Kau Harus Bahagia

Reads
193
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

8. Kehadiran Cowok Ganteng

Pagi-pagi sekali ayam jago milik tetangga berkokok dengan nyaring membuyarkan warga dari mimpi indah.
Namun aku tak peduli dengan itu. Aku terus terlelap dan bermimpi indah. Toh, aku sudah jauh dari mama jadi bisa bangun sampai jam berapapun. Si Cupu juga ada pembantu yang urusin dia.
Lagi enak-enak tidur, aku merasakan tubuhku diguncang-guncang oleh seseorang.
“Aduh, siapa sih? Gangguin gue tidur aja!”
“Sayang, ayo bangun! Sudah pagi, bentar lagi aku mau berangkat kerja.”
Mataku memang masih terpejam, tapi aku bisa mengenali pemilik suara yang membangunkanku. Tak lain dan tak bukan dia adalah Si Cupu. Aduh, Si Cupu ngapain sih pake bangunin aku segala?
“Kalo lo mau berangkat kerja, berangkat aja! Gue nggak peduli! Kan ada dua pembantu, biar mereka aja yang nyiapin lo makan,” jawabku ketus.
“Hmmm… ya udah deh. Aku berangkat kerja dulu ya? Oh ya, entar siang aku pulang, buat makan siang sama kamu.”
Aku tak menjawab perkataannya. kembali aku menarik selimut hingga menutupi kepala. Suara Si Cupu sudah tak terdengar lagi, berarti dia sudah pergi. Sekarang aku bisa tidur tenang.
Tok… tok… tok...
Terdengar suara ketukan pintu. Aduh, pasti Si Cupu lagi. Dia memang tak bisa melihatku bahagia. Baru saja tiga puluh menit tidur, dia mengetuk pintu lagi.
Aku diam saja, paling jika barangnya ada yang tertinggal di kamar entar juga dia akan masuk sendiri untuk mengambilnya.
“Non Airin, di luar ada tamu yang mencari Non.”
Itu bukan suara Si Cupu, tapi suara pembantu di rumah ini. Aku langsung membuka selimut. Mataku melek. Aku tak salah dengar kan? Ada tamu yang mencariku?
Aku itu orangnya kurang pergaulan, jadi jarang ada orang yang menemuiku. Apalagi aku baru pindah satu hari. Siapa coba yang tahu alamat rumah Si Cupu?
“Maaf Non, gimana tamunya ingin ditemui atau tidak?”
“Bi, tamunya siapa? Hmm, maksudnya tamunya cowok atau cewek?” tanyaku untuk menjawab rasa penasaran yang menyeruak di hati.
“Tamunya seorang pria, Non.”
Hah? Cowok? Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Seingatku, teman cowokku itu hanya ada di dunia maya. Mereka tak mungkin datang ke sini? Aku tak pernah memberi alamat Si Cupu sama siapapun.
Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku bergegas bangun dan beranjak dari tempat tidur hendak menemui tamu misterius tersebut.
“Iya, Bi. Suruh tamunya tunggu sebentar!”
Sebelum menemui tamu itu, aku ke kamar mandi dulu. Aku ingin cuci muka dan sikat gigi. Masa mau menghadapi tamu dalam kondisi bau mulut dan mata masih belekan?
Cuci muka dan sikat gigi hanya memerlukan waktu lima menit. Setelah melakukan dua hal itu, buru-buru aku menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, aku memang melihat seorang pria asing di mataku, ia lagi asyik duduk di sofa sambil baca majalah cowok.
Begitu dekat dengan pria itu entah mengapa hatiku mengatakan aku pernah bertemu dengannya sebelumnya. Tapi di mana bertemunya? Pria itu bertubuh atletis, tinggi, putih, dan wajahnya lumayan tampan.
“Maaf, Anda siapa ya?” tanyaku.
Pria itu menoleh ke arahku. Dia menatapku dengan tatapan aneh. Mungkin baru pertama kali melihat cewek cantik berjalan mengenakan tongkat kali ya? Ditatap seperti itu hatiku agak gimana gitu.
Aku mengibaskan tangan di depan matanya.
“Halo, ditanya kok nggak jawab? Anda siapa?”
“Eh, anu… hmmm… maaf. Anda tidak ingat sama saya?” tanya pria itu.
“Lho, memang kita pernah ketemu sebelumnya?” aku bertanya balik ke dia.
“Ya, kita pernah ketemu di toko buku Arga di Duta Mall. Waktu itu saya menabrak Anda karena saya sedang terburu-buru.”
Ya, aku baru ingat pria di depanku adalah pria menyebalkan yang pernah menabrak aku saat berada di toko buku Arga Duta Mall. Kini dia tetap menyebalkan. Menyebalkan karena telah merusak tidurku.
“Maaf, Anda ada perlu apa ke sini? Dan dari mana Anda tahu saya tinggal di sini?”
Tangan pria itu terlihat sedang merogoh saku celananya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan sebuah dompet.
Mataku membulat melihat dompet yang dipegangnya. “Lho, itu kan dompetku, kok bisa ada di Anda?”
“Saya menemukan dompet Anda di dekat toko buku Arga, mungkin dompet Anda jatuh saat saya menabrak waktu itu. Tujuan saya datang ke sini ingin mengembalikan dompet ini.”
“Terus dari mana Anda bisa tahu saya tinggal di sini? Saya kan baru pindah kemarin.”
“Kemarin sore saya datang ke alamat yang ada di KTP Anda, tapi kata seorang ibu kalau Anda sudah pindah rumah terus saya dikasih alamat Anda yang di sini. Oh iya, kenalin nama saya Atalarik Febrianto, biasa dipanggil Ata.”
Ia mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Dan aku pun membalas uluran tangannya. “Aku Airin Septiana, biasanya dipanggil Airin. Oh ya, silakan! Kita bisa ngobrol di ruang tamu.”
Aku dan Ata duduk di sofa. Mata Ata terlihat lagi menyusuri ruang tamu, jangan-jangan dia sebenarnya orang jahat. Rasa takut menjalar di hatiku. Tidak! Aku tak boleh berprasangka buruk.
“Rumahmu ternyata bagus, unik dan mewah juga ya? By the way… kamu tinggal sama siapa di rumah ini?”
Duh gaya bahasanya sekarang berubah jadi aku-kamu, sebelumnya pake bahasa Anda dan saya. Okelah, aku mengikuti gaya bahasanya. Toh, aku lebih suka menggunakan bahasa aku dan kamu.
Berarti mama tidak memberi tahu Ata bahwa aku tinggal bersama suami. Kesempatan emas, aku bisa mengaku tinggal sendiri.
“Aku tinggal sendiri kok. Oh ya, aku kira-kira manggil kamu Mas, Kakak, atau apa ya?”
“Terserah manggil apa, asal jangan manggil Om aja. Mukaku masih kelihatan muda kan?”
“Kalau boleh tahu umurmu berapa?”
“41 tahun,” jawab Ata lugas.
Mataku terbelalak mendengar angka yang ia sebutkan.
“Serius? Tadi aku kira umurmu baru dua puluh tahunan gitu, habis wajahmu baby face sih.
“Airin kamu bisa aja,” ia tersipu malu. Baru tahu seorang pria bisa tersipu juga saat dipuji, aku kira cuma cewek yang bisa tersipu.
“Bolehkah aku memanggilmu Mas? Aku dari kecil sudah terbiasa memanggil pria yang umurnya lebih tua dengan sebutan Mas.”
“Kan aku sudah bilang, terserah aja mau manggil apa, yang penting jangan Om!”
Mulai sekarang aku memanggilnya dengan sebutan Mas Ata. Biar bagaimanapun usianya jauh lebih tua daripada diriku.
Pembicaraan terus berlanjut, Mas Ata orangnya asyik diajak ngobrol. Aku merasa nyambung ngobrol dengannya.
Baru setengah jam kenalan, dia banyak bercerita tentang kehidupan kariernya. Mulai dari awal dirinya merintis karier sampai meraih kesuksesan.
Dia memilih karier di dunia perbukuan, saat ini ia menjabat sebagai senior manajer sales dan marketing toko buku Arga yang ada di Duta Mall. Aku salut dengannya.
Biasanya aku cepat bosan dan mengantuk saat mendengar orang bercerita panjang lebar, tapi kali ini saat Mas Ata yang bercerita, aku justru melek dan bersemangat mendengarnya.
Cerita yang dia sampaikan membuatku tahu bahwa bisnis di dunia perbukuan cukup ketat.
Bukan hanya dia yang bercerita tentang perjalanan kariernya, aku pun bercerita banyak kepadanya.
Bercerita mulai dari kesedihanku, impianku menjadi penulis sekelas Stephanie Mayer, sampai akhirnya aku menceritakan selalu memperoleh penolakan dari penerbit.
Ada yang aneh dalam diriku, aku adalah tipe cewek pendiam jika berhadapan dengan cowok. Tapi saat berhadapan dengan Mas Ata, semua kata keluar begitu saja dari mulutku. Entah apa yang melatarbelakanginya. Bisa jadi karena Mas Ata orangnya enak diajak ngobrol.
Mas Ata tersenyum mendengarkan aku yang ngomong tak ada hentinya. Aduh, senyumannya manis banget, membuat hatiku meleleh.
“Kamu tahu, apa yang membuat naskahmu selalu ditolak?”
Aku menggeleng. Penerbit yang menolak naskahku tidak pernah memberikan alasan mengapa naskahku ditolak.
“Kamu kurang membaca, jadi kamu tidak tahu novel yang lagi menjual saat ini. Ini dunia bisnis, penerbit pastinya lebih memilih naskah yang memiliki nilai jual dan jelas laku di pasaran.”
Harus kuakui apa yang dikatakan Mas Ata benar seratus persen Aku memang kurang membaca. Gimana mau baca, jarak antara rumahku dan toko buku Arga cukup jauh. Apalagi kondisiku yang seperti ini, aku tak mau merepotkan orang tua.
“Di tempatku lagi ada kerjaan bagus buatmu. Kalau berminat bisa gabung, jadi kamu tahu novel-novel yang sedang laku di pasaran.”
Aku tidak menyangka Mas Ata menawariku pekerjaan. Bekerja di penerbitan sekaligus toko buku Arga. Itu kesempatan emas. Kerja di penerbitan dan toko buku Arga bisa membuatku dekat dengan buku. Tapi gimana dengan Si Cupu? Dia pasti tak mengizinkanku kerja.
“Nanti aku pikir-pikir dulu deh,” jawabku bersemangat. Kalau belum menikah sudah pasti aku terima kerjaan yang menarik ini. Sekarang status aku adalah cewek beristeri. Aku belum bisa memberikan jawaban yang pasti antara mau bergabung atau tidak. Meskipun aku berani menentang Si Cupu suamiku, tapi aku juga harus jaga gengsi di hadapan Mas Ata, sok nggak kepingin banget tawaran pekerjaan barusan.
Mas Ata tetap senyum. Dia mengeluarkan sebuah dompet cokelat dari saku celananya. Kemudian dia menyerahkan kartu nama kepadaku.
“Ini kartu namaku, jika kamu berminat bergabung di Arga, kamu bisa hubungi aku. Di kartu namaku lengkap ada facebook, twitter, pin bb dan nomor handphone.”
Aku menerima kartu nama Mas Ata dengan senang hati.
“Wah, makasih banyak ya, Mas. Aku senang banget bisa kenal denganmu.”
“Ya, sama-sama. Aku juga senang bisa kenal dengamu.”
Mas Ata melirik jam dinding yang menempel di atas kaligrafi ayat kursi.
“Tidak terasa hampir dua jam kita ngobrol-ngobrol. Sekarang aku mau pulang dulu, nggak enak kelamaan bertamu di rumah orang, lagipula aku juga masih ada urusan lain.”
Mas Ata berdiri, aku juga ikut-ikutan berdiri.
Aku mengulurkan tangan, “Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih banyak, Mas Ata.”
Mas Ata menjabat tanganku.
“Iya, sama-sama. Aku pulang dulu ya?”
Mas Ata pergi dari rumahku. Aduh, senangnya hatiku hari ini. Mimpi apa aku malam tadi? Pagi-pagi ditemui cowok ganteng dan baik hati pula. Semua yang terjadi ada hikmahnya.
Mungkin inilah hikmah menikah dengan Si Cupu dan tinggal di Banjarmasin. Mas Ata membuat aku mendadak jatuh cinta.
Boleh dong aku jatuh cinta dengan kebaikan dan senyum manisnya. Aku lupa kalau aku ini sudah menikah dan menjadi istri orang. Semua serasa mimpi yang berjalan begitu saja.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices