Dream Analyst

Reads
149
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

Chapter 6

Mimpi Frisky tentang Gilang dan Vega yang ia ceritakan barusan membuatku histeris. Terbukti Gilang sudah tiada, lalu bagaimana nasib Vega saat ini. Semua yang diceritakannya membuat kepalaku berputar. Pusing, mual, dan takut tak karuan. Kami masih berada di tempat persembunyian dan sengaja menunggu pagi untuk kembali ke rumah nomor 14, karena menurut Frisky, gelap berbahaya bagi kami saat ini.
“Untuk itulah gue kembali, karena setelah kepergian gue kemarin, gue malah mendapatkan mimpi itu,” lirihnya.
Aku terdiam.
"Suryamin kardus!" Cerca Frisky saat aku menceritakan pemerkosaan gagal tadi.
"Untung saja ia nggak berhasil menangkap gue, kalau enggak..." kataku mulai tersedu.
"Ada yang nggak beres di rumah itu. Lo inget nggak, semua mimpi yang kita sharing bersama pagi kemarin?" Tanya Frisky serius.
Aku menyeka peluh yang bercampur dengan darah Gilang di dahiku. Hatiku berkecamuk mengingatnya, remuk redam tak karuan. Tanpa terasa air mata berlinang lagi membasahi pipi ini.
Aku mengangguk. Aku masih ingat pagi setelah kejadian kebakaran malam itu, kami berkumpul di ruang tengah dan masing-masing menceritakan mimpi yang kami alami pada malam itu. Vega mimpi dibunuh oleh saudara tirinya, Frisky mimpi kami berempat hilang di tengah hutan, Jay mimpi digoda oleh setan yang menjelma manusia, dan Gilang mimpi arwah seorang wanita memintanya untuk membalaskan dendam.
"Sebenarnya malam itu gue juga mimpi buruk, Ky." Tuturku setelah berhasil mengendalikan diri untuk berhenti menangis.
"Lo mimpi apa? Ceritakan ke gue sekarang. Gue rasa semua mimpi kita malam itu ada hubungannya dengan semua kejadian ini. Ada sesuatu yang ingin disampaikan seseorang lewat semua kejadian ini. Cepat ceritakan, Vie." Desak Frisky.
Mimpiku malam itu adalah kejadian yang kualami beberapa jam yang lalu. "Kejadiannya persis. Hanya tempatnya yang mungkin agak berbeda. Dalam mimpi gue berhasil menyelamatkan diri dari para penjahat itu, lalu gue berlari dan.." aku tak mampu melanjutkan kalimatku ditengah isak tangis yang muncul lagi.
"Dan apa?" desak Frisky tak sabaran.
"Dan gue melihat mayat korban mutilasi di dalam mobil. Itu artinya mayat yang gue lihat dalam mimpi itu adalah mayat Gilang? Namun di tempat dan dengan cara yang berbeda." Tangisku pecah kembali. Kututupi wajahku, frustasi. Frisky terdiam merenungi keadaan ini.
“Mimpi lo nyaris diperkosa, berarti di sini ada seorang korban pemerkosaan.” tutur Frisky datar.
“Lalu, mayat mutilasi itu benar mayat Gilang, Ky? Kenapa gue yang harus mimpiin dia mati? Kenapa?” ratap gue histeris.
“Tenang, Vie. Tenangkan diri lo dulu. Kita harus berpikir jernih.”
“Vega mimpi dibunuh oleh saudara tirinya menandakan bahwa korban pemerkosaan ini juga dibunuh oleh pelakunya pada akhirnya. Lalu mimpi gue kalian berempat hilang benar terjadi. Sekarang Vega dan Gilang hilang. Lalu Lo inget kan Gilang mimpi bahwa ada seseorang yang memintanya untuk membalaskan dendam?” Lanjut Frisky.
Aku mengangguk pelan, dan terdiam, sungguh pikiranku buram. Lalu apa arti mimpi Jay yang belum terungkap?
Matahari mulai menampakkan diri. Kokok ayam terdengar lebih nyaring dari biasanya. Aku dan Frisky tertidur saking lelahnya. Saat tersadar, langit sudah terang oleh semburat fajar yang menentramkan.
"Vie, sekarang lo kembali ke rumah itu. Gue akan susul lo nanti," ucap Frisky membangunkanku.
"Tapi, Ky. Gue takut," lirihku.
"Lo harus balik ke sana sekarang, selamatkan Jay. Gue janji akan nyusul lo ke sana," katanya meyakinkanku.
Mendengar nama Jay diriku bagai tersadar. Jay, orang kucintai masih terjebak di rumah itu. Hatiku jadi cemas lagi, semoga Jay baik-baik saja di sana.
Frisky dan aku berpencar setelah Frisky memberitahuku arah yang benar untuk menuju rumah nomor 14. Kulangkahkan kaki cepat-cepat, bahkan setengah berlari. Beberapa rumah warga sudah terbuka. Suasana menjadi biasa kembali, bagaikan tak ada kejadian apapun semalam. Beberapa pasang mata menatapku heran. Mereka pasti menduga aku adalah orang gila kesasar berkat penampilanku yang sangat berantakan. Darah segar semalam sudah mengering dan mulai berbau anyir.
Aku sudah tak memedulikan lagi tatapan sinis warga, yang ada dalam pikiranku saat ini adalah Jay. Hanya Jay. Samar-samar aku melihat mobil blazer milik Jay terparkir, menandakan jay masih berada di rumah itu. Berarti Jay masih menungguku dan yang lainnya di sana. Benakku.
Betapa leganya hatiku melihat mobil itu di sana. Semakin dekat jarakku dengan rumah itu, semakin berat langkahku. Dengan sisa tenaga aku berlari agar cepat sampai.
Braakk!!
Entah mendapat kekuatan dari mana atau memang pintu depan tidak terkunci, yang jelas aku berhasil mendobraknya.
"Jay!" Kuserukan namanya, namun tak ada jawaban.
Aku menghambur ke kamar dan mendobrak pintunya pula.
Brakk!
***
"Jadi ini yang kamu lakukan semalam ketika aku tak di sini?" kataku menggelegar.
Jay tergagap karena kaget. Seorang wanita cantik berdiri di sisinya. Wajahnya ayu, kulitnya putih bersih, rambutnya panjang terurai, matanya hitam dan bulat. Perempuan itu mengenakan baju putih panjang seperti dress dengan lengan pendek.
"A.. aku." Jay terbata-bata.
"Dasar wanita jalang! Siapa kau berani-beraninya masuk rumah orang dan menggoda lelakiku!" Labrakku dengan nada tinggi.
Emosiku telah diubun-ubun. Ingin rasanya kutampar wajahnya nan ayu itu.
"Liana," jawabnya tenang.
Ada kesombongan dalam nada bicaranya, padahal ia baru hanya mengucapkan namanya.
Aku tertegun mendengar namanya. Liana. Liana. Liana. Sepertinya nama itu tak asing di telingaku.
"Liana?" Cibirku, seraya mengingat-ingat lebih keras lagi.
"Dan kau yang jalang," lanjutnya santai.
"Oh ya? Nggak kebalik? ha?" jeritku penuh emosi.
“Lagipula, ini rumahku.” Katanya sombong.
Aku tak mengerti. Jelas-jelas ini rumah saudaranya Pak Suryamin. Ah, ya, Suryamin kardus, maksudku.
Aku dan Liana terdiam sejenak.
"Tapi lelaki jahat padaku, lelaki suka mempermainkan perempuan. Lelaki suka menghancurkan hidup seorang perempuan," lanjutnya dengan nada yang dibuat-buat..
"Diam kau! Suamiku tidak seperti apa katamu!" Sergahku kalap.
"Sebentar lagi ia akan membuktikannya," ujarnya menyeringai.
Tanpa ba bi bu, aku menerjangnya. Semua kejadian yang kualami semalam membuat sensitifitas diriku meningkat.
"Vie. Cukup. Kamu nggak boleh menyakiti wanita secantik Liana." Jay menahan tanganku yang sudah berada di udara untuk menampar wanita tak tau diri itu.
Aku merasa tertampar oleh Jay atas perlakuannya saat ini. Ternyata cintanya padaku hanya sebatas itu saja. Rasa cemburu menguras hati dan pikiranku. Entah setan apa yang merasukiku saat ini hingga timbul keinginan untuk membunuh wanita itu sekarang juga..
Kalap, aku berlari keluar kamar dan berusaha mencari sesuatu yang tajam. Sebuah pisau buah kutemukan tergeletak di atas meja dapur. Aku mengambil ancang-ancang, kuintip mereka dari celah pintu yang terbuka. Akan kutikam Liana dari belakang. Liana sedang bersenda gurau dengan Jay di dalam sana. Entah apa yang mereka guraukan, tapi Jay tampak begitu sumringah. Kesabaranku sudah habis, akan kuhabisi Liana saat ini juga.
"Liana," ucap Jay lirih menyebut namanya. Tatapan matanya seolah kosong memuja Liana.
Jay mulai menyentuh pipi Liana yang semulus porcelain. Tiba-tiba aku teringat dengan mimpi yang Jay ceritakan kemarin. Hatiku berdegup kencang menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Wanita itu mulai mendekatkan wajahnya pada Jay. Sialnya Jay malah terlena, sementara aku tak tahan lagi dengan ini semua. Tanpa berpikir lagi aku menerjang pintu kamarnya.
"Innalillahi, Jay!" Seruku tertahan.
Sosok Liana tetiba berubah mengerikan. Wajah mulusnya tak lagi seindah porcelain, namun menjelma menjadi penampakan tidak karuan dengan wajah merah, bukan akibat iritasi namun berlumur darah. Mata yang nyaris mencuat dengan ratusan saraf mengelilinginya, dan darah segar yang menetes-netes dari sudut bibirnya nan kering dan mengelupas dimana-mana.
Kuku panjang di jemarinya yang sama sekali tak lentik itu bermain di pipi Jay yang baru saja dicukur semalam.
Liana yang telah menjelma menjadi kuntilanak itu menoleh padaku dengan tatapan sinis.
"Yaang, sadar yang! Dia itu setan!”
***
Kini Jay berada di pangkuanku, tubuhnya lemah seakan sangat lelah. Kuntilanak itu melesat pergi tepat ketika kulayangkan pisau ke arahnya. Masih terbayang nyalang matanya sangat marah terhadapku sedetik sebelum ia lenyap dari pandangan. Aku mengucap syukur karena tak terjadi apapun pada Jay.
Setelah kejadian tadi Jay pingsan. Wajahnya pucat pasi, badannya menggigil seperti orang kedinginan, tapi matanya terpejam.
"Yang, bangun. Vie di sini." Bisikku di telinganya, seraya mengucapkan ayat-ayat suci agat ia sadar.
Tiga puluh menit berlalu Jay belum siuman juga. Aku mulai panik, dan terus berusaha membangunkannya.
"Frisky lama banget nyusulnya. Katanya mau nyusul," gumamku pada Jay yang masih terpejam.
"Yang, maafin Vie udah tinggalin kamu semalam. Gilang udah nggak ada, Yang. Bangun. Vega dan Frisky belum kembali. Jangan tinggalin aku."
Tak terasa akupun tertidur di sisinya, entah berapa lama. Lalu kurasakan gerakan-gerakan kecil di dekatku. Aku membuka mata dan mendapati Jay sudah terduduk di dekatku. Matanya merah, tatapannya masih kosong.
"Kamu udah sadar, Yang? Alhamdulillah."
"Yang?" panggilku mengguncang lengannya.
Ia menoleh ke arahku tanpa membuka suara dengan tatapan yang sangat dingin. "Yang, kamu kenapa?" Tanyaku mulai ketakutan.
"Aku bunuh kamu!" ucapnya dengan nada berat.
Sontak aku mundur menjauh darinya. Ini bukan Jay. Dia bukan Jay, suamiku. Matanya merah menyala, namun wajahnya sepucat mayat. Semakin aku mundur, semakin ia merangsek maju ke arahku dengan tatapan seperti hendak menerkamku. Kedua tangannya menjulur kepadaku, mencari batang leher milikku.
"Jay!" Seru Frisky mendobrak pintu kamar.
Jay menghentikan terornya padaku dan berbalik menghadapi Frisky.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices