Kau Harus Bahagia

Reads
202
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

6. Pernikahan Yang Terpaksa

Aku sekarang berada di sebuah kebun yang sangat luas. Kebun ini ditanami bermacam-macam pohon. Ada pohon jeruk, pohon apel, pohon pisang, pohon nangka dan lain-lain. Kok aku bisa ada di kebun ini ya? Siapa yang membawaku ke sini? Tapi kok rasanya kebun ini sudah tidak asing lagi di mataku? Hatiku juga mengatakan aku sering ke kebun ini sebelumnya.
Aku mencoba mengamati sekitar kebun. Di sebelah kiriku ada pohon rambutan yang lagi berbuah, dan di bawah pohon itu ada bangku panjang. Lihat pohon itu aku jadi teringat Arizal lagi.
Dulu aku dan Arizal sering duduk-duduk di bangku bawah pohon rambutan yang ada di kebun belakang SD-ku dulu. Mungkin nggak ya kebun ini adalah kebun belakang SD-ku dulu?
“Ya, Airin… kebun ini memang kebun yang ada di belakang sekolah kita dulu. Kebun tempat kenangan kita dulu.”
Terdengar suara yang asing di telingaku. Tapi hatiku nyaman sekali mendengar suaranya, seolah-olah aku sudah sering mendengar suaranya.
Aku membalikkan badan, telah berdiri tegak seorang pria yang berkepala botak, kulitnya putih, tinggi, hidung mancung dan berkacamata minus.
Dilihat dari kepalanya, wajahnya, kulitnya, bahkan hidungnya sangat mirip dengan Arizal. Mungkinkah pria itu adalah Arizal?
“Ya, Airin. Aku memang Arizal,” jawabnya seraya tersenyum manis.
Aku masih terdiam memikirkan benar nggak sih dia Arizal. Tapi jika dilihat dari senyum manisnya, dia memang Arizal.
Aku melonjak kegirangan. Sebelas tahun aku berpisah dengan Arizal, kini Tuhan mempertemukan kami lagi.
Saking bahagianya, aku langsung melompat hendak memeluk Arizal. Tapi ternyata Arizal menolak pelukanku.
Dahiku berkerut, kok Arizal nggak mau kupeluk sih? Apa Arizal nggak kangen sama aku?
“Kita sekarang sudah beda alam, Rin. Kita sudah tidak bisa bersentuhan lagi,” lagi-lagi dia bisa membaca pikiranku.
“Maksudnya?” tanyaku heran. Aku menggaruk kepala yang tak gatal.
“Nanti kamu juga akan tahu jawabnya. Rin, bolehkah aku minta tolong sama kamu?”
“Minta tolong apa? Selama aku bisa melakukannya, maka apapun akan kulakukan untukmu.”
“Aku cuma minta sama kamu tolong berhenti mencintaiku. Kita takkan pernah bisa bersatu lagi. Mencintaiku hanya akan membuatmu terluka.”
“Aku mohon sama kamu jangan berkata seperti itu! Hal paling menyakitkan bagiku adalah ketika disuruh berhenti mencintaimu. Sampai kapanpun aku takkan bisa melakukan hal itu.”
“Kamu harus bisa melakukan itu. Belajarlah mencintai orang yang mencintaimu, Rin.”
“Siapa yang mencintaiku? Aku hanyalah cewek cacat, mana ada pria yang mencintaiku? Jangankan mencintaiku, melirikku saja tidak sudi.”
“Aku akan mengirimkan pria yang tulus mencintaimu apa adanya. Aku mohon cintai pria itu seperti kamu mencintaiku.”
“Aku nggak bisa mencintai orang lain selain kamu, Zal.”
“Kamu harus bisa, Rin! Maaf waktuku sudah habis. Selamat tinggal,” ucap Arizal. Perlahan Arizal menjauh dariku. Dalam hitungan detik ia hilang bagai ditelan bumi.
“Arizal jangan pergi! Aku nggak mau berpisah denganmu lagi! Arizal!” teriakku sekencang-kencangnya.
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku diguncang-guncang oleh seseorang.
“Sayang, bangun! Kamu kenapa, Rin?”
Seketika mataku terbuka. Orang pertama yang aku lihat adalah mama. Hah? Berarti tadi cuma mimpi? Bau obat menusuk indra penciumanku. Jangan-jangan aku ada di rumah sakit. Aku menatap mama, mata mama merah seperti habis nangis.
“Ma, aku ada di mana? Mata mama merah, habis nangis ya?”
“Kamu ada di rumah sakit, Sayang. Kamu tak sadarkan diri.”
Aku pingsan? Aku mencoba mengingat kembali sebelum pingsan. Ah, ternyata aku pingsan karena lihat cowok cupu yang dibawa pak pengacara dan kata pak pengacara cowok cupu itu adalah jodohku.
Jika aku pingsan di kafe, pasti itu bisa bikin cowok cupu itu marah dan dia nggak mau dijodohin sama aku. Horeee!
“Ma, berarti perjodohanku dengan cowok cupu itu batal dong?”
“Ah, kata siapa? Perjodohanmu dengan Nazriel tetap terjadi. Kata Nazriel, dia jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu. Dia juga setuju pernikahan dilangsungkan empat belas hari lagi?”
“Double whats?” teriakku kembali histeris.
Sakit banget hatiku mendengar ucapan mama. Bisa-bisanya mama menjalankan perjodohan dan merencanakan pernikahan tanpa sepengatahuanku. Yang mau nikah siapa sih? Mama atau aku?
“Ma, aku nggak cinta sama cowok cupu itu. Dan sampai kapanpun aku nggak mau menjalankan pernikahan tanpa cinta. Pernikahan tanpa cinta itu hanya akan menyiksa hatiku, Ma,” aku mulai beragumentasi menentang perjodohan ini.
“Sayang, cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Cinta karena terbiasa. Mama dulu menikah sama Papamu juga tanpa cinta, tapi buktinya pernikahan kami langgeng sampai maut yang memisahkan kami.”
“Zaman Mama dan Papa itu beda Ma,” aku masih berusaha menolak pernikahan dengan lelaki cupu kemarin yang buat aku pingsan dan masuk rumah sakit.
“Sayang, dari dulu sampai sekarang zaman nggak pernah beda, tetap sama.”
Aduh susah ngomong sama mama. Harus dengan cara apa lagi untuk membujuknya agar membatalkan perjodohan ini? Mama itu sekali bilang A, ucapannya nggak bisa diganggu gugat lagi.
“Dari dulu Mama nggak pernah minta apapun sama kamu, kali ini aja Mama minta kamu menikah sama Nazriel. Mama nggak mau harta Papa jatuh ke tangan orang lain. Ini juga juga demi kamu. Mama tahu banget kamu nggak bisa hidup susah.”
“Apa yang diperintahkan orang tua akan ada manfaatnya di kemudian hari. Dengan kamu menuruti perintah orang tuamu, kamu bisa sedikit membalas jasa mereka yang telah menyayangimu selama ini.
Ke sekian kalinya kalimat yang diucapkan Arizal waktu kelas satu Sekolah Dasar kembali terngiang di telingaku.
Kalimat itu ampuh banget, bikin aku tak bisa menolak perintah orang tua, apalagi perintah mama. Aku mengangguk kecil, pertanda setuju dinikahkan dengan Nazriel.
“Baiklah, aku mau dinikahkan sama Nazriel,” jawabku akhirnya menyerah.
Mama langsung memelukku erat.
“Nah, gitu dong. Itu baru anak Mama yang cantik,” ucap mama.
Aku memandang wajah mama, terpancar jelas sebuah kebahagiaan yang luar biasa di wajah mama.
Menikah dengan Nazriel memang bukanlah kehendakku. Tapi jika itu bisa membuat mama bahagia, aku akan melakukannya, walaupun aku tahu hatiku akan tersiksa. Semua karena aku sayang mama.
Kata mama, cinta akan tumbuh karena terbiasa. Mungkinkah aku bisa mencintai cowok cupu itu? Aku takkan membiarkan hal itu terjadi.
Aku akan buat cowok cupu itu menjatuhkan talak cerai sebelum cinta itu tumbuh di hatiku, tapi bikin dia menceraikanku setelah harta papa jatuh ke tanganku. Dan inilah rencanaku.
***
14 hari kemudian…
Aku terpaku di depan cermin rias. Terpaku bayanganku sendiri, hari ini aku menjelma menjadi wanita yang sangat cantik.
Aku mengenakan kebaya putih, rambutku disanggul dengan dihiasi kembang melati di atas kepala, dan wajahku di make-up sangat cantik. Harusnya aku bahagia berdandan pengantin seperti ini.
Menjadi pengantin adalah impianku sejak tahun 2010. Masalahnya aku menikah sama orang yang tidak kucintai. Jadi ini merupakan pernikahan yang terpaksa. Menikah karena nggak mau harta papa jatuh ke tangan orang lain.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, mama berdiri di depan pintu. “Airin, sudah selesai di make-up?”
“Sudah, Mbak,” si perias wajah menjawab pertanyaan mama. Sebenarnya perias make-up wajahku ini adalah tanteku sendiri.
“Airin, yuk keluar! Tuh, mempelai prianya sudah datang. Ia sudah siap mengucap janji suci di depan penghulu,” suara mama dari balik pintu kamar pengantin.
Tante memberikan tongkat kepadaku, lalu membantuku berdiri. Sampai di depan kamar, mama mengiringi langkahku di sebelah kanan, sedangkan tante mengiring di sebelah kiri. Kami melangkahkan kaki menuju ruang tamu.
Acara akad nikah dan resepsi pernikahan dilaksanakan di rumah saja. Kata mama, pernikahan itu nggak perlu mewah, yang penting sah di mata agama dan hukum.
Aku setuju banget dengan apa yang diucapkan mama. Toh, buat apa pernikahan mewah? Aku juga nggak bahagia dengan pernikahan ini!
Tanpa terasa sampailah kami di ruang tamu yang sudah penuh dengan keluarga, saudara, sahabat, dan kerabat orang tuaku.
Di tengah-tengah ruang tamu sudah duduk manis Nazriel Maulana di depan pak penghulu. Di sebelah kanan pak penghulu ada omku, dia yang jadi wali nikah. Mama dan tante membantuku duduk di sebelah Nazriel.
Jantungku semakin berdebar-debar, bukan karena jatuh cinta, tapi karena tinggal dalam hitungan menit aku akan sah jadi istrinya si cowok cupu. Ini bagai mimpi buruk bagiku.
“Nah, berhubung mempelai wanita sudah ada, bisakah kita mulai akad nikahnya?” tanya pak penghulu.
“Bisa, Pak.”
Pak penghulu dan Nazriel berjabat tangan. “Bismillahhirrahmanirrahim, saya nikah dan kawinkan saudara Nazriel Maulana bin Ahmad Maulana dengan Airin Septiana binti Ari Susanto dengan mas kawin emas seberat tujuh puluh gram dan seperangkat alat salat dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Airin Septiana dengan mas kawin dan seperangkat alat salat dibayar tunai,” Nazriel mengucapkan ijab kabul dengan lantang dan lancar.
“Gimana saksi?”
“Sah!”
Kenapa sih Si Cupu ngucapin ijab kabulnya pake lancar segala? Sekarang aku sudah sah jadi istri Si Cupu.
Sekarang aku bingung mau ngapain. Dari sinetron-sinetron yang kulihat sehabis mengucap ijab kabul, sang mempelai wanita memakaikan cincin di jari manis sang mempelai pria dan mencium tangan si mempelai pria. Haruskah aku melakukan hal itu juga?
Aku mengedarkan pandangan ke arah mama. Mata mama melotot dan memberikan isyarat bahwa aku harus memakaikan cincin di jari manis Si Cupu dan mencium tangannya.
Oh My God! Itu nggak banget deh. Tapi mau tak mau aku harus melakukan hal itu demi kelancaran misiku.
Usai memakaikan cincin ke jari manis Si Cupu dan mencium tanganya, Si Cupu tersenyum kepadaku.
Senyumannya kalau diperhatikan manis juga, tapi tetap saja dia itu cowok cupu. Senyumannya takkan bisa meluluhkan hatiku untuk mencintainya. Cintaku hanya untuk Arizal.
***
Lega rasanya acara resepsi pernikahan telah selesai. Meskipun di luar masih banyak keluarga yang membantu membereskan rumah, tapi aku dan Si Cupu tidak memedulikan mereka.
Kami tetap masuk kamar duluan karena hari sudah malam. Sudah waktunya kami istirahat.
Sumpah hari ini merupakan hari yang melelahkan dan membuatku tersiksa. Secara berjam-jam duduk di pelaminan dengan orang yang tidak kucintai.
Sesampai di kamar lalu duduk di tepi ranjang pengantin. Tangan kiriku memegang kaca sedangkan tangan kanan mengusap wajah dengan kapas. Aku ingin menghapus sisa-sisa make-up yang menempel di wajahku.
Tiba-tiba aku merasakan seorang pria memelukku dari belakang. Bukan kehangatan yang kurasakan, tapi geli. Soalnya yang memelukku itu Si Cupu. Aku mencoba melepas pelukannya.
“Sayang, kamu kok gitu sih? Kamu kan sekarang sudah sah jadi istriku, berarti aku sudah boleh memeluk kamu dong? Dan ini adalah malam pertama kita,” Si Cupu tampak kecewa.
Aku semakin geli mendengar perkataan Si Cupu tentang malam pertama. Aku sah jadi istrinya? Secara status memang iya, tapi hati no way!
Aku membalikkan badan dan menatap Si Cupu dengan sinis. “Eh, dengar ya! Gue nikah sama lo itu hanya karena terpaksa. Lo jangan ngarep ada malam pertama! Awas kalo lo ngadu ke nyokap gue!”
Aku meletakkan kaca dan kapas yang kupegang tadi di meja rias. Setelah itu aku cepat-cepat merebahkan diri ke ranjang pengantin.
Aku memilih posisi tidur memiring sebelah kanan sambil memeluk guling biar Si Cupu nggak bisa macam-macam denganku.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices