Dream Analyst

Reads
162
Votes
0
Parts
9
Vote
by Titikoma

Chapter 7

Namaku Liana, orang-orang memanggilku Li. Nama yang singkat bukan? Sesingkat hidupku yang tiada artinya. Puisi yang salah satu kalimatnya 'aku adalah binatang jalang dari kumpulan yang terbuang' itu mungkin dibuat untuk menggambarkan orang-orang sepertiku.
Jalang. Begitu kata mereka yang pecundang. Mereka yang hanya dapat bersembunyi di balik kata-kata tersebut untuk membenarkan dirinya di depan semua orang.
Liana, gadis dua puluh tahun yang bahkan tak pernah diberi kesempatan untuk mengenal apa yang disebut cinta. Pamanku yang membesarkanku terlalu kotor untuk mendidikku dengan cinta.
Lima belas tahun silam, ayahku meninggalkanku seorang diri di rumah paman dan bibi yang kejam. Bibiku tak punya anak dari pernikahannya dengan paman, untuk alasan itulah ayahku merasa bahwa rumah paman dan bibi adalah yang paling aman. Bibiku membenciku karena aku lebih cantik darinya. Sementara pamanku adalah penggila keindahan dalam diam.
Tiba-tiba paman masuk ke kamar. “Sayang, kamu lagi apa? Yuk, kita ke KUA mumpung bibimu lagi pergi.”
Bibi pergi dari rumah karena pertengkaran hebat yang terjadi di antara mereka. Bibi tak membawaku turut pergi, padahal aku tak suka berada di sini. Ini kesekian kalinya ia ingin menikahiku. Jelas saja aku menolaknya mentah-mentah karena dalam lubuk hatiku hanya mencintai Fadil.
Aku sudah bersusah payah akting hamil agar Fadil menikahiku. Untungnya aktingku berhasil. Besok lusa aku menikah dengannya.
"Aku ini masih muda, Paman. Bagaimana bisa aku menghabiskan sisa waktuku dengan bandot tua sepertimu. Lagipula besok lusa aku akan menikah dengan lelaki yang aku cintai," kataku lantang dalam penolakan yang kesekian kalinya.
"Kau harus menikah denganku!" ketusnya.
Paman mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku jadi takut. Perlahan aku mundur. Sampai akhirnya aku terpojok. Dengan ganas ia merenggut satu-satunya hal paling berharga dalam hidupku. Aku memberontak sejadi-jadinya, sehingga terjadilah pertempuran hebatku dengannya. Aku mengancamnya akan melaporkannya ke polisi sekarang juga atas tuduhan pemerkosaan.
Paman kalap dan meraih pisau buah yang terletak di atas meja riasku. Tanpa malu ia menghujamkan pisau itu ke arahku. Aku ketakutan setengah mati dan berusaha menghindar darinya.
"Dengar, bandot tua. Aku tak pernah mengikhlaskan hidupku padamu. Akan kubunuh kau suatu hari nanti!" Jeritku sekuat tenaga tepat di saat pisau buah tersebut menusuk perutku.
***
Gang Wahyu Kuncoro selalu tampak sepi. Terlebih ketika senja menyapa dan malam tiba. Rumah-rumah warga biasanya menjadi gelap sebelum jam delapan malam.
Pintu-pintunya selalu tertutup rapat, seakan tak mengizinkan siapapun bertamu pada jam-jam rawan. Atau memang hal tersebut sudah menjadi kebiasaan warga gang ini.
Rumah nomor 14 adalah rumah yang paling sepi. Lima belas tahun sudah rumah itu tak berpenghuni. Konon katanya rumah itu berhantu. Entah siapa yang duluan menyebar rumor horor tersebut, yang jelas, dari seluruh rumah sepi di dalam gang Wahyu Kuncoro, rumah bernomor 14 inilah yang paling dihindari oleh orang sekitar.
"Semalam suaminya Mpok Rona meninggal, jasadnya ditemukan di belakang rumah nomor 14," lapor seorang pengurus rukun warga Wahyu Kuncoro.
"Kita kehilangan satu lagi laki-laki di lingkungan kita ini," ujar si tetangganya sedih.
Beberapa tahun belakangan, jumlah penduduk dalam gang Wahyu Kuncoro berkurang. Hingga sekarang penduduknya hanya tinggal para wanita, anak-anak dan empat sampai lima orang pria yang tinggal di gang Wahyu Kuncoro. Rumor berikutnya datang dari rumah kosong nomor 14. Rumor tersebut menyebutkan bahwa gang Wahyu Kuncoro terkena kutukan rumah nomor 14 sehingga penduduknya selalu berkurang. Anehnya, jumlah pria yang selalu berkurang secara drastis. Data penduduk gang tersebut menyebutkan bahwa kematian para pria terjadi karena kecelakaan, kehilangan, dan kasus pembunuhan misterius yang tak pernah terungkap.
"Aku pernah melihat seorang wanita cantik duduk di beranda rumah itu sebelum kejadian suami Mpok Rona tewas." Linda bersaksi.
Pernyataan tersebut memperkuat dugaan bahwa gang Wahyu Kuncoro memang terkena kutukan dari rumah nomor 14. Karena menurut mereka satu per satu pria yang tinggal di gang wahyu kuncoro akan jadi tumbal rumah tersebut.
***
Frisky bergulat dengan Jay sekuat tenaga. Aku menyaksikan mereka berdua tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Hanya kepanikan yang mendominasi situasi saat ini. Jay meronta-ronta ingin dilepaskan oleh Frisky, sementara Frisky sendiri sibuk memegangi kaki dan memencet jempol kaki Jay dengan sekuat tenaga.
"Lepaskan! Lepaskan! Akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri. Aku benci dia! Lepaskan!" Jay meracau dan mengamuk.
Matanya merah, seluruh otot wajahnya tegang. Ini adalah pertama kalinya aku menyaksikan wajah Jay semarah ini.
Frisky tampak berusaha menganalisa apa yang Jay pikirkan seperti ia biasanya menganalisa mimpi kami selama ini. Wajahnya turut jadi pucat pasi.
Tak lama kemudian Frisky berhasil menguasai Jay. Tubuh Jay melemah, wajahnya kembali pucat pasi dan bergetar seperti tadi. Ia sudah tak lagi meronta dan melawan hingga aku merasa cukup aman untuk mendekatinya.
"Yang." Pelan-pelan aku mendekatinya.
"Sudah aman, Vie. Jay kesurupan." Frisky kelelahan. Keringat dingin mengucur deras di seluruh tubuhnya.
"Lalu bagaimana kondisinya sekarang?" tanyaku khawatir.
"Sementara ini aman. Aku sudah tau dalang dibalik ini semua. Mari kita selesaikan semuanya, demi dendam." Wajah Frisky berubah menjadi sangat serius.
***
Sungguh risih rasanya berpakaian minim seperti ini. Baju merah ketat yang kupinjam dari Vega ini membuatku kedinginan. Rok mini yang kini melekat pada tubuhku kadang tersingkap oleh angin malam. Namun aku harus bersabar ketika mengenakannya.
Malam ini adalah jadwalku untuk menyelesaikan segala yang tertunda. Angin malam jumat berhembus pelan di belakang tengkukku, membuatku bergidik ngeri mengingat kejadian beberapa hari lalu. Aku berdiri di ujung gang yang gelap. Kulihat hanya beberapa lampu pijar dari rumah warga yang menyala.
Pukul sebelas malam, suasana makin sepi dan mencekam. Tapi yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Aku yakin ia pasti akan datang.
"Vie..." gema suara yang pernah kudengar di rumah itu terngiang lagi di telingaku.
"Vie..." suaranya makin dekat kurasakan. Bulu kudukku meremang lagi. Kucoba untuk tak menghiraukannya.
Keberanian yang telah kukumpulkan sejak siang tadi tak boleh runtuh begitu saja. Aku harus kuat. Bayangan wajah Jay bermain di mataku.
"Aku mencintaimu, kali ini maafkan aku." Desahku pada angin malam.
Dari kejauhan aku sudah dapat mencium aroma lelaki itu. Aroma yang memabukkan, aku yakin dia memang pemabuk. Pemabuk cinta.
"Halo sayang." Sapanya ringan.
Aku hanya melempar senyum simpul untuknya.
"Malam ini menyerah padaku, heh? Setelah semalam menghilang begitu saja." Katanya lagi sambil menyeringai mesum.
Aku masih hanya tersenyum, gerogi. Lalu perlahan mengangguk pelan.
"Kau tampak cantik hari ini." Ia merayuku. Matanya mulai menjelajahiku dari rambut hingga ujung kaki.
"Baju merah lebih pantas untukmu ketimbang pakaian yang kau kenakan kemarin malam," lanjutnya memuji.
"Mari kita selesaikan," kataku dengan nada menggoda.
Beberapa saat kemudian aku sudah sampai di pintu gerbang. Membukakan pintu kamar untuknya. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki ke dalam. Ia mengikuti di belakangku. Tubuhku makin bergetar. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku bersama lelaki lain di dalam kamar yang bukan milikku, dan bukan suamiku.
Lelaki itu duduk di pinggir ranjang beralaskan seprai putih bersih. Sedangkan aku masih berdiri menghadap cermin rias di sisi ranjang. Kuperhatikan wajahku saat ini. Cantik, tapi sangat mengenaskan bagiku. Bibir tipis bergincu merah, pipi yang sengaja dibuat pink juga agar tampak bersemu, dan bulu mata palsu yang menambah kedua mataku bertambah sayu.
"Aku keluar sebentar ya. Tunggulah di sini, akan kuambilkan sesuatu untukmu," kataku dengan sedikit mendesah.
Suryamin mengangguk penuh semangat.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices