Kau Harus Bahagia

Reads
197
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

11. Tatapan Matanya Memancarkan Ketulusan

Rasa bosan dan galau telah beranjak pergi dari hidupku. Rasa itu telah tergantikan oleh sebuah keceriaan.
Benar kata Si Cupu, rasa bosan sering menghinggapi diri kita ketika kita tak pernah mencintai pekerjaan kita sepenuh hati.
Kini aku telah menjalani pekerjaan sesuai hati. Pekerjaan membuatku semakin dekat dengan dunia perbukuan.
Ya, aku resmi jadi karyawan toko buku. Tak pernah terpikir olehku bisa bekerja di toko buku, apalagi toko buku Arga merupakan toko buku terbesar di Indonesia.
Semua ini berkat kehadiran Mas Ata, beruntung aku bisa mengenalnya.
Perjuanganku pergi ke Arga ini cukup sulit. Aku harus berbohong pada Si Cupu. Hari ini hari Minggu, toko buku Arga tetap buka. Aku pergi ke sini dengan alasan ingin ke hotel karena ada meeting mendadak.
Perjuanganku terbayar, ketika sampai di Arga, aku ditempatkan oleh Mas Ata sebagai kasir.
Saat aku dikenalkan pada karyawan-karyawan sini, aku mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan.
Aku melihat banyak tatapan sinis dari beberapa karyawan. Tatapan sinis itu seolah mengatakan, “Kenapa sih bos Ata mempekerjakan cewek cacat di sini? Emang dia bisa apa? Seperti nggak ada yang lain saja!”
Aku tak memedulikan tatapan-tatapan sinis dari mereka. Tujuanku di toko buku Arga ini adalah bekerja, bukan mencari musuh. Lagipula aku sudah kebal dengan penghinaan.
Hari ini pengunjung Arga cukup banyak, mungkin karena hari libur. Yang aku lihat kebanyakan pengunjung Arga ini adalah kalangan remaja. Aku senang masyarakat Banjarmasin mulai banyak yang suka membaca buku dan memanfaatkan waktu untuk hal yang bermanfaat.
Satu per satu dari mereka menghampiriku untuk membayar novel yang mereka beli. Rata-rata mereka membeli novel teenlit.
Waw, segitu hebatnya novel teenlit. Mendadak aku jadi ingin menulis novel teenlit juga, selama ini aku selalu menulis novel dewasa. Mungkin dengan menulis novel teenlit, novelku bakal di acc mayor label dan novelku bisa mejeng di Arga seluruh Indonesia.
Paling penting aku bisa sedikit mengharumkan Kota Banjarmasin, Banjarmasin juga punya penulis keren. Lagi-lagi itu hanya impian, entah kapan impian itu akan terwujud.
Tiba-tiba di depanku ada Mas Ata. “Hay, gimana betah nggak kerja di sini?”
“Pasti dong, kan bisa membuatku dekat dengan buku.”
“Syukurlah kalau begitu.” Mas Ata terlihat sedang melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Yuk, ikut aku! Sekalian makan siang.”
hah? Makan siang? Waw, perasaan aku baru beberapa menit di sini ternyata sudah masuk waktu makan siang. Jika melakukan sebuah pekerjaan yang disukai, maka waktu akan terasa cepat sekali berlalu.
Aku mengacungkan jari telunjuk, menunjuk ke arah orang-orang yang asyik memilih buku.
“Tuh lihat, hari ini Arga rame banget. Kalau aku pergi, siapa yang jaga kasir? Kasihan Mbak Rani harus mengurus ini sendirian,” ucapku mencoba menolak tawaran Mas Ata.
Aku harus tahu diri. Posisiku sekarang sebagai karyawan baru kan tak enak dilihat karyawan lain kalau aku pergi sama bos? Bisa-bisa mereka semakin membenciku karena iri.
“Kalau soal itu gampang,” Mas Ata merogoh sakunya, ia mengeluarkan handphone dan menelepon seseorang.
“Halo, Nanda. Bisa nggak kamu sekarang datang ke Arga? Nanti saya akan kasih gaji tambahan, anggap aja lembur gitu. Oke, saya tunggu!”
Itulah yang aku dengar dari mulut Mas Ata saat berbicara di telepon, entah berbicara dengan siapa.
“Kalau masalah kasir bentar lagi Nanda akan datang. Dia akan gantikan kamu sementara, selama kamu pergi denganku.”
“Siapa Nanda?".
“Nanda karyawan kasir juga. Dia kost di belakang mall kok, jadi bentar lagi pasti sampai. Masalah kasir kan sudah beres, berarti mau dong pergi sama aku?”
Huft, aku menghembuskan napas. Mas Ata tipe cowok yang tidak mudah menyerah. Dia akan melakukan apapun untuk mewujudkan keinginannya.
“Mau ya, please,” Mas Ata memohon dengan tampang memelas, tapi tetap ganteng dilihat.
Melihat wajah melasnya, aku jadi tidak kuasa menolak ajakannya. Biar bagaimanapun Mas Ata adalah bosku. Sebagai karyawan yang baik, aku harus menuruti perintah bos.
“Hmmm… baiklah, aku mau pergi sama kamu.”
“Ran, sementara Nanda belum datang, kamu dulu ya yang gantikan Airin. Paling sepuluh menitanlah!” kata Mas Ata sambil tetap tersenyum ramah terhadap para bawahannya.
Aku mengambil tongkat dulu sebelum berjalan mengikuti langkah Mas Ata. Ah, beruntungnya aku memiliki bos yang baik. Sering-sering aja sih ngajakin makan siang, kan lumayan tak keluar uang. Biarlah karyawan-karyawan lain iri dan benci padaku.
***
Sudah hampir tiga puluh menit menit aku berada di mobil bersama Mas Ata, tapi belum sampai juga di tempat tujuan. Aku sendiri tak tahu Mas Ata akan membawaku pergi ke mana. Yang pasti semakin lama berdua sama Mas Ata, aku semakin menikmatinya.
Mas Ata sangat jauh berbeda sama Si Cupu. Jika biasanya saat di mobil bersama Si Cupu aku selalu tertidur, tapi saat di mobil sama Mas Ata, mataku justru bersemangat melek.
Mas Ata pintar mencairkan suasana atau membuatnya agar tidak garing. Sepanjang perjalanan, Mas Ata banyak bercerita tentang seleranya. Aku suka mendengar ceritanya, aku jadi bisa lebih mengenal Mas Ata.
Ada banyak persamaan antara aku dan Mas Ata. Di antaranya adalah sama-sama suka lagu tahun 90-an, sama-sama suka bakso dan sama-sama paling menyukai warna biru.
Aku jadi teringat perkataan tante, “Jodoh kita itu adalah orang yang memiliki banyak persamaan dengan kita.”
Mungkin nggak ya jika aku sama Mas Ata berjodoh? Ah, cepat-cepat aku menggelengkan kepala. Kenapa aku mengharapkan bisa berjodoh dengan Mas Ata? Aku baru mengenalnya beberapa hari. Lagipula dia tak mungkin mau berjodoh dengan wanita cacat seperti aku.
Cittt…
Mas Ata menghentikan mobil tepat di Jorong Café. Aku tak menyangka Mas Ata akan membawaku ke café ini.
Setahu aku, café ini café termewah yang ada di Banjarmasin. Konon katanya di café ini juga menjual bakso yang rasanya sangat enak dan harganya pun cukup menguras dompet.
“Loh, kok bengong? Ayo kita turun!” ujar Mas Ata yang tiba-tiba ada di samping kiriku. Karena melamun, aku jadi tidak melihat Mas Ata turun dari mobil dan membukakan pintu untukku.
Mata kami saling bertatapan. Aku terpesona melihat tatapan matanya yang tajam dari dekat. Matanya memancarkan daya tarik sesuatu yang luar biasa. Aku sendiri tak tahu apa sesuatu yang luar biasa itu.
“Hanya lewat tatapan mata, kamu bisa mengetahui ketulusan cinta seseorang. Tatapan mata orang yang tulus padamu berbeda dengan tatapan mata yang mencintaimu karena nafsu.”
Astaga, aku baru menyadarinya. Tatapan mata Mas Ata memancarkan ketulusan. Apakah ketulusan itu untukku? Apakah Mas Ata adalah pria yang dikirimkan Arizal untukku? Berbagai pertanyaan bersarang di otakku.
Namun pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah kutemukan jawabannya. Hanya Tuhan yang mengetahuinya.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices