Dream Analyst

Reads
151
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

Chapter 5

Kuceritakan semua yang kualami pada Jay. Ia mampu mendengarkan segala kekalutanku beberapa hari ini. Ya, ia hanya mampu mendengarkanku tapi tersirat di raut wajahnya bahwa ia sesungguhnya tak mempercayai semua ceritaku.
"Apa ini kutukan kucing hitam itu, Yang?" Tanyaku khawatir.
Ia menggeleng dan meyakinkanku bahwa ini adalah musibah. Dari kecil ia memang tak pernah percaya dengan hal-hal berbau mistis. Semua hal di dunia ini baginya adalah permainan logika.
"Aku tau kamu wanita, tapi tidak semua hal bisa kamu baperin. Sekarang tidurlah, kamu sudah terlalu lelah. Besok pagi kita cari mereka lagi," ucapnya mengakhiri obrolan malam ini.
Tapi aku tak bisa tidur. Pikiranku masih berputar-putar tentang Gilang dan Vega. Kemana mereka? Untuk apa mereka pergi? Dimana mereka saat ini? Dimana? Pikirku frustasi. Sementara Jay tidur dengan pulas di sisiku. Hujan turun deras pada pukul dua dini hari. Petir menyambar bersahutan, kilat tampak menggelegar sinarnya di luar jendela hingga berkali-kali kaca jendelanya bergetar.
"Jay," bisikku. Ia hanya menggeliat sedikit tapi tetap pulas.
Kutarik selimut hingga menutupi leher, aku mencoba untuk memejamkan mata, namun kini malah telingaku yang bekerja lebih keras. Suara denting hujan telah berhenti, digantikan rinai-rinai yang berirama menegangkan di tengah sepi malam. Tess... tess.. tess. Suara percikan sisa air hujan masih terdengar lantang di tengah keheningan.
Tiba-tiba aku mendengar suara air yang disiram dari kamar mandi sebelah. Bergantian seperti suara orang sedang mandi.
Kudukku meremang, aku tetap memejamkan mata. Tak lama kemudian suara berisik terdengar di kejauhan, kali ini seperti suara gelas, piring, dan sendok yang beradu.
Ting.. ting.. ting..
Begitu bunyinya. Disusul oleh suara langkah kaki berderap teoat di depan pintu kamarku. Suaranya hilang timbul, seakan langkah kaki itu mendekat dan menjauh dari kamar, kemudian mendekat lagi, begitu seterusnya.
Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Aku tak berani bergerak sedikitpun dari tempatku, walaupun rasanya ingin sekali membangunkan Jay satu kali lagi. Lama kelamaan aku seperti hilang kesadaran, tapi tetap masih bisa mendengar apa yang terjadi di sekitarku. Entah ini mimpi atau kenyataan, yang jelas aku masih mampu mengendalikan diriku saat ini.
Antara sadar dan tidak, kulihat sesosok bayangan hitam menaiki tempat tidur dengan cara merangkak mendekatiku. Kasur empuk yang kutiduri terasa mengeper saat sosok bayangan hitam tersebut menaikinya.
Krek.. tempat tidur empuk ini berderit karena sesuatu yang berat menindihnya. Aku ingin sekali membuka mata saat ini, namun justru kedua mataku jadi lengket, dan tak dapat terbuka dengan mudah. Padahal aku sangat penasaran dengan sosok itu. Apakah Jay yang naik ke tempat tidur? Tapi kan dia memang tidur di sisiku. Benakku.
Lalu tiba-tiba seluruh badanku membatu, namun jiwaku hidup dan sadar bahwa ada sesuatu yang membelenggu jasadku. Kini aku dapat melihat Jay masih terlelap di atas sofanya. Aku berteriak sekencang-kencangnya, tapi Jay tidak dapat mendengar teriakanku. Aku berteriak hingga kelelahan. Bayangan sosok hitam itu menindihku tanpa perasaan.
"Lahaula walaquata illabillah."
Dan terlepaslah ia dari tubuhku. Lega rasanya. Aku teringat dengan cerita teman sekolahku yang pernah mengalami hal yang sama ini denganku. "Itu namanya ereup-ereup atau ketindihan setan," tuturnya dulu. Tapi aku dulu tak pernah mempercayainya. Sekarang setelah mengalaminya sendiri, aku berubah pikiran.
Keesokan paginya aku menceritakan semuanya pada Jay. "Jangan mulai lagi, hunny. Lebih baik kita pikirkan cara menemukan Gilang dan Vega!"
"Lalu sampai kapan kita harus berada di sini, Yang? Bagaimana kalau mereka berdua memang sengaja pergi dari rumah ini seperti kata Frisky?" Ketusku.
Aku mulai kesal dengan Jay. Andai saja ia mau mendengarkanku, mungkin saja ia bisa membantuku memecahkan misteri ini. Ya, misteri. Bagiku semua ini misteri. Ah ya aku baru ingat tentang semua yang terjadi padaku di rumah ini mulai dari kedatangan kami kemari.
"Oke, jika sampai malam nanti mereka belum kembali atau kita temui, maka kita akan lapor polisi."
Aku merengut mendengar solusi darinya. Tapi tak ada salahnya mencoba lapor polisi. Sekarang pun sebenarnya tak apa, tapi polisi hanya mau menerima laporan orang hilang setelah 2x24 jam, bukan?
***
Waktu berlalu sangat cepat hari ini, hingga tak terasa malam telah menyapa lagi. Seharian ini kami sibuk menyisiri lagi di lantai dua untuk yang kedua kalinya. Seluruh ruangan lantai atas telah kami jelajahi, namun tak jua kami menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Jay sudah tampak sangat kelelahan.
"Lalu apa sekarang, Yang? Kita pergi dari sini malam ini kan?" Ujarku membuka obrolan.
Aku sudah mengemasi barang-barangku dan siap pergi dari sini malam ini juga. Rencananya kami akan lapor polisi terdekat dan mencari tempat bermalam yang agak jauh dari rumah berhantu ini.
"Sebaiknya kita tunggu sampai besok," kata Jay lembut.
Aku mulai gusar.
"Kamu apa-apaan sih, Yang! Kamu bilang malam ini kita akan lapor polisi, sekarang kamu minta kita menunggu lagi. Aku nggak bisa menunggu lagi yang, ini udah dua hari mereka hilang," Sergahku penuh emosi.
"Bersabarlah, Yang. Aku yakin kita akan menemukan jalan keluarnya besok pagi."
"Enggak. Aku nggak mau. Kamu nggak mau mendengarkan aku. Kamu bahkan tidur pulas disaat aku sendirian menghadapi semua kejanggalan dan teror rumah ini," kataku dengan nada tinggi.
"Dengar, aku sudah bilang, nggak ada hal mistis di dunia ini. Malam ini aku akan tetap tinggal di sini, selebihnya terserah kamu," ujarnya setengah berteriak di depan wajahku, lalu berbalik dan masuk ke kamar seraya membanting pintunya.
"Yaaaaang!" Seruku kesal pada daun pintu yang sudah menutup rapat.
Ia mengunci pintunya dari dalam. Baiklah, aku akan keluar dari rumah ini malam ini juga. Gerutuku.
Bump! Kubanting pintu utama rumah setan ini. Malam ini aku akan cari kendaraan untuk menuju hotel terdekat.
Jay kenapa sih? Mengapa hari ini ia berubah menjadi kasar? Baru kali ini ia membentakku seperti tadi. Setan apa yang mempengaruhinya? Gerutuku.
Aku berjalan menelusuri gang Wahyu Kuncoro ini. Jalanannya sudah sangat sepi dengan penerangan sangat minim. Hanya ada beberapa rumah warga yang menyalakan lilin, selebihnya gelap gulita. Mungkin sedang ada pemadaman listrik massal. Terpaksa aku berjalan pelan dan meraba-raba.
Aku bergidik ketika melewati rumah yang kebakaran dua hari lalu. Dalam gelap aku masih dapat melihat sisa-sisa lalapan api di sana sini. Kupercepat langkahku saat mengingat mayat si empunya rumah yang terbujur di kakiku kala itu.
Semakin aku berjalan, semakin jauh kurasakan jarak dari rumah nomor 14 yang kutempati ke ujung gang. Walaupun aku dan Vega pernah keluar dari gang ini pada siang hari, tapi keadaannya di malam hari menjadi jauh berbeda. Gulita mempersulit diriku yang memang selalu bodoh dalam menghapal arah jalanan. Aku adalah navigator paling payah diantara kami berlima.
Lega rasanya bertemu dengan seseorang yang dapat menjadi tempatku bertanya. Beberapa bapak-bapak sedang bermain kartu di warung remang-remang. Atau gang ini memang gang remang-remang karena seluruh rumah minim penerangan.
"Permisi, Pak. Saya mau tanya, jalan menuju jalan raya ke arah mana ya?" sapaku berusaha ramah.
Tak ada yang langsung menjawab. Semua memandangiku dengan tatapan aneh. Bahkan ada yang menatapku dengan pandangan menjijikkan dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Aku tak suka dipandangi seperti itu.
"Wah, masih lumayan jauh, Mbak. Belokannya masih banyak," katanya ramah.
Salah satu diantara mereka memandangiku sinis. Ada sekitar tiga atau empat orang bapak-bapak duduk di tempat ini, salah satu dari mereka tidak berbalik menghadapiku.
"Oh, nggak usah, Pak. Tunjukkan saja jalannya. Saya bisa sendiri kok," tolakku halus sambil tersenyum.
Tapi dua dari mereka malah berdiri dari tempat duduknya dan mendekatiku. "Mari saya antarkan," katanya menyeringai.
Bulu kudukku terpaksa meremang lagi. Firasatku buruk tentang bapak bertampang mesum ini. Walaupun wajahnya terlihat samar karena pencahayaan yang kurang mendukung aku jadi tak dapat mengenali wajah mereka satu persatu.
"Enggak, Pak. Makasih," kataku sambil berlalu dari hadapan mereka.
Aku mempercepat langkah menjauh dari tempat remang-remang itu. Tak kusangka kedua bapak yang berdiri tadi ternyata mengikutiku dari belakang, tapi aku berusaha tak menghiraukan mereka.
Semakin cepat langkahku, semakin cepat pula langkah mereka mengekoriku.
Gelagat yang tidak beres ini kujadikan sinyal kejahatan. Satu.. dua.. tiga.. aku mulai berlari sekencang yang kubisa. Dan benar saja, mereka mengejarku dengan tampang sangar. Aku berkelit berbelok ke sana kemari agar bisa sembunyi dari mereka. Namun mereka masih saja mengejarku. Lalu aku bersembunyi di balik sebuah pohon yang sangat besar karena sudah tak sanggup lagi berlari. Kedua dengkulku melemas seakan engselnya ingin lepas.
"Keluarlah nona manis. Kau tak akan bisa lari kemanapun di dalam gang ini. Kami pasti akan menikmatimu!" Seru si bapak berkulit hitam legam..
Jantungku berdegub kencang mendengar perkataannya. Aku menyesal telah meninggalkan rumah nomor 14 itu sekarang. Aku ingin kembali ke sana dan mencari perlindungan pada Jay seperti biasanya. Ia pasti akan melindungiku dari kedua lelaki kardus ini. Pikirku kacau.
Krek...
Dahan dan daun-daun yang menutupiku tetiba tertiup angin kencang dan sialnya membuatku terlihat oleh kedua lelaki hidung belang itu. Aku panik sejadi-jadinya namun tak sanggup lagi untuk lari saat ini. Aku pasrah.
"Kena kau."
"Aaaaarggh!"
Aku meronta minta dilepaskan oleh salah satu lelaki kardus yang berhasil menangkapku. Ia menarik kedua tanganku ke belakang, tapi bodohnya ia tak sempat melipat kakiku. Sementara temannya yang satu sudah sangat bernafsu untuk menggerayangiku.
"Tolong... tolong!" Aku berteriak sekencang-kencangnya.
"Tak akan ada yang berani menolongmu, anak muda. Menyerahlah, dan tinggalllah di gang Wahyu Kuncoro untuk selamanya," kata si bapak berbau badan kuda. Sungguh menyengat bau badan bapak ini, apalagi dari jarak yang begitu dekat seperti ini.
Bau badannya memberi implus padaku untuk segera melepaskan diri. Aku bertindak di luar kendali, kutendang selangkangan lelaki kardus di hadapanku hingga ia mengaduh dan membuat panik si lelaki berbau badan kuda yang memegangiku dari belakang. Ia lengah seketika membantu teman sejawatnya yang nyaris kehilangan kejantanannya. Kesempatan ini kugunakan untuk berlari lagi dari keduanya.
"Astaga. Pak Suryamin!" Umpatku.
***
Berlari dalam keadaan gelap bukan hal yang mudah untuk dilakukan, apalagi kamu tak mengenal area tempatmu berlari. Saat ini bukan keluar gang yang kutuju, tapi rumah kosong nomor 14. Aku sudah bingung dan kewalahan mencari jalan kembali ke rumah itu, karena tanpa kusadari aku sudah berlari jauh entah sampai kemana.
Kedua lelaki kardus itu sudah tak lagi mengejarku, tapi aku tetap cemas. Kulirik jam tanganku. Pukul satu pagi. Siapa yang akan membantuku kembali ke rumah itu. Aku berjalan lagi dengan sisa-sisa tenaga.
Kulihat lampu warga menyala di kejauhan. Mungkin masih ada yang belum tidur, prasangkaku. Aku pun menghampirinya. Beberapa ibu-ibu tampak sedang asik mengobrol di teras rumahnya. Jam satu pagi masih ada ibu-ibu duduk manis di luar rumah, sungguh merupakan hal yang luar biasa bagiku.
"Permisi, Bu. Saya mau tanya rumah nomor 14 di sebelah mana ya?" tanyaku terengah pada seorang ibu yang sedang mencabuti uban temannya.
Cari uban semalam ini? Pikirku. Tapi apapun itu aku tak peduli.
"Ke sana, Mbak. Lurus aja, nanti belok kanan. Terus belok kanan lagi, setelah itu belok kiri," jelasnya datar.
Otakku beku, dan tak dapat mencerna kalimat selanjutnya. Setelah mengucapkan terimakasih, aku bergerak lurus, lalu belok kanan. Entah belok mana lagi di depan nanti, yang penting belok kanan. Pikiranku kalut, nyaris semaput.
Aku tak henti berlari dalam gelap malam. Satu sisi aku ingin segera sampai kembali di rumah nomor 14, satu sisi lainnya aku berlari karena takut kedua lelaki kardus itu mengejarku kembali. Wajah Pak Suryamin masih terbayang jelas di benakku. Dia, si malaikat penolong kami malam itu ternyata hanya bersembunyi di balik topengnya. Tak kusangka ternyata ia lebih kardus daripada kardus.
Aku berlari dan berlari diantara rumah warga yang sepi. Kadang sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi dari dalam rumah, suara teriakan anak perempuan hiateris, dan raungan wanita yang mencekam. Tapi satu hal yang baru kusadari bahwa penduduk dalam gang ini rata-rata wanita. Tak ada laki-laki kecuali beberapa lelaki kardus yang kutemui tadi, termasuk Pak Suryamin.
Kemarin sore aku sempat melihat ibu-ibu lewat depan rumah membawa dongkrak. Aku sempat bertanya padanya, dari mana dan akan kemana ia. "Mau ke bengkel, Mbak. Buat ngisi perut," jawabnya singkat.
Kusimpulkan bahwa mayoritas warga gang Wahyu Kuncoro adalah wanita. Pertanyaanku, dimana kaum pria yang harusnya jadi tulang punggung keluarga.
Malam makin larut, kakiku mulai terasa berdenyut. Luka di telapak kakiku belum sembuh sudah dibawa berlari-lari tak karuan. Kurasakan perban kakiku basah, membuatku merasa sangat tak nyaman Aku berhenti di sebuah rumah kosong yang kuyakin aman untuk bersembunyi sementara. Setidaknya sampai matahari datang, agar aku dapat mencari rumah nomor 14 itu lagi dengan aman.
Sepertinya aku tersesat. Ah, mungkin karena udah malam jadi aku bingung jalan, apalagi gelap banget gini. Debatku dalam hati.
Aku mengatur napas yang sangat tak beraturan sambil memeriksa telapak kaki. "Ah, sial, berdarah lagi."
Aku terduduk lemas di lantai berwarna putih belakang sebuah rumah tak berpenghuni. Sebuah lampu pijar kuning menyala, kecil dan tidak terlalu terang. Cukup sebagai penerangku saat ini. Aku berdoa pada yang maha kuasa agar semua ini lekas usai, agar misteri ini segera terpecahkan, agar Gilang dan Vega cepat kembali.
Tetiba aku ingat Jay. Aku harus segera kembali ke rumah itu. Jay sedang dalam masalah. Aku yakin apa yang Jay lakukan padaku tadi bukan sengaja. Jay yang tadi bukan Jay yang sesungguhnya. Sudah banyak hal aneh yang kualami di rumah itu, dan sekarang aku mengerti. Ada sesuatu yang tidak beres di sana. Aku harus kembali saat ini juga.
Tes.. tes.. tes..
Tetesan air dari atasku jatuh membasahi kepalaku hingga menetes ke dahi. Kulihat jalanan mencari tanda-tanda hujan. "Langitnya terang kok. Air apa ya?" tanyaku pada diri sendiri.
Tes.. tes.. tes..
Kali ini kuusap dahiku yang makin lama makin basah. Aku tergugu saat tahu bahwa air menetes tersebut adalah darah segar.
Spontan aku menengadah, seorang mayat laki-laki tersangkut di palang kayu atap. Aku tercekat, suaraku tiba-tiba hilang.
Kusaksikan mata si mayat terbelalak ke arahku dengan lidah yang menjulur, sementara perutnya terkoyak mempertontonkan hampir seluruh isinya, persis seperti perut kucing hitam yang kami tabrak beberapa hari lalu. Dari sanalah darah segar menetes dan jatuh tepat di dahiku.
Aku pun menjerit histeris, "Gilaaaaaaaaaaang!"
Dengan sisa nafas yang kupunya aku berdiri, kupandangi Gilang yang tersangkut di atas sana. Mataku berkunang-kunang. Bayangan Gilang semasa hidupnya bermain di pelupuk mataku.
"Gilang." Aku meratap di bawah mayatnya. Tak ada hasrat untuk lari menjauh darinya. Rasanya duniaku runtuh. Sahabatku Gilang telah berpulang dengan cara yang tak sanggup aku bayangkan.
Plak. Sebuah tangan menyentuh pundakku agak keras.
"Aaaaarrgh..!"
"Vie, Vizara. Ini gue, Frisky." Sebuah suara di belakangku.
Aku membungkam mulut dan menoleh ke belakang. Frisky tengah berdiri di belakangku.
"Lo kenapa bisa di sini?" tanyanya setengah berbisik.
"Gilang, Ky. Gilang." Lirihku.
Frisky menarikku ke tempat lebih aman, menjauh dari mayat Gilang. Baunya mulai membuatku mual.
"Maafin gue, Vie. Gue tau gue salah sekarang gue ngerti apa yang terjadi dengan kita. Ikhlasin Gilang. Dimana Jay?"
"Di rumah nomor 14," jawabku masih setengah berbisik. Aku takut Suryamin masih mengejarku.
"Kita kembali ke sana sekarang!" Tegasnya.
"Gue nggak tau jalan ke sana. Gue nyasar, Ky." Tangisku pecah sejadi-jadinya.
Kelopak mataku berdenyar tak mampu lagi membendung air mata atas segala tekanan yang kualami sejak tadi. Frisky menarikku dalam pelukannya, aku tersedu di sana. Menangis sesenggukan bukan styleku, tapi saat ini hanya menangis yang ingin kulakukan.
"Ya sudah, sementara kita menenangkan diri di sini saja," ujarnya lembut.
Lalu aku menceritakan segala yang kualami pada Frisky.
***
Vega dan Gilang mengikuti Jay keluar dari rumah untuk menjemput mobil mereka. Di tengah perjalanan keluar dari gang Wahyu Kuncoro, Gilang merasakan sesuatu yang janggal.
Jay berjalan lurus tanpa memandang ke depan. Matanya tertunduk, ia bungkam seribu bahasa. Tak seperti Jay yang biasa berceloteh dan bergurau tentang apa saja.
"Jay, lo yakin ini jalan keluar gangnya benar?" Tanya Vega mulai ragu.
Jay hanya mengangguk, dan terus berjalan. Vega dan Gilang pun terus mengikuti Jay tanpa bertanya lagi. Tiba-tiba Jay berhenti di depan sebuah rumah reot yang terbuat dari papan, namun berlantai keramik putih. Jay masuk ke sana, otomatis kedua sahabatnya pun mengikutinya masuk ke rumah papan tersebut.
"Jay, ngapain kita ke sini?" Tanya Vega mulai curiga.
Jay tetap tidak menjawab, ia terus berjalan ke dalam. Keadaan rumah ini lebih kotor dan gelap dibanding dengan rumah yang dipinjamkan Pak Suryamin untuk mereka. Vega dan Gilang saling berpandangan.
"Jangan-jangan Jay kesambet, Lang. Kita harus mencegahnya masuk lebih dalam!" Kata Vega panik.
"Lo benar, ayo kita tarik dia keluar,” Usul Gilang seraya berlari ke dalam rumah tersebut.
Ia menarik Jay agar keluar bersama mereka. "Jay, lo kesambet ya? Ayo Jay kita keluar dari sini, ayo!" Seru Vega ketakutan.
Jay bergeming. Gilang maju selangkah dan berusaha membalikkan badan Jay. Namun yang terjadi adalah Jay menghunuskan sebilah pisau dan menghujamkannya tepat di perut Gilang.
Darah bermuncratan kemana-mana, membuat Vega kehilangan kesadaran.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices