jalan di sekitar rumah sakit, gue melihat seorang wanita cantik sedang menangis tersedu di lorong dekat ruang otopsi mayat. tangisannya pilu, menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Lalu gue menghampirinya. Mungkin salah satu anggota keluarganya sedang diotopsi oleh tim forensik di dalam. Gumam gue dalam hati.
"Maaf, Mbak." Gue menyapanya dengan lembut.
Ia menengadah dan melihat gue dengan mata merah berlinang air mata.
"Maaf, Mbak, bukannya mau mengganggu, tapi saya lihat sampeyan sedih banget. Saya turut berduka cita ya atas yang terjadi pada kerabat sampeyan." Kata gue tulus.
Ia tersenyum. "Makasih, tapi bukan kerabat saya, Mas."
"Oh, lalu siapa?" Tanya gue penuh perhatian.
"Saya sendiri, Mas."
Gue bingung mendengarnya. Yang kena musibah dia sendiri, lalu siapa yang sedang berada dalam ruang otopsi? Benak gue bertanya-tanya.
"Saya, Mas. Saya sudah meninggal. Jasad saya yang berada di dalam ruangan itu," ujar wanita ini lagi.
Gue terkejut mendengarnya. Gue mundur selangkah darinya.
"Mas, tolong saya Mas, tolong." Ia berucap lirih. Kemudian ia menangis lagi tersedu sedan.
Gue terpaku di tempat gue berdiri. Entah harus takut atau tidak, harus lari dari sini atau tidak. Yang pasti lidah gue jadi kelu, dan kaki ini pun rasanya berat untuk dibawa melangkah. Akhirnya gue mengalah pada perasaan takut ini.
"A.. apa yang harus saya bantu?" Kata gue terbata.
"Tolong saya!" Ratapnya sedih sekali. Air mata tak berhenti mengalir dari wajahnya nan cantik jelita namun pucat pasi, seperti tak ada aliran darah dalam nadinya.
"Baiklah, apa yang harus saya lakukan?"
"Balas dendam."
***
Kami bangun kesiangan pagi ini. Padahal harusnya Jay mengurus mobilnya hari ini agar kami bisa melanjutkan perjalanan ke Bali. Aku bangun paling pertama di antara mereka semua, rasanya aku mimpi buruk semalam hingga badanku terasa pegal. Kurenggangkan sejenak tubuhku di depan jendela kamar yang menghadap ke teras rumah. Lalu kusibakkan tirai jendelanya.
Kuperhatikan beberapa warga gang yang lewat di depan rumah pasti menundukkan kepala, atau berjalan cepat sambil sesekali melirik ke arah rumah ini. Tak ada satupun yang berjalan santai. Ada apa gerangan? Aku bertanya-tanya dalam hati.
"Aaaaaarrgggh!" jerit Vega histeris tiba-tiba.
Matanya terpejam namun tubuhnya menggeliat-geliat. Aku segera menghampirinya. "Ga, Vega. Bangun Ga, bangun!" Seruku panik mengguncang tubuhnya.
Jay yang terbangun akibat kegaduhan yang terjadi pun langsung menghampiriku.
"Ada apa?" Tanyanya kelabakan.
"Vega mimpi kali, Yang. Ini gimana banguninnya, daritadi meronta-ronta!" Jelasku makin panik.
Jay bergegas keluar dan kembali membawa secangkir air, lalu ia cipratkan ke wajah Vega. Tak lama Vega terbangun.
"Kamu kenapa, Ga? Habis mimpi buruk ya?" Tanyaku lega melihatnya sudah bisa duduk sendiri.
Wajahnya pusat pasi seperti orang kelelahan setelah maraton Jawa Bali. Vega mengangguk lemah.
"Gue mimpi dibunuh oleh saudara tiri gue," tuturnya pelan.
"What's going on?"
Gilang dan Frisky masuk kamar dengan membabi buta. Tampaknya mereka pun baru bangun. Aku menceritakan kejadian barusan.
"Gue juga mimpi aneh semalam." Gilang menceritakan mimpinya tadi malam.
Berikutnya Jay, Vega dan Frisky yang bercerita tentang mimpi mereka masing-masing tadi malam.
"Wah, menang banyak lo Jay mimpi dicium cewek cantik," ledek Gilang tapi dengan tampang serius. Sedangkan aku menekuk wajahku seribu.
"Kan cuma mimpi, Yang. Kenapa harus cemburu? Toh, kamu lebih cantik kok." Jay mengeluarkan rayuan gombalnya.
"Tapi tetap aja kamu hampir cium dia. Untung aja dia kuntilanak," sungutku.
Mereka mentertawaiku hingga aku pun ikut tertawa.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices