Kau Harus Bahagia

Reads
191
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

1. Teringat Masa Lalu

“Oh, jadi Kakak mau pindah ke Banjar? Kapan pindahnya? Oke, nanti saya jemput Kakak di bandara.”
Sayup-sayup terdengar suara Papaku di luar kamar. Beliau lagi berbicara, mungkin melalui telepon. Entah dengan budhe ke berapa yang menelepon Papa barusan.
Satu per satu budhe, tante, kakak sepupuku yang tinggal di Solo pindah ke Martapura, Kalimantan Selatan.Sedangkan aku malah sebaliknya ingin kembali lagi ke Solo. Solo merupakan tanah kelahiranku. Aku sangat rindu dengan kota itu, tapi lebih tepatnya rindu sama masakan sego liwet dan rindu bertemu Arizal.
Pikiranku melayang ke tahun 1994, waktu aku masih berusia tiga tahun sampai dipertemukan dengan Arizal.
***
Tahun 1994…
Saat melangkah usia tiga tahun, aku semakin merasa Tuhan nggak adil karena telah membuat hidupku kurang bahagia.
Bukan karena kesulitan ekonomi keluarga, justru orang tuaku masuk dalam orang berada. Apapun yang aku inginkan, pasti dituruti.
Ada dua faktor yang membuat aku merasa tidak bahagia. Pertama adalah didikan keras dari orang tua. Saat berumur tiga tahun, aku sudah diajarin baca, tulis, berhitung, mengaji dan lain-lain. Tujuannya biar aku lebih pintar dari anak lainnya. Dan kedua adalah aku tidak punya teman. Anak umur tiga tahun lagi asyik-asyiknya bermain, nah aku hanya di rumah bermain boneka sendiri. Hal itu dikarenakan keadaan fisikku yang tidak mendukung. Kakiku itu ada kelainan, menyebabkan aku tidak bisa jalan normal.
Jangan ditanya apa yang aku rasakan, sudah pasti jawabannya adalah bosan! Bahkan aku sempat bertanya ke mama, "Ma, kenapa sih aku diciptakan Tuhan seperti ini? Tuhan nggak sayang ya sama aku?"
Dengan lembut mama menjawab, "Airin Sayang, nggak boleh bilang begitu lagi ya... Tuhan justru sayang sekali dengan kamu. Tuhan ingin kamu terhindar dari dosa kaki."
Aku sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud dosa kaki, tapi setiap ucapan lembut mama pasti menjanjikan kebenaran.
Aku percaya mamalah yang akan membawaku ke surga nanti. Surgaku ada di bawah telapak kaki mama. Itu yang selalu bu guru ajarkan di sekolah, maka aku percaya dan tidak perlu bertanya lebih lanjut.
Untuk menghilangkan kesedihan karena aku merasa kesepian, mama setiap sore membawaku pergi ke rumah nenek.
Di rumah nenek itu ada tiga orang tanteku. Mereka ada di rumah saat sore hari, tapi siang hari mereka sibuk sekolah dan kuliah.
Aku ke rumah tante bukannya diajak main oleh para tante, tapi diajakin nonton film Titanic dan Pangeran Rajawali.
***
Tahun 1997…
Aku sudah berumur 6 tahun. Alhamdulillah, di tahun 1997 usaha papaku semakin maju. Alhasil, papaku bisa beli rumah sendiri. Soalnya selama ini tinggal di rumah yang dipinjami oleh mbah buyut. Mau nggak mau aku harus pindah rumah.
Jujur aku sedih pindah rumah, aku takut hidupku semakin sepi karena jauh dari tante-tanteku.
Papaku ternyata beli rumah di sebuah desa kecil, nama desanya itu Desa Cemani. Jauh banget dari keramaian.
Dugaanku salah, di Cemani justru aku mulai dapat teman baru. Di antaranya adalah Ana, Huda, Via, Mbak Idah, Eric dan masih banyak lagi.
Mereka tetanggaku yang baik banget. Mereka lebih sering yang datang ke rumah untuk main bareng atau sekadar nonton TV bareng.
Sayangnya mereka bisa ke rumahku hanya pada saat sore hari. Pagi hari mereka juga harus sekolah, siang mereka harus tidur siang, sore baru diizinkan untuk bermain.
Saat pagi hari, aku lihat mereka berangkat sekolah. Aku merasa sedih. Dalam hati muncul keinginan sekolah sama seperti mereka.
Suatu malam aku sampaikan keinginanku untuk sekolah pada papa dan mama.
“Papa, Airin ingin sekolah seperti Ana, Huda dan teman-teman yang lain,” ujarku membuka pembicaraan.
“Wah! anak Papa sudah besar ya, sudah ingin sekolah. Ya sudah besok Papa daftarin kamu ke sekolah yang paling bagus di Solo.”
Wajahku seketika berubah cerah. “Beneran, Pa?”
“Iya benar. Kapan sih Papa pernah bohong sama kamu? Sekarang kamu tidur dulu ya!”
Aku mengangguk dan menuruti perintah papa. Nggak sabar ingin cepat pagi. Beneran nggak sih esok papa mau daftarin aku sekolah?
***
Esok harinya papa menepati janji. Papa membawaku pergi ke sekolahan, tapi bukan sekolah yang aku inginkan.
Papa membawaku ke sekolah SD Al-Islam. Sekolah yang aku inginkan itu adalah sekolah TK, alias Taman Kanak-kanak biar aku sekelas sama Ana, Huda dan Via.
“Pa, aku kan ingin sekolah TK biar sekelas sama Ana, Huda dan Via. Kenapa Papa malah membawaku ke sekolah SD?”
“Sayang, kamu itu sudah bisa baca, tulis dan berhitung. Jadi kamu nggak perlu lagi sekolah TK segala.”
Jujur aku kecewa, tapi aku tak bisa membantah. Lagi-lagi aku menurut dengan apa yang dikatakan papa daripada aku nggak jadi disekolahin.
Di kantor guru saat menghadap kepala sekolah. Aku sama papa disambut oleh tatapan sinis. Aku mengamati kepala sekolah itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia bertubuh tinggi, kurus, kulitnya hitam dan berkumis mirip Pak Raden di tokoh film kartun Unyil.
“Selamat pagi, Pak. Ada keperluan apa Anda ke sini?” tanya kepala sekolah itu ke papa.
“Selamat pagi juga Bapak. Saya ke sini ingin mendaftarkan anak saya sekolah di sini,” Papa menyentuh pundakku.
Sekarang gantian kepala sekolah itu yang memandangiku dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Bapak nggak punya kaca ya? Harusnya Anda mendaftarkan anak Anda ke sekolah SLB, bukan sekolah di sini!” ujar kepala sekolah itu dengan nada tinggi.
Papa menjawab dengan nada tak kalah tinggi, “Hey, Anda jangan sembarangan bicara! Meskipun anak saya punya kekurangan, tapi otak anak saya jauh lebih cerdas dibandingkan dengan murid di sekolah ini! Permisi!”
Usai berkata demikian, papa langsung menggendongku untuk keluar dari sekolah ini.
Kami langsung pulang ke rumah, nggak mampir ke mana-mana dulu.
Sesampai di rumah mama menyambut kami dengan kening berkerut. “Loh, kok pulang-pulang wajah kalian kusut seperti baju belum disetrika?” Mama mengajak bercanda.
“Aku nggak dibolehin sekolah sama kepala sekolahnya. Kata kepala sekolah, aku pantasnya sekolah di SLB. Ma, sekolah SLB itu apa sih?” kataku ingin tahu.
Mata mama beralih ke papa. Papa mengedipkan mata.
Tak lama kemudian mama mengangguk lalu berkata, “Kamu yang sabar ya, kamu itu terlalu pintar untuk sekolah di sana. Besok Papa akan daftarin kamu ke sekolah yang jauh lebih bagus daripada sekolah yang tadi,” Mama mengelus rambutku dengan sayang.
***
Besok harinya papa membawaku ke sekolah SD Al-Amin. Sekolah yang letaknya nggak jauh dari rumah. Sama seperti kemarin, kami langsung ke kantor guru.
Di kantor guru saat menghadap kepala sekolah. Kali ini kedatanganku dan papa disambut oleh senyum manis.
Aku mengamati kepala sekolah itu dari ujung kaki ke ujung kepala. Ia kali ini berkepala botak, tapi wajahnya nggak sangar seperti kepala sekolah yang kemarin.
“Selamat pagi, Pak. Ada keperluan apa Anda ke sini?” tanya kepala sekolah itu ke papaku.
“Selamat pagi juga Bapak. Saya ke sini ingin mendaftarkan anak saya sekolah di sini,” Papa menyentuh pundakku.
Pak kepala sekolah tampak berpikir keras.
“Hmmm… baiklah. Putri Bapak sebelumnya sekolah TK di mana?”
“Anak saya tidak sekolah TK dulu Pak. Saya ingin anak saya langsung masuk SD, sebab anak saya sudah bisa membaca, menulis, berhitung dan mengaji. Jadi saya merasa dia nggak perlu TK,” terang papa.
“Oh, gitu ya. Baik kalau begitu anak Bapak kami tes dulu ya? Bu Marwi!” Kepala sekolah memanggil seseorang yang bernama Bu Marwi.
Tidak lama kemudian muncullah seorang wanita sekitar umur 40 tahunan.
“Ini yang namanya Bu Marwi, dia yang akan memberikan tes kepada anak Bapak!”
Bu Marwi pun duduk di sebelahku. Tanpa basa-basi beliau langsung memintaku untuk membaca, menulis, berhitung dan mengaji. Alhamdulillah, apa yang diminta Bu Marwi aku lakukan dengan baik dan lancar.
“Baiklah, sekarang kamu masuk tes terakhir ya?”
“Tesnya apa ya, Bu?”
“Kamu bisa menyanyi?”
“Bisa!” jawabku mantap.
“Coba kamu menyanyi, Ibu mau dengar suaramu!”
“Boleh, Bu. Menyanyi lagu apa?”
“Lagu yang kamu hafal aja.”
Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Berhubung aku cuma hapal lagu Titanic, maka aku ingin menyanyikan lagu itu saja.
Every night in my dreams
I see you. I feel you.
That is how I know you go on
Far across the distance
And spaces between us
You have come to show you go on
Near, far, wherever you are
I believe that the heart does go on
Once more you open the door
And you’re here in my heart
And my heart will go on and on
Love can touch us one time
And last for a lifetime
And never go till we’re one
Love was when I loved you
One true time I hold to
In my life we’ll always go on
Near, far, wherever you are
I believe that the heart does go on
Once more you open the door
And you’re here in my heart
And my heart will go on and on
There is some love that will not
go away
You’re here, there’s nothing I fear,
And I know that my heart will go on
We’ll stay forever this way
You are safe in my heart
And my heart will go on and on
Aku bernapas lega, akhirnya selesai menyanyikan sebuah lagu dengan lancar tanpa lupa lirik.
Tiba-tiba Bu Marwi dan pak kepala sekolah bertepuk tangan.
“Wah, anak Bapak hebat. Anak usia 6 tahun sudah bisa menyanyikan lagu bahasa Inggris dengan lancar. Saya saja nggak bisa, hehehe… luar biasa.”
Pak kepala sekolah menjabat tangan papa. Papaku menatap pak kepala sekolah dengan tatapan bingung.
“Anak Bapak kami terima di sekolah ini. Minggu depan Airin sudah bisa masuk sekolah.”
Wajah papa berubah jadi ceria. Mulutnya tidak berhenti mengucapkan alhamdullillah dan mengucapkan terima kasih banyak kepada bapak kepala sekolah.
Jangan sedih saat kamu menerima penolakan! Jika seseorang menutup pintu untukmu, maka akan banyak orang yang membukakan pintu lebar-lebar untukmu.
***
Hari Pertama Sekolah pukul, 09:45…
Bu Marwi sedang menuliskan sebuah kalimat di papan tulis, INI IBU BUDI.
“I-N-I dibaca ini. I-B-U dibaca ibu. B-U-D-I dibaca dibaca Budi. Jika dirangkai, kalimat ini menjadi Ini Ibu Budi,” terang Bu Marwi seraya menujuk tulisan yang beliau tulis di papan tulis.
“Hoaamm!” aku menguap.
Hari pertama masuk sekolah, aku sama sekali tidak merasa asyik. Justru malah terasa membosankan. Dari tadi pagi ibu guru hanya mengajarkan cara membaca. Apa yang diajarkan ibu guru sudah diajarkan mamaku waktu aku berumur 3 tahun. Ternyata ini alasan papa langsung memasukkan aku ke sekolah Dasar, tanpa ke TK dulu? Jika SD saja pelajarannya membosankan begini, apalagi TK. Yang ada aku bisa mati karena bosan dengan pelajaran yang cuma menyanyi dan menggambar.
Kesekian kalinya aku melirik jam bergambar Hello Kitty berwarna pink yang melingkar di pergelangan tangan kananku.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 09:45. Istirahat jam berapa ya? Sepertinya lonceng pertanda istirahat lama sekali berbunyi.
Teng… teng… teng...
Terdengar bunyi yang aku tunggu dari tadi. Apalagi kalau bukan bunyi lonceng yang menandakan waktunya istirahat. Alhamdulillah, Allah mengabulkan doaku.
“Baik anak-anak, pelajaran cukup sampai di sini! Sekarang kalian boleh istirahat! Assalamualaikum warahmatullahhi wabarakatuh.”
Bu Marwi pun melangkahkan kaki keluar kelas.
“Waalaikum salam warahmatullahhi wabarakatuh,” jawab murid-murid serentak.
Usai menjawab salam, satu per satu murid mulai meninggalkan kelas.
Hingga akhirnya hanya akulah yang tertinggal di kelas. Ah, tidak di rumah ataupun di sekolah tetap saja aku berteman sepi dan selalu dalam kesendirian.
“Hai, kamu nggak keluar kelas?” tiba-tiba ada suara menyapaku.
Aku menoleh ke samping. Ternyata ada teman yang masih ada di kelas. Tadinya aku pikir hanya aku yang ada di kelas.
“Aku terlahir nggak bisa jalan!” jawabku ketus.
“Hmmm… maaf aku nggak tahu. Oh ya dari tadi aku belum kenalan sama kamu. Kenalin namaku Arizal Ridwan Maulana, biasanya dipanggil Arizal, atau bisa juga dipanggil Ichal,” Arizal mengulurkan tangan.
Aku memandangi Arizal dengan tatapan heran. Arizal seorang anak laki-laki yang berkepala botak, kulitnya putih, hidungnya mancung dan berkacamata minus.
Dilihat dari wajahnya, dia anak orang kaya dan tidak sombong. Buktinya hanya dia satu-satunya yang ngajakin aku kenalan.
Dan aku segera membalas jabatan tangannya. “Namaku Airin Septiana, bisa dipanggil Airin atau Ririen.”
“Dari tadi aku perhatikan wajahmu cemberut. Kenapa? Nggak suka sekolah ya?” tanya Arizal.
“Nggak apa-apa kok. Aku bosan aja,” kataku jujur.
“Bosan kenapa?”
“Karena dari jam tujuh pagi sampai istirahat, ibu guru hanya mengajar mengeja bacaan saja.”
“Lho, seharusnya kan memang seperti itu,” jawab Arizal dengan wajah bingung.
“Tapi kan aku sudah lancar membaca!” kataku jutek.
“Wah, kamu hebat. Berarti orang tuamu sangat memperhatikan anaknya,” katanya dengan wajah terpana.
“Hebat apanya? Aku jadi bosan karena sudah bisa.”
Aku malah jadi menggerutu karena merasa berbeda dengan anak-anak lain yang malah sekarang asyik menikmati belajar membaca dan menghitung. Aku malah sebaliknya, sangat bosan.
Jari telunjuk Arizal tiba-tiba menempel di bibirku.
“Jangan bicara seperti itu. Apa yang dilakukan orang tuamu sudah benar, nggak seharusnya kamu mengeluh! Tahukah kamu apa yang diperintahkan orang tua akan ada manfaatnya di kemudian hari? Dengan kamu menuruti perintah orang tuamu, kamu bisa sedikit membalas jasa mereka yang telah menyayangimu selama ini.”
Arizal bernapas sejenak, “Harusnya kamu bersyukur karena memiliki orang tua yang perhatian. Di luar sana masih banyak anak terlantar yang tidak merasakan kasih sayang dan pendidikan dari orang tuanya.”
Aku langsung terdiam. Apa yang dikatakan Arizal seratus persen benar. Aku seharusnya bersyukur, bukan mengeluh. Apa yang diperintahkan orang tua akan ada manfaatnya di kemudian hari
***
“Masih aku ingat indah senyummu yang selalu membuatku mengenang.”
Lagu Sammy Simongkir berjudul Kesedihanku mengalun indah di telinga, membuyarkan seluruh lamunanku tentang Arizal. Aku menyambar telepon genggam yang tergeletak di atas meja. Aku tahu lagu tersebut merupakan nada dering untuk panggilan masuk.
Menyebalkan! Ternyata yang miss call hanya orang iseng, dia memakai private number. Gara-gara orang nggak jelas, bayangan Arizal hilang.
“Arizal, kamu ada di mana? Aku sangat merindukanmu,” batinku.
Tanpa terasa butiran air mata mengalir dari pelupuk mataku. Ah, aku tak pernah kuasa menahan air mata ketika teringat Arizal.
Arizal adalah sahabat pertama yang kukenal di Sekolah Dasar. Selain baik, dia juga setia kawan dan selalu ada menemaniku di saat suka maupun duka. Namun sayang, persahabatanku dengan Arizal hanya terjalin sampai lima tahun.
Sebab di tahun 2003, saat naik kelas enam Sekolah Dasar, eyang buyut membujuk keluargaku untuk memutuskan pindah ke Martapura, Kalimantan Selatan. Dan orang tuaku menuruti permintaan eyang buyut.
Sedih? Pastinya. Tapi aku tak bisa membantah. Arizal selalu bilang apa yang diperintahkan orang tua akan ada manfaatnya di kemudian hari.
Tahun 2009 saat zaman semakin canggih, dunia internet berkembang dengan kemunculan media sosial. Aku mencoba mencari akun Arizal, namun hasilnya nihil.
Aku menguap lebar. Sepertinya sudah mulai mengantuk. Badanku juga terasa pegal-pegal. Ya sudahlah mending aku tidur saja.
Aku merebahkan diri, tanpa sengaja tangan menyentuh telepon genggam. Kuraih benda tersebut, siapa tahu ada pesan masuk ataupun miss call.
Mataku langsung melotot tatkala melihat layar handphone. Bukan karena kaget melihat SMS yang mengejutkan, tapi karena melihat tanggal yang tertera di layar tersebut.
Tanggal 28 Maret? Berarti hari ini hari ulang tahunku yang ke 20 tahun? Kok aku bisa lupa sih? Cepat-cepat aku berdoa dalam hati.
“Ya Robbi, yang maha pengasih lagi maha penyayang. Aku mohon pertemukanlah diriku dengan cintaku, Arizal.”
Keinginanku saat ini hanya ingin dipertemukan dengan Arizal. Aku ingin bercanda, bermain, dan tertawa bersama Arizal seperti sebelas tahun lalu.
Mungkin nggak ya keinginanku terwujud? Kupejamkan mata berharap dipertemukan dengan Arizal, walau hanya dalam mimpi.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices