Kau Harus Bahagia

Reads
203
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

7. Pindah Rumah

“Zal, kayaknya gue gak bisa menjalankan amanat lo deh. Hati gue sakit menikah dengan cinta sejati lo itu. Sikapnya ke gue nggak ada manisnya, dia menikah sama gue karena terpaksa.”
Subuh-subuh aku sudah curhat di makam Arizal. Semalaman aku tak bisa tidur karena gelisah memikirkan kata-kata Airin. Kata-katanya sungguh menyakitkan hati.
Memang sih kita menikah karena perjodohan dan memang ini hasil rekayasa pak pengacara yang sengaja aku bayar mahal untuk merubah surat wasiat papanya Airin, agar aku bisa menikahi Airin dan memenuhi amanat adikku.
“Zal, apa yang harus gue lakuin? Haruskah gue menceraikannya? Coba deh lo jadi gue, lo menikah sama cewek tapi cewek itu nggak menganggap lo suami, pasti sakit hati juga kan?”
Aku tahu curhat di makam itu bagaikan menulis di atas air, sebuah pekerjaan yang sia-sia. Tapi dengan cara inilah aku bisa sedikit mengurangi kegalauan di hati. Aku yakin kok Arizal pasti mendengar apa yang kuucapkan.
“Zal, gue lagi galau tingkat tinggi nih! Jawab dong curhatan gue. Jawabnya lewat mimpi kek, lewat seseorang kek, atau apapun.”
Dan tiba-tiba aku merasakan kantuk yang luar biasa. Mungkin ini efek nggak tidur semalaman. Semakin mata kupaksa melek, kepalaku semakin sakit. Ada apa ini? Dalam hitungan detik aku sudah tak tahu apa yang terjadi.
***
“Hai, Bro. Apa kabar lo?”
“Arizal? Akhirnya lo datang juga, gue sudah kangen banget sama lo.”
Aku hendak memeluk Arizal. Tapi ia menolak.
“Sorry, Bro… gue juga kangen sama lo, tapi kita sudah beda alam. Kita nggak bisa saling bersentuhan lagi. Gue menemui lo cuma mau menjawab curhatan lo aja kok.”
“Jadi lo selama ini bisa dengerin curhatan gue?”
“Tentu, meskipun gue nggak berada di dekat lo tapi gue selalu memperhatikan tingkah lo dari kejauhan. Gue juga bisa mendengar apapun yang lo ucapkan.”
“Terus jawaban lo apa, Zal? Gue nggak bisa menjalani pernikahan seperti ini. Hati gue tersiksa. Maafin gue karena nggak menjalankan amanat lo.”
“Menurut gue lo jangan terburu menceraikan dia dulu. Bertahanlah. Gue yakin kok dia pasti bisa mencintai lo, sebab cinta itu tumbuh karena terbiasa.”
“Gimana caranya agar dia mencintaiku?”
“Caranya sederhana, kamu jangan pernah lelah mencintainya. Ibarat batu, batu saja akan berlubang jika tiap hari ditetesi dengan air. Begitu juga dengan hatinya Airin, pasti akan luluh jika kamu terus memberikan cinta yang tulus kepadanya. Zal, dia adalah wanita yang tepat untukmu,” Arizal mantap mengatakannya.
Aku harus berusaha sendiri agar Airin mencintaiku tanpa tahu kalau aku adalah kakak Arizal yang tengah dinanti. Sesuatu yang berat, tapi memang aku juga harus bersikap kesatria kalau aku langsung bilang sebagai kakak Arizal dan tidak merubah penampilanku yang mirip Arizal, pasti Airin langsung suka dan terlebih dia akan terpukul kalau tahu Arizal sesungguhnya sudah tiada.
Tapi sampai kapan ya aku harus berbohong juga? Sampai Airin jatuh cinta karena aku apa adanya? Semoga itu yang jadi harapanku.
“Sepertinya waktu gue sudah habis, gue pergi dulu ya! Ayo semangat naklukin hatinya Airin!”
“Zal, lo jangan pergi dulu dong, gue masih kangen sama lo!”
Arizal hanya tersenyum tanpa memedulikan ucapanku. Dalam sekejap Arizal bagai ditelan bumi. Entah mengapa aku merasakan tubuhku diguncang-guncang oleh seseorang.
Seketika mataku terbuka. Orang pertama yang kulihat adalah tukang sapu yang biasa membersihkan makam Arizal. Ah, ternyata tadi cuma mimpi. Aku tertidur di makam Arizal.
Tukang sapu mengembangkan senyumnya padaku.
“Alhamdulillah, Mas sudah sadar. Sudah setengah jam saya membangunkan Mas tapi nggak bangun-bangun!”
“Makasih ya Pak, sudah membangunkan saya!”
Aku mengambil uang dari saku jaket lalu memberikan uang ke tukang sapu dan dibalas dengan berkali-kali mengucapkan terima kasih, setelah itu ia berlalu dari hadapanku.
Aku kembali menatap batu nisan Arizal.
“Zal, thanks ya lo udah ngasih saran ke gue. Meski saran yang lo beri hanya lewat mimpi. Oke, gue akan berjuang agar bisa menaklukkan hati Airin dengan cara gue sendiri.”
Matahari sudah terbit, sudah saatnya aku pulang ke rumah Airin. Mama mertuaku pasti panik karena tak menemukanku di rumah.
“Zal, gue tinggal dulu ya! Ntar gue bakal balik lagi ke sini!”
***
Pagi-pagi aku mencium bau sedap nasi goreng, pasti mama yang masak. Mataku langsung melek dan langsung ngacir ke kamar mandi. Tak sabar rasanya lidah ini mencicipi nasi goreng buatan mama.
Tiga menit berlalu, aku sudah selesai mandi dan dandan rapi. Aku sudah siap menyantap masakan mama.
Begitu aku keluar dari kamar, aku melihat mama lagi menata hidangan di meja makan.
“Pagi, Ma. Ada yang bisa kubantu nggak?” sapaku lembut.
Mama memandangku dengan bibir terbuka lebar. Mungkin mama heran, anak perempuannya yang biasa bangun siang hari ini bisa bangun pagi.
“Nah, gitu dong bangun pagi. Sekarang kan kamu sudah jadi seorang istri.”
Aku duduk di meja makan. Ketika aku hendak mengambil piring.
“Oh ya, suamimu mana? Kok keluar kamar nggak barengan sih?” tanya mama sambil melihat pintu kamarku yang tertutup.
“Mungkin dia lagi tidur kali, Ma.”
Mama mengerutkan dahi. “Mungkin? Kali? Lho! Emang kamu nggak lihat dia di kamar?” tanya mama.
Aduh, mampus deh aku. Jawab apa nih? Bangun tidur aku sama sekali nggak memperhatikan Si Cupu dia ada di kamar atau nggak. Siap-siap deh bentar lagi aku bakal kena omelan mama.
“Hmm… anu…” jawabku tergagap.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal, bingung mau jawab apa.
Tapi tiba-tiba suara Si Cupu hadir di tengah kebingunganku mau jawab apa.
“Pagi Mama dan istri tercinta. Aku ada di sini kok.”
Terdengar suara Nazriel di belakangku. Syukurlah dia nongol jadi aku terhindar dari omelan mama.
Si Cupu pintar juga akting-nya, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal kan tadi malam aku kasar banget ngomong sama dia.
“Lho, Nazriel habis dari mana?”
“Abis joging keliling kampung, Ma,” jawab Si Cupu asal.
“Ayo, sarapan dulu!” Mama mengajak menantu yang tampaknya bakal jadi menantu kesayangan itu. Sangat menyebalkan!
“Wah, enak nih,” Si Cupu sok mengagumi masakan mama.
Dia duduk di sebelahku. Sebagai istri yang baik, aku mengambilkan nasi untuknya. Si Cupu tersenyum manis.
“Makasih, Sayang.”
Rasanya mau muntah mendengar Si Cupu memanggilku dengan sebutan Sayang. Aku mengembangkan senyum yang dipaksakan ke arahnya.
“Ma, aku boleh bicara nggak?” Si Cupu di tengah-tengah makan pagi menyela untuk suatu permintaan pada mama.
“Tentu saja, mau bicara apa?” tanya mama.
“Gini lho Ma, aku kan kerja di Banjarmasin. Sementara jarak Banjarmasin dari Martapura kan lumayan jauh, aku boleh nggak minta izin bawa Airin tinggal di Banjarmasin?
Aku batal menyuap nasi ke mulut. Nasi goreng buatan mama sebenarnya enak banget, tiada duanya. Tapi gara-gara permintaan Si Cupu barusan, yang ada aku tersedak karena kaget.
Si Cupu menepuk punggungku. “Kamu kenapa? Pelan-pelan dong makannya!”
Mama menyodorkan air minum. Cepat-cepat aku meneguknya.
“Aku cuma kaget aja, bisa-bisanya kamu ingin bawa aku ke Banjarmasin. Kamu kan tahu aku itu anak tunggal. Kalau aku pergi, Mama tinggal sama siapa?”
Aku mengedarkan pandangan ke arah mama. Mama tampak berpikir keras. Semoga mama nggak setuju dengan ide konyol Si Cupu. Aku ogah tinggal sama mertua atau hanya tinggal berdua sama Si Cupu.
“Sebenarnya Mama berat berpisah sama Airin, tapi berhubung sekarang Airin sudah sah jadi istrimu, mau tak mau Mama harus ikhlas melepas dia. Sudah seharusnya seorang istri ikut suaminya.”
Aduh, mama apa-apaan sih? Kenapa pakai acara setuju?
Tapi setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga sih aku tinggal di Banjarmasin, jadi kan aku nggak perlu pura-pura bersikap manis lagi sama Si Cupu. Iya kalau di rumah hanya tinggal berdua sama Si Cupu, kalau tinggal sama mertua juga gimana? Kalau mertuaku galak gimana? Yang ada aku semakin tersiksa. Ah, tidak! Stres aku dibuat oleh Si Cupu.
“Gimana Sayang, kamu mau kan tinggal di Banjarmasin?” tanya Si Cupu mesra.
“Iya deh, aku mau!” kataku ketus tanpa mau membantah lagi.
“Makasih Sayang, makin cinta deh sama kamu,” Si Cupu mengedipkan mata, benar-benar menyebalkan sekali.
***
Si Cupu menghentikan mobil tepat di kawasan Citra Garden. Ngapain ya dia ke sini segala? Kawasan Citra Garden merupakan kawasan perumahan elite. Mungkinkah rumah Si Cupu berada di kawasan ini?
Si Cupu turun dari mobil, ia pun membukakan pintu untukku.
“Yuk, kita turun,” dia menjulurkan tangan untuk membantuku.
“Lho, ngapain turun? Emang rumahmu ada di kawasan ini?” aku menolak untuk dibantu jalan.
“Iya, itu rumahku. Kamu suka nggak?” Si Cupu menunjuk rumah mewah yang ada di depan kami. Mataku tak berkedip melihat rumah itu.
Asli rumahnya keren, pintunya menghadap ke arah selatan. Mewah, elegan, dan halamannya luas.
Rumah Si Cupu dirancang dengan model rumah di Jawa yang bisa membuat penghuninya serasa tinggal di Jawa.
Tak disangka, Si Cupu ternyata orang kaya juga. Padahal tampangnya seperti rakyat jelata. Benar kata orang, jangan menilai orang lain dari penampilannya.
Aku tinggal di rumah mewah? Itu memang impianku dari kecil. Papa nggak pernah mau tinggal di rumah mewah, karena kata papa, ‘Lebih nyaman tinggal di rumah sederhana biar uangnya bisa buat masa depan anak dan cucu nanti’.
Impianku telah terwujud, bahagiakah aku? Tentu tidak! Jelas alasannya karena aku tinggal bersama orang yang tidak kucintai. Apalagi jika di rumah mewah ini tinggal bersama mertua yang galak, pasti hati semakin tersiksa.
Si Cupu mengibaskan tangannya di depan mataku, hingga menyadarkanku dari lamunan.
“Hai! Kok bengong? Yuk, kita masuk ke rumah!”
Tangan kanan Si Cupu merangkulku, aku tahu tujuannya ingin memapahku, tapi aku menolak.
“Nggak usah! Aku bisa jalan sendiri kok,” tolakku tetap ketus.
“Ya udah deh.”
Ketika Si Cupu hendak melangkahkan kakinya, aku menarik tangannya.
“Ada apa lagi, Sayang? Katanya bisa jalan sendiri?”
“Aku cuma mau tanya, kamu tinggal di rumah mewah ini sama orang tua?”
Si Cupu menggeleng.
“Mamaku di Jawa, sedangkan Papaku di luar negeri. Mereka sibuk dengan karier masing-masing. Aku tinggal di rumah ini hanya bersama dua orang pembantu dan satu satpam.”
Aku bernapas lega. Yes, aku terhindar dari apa yang kutakutkan jika harus tinggal bersama mertua yang galak.
Rumah ini ada dua pembantu? Asyik, berarti aku nggak perlu repot-repot mencuci baju, nyetrika, cuci piring, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Senangnya hatiku jadi ratu di rumah ini.
Pintu terbuka dengan sendirinya. Tak berapa lama terlihatlah dua wanita paruh baya mengenakan daster batik berdiri di samping pintu. Dari penampilan mereka, aku sudah bisa menebak mereka pasti pembantu Si Cupu.
“Selamat datang Non Airin. Semoga Anda betah tinggal di rumah ini,” ucap wanita itu yang mengenakan daster batik warna biru.
“Oh iya aku lupa, kenalin mbok yang memakai baju biru itu namanya Bi Yem, sedangkan mbok yang memakai baju cokelat itu namanya Bi Sum,” ujar Si Cupu mengenalkan dua pembantunya kepadaku.
“Bi, tolong kalian bawa barang-barang Non Airin yang ada di bagasi mobil ke kamar ya!”
“Baik, Den,” jawab mereka bersamaan.
Dua pembantu Si Cupu pun berlalu meninggalkan kami.
Aku memasuki rumah itu. Lagi-lagi mataku tak berkedip. Ruang tamunya besar dan perabotan yang ada di ruang tamu semua bermerek internasional.
Mataku kembali jelalatan menyusuri seluruh isinya. Dinding ruang tamu dipenuhi dengan lukisan dan kaligrafi bernilai seni tinggi. Tampak megah menakjubkan.
Meskipun aku menjalani rumah tangga dengan terpaksa, tapi sepertinya aku betah tinggal di rumah mewahnya Si Cupu. Pak pengacara tahu aja apa yang kuinginkan, sehingga dia menjodohkanku dengan Si Cupu.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices