Kau Harus Bahagia

Reads
187
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

9. Yes, Berhasil Mendapatkannya

Mataku melotot ketika mendapati kamar yang berantakan. Si Cupu baru pulang kerja, dia sembarangan meletakkan baju kotor di tempat tidur. Sepatu juga tidak ditaruh pada tempatnya. Menyebalkan!
“Cupuuuu! Lo di mana? Kenapa kamar jadi berantakan?”
Si Cupu keluar dari kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk di bagian bawah. Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Asli, baru kali ini melihat pria tidak mamakai baju.
Kalau diperhatikan Si Cupu keren juga jika tidak memakai baju. Body-nya itu sixpack, tidak kalah dengan body Dedy Courbuzier.
“Udah santai aja kali lihatnya, aku juga suamimu. Nggak dosa kok!” ucap Si Cupu sambil tersenyum jahil.
“Lagian ada apa sih, Sayang? Kok teriak-teriak?” sambungnya.
Tanganku menunjuk ke arah pakaian kotor yang bertebaran di tempat tidur.
“Aku sudah bilang kalau aku nggak suka berantakan. Kalau habis pulang kerja, taruh baju kotor dan sepatu pada tempatnya!”
“Iya, sorry. Tadi aku buru-buru sudah kebelet ke toilet juga soalnya.”
“Ya udah kamu beresin gih baju kotornya. Baju kamu bau, aku males beresinnya,” ujarku beralasan.
Padahal sebenarnya aku memang tak pernah mau melakukan hal itu, Si Cupu bukanlah suami yang aku cintai. Ngapain capek-capek beresin baju kotornya?!
Si Cupu memunguti baju kotor yang bertebaran di tempat tidur, lalu ia meletakkannya ke tempat cucian.
Melihat tingkah Si Cupu mendadak rasa kagum muncul di hatiku. Meskipun aku sering mengomel, berkata kasar, dan sering nyuruh-nyuruh dia, tapi dia sama sekali tak mengeluh dan tetap sabar menghadapi sikapku.
Mungkin inilah alasan mama kenapa ngotot ingin aku menikah dengan Si Cupu. Hati mama yakin kalau Si Cupu bisa jadi suami yang baik untukku.
“Nah, sekarang sudah beres kan? Kamu jangan marah-marah lagi ya?”
“Kalau lo nggak mau gue marah-marah, ya lo jangan melakukan hal yang gue nggak sukai dong!”
“Iya deh aku janji akan selalu melakukan apapun yang kamu suka!”
“Bagus.”
“Oh iya, tadi Mamamu nelepon. Kata beliau kita malam ini disuruh ke Martapura. Pak pengacara mau bicara sama kamu, penting!”
Hah? Mama nelepon Si Cupu? Sebenarnya anak mama itu aku, bukan Si Cupu. Kenapa malah mama nelepon Si Cupu?
“Jangan berpikiran yang macam-macam! Mama nelepon aku karena kata Mama tadi pagi nelepon kamu tapi nggak diangkat,” ujar Si Cupu mengerti apa yang sedang kupikirkan.
Aku menepuk jidat sendiri. Astaga, aku baru ingat tadi pagi aku asyik ngobrol sama Mas Ata, handphone kutaruh di kamar makanya tak tahu kalau mama nelepon.
“Emang kamu lagi di mana sih, Sayang?” tanya Si Cupu.
Aduh, mati deh aku. Aku harus jawab apa?
“Hmmm… tadi pagi aku masih tidur, handphone aku silent jadi nggak tau deh kalau mama nelepon,” jawabku berbohong.
Aku tak mungkin mengatakan bahwa tadi pagi sibuk ngobrol sama cowok ganteng. Jika aku berkata demikian, Si Cupu pasti marah. Bisa-bisa dia langsung menjatuhkan talak. Aku tak mau berpisah sama Si Cupu sebelum harta papa jatuh ke tanganku.
Tadi kata Si Cupu mama menyuruhku datang ke Martapura karena pak pengacara mau datang ke rumah. Itu pasti pak pengacara mau menyerahkan harta papa kepadaku karena aku telah menjalankan wasiat papa untuk menikah.
Tak sabar rasanya hari berganti malam, ingin segera melepas rindu dengan mama. Baru satu hari pisah sama mama rasanya sudah hampir dua tahunan.
Berhubung Si Cupu sudah selesai mandi, buru-buru aku memasuki kamar mandi. Agar abis magrib aku bisa langsung berangkat ke Martapura.
***
Semua yang terjadi hari ini berjalan sesuai rencana. Habis salat magrib, aku dan Si Cupu berangkat ke Martapura. Kami berangkat mengendarai mobil, Si Cupu sendiri yang menyetir.
Banjarmasin ke Martapura menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam. Karena Banjamasin yang sekarang hampir sama dengan Jakarta, jalanan penuh kendaraan roda empat. Hal itu yang menyebakan macet. Ini akan terasa membosankan jika berdua sama Si Cupu di dalam mobil. Si Cupu bukanlah orang yang asyik diajak mengobrol.
Untuk mengusir kebosanan, aku mencoba mendengarkan lagu lewat handphone tercinta. Aku meraih handphone, lalu mengotak-atiknya untuk memilih lagu apa yang enak didengar saat ini. Setelah cukup lama, akhirnya pilihanku tertuju sama lagu-lagu Malaysia. Sudah lama aku tak mendengarkan lagu-lagu Malaysia yang ngetren di era tahun sembilan puluhan. Aku menyentuh tulisan Play di layar handphone kemudian memasang headset.
Lagu yang tertera pada screen berjudul Bila Cinta Didusta mengalun indah di telingaku. Ya, lagu itu lagu pertama yang aku dengarkan. Musik lagu yang sangat mellow, mendayu-dayu, liriknya juga menyentuh hati.
Lirik lagu tersebut hampir sama dengan yang kurasakan saat ini.
Eh lebih tepatnya yang dirasakan Si Cupu karena akulah yang mendustai cinta. Pura-pura menjalani sebuah pernikahan. Aku tahu ini melukai hatinya, tapi mau gimana lagi. Cinta tak bisa dipaksakan.
Rasa kantuk tiba-tiba menyerang mataku. Mungkin karena dengar lagu mellow makanya bawaannya mengantuk saja.
Aku melihat jalanan dari balik kaca mobil. Kira-kira sekarang berada di kawasan Jalan Sutoyo S. Masih satu jam lagi sampai ke Martapura. Ada baiknya aku tidur dulu.
“Eh, Cupu. Gue mau tidur dulu ya. Entar kalau sudah sampai di rumah Mama jangan lupa bangunin gue!” ucapku pada Cupu.
Si Cupu mengangguk.
“Oke, Sayang. Pasti aku bangunin kok!”
Lagi-lagi Si Cupu memanggilku dengan sebutan Sayang. Heran juga sama dia. Berkali-kali aku melarang dia untuk tidak memanggilku dengan sebutan itu, tapi dia tetap saja melakukannya. Terserah deh, aku tak mau komentar lebih lanjut. Aku panggil dia dengan Cupu juga nggak protes.
Aku mencoba memejamkan mata. Berharap ketika aku terbalut dalam lautan mimpi bisa bertemu dengan Arizal lagi. Aku sudah sangat merindukan Arizal. Sejak aku menikah, Arizal tak pernah menemuiku lagi dalam mimipi.
“Ya Allah, pertemukanlah aku dalam mimpi, aku sangat merindukanya,” doaku sebelum tidur. Dalam hitungan detik aku sudah terlelap.
***
“Aku ada di mana? Siapa yang membawaku ke sini?” tanyaku panik.
Aku berada di tengah kuburan yang entah kuburan siapa. Kuburan-kuburan itu sangat asing di mataku.
Suasana tiba-tiba sungguh mencekam. Bulu kudukku berdiri semua. Ya Tuhan, aku takut berada di sini. Bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini?
Aku mencoba berjalan menyusuri kuburan, berusaha mencari jalan keluar. Namun bukan jalan keluar yang aku temui, melainkan kuburan dengan batu nisannya tertulis nama Arizal Ridwan Maulana. Tanggal lahir, nama ayah yang tertulis di batu nisan sama persis dengan data Arizal, orang yang aku cintai sejak SD.
“Nggak mungkin ini makamnya Arizal!” pekikku.
“Iya, Airin, itu memang makamku,” terdengar suara Arizal di belakangku. Aku membalikkan badan. Arizal telah berdiri tegak mengenakan kemeja dan celana serba putih.
“Arizal, akhirnya kamu menemuiku lagi. Aku senang bertemu denganmu karena aku sangat merindukanmu.”
“Berhentilah merindukan dan mencintaiku Airin. Aku sudah meninggal. Sampai kapanpun kita takkan bisa bersatu. Mengharapkan cintaku terus hanya akan membuatmu terluka.”
“Nggak mungkin. Kamu pasti bohong. Kamu pasti masih hidup!” aku tak percaya dengan apa yang dikatakan Arizal.
“Adakah kebohongan tersirat di wajahku? Rin, aku mengatakan hal yang sejujur-jujurnya.”
Aku memperhatikan wajah Arizal saksama. Ya, benar. Tak ada kebohongan tersirat di wajahnya. Aku menggelengkan kepala. Nggak mungkin Arizal meninggal. Aku belum siap menerima kenyataan itu.
“Rin, kamu harus bisa menerima kenyataan bahwa kita takkan bersatu. Di saat mentari terbit, kita sepertinya enggan untuk melihatnya. Tapi ketika mentari itu terbenam, barulah kita menyadari betapa indahnya ia. Begitu pula dengan cinta, seseorang yang menghiasi hari-harimu kamu anggap biasa saja. Tapi ketika seseorang itu pergi, barulah kamu menyadari betapa berharganya ia di hidupmu. Rin, cintailah orang yang mencintaimu sebelum penyesalan itu datang.”
“Zal, tolong bilang sama aku siapa orang yang mencintaiku?”
“Kamu akan menemukan jawabannya lewat tatapan mata. Tatapan mata orang yang tulus mencintaimu berbeda dengan tatapan mata orang yang cinta hanya karena nafsu kepadamu.”
Tiba-tiba aku merasakan tubuh diguncang-guncang seseorang. Seketika mataku terbuka.
“Sayang, sudah sampai rumah Mama nih, yuk kita masuk!” ujar Si Cupu.
Ah, sial. Lagi enak-enak melepas rindu dengan Arizal malah dibangunin Si Cupu. Arizal kan belum menjawab pertanyaanku.
Drrttt… drrttt...
Handphone di tanganku bergetar. Kulihat di layarnya tertulis satu pesan diterima. Aku menyentuh tulisan open.
From : Mama
“Rin, kamu lagi di mana? Pak pengacara sudah nungguin kamu nih!”
Astaga! pak pengacara sudah datang. Sementara aku menyingkirkan segala hal tentang Arizal dulu. Yang terpenting saat ini adalah harta papa.
Si Cupu turun duluan dari mobil. Ia kemudian membukakan pintu mobil dan memberikan tongkat padaku. Aku dan Si Cupu melangkahkan kaki memasuki rumah mama.
Di depan pak pengacara dan mama aku harus terlihat mesra besama Si Cupu.
“Assalamualaikum,” sapaku ketika berada di depan pintu rumah mama.
“Airin, Nazriel… akhirnya kalian datang juga,” Mama memeluk erat dan mencium pipiku.
“Ayo masuk! Pak pengacara sudah menunggu kalian.”
Kami pun memasuki rumah mama lalu duduk si sofa. Pak pengacara terlihat mengambil kacamata dari saku jasnya, kemudian membuka map yang ada di depannya.
“Baiklah, berhubung kita sudah berkumpul di sini. Langsung saja saya membacakan surat warisan Pak Ari Susanto.
Aku memasang telinga baik-baik.
“Saudari Airin Septiana, selaku anak tunggal Bapak Ari Susanto telah menunaikan wasiat yang diberikan almarhum untuk melangsungkan pernikahan sebelum empat puluh hari kepergian beliau, maka detik ini juga seluruh harta Bapak Ari Susanto jatuh ke tangan Airin Septiana. Silakan Anda tanda tangan di surat penerimaan warisan Bapak Ari Susanto!”
Pak pengacara menyerahkan map yang ia pegang kepadaku. Langsung saja aku membaca isi surat warisan papa.
SURAT PENYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ari Susanto
Tempat, dan tanggal lahir : Martapura, 01 Januari 1964
Alamat : Jl. Martapura lama Rt. 02/01 Desa Keramat Baru Kec.
Martapura Timur Kalsel 70619.
Dengan ini saya menyatakan bahwa jika nanti saya meninggal dunia, seluruh harta kekayaan saya yang berupa sebuah hotel di Banjarmasin, kafe bakso di Solo, tanah ribuan hektar di Yogyakarta, rumah kontrakan mewah di Sekumpul, Martapura dan dua buah mobil mewah.
Jika di jumlah, total kekayaan saya mencapai Enam Belas Milyar Rupiah. Semua itu akan saya berikan kepada Airin Septiana, selaku anak tunggal saya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan sehat walafiat tanpa paksaan dari pihak manapun.
Martapura, 13 Agustus 2013
Yang membuat pertanyaan Yang Menerima Warisan
Ari Susanto Airin Septiana
Dahiku berkerut membaca surat warisan papa. Di surat ini tidak tertulis aku harus menikah dulu jika ingin mendapatkan harta warisan papa.
Apa jangan-jangan pernikahan itu hanya karangan pak pengacara? Aku menggeleng cepat. Aku tak boleh berburuk sangka. Lagi pula untuk apa pak pengacara melakukan itu?
“Mungkin surat wasiat tentang itu ada di kertas lain kali ya?” batinku mencoba berpikir positif.
Ya, sudahlah. Di manapun papa menulis wasiat. Tentang itu aku sudah tak peduli lagi. Yang terpenting sekarang aku harus menandatangani surat warisan papa. Dalam hitungan detik surat warisan ini sudah kububuhi tanda tangan.
“Pak, saya boleh bertanya?”
“Boleh, mau tanya apa Airin?”
“Aku kan sudah sah jadi pewaris harta Papa, otomatis yang menjalankan hotel Papa, aku dong? Nah, kapan kira-kira aku mulai mengurus hotel Papa?”
“Besok juga sudah bisa, kok.”
“Pak, boleh saya minta sesuatu?”
“Kamu minta apa?”
“Saya minta carikan sopir untuk antar jemput saya ke hotel.”
“Lho, bukannya kamu sudah bersuami? Kenapa nggak suamimu aja yang antar jemput kamu?” kali ini mama yang bertanya.
“Mas Nazriel kan kerjanya beda tempat denganku. Entar kalau Mas Nazriel lagi meeting, siapa yang jemput aku di hotel?”
“Besok saya kirimkan sopir ke rumahmu.”
Pak pengacara pun berdiri sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Baiklah, berhubung hari sudah malam, saya undur pamit dulu. Saya juga masih ada urusan lain.”
Mama ikutan berdiri.
“Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak,” ucap mama.
Mama pun mengantarkan pak pengacara sampai luar.
Aku tetap diam di sofa sambil memandangi surat warisan papa. Senangnya hatiku hari ini aku mendapatkan kebahagiaan double.
Kebahagiaan pertama kudapat ketika pagi tadi bertemu dengan cowok ganteng yang menawariku kerja di Arga, dan kebahagiaan kedua kudapat malam ini ketika dinyatakan sah sebagai pewaris harta papa.
Senyum kemenangan tersirat di bibirku. Akhirnya aku berhasil mendapatkan apa yang kuinginkan. Sebentar lagi penderitaan akan pergi dari hidupku karena kesuksesan sudah ada di mata.
Aku sudah bisa merencanakan waktu yang tepat untuk berpisah dengan Si Cupu. Aku tidak mau menjalani pernikahan sandiwara ini.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices