Kau Harus Bahagia

Reads
194
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

3. Wasiat Papa

Setengah jam telah berlalu, dokter yang menangani papa belum juga keluar dari ruang ICU. Aku gelisah memikirkan keadaan papa. Kulirik ke arah mama yang lagi sibuk mondar-mandir nggak jelas di depan ruang ICU.
Dokter yang kutunggu akhirnya keluar juga dari ruangan itu. Bergegas aku dan mama berdiri dan menghampiri dokter, “Dok, bagaimana keadaan suami saya? Dia baik-baik saja kan?” tanya mama dengan penuh khawatir.
Raut wajah dokter terlihat sedih, firasat buruk semakin menghinggapi hatiku. “Maaf, kami telah berusaha, namun Tuhan juga yang menentukan. Suami Anda tidak dapat terselamatkan!”
“Papa!” teriakku dan mama bersamaan.
Kami langsung memasuki ruang ICU. Benar, di ranjang telah terbujur kaku jenazah yang tertutup kain putih.
Tangan mama pelan-pelan membuka kain penutup putih itu. Dan aku dapat melihat wajah jenazah yang terbujur kaku. Itu wajah papa!
Berkali-kali aku mengucek mata berharap penglihatanku salah. Namun ternyata benar, aku tidak salah lihat.
Mama meraung-raung sambil memeluk wajah papa. “Ma, ikhlaskan Papa! Aku yakin Papa akan bahagia di sisi Tuhan,” ujarku mencoba menenangkan mama.
Umur manusia memang tidak ada yang tahu. Tadi siang aku masih melihat senyum papa saat bercengkerama dengan mama. Tapi sekarang aku melihat wajah papa pucat pasi.
Memandangi wajah papa, terlintas kenangan waktu kecil bersama papa. Papa yang dulu selalu membelaku saat aku dihina, diremehkan kepala sekolah dan lainnya. Tapi kini papa sudah tak ada, siapa yang akan membelaku lagi?
“Papa, jangan tinggalin aku!” gantian aku yang berteriak histeris.
***
Detik demi detik terus bergulir, tanpa terasa hari ini genap seminggu kepergian papa.
Satu minggu pertama melewati hari tanpa papa rasanya berat banget. Tapi alhamdulillah aku dan mama diberikan ketabahan oleh Allah sehingga hari ini sudah mulai membaik. Ada atau tak ada papa, hidup kami harus tetap berjalan. Tak boleh larut dalam kesedihan.
Aku, mama, tante, dan om sudah berkumpul di ruang tamu. Kami sudah siap mendengarkan pengacara membacakan wasiat papa.
Aku sudah tak sabar ingin mendengar surat wasiat akan siapa yang menerima harta warisan papa, secara hanya aku anak papa satu-satunya, otomatis seluruh harta papa jatuh kepadaku.
“Baik, semua sudah siap mendengarkan wasiat dari almarhum Ari Susanto?” tanya bapak pengacara keluarga kami.
“Sudah, Pak,” jawab kami serentak.
Pak pengacara mengambil selembar kertas dari map bermotif batik, setelah itu beliau memasang kacamata sebelum membacakan wasiat papa.
“Sebelum saya membacakan wasiat almarhum, terlebih dahulu saya akan membacakan total harta yang dimiliki Bapak Ari Susanto. Pak Ari Susanto memiliki sebuah hotel di Banjarmasin, kafe bakso di Solo, tanah ribuan hektar di Yogyakarta dan rumah kontrakan mewah di Sekumpul, Martapura dan dua buah mobil mewah. Jika dijumlah, total kekayaan Pak Ari Susanto mencapai enam belas milyar rupiah.”
Mataku berbinar-binar mendengar pak pengacara membacakan seluruh harta kekayaan papa. Wah, ternyata papa meninggalkan banyak harta.
“Pak pengacara, cepat dong bacakan kekayaan papa itu jatuh ke tanganku,” batinku.
“Nah, baiklah, sekarang saya akan membacakan seluruh harta yang dimiliki almarhum Bapak Ari Susanto diberikan kepada…” ucapan pak pengacara menggantung. Aku memasang telinga baik-baik.
“Jatuh kepada Airin Septiana, tapi dengan syarat Airin harus menikah sebelum atau tepat empat puluh hari kepergian almarhum Bapak Ari Susanto. Jika Airin tidak menikah sampai empat puluh hari setelah kepergian almarhum, maka seluruh harta almarhum akan disumbangkan ke yayasan panti asuhan dan panti jompo yang ada di Kalimantan Selatan.”
“Whats?” teriakku kaget mendengar apa yang diucapkan pak pengacara. Harta papa jatuh ke tanganku, asal aku menikah dalam waktu tiga puluh tiga hari ke depan? Jika aku nggak nikah, maka seluruh harta papa akan disumbangkan ke yayasan panti jompo dan panti asuhan. Sulit dipercaya papa memberikan wasiat seperti itu.
Aku merebut kertas wasiat dari tangan pak pengacara. Aku ingin membaca sendiri wasiat papa. Benar nggak sih wasiat papa seperti yang dibacakannya?
Mataku langsung melotot ketika membaca wasiat papa. Apa yang dikatakan pak pengacara tadi benar adanya. Cari jodoh ke mana coba dalam waktu tiga puluh tiga hari ke depan?
“Pak, mustahil rasanya jika Airin harus menemukan jodoh dalam waktu tiga puluh tiga hari ke depan,” sahut mamaku. Apalagi mama tahu persis, mana pernah aku dekat dengan cowok.
“Di dunia ini tak ada yang mustahil, Bu. Jika Ibu berkenan, saya bisa mencarikan jodoh untuk Airin, kebetulan sahabat saya sedang mencarikan jodoh juga untuk anaknya.”
“Wah, kebetulan sekali. Bisa nggak anak sahabat Anda itu dibawa ke rumah ini? Saya ingin melihat calon jodoh anak saya,” tiba-tiba mama sangat antusias menjodohkan aku dengan seseorang yang belum jelas wajah dan sifatnya.
Aku mengedarkan pandangan ke mama. “Ma, apa-apaan sih? Kalau anak sahabat pak pengacara itu jelek, culun, dan nggak seperti yang aku inginkan gimana?” tanyaku berbisik di telinga mama.
“Ya, nggak ada salahnya kan dicoba dulu? Kamu mau kita jadi gembel gara-gara harta Papamu jatuh di tangan orang lain?” saran mama yang sekaligus merupakan ultimatum.
Aku membayangkan diriku tidur di jalanan, mengenakan pakaian kumuh dan mengais sampah. Ih, amit-amit jabang bayi. Aku tak ingin hal itu terjadi. Terpaksa aku harus mengalah mau dijodohin sama siapapun.
“Baik, besok saya akan bawa anak sahabat saya itu ke sini,” pak pengacara melirik jam yang menempel di ruang tamu.
“Berhubung sudah jam sembilan malam, maka saya mohon undur pamit dulu. Terima kasih atas segalanya,” dia berjabat tangan dengan mama lalu pergi dari rumahku.
Mama, om, tante sudah pada masuk ke kamar masing-masing, sedangkan aku masih sibuk memikirkan siapa calon jodohku yang esok diperkenalkan oleh pak pengacara? Aku sih berharapnya jodohku itu Arizal.
Pikiranku kembali melayang ke masa tahun 2003, saat detik-detik terakhir kebersamaan dengan Arizal.
***
Usai pelajaran, aku dan Arizal selalu duduk di taman belakang sekolah dulu sebelum pulang. Arizal yang menggendongku sampai ke tempat ini.
Aku memandangi Arizal dengan saksama, senyum di wajahnya tetap merekah. Dia tidak tahu bahwa hari ini aku bersedih, bersedih karena hari ini merupakan hari terakhir bersamanya.
Esok aku telah pergi jauh dari Kota Solo, pergi mengikuti langkah kedua orang tua karena mereka pindah ke Martapura. Ah, aku benci namanya perpisahan. Masih bisakah aku menemukan sosok Arizal di Martapura?
“Airin, dari pagi tadi aku perhatikan wajahmu sedih. Kenapa? Jika kamu lagi ada masalah, ceritakan ke aku, kita kan sudah bersahabat selama lima tahun.”
“Zal, hari ini hari terakhir kita bertemu. Esok aku harus pindah ke Martapura mengikuti kedua orang tua. Menurutmu apakah aku harus menentang keinginan mereka?”
Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh juga dari pelupuk mata. Arizal tersenyum dan menggeleng pelan.
“Jangan pernah kamu membantah mereka! Turutilah keinginan mereka, apa yang dikatakan orang tuamu akan bermanfaat di kemudian hari!” jawabnya seraya mengusap air mataku.
“Tapi Zal, aku sayang kamu. Aku tak ingin berpisah denganmu.”
“Airin, dengar ya. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Kamu harus siap hal itu. Berdoalah agar kita berjodoh. Jika kita berjodoh, sejauh apapun jarak memisahkan kita pasti akan dipertemukan kembali.”
“Zal, kita bikin perjanjian dulu yuk sebelum aku pergi?” usul aku.
“Perjanjian bahwa kita nggak boleh menikah sebelum umur 25 tahun. Aku janji akan balik ke Solo untuk menemuimu sebelum umur 25 tahun. Gimana? Setuju?” aku mengacungkan jari kelingking sebagai simbol perjanjian. Tak lama kemudian Arizal mengaitkan kelingkingnya di kelingkingku.
“Ya, aku setuju.”
Itulah perjanjian aku dan Arizal. Meskipun masih Sekolah Dasar, tapi memang kita mempunyai rasa sayang dan cinta.
***
Air mata jatuh mengenai telapak tangan. Air mata itu yang membuyarkan seluruh lamunanku tentang Arizal.
Kesekian kalinya aku menangis jika teringat Arizal. “Zal, maafkan aku karena telah mengingkari janji kita. Keadaan yang memaksaku untuk mengingkarinya. Tapi aku akan selalu mendoakanmu agar kamu bahagia bersama orang yang kamu cintai,” batinku.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices