Kau Harus Bahagia

Reads
194
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

12. Pantai Batakan

Perjalananku dengan Mas Ata terus berlanjut. Seusai makan bakso di Jorong Café, Mas Ata membawaku ke suatu tempat yang aku impikan selama ini. Lebih tepatnya dia membawaku ke pantai yang terletak di Desa Batakan, Kabupaten Tanah laut.
Pantai ini salah satu pantai terindah yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan. Beruntung Mas Ata membawaku ke sini. Selama sebelas tahun tinggal di Kalimantan Selatan, baru kali ini aku mengunjungi Pantai Batakan.
Keindahan Pantai Batakan ini tidak kalah dengan keindahan Pantai Kuta, Bali. Pantai ini menyajikan keindahan panorama alam dengan perpaduan suasana laut dan pegunungan. Banyak sekali pengunjung yang datang ke pantai ini. Mungkin karena hari ini hari Minggu, hari yang pas digunakan untuk bermain bersama keluarga.
Mereka ada yang bermain di hamparan pasir putih cokelatnya yang membentang, ada yang berjemur, ada yang bermain voli pantai, atau bahkan yang berenang di bibir pantai. Ombak di pantai ini juga relatif kecil, sehingga aman untuk bermain air dan berenang di bibir pantainya.
Di pantai ini juga ada yang menawarkan fasilitas transportasi. Ada yang menawarkan jasa penyewaan kuda untuk berkeliling di pantai, ada yang menawarkan banana boat untuk ke tengah pantai, atau bahkan ada juga yang menyewakan jasa perahu motor untuk yang hobi memancing.
Aku ingin seperti mereka, namun lagi-lagi keadaan yang tak bisa membuatku melakukan itu. Meskipun demikian, aku tetap menikmati keindahan pantai ini. Ya, walaupun aku hanya bisa duduk santai berteduh di bawah pohon cemara yang berjajar di pinggir pantai.
Menurutku pantai adalah tempat yang paling indah, harus dijaga kebersihannya. Namun sayang masih ada aja orang yang tak memedulikan kebersihan. Tidak jauh dari tempat kami berada, ada seorang ibu yang baru saja selesai menyuapi anaknya makan nasi bungkus dan dengan seenaknya ibu itu melemparkan begitu saja bungkusan nasinya!
Aku dan Mas Ata sama-sama geleng-geleng kepala melihat ulah si ibu. Itu baru satu orang. Bagaimana kalau ada sepuluh orang seperti ibu itu? Bisa-bisa pantai ini penuh dengan sampah.
Wust!
Angin sepoi-sepoi menyibakkan rambut panjangku. Aku mencoba merapikan rambutku yang berantakan dengan tangan sendiri.
“Airin, sini deh aku bisikin sesuatu,” ujar Mas Ata.
Sontak aku menoleh ke samping seraya mendekatkan telingaku ke wajahnya. Tak disangka Mas Ata membohongiku. Dia tidak membisikkan sesuatu, tapi dia malah menyelipkan bunga di daun telingaku
“Kamu terlihat cantik sekali memakai bunga yang kuselipkan di telingamu itu.”
Aku tersipu malu. Mas Ata memang pandai memuji wanita. Pujiannya bisa membuatku terbang ke langit ke tujuh.
“Terima kasih, Mas Ata juga sangat tampan,” aku membalas pujiannya.
“Daripada bengong, kita lari-larian di bibir pantai yuk!” ajak Mas Ata.
Wajahku berubah jadi sedih. Sudah tahu keadaanku begini malah diajakin lari-larian di bibir pantai.
“Hey, kok wajahmu malah sedih? Kamu nggak suka ya aku bawa ke pantai ini?”
“Aku suka banget sama pantai. Aku sedih karena tak bisa melakukan ajakanmu tadi. Jangankan berlari, jalan aja aku susah. Yang ada entar aku kepeleset.”
“Kalau soal itu jangan khawatir.”
Tiba-tiba Mas Ata berjongkok, punggungnya tepat berada di depanku. Aku sendiri tak mengerti maksudnya apa.
“Rin, ayo naik ke punggungku. Aku gendong kamu di belakang, jadi kamu tetap bisa lari-lari kecil bersamaku.”
“Nggak ah, nanti kamu malah sakit pinggang gendong aku.”
“Nggak apa-apa, aku kuat kok. Ayo cepet naik!”
Karena Mas Ata memaksa, akhirnya aku luluh juga. Pelan-pelan aku berdiri sambil memegang punggungnya, kemudian aku melingkarkan kedua kaki di pinggang Mas Ata. Tak lama kemudian dia berdiri. Aku berpegangan di pundak Mas Ata. Kedua tangannya menyanggaku.
aku tertawa lepas. Mas Ata berlari kecil menyusuri bibir pantai. Kadang-kadang dia juga menggodaku dengan memutar-mutar badannya. Otomatis kepalaku juga sedikit pusing, tapi aku menyukainya.
Tak terasa hari sudah mulai senja. Mas Ata menebarkan kain pantai yang dibawanya, lalu kami duduk di atasnya. Matahari sebentar lagi terbenam. Aku paling suka melihat sunset.
Kami terdiam, menantikan sunset. Aku agak terganggu dengan orang-orang yang masih saja sibuk berlalu-lalang di hadapan kami. Menurutku, sunset itu momen sakral yang seharusnya dihormati semua orang. Aku sebal dengan orang-orang yang tidak menghargai karya Tuhan yang maha indah itu.
Tiba-tiba aku teringat akan Si Cupu. Sudah berapa lama aku meninggalkannya? Tadi pagi aku pergi pake alasan ada meeting dadakan.
Pasti Si Cupu curiga. Aku pun meraih handphone dalam tas. Aku melihat di layar handphone tertulis sebelas panggilan tak terjawab. Dan panggilan tak terjawab itu dari Si Cupu.
“Mas Ata, hari sudah malam. Kita pulang yuk!”
“Oke deh, kita pulang tapi habis magrib aja ya!”
Aku bernapas lega Mas Ata mau aku ajakin pulang. Rasanya memang masih berat meninggalkan pantai ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus pulang.
***
Prang…!
Nazriel tidak peduli gelas, asbak kaca, dan seluruh yang ada di mejanya jatuh berserakan di lantai. Hatinya lagi kacau balau, bawaannya ingin mecahin barang atau bahkan ingin sekalian mecahin kepala.
Semua ini hanya karena satu wanita yang tak pernah mencintainya. Airin, lihatlah pecahan gelas kaca yang jatuh ke lantai itu sama seperti hatinya yang hancur berkeping-keping saat melihat Airin bermesraan dengan pria lain.
Aku tahu dia dari awal tak pernah mencintaiku, tapi mengapa ia tega bermesraan dengan pria lain di belakangku?
Melihatnya bermesraan dengan pria lain itu jauh lebih menyakitkan daripada mendengar kata-kata kasar seperti yang sehari-hari ia ucapkan padaku.
Apakah ini yang dinamakan patah hati? Mengapa aku merasakan patah hati? Bukankah aku menikah dengan Airin hanya karena ingin menunaikan amanat Arizal saja. Apakah jangan-jangan aku mulai mencintainya? Mengapa cinta tak seindah yang kuharapkan? Seribu pertanyaan berkecamuk di otakku.
“Zal, apa yang harus aku lakukan? Kamu yang membuatku dalam cinta seperti ini. Aku tak sanggup seperti ini terus. Bantu aku Zal,” batinku.
***
Akhirnya sampai juga di rumah. Ketika memasuki halaman, aku melihat mobil Si Cupu sudah terparkir di halaman rumah.
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan, jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Pantas saja dia sudah pulang dari kantor. Tapi aku tenang saja, jam segini paling dia lagi asyik ada di alam mimpi. Jadi aku terbebas dari omelannya yang nggak penting.
Sampai di depan pintu, aku mengambil kunci rumah dari tas. Tak lama kemudian pintu terbuka, di ruang tamu dan ruang tengah gelap gulita. Benar dugaanku, Si Cupu pasti lagi tidur nyenyak. Aku mencopot sepatu agar derap langkahku tak terdengar oleh Si Cupu. Lalu hati-hati memasuki rumah.
Selamat melangkah sampai ruang keluarga. Namun ketika hendak menaiki tangga, tiba-tiba lampu menyala dengan sendirinya. Aku kaget dan membalikkan badan. Di belakangku telah berdiri tegak Si Cupu dengan tampang yang merah padam sambil berkacak pinggang.
“Dari mana kamu jam segini baru pulang?” tanya Si Cupu dengan nada tinggi. Heran, baru kali ini dia berbicara dengan nada tinggi.
“Abis pulang kerja,” jawabku santai.
Nazriel mendekatiku dan memandangku dengan tatapan sinis.
“Kerja? Kerja apa jam segini baru pulang? Tadi aku ke hotelmu tapi kata karyawan di sana kamu nggak datang ke hotel hari ini. Ayo, jawab yang jujur kamu pergi ke mana hari ini?” nada bicara Nazriel semakin meninggi.
Aduh, mampus aku. Aku harus jawab apa? tiba-tiba ada alasan di otakku.
“Mungkin karyawannya aja yang nggak liat gue datang. Tadi habis meeting gue ke pesta ulang tahun teman dulu.”
“Ke pesta ulang tahun teman? Kok nggak bilang ke aku dulu?”
“Helooooo, penting gitu gue bilang sama lo?” jawabku sengit.
“Jelas penting lah. Aku ini suami kamu, tolong hargai aku dong! Istri yang baik selalu minta izin suami dulu sebelum pergi.”
Sekarang giliranku yang menatapnya dengan tatapan sinis.
“Whats? Aku nggak salah dengar kan? Dengar ya! Kamu itu hanya suami pura-pura. Dari awal pernikahan aku tak perrnah mencintaimu dan tak pernah menganggapmu sebagai suami. Jadi jangan pernah ngatur-ngatur hidupku!” balasku dengan nada tak kalah tinggi.
Setelah berkata demikian aku ngacir ke kamar di lantai atas. Tak ada gunanya aku melanjutkan perdebatan.
Tuhan, aku capek hati dan pikiran. Sampai kapan semua ini akan berakhir? Aku tidak bisa mencintainya.
Apakah ini hukuman untukku karena aku memulai rumah tangga hanya karena nafsu harta? Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku bercerai dengannya? Bagaimana dengan mama? Mama pasti takkan mengizinkanku melakukan hal itu. Ah, menyebalkan berumah tangga tanpa adanya cinta! Hanya menyiksa hati.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices