Kau Harus Bahagia

Reads
192
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

15. Terindah Dan Aku Terpuruk

Hubunganku dengan Nazriel sebenarnya tidak memburuk karena hubunganku dengan Nazriel semakin hari semakin seperti berteman saja. Kita tetap asing sebagai suami istri, tapi kita malah nyaman bila bicara biasa layaknya teman.
Seperti hari ini, aku sengaja bangun siang karena semalam, malam Minggu aku habiskan dengan Mas Ata menonton midnight.
Ya ampun film Eat, Pray and Love dengan artis si seksi Julian Robets dijadikan midnight. Sebuah film romantis dan aku merasakan pelukan Mas Ata yang dari awal film sampai akhir terus melingkarkan tangannya di bahuku.
Kita sama-sama tidak peduli berapa kali ada telepon masuk ke handphone masing-masing. Jelas Si Cupu mencari aku yang nggak biasanya belum pulang sampai tengah malam. Aku sengaja silent dan cuekin. Mas Ata juga cuek saja mengabaikan panggilan itu dan tetap konsentrasi dengan film yang diperankan apik oleh Julian Robets.
Gila, Julian Roberts berperan sebagai Elizabeth Gilbert, Elizabeth sendiri merupakan seorang penulis wanita berusia tiga puluh dua tahun, yang kalau dilihat dari luar, telah memiliki segala hal yang dapat diimpikan seluruh wanita seusianya. Karier, materi, hingga suami yang menyayanginya.
Namun entah mengapa ada sesuatu hal yang dirasakan Elizabeth hilang dari dirinya, kebahagiaan hati. Ini yang membuat Elizabeth sering merasa galau dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan sang suami, Steven, yang diperankan Billy Crudup.
Elizabeth kemudian melakukan perjalanan pribadi selama setahun yang kemudian dibagi dalam tiga segmen seperti yang dituliskan judulnya, Eat Pray Love.
“Airin, kamu semalam pulang jam berapa sih? Aku teleponin kamu nggak angkat. Nih, sarapan dulu gih!” Nazriel menyodorkan setangkup roti tawar isi selai nanas.
“Dari mana kamu tahu aku suka roti tawar isi selai nanas?” aku melahap roti tawar dengan nikmat. Sebenarnya perutku udah keroncongan, semalam di depan Mas Ata jadi jaim nggak mau makan malam. Padahal biasanya aku biasa makan malam, tapi entah kenapa kok setelah jadian malah jadi sok jaga image gini. Alhasil di depan Nazril aku kaya orang kelaparan.
Ya ampun. Aku sepertinya baru kali ini hari Minggu bangun jam sembilan, biasanya meskipun libur aku tetap konsisten bangun pagi. Tidak dengan Minggu ini untuk pertama kalinya setelah menghabiskan malam Minggu dengan lelaki, suami orang lebih tepatnya.
Tapi sudahlah, selama kesalahan ini masih penuh debar dan membuat hidupku berbeda dari hidupku yang kemarin-kemarin tenang dan anteng. Kali ini aku merasakan adanya sengatan-sengatan yang memacu adrenalin, dan nyatanya aku menikmatinya.
Hubungan dengan Mas Ata semakin dekat, kami jelas-jelas tidak ingin menyembunyikan hubungan terlarang kami. Setiap saat kami selalu bersikap mesra. Mas Ata sudah tidak ragu untuk merangkul dan menggenggam tanganku di hadapan orang lain.
Tampaknya Pak Bram, bos kami juga tidak mau terlalu ikut campur urusan hati, atau tepatnya pribadi kami. Yang jelas mas Ata tetap konsisten dengan pekerjaannya, bahkan semakin giat karena kami saling mendukung.
Novelku dalam jangka waktu satu bulan terjual banyak. Sepertinya Mas Ata ikutan puas karena analisa tajam dia tentang genre yang tengah diminati dan terutama masukan-masukannya sangat tepat.
Sembilan bulan sudah kebersamaan ini dan rasanya semakin hari semakin terasa berat untuk tidak bertemu. Meskipun satu kantor, aku tidak bisa juga setiap menit bisa melihatnya karena dia kerap ke lapangan. Sementara aku rehat dulu setelah novel keenamku yang banyak menyita waktu dengan acara talk show, bedah buku dan panggilan beberapa wawancara radio.
Untung sekali Si Cupu bisa ngertiin kalau ini dunia aku, dia yang benar-benar menangani usaha almarhum papa. Dan asyiknya, Si Cupu selalu memberikan laporan berapa yang dia transfer ke rekeningku yang makin gemuk. Tentu saja, karena aku nggak pernah ambil sepeserpun uang yang diberikan dia dari hasil bisnis dan gaji dia sendiri yang katanya kewajiban suami menafkahi istri.
Nyatanya aku nggak butuh sama sekali. Uang gajiku sendiri cukup untuk kebutuhan sehari-hari karena aku pribadi tidak suka hidup bermewah-mewah. Apa yang aku dapatkan dari keringatku sebagai editor dan penulis sudah cukup.
***
Sekarang tinggal satu yang sebenarnya ingin aku wujudkan, menikah dengan seseorang yang aku cintai dan itu Mas Ata.
Aku mendadak bingung karena statusku adalah seorang istti dan Mas Ata belum tahu kalau aku tengah menjalani perkawinan sah, walaupun sandiwara menurutku.
Apakah dia percaya kalau aku menjalani semua ini karena terpaksa agar harta papa tidak hilang sehingga aku dan mama tidak mendadak jadi kere?
Mana ada lelaki sebaik Nazriel yang merelakan harga diri dan waktunya untuk aku yang semena-mena terhadapnya.
Aku ingin mengakhiri semuanya, tapi kenapa Nazriel setiap aku ajak untuk mengobrol masalah ini dia malah akhirnya meninggalkan aku.
“Cupu, aku ingin bercerai!” aku berteriak pada Nazriel yang tampak adem ayem tanpa masalah.
Sungguh aku ingin menyelesaikan perceraianku dulu dengan Nazriel dan tidak perlu jujur terhadap Ata kalau aku pernah menikah.
Cukup ini rahasia aku, Nazriel, dan keluargaku. Toh, memang aku menikah secara hukum tapi kenyataan tidak terjadi apapun antara aku dan Nazriel.
Kadang aku kesal tapi juga kasihan melihat Nazriel yang sangat polos dan tidak menuntut apapun. Sebenarnya apa sih yang Nazriel pertahankan dari hubungan perkawinan pura-pura ini?
Aku sudah berbaik hati untuk membagi harta dengannya, tapi dia tolak. Masuk akal juga sih dia tolak karena memang sebelum menikah dengan aku juga dia sudah kaya raya.
Jangan-jangan Nazriel memang mulai mencintai aku? Aduh gawat kalau ini benar, padahal aku malah makin cinta Mas Ata.
***
Aku yang tengah bingung tiba-tiba mataku gelap, ada tangan yang hangat menutup mataku dari belakang. Dan saat tangan itu membuka, ada setangkai mawar merah dan es krim scoop taman kota yang aku suka dengan perpaduan strawberry vanila.
“Es krim taman kota. Hmmm… kamu memang selalu tahu yang aku suka, Mas,” kataku mesra pada Mas Ata yang habis dari lapangan balik lagi ke kantor.
Jelas ini sudah di luar jam kantor, kita bukan lagi meributkan lembur atau tidak terhadap perusahaan. Aku mau dibayar lembur, tidak juga nggak masalah karena tujuan aku lama di kantor memang seperti janjian saja dengan Mas Ata untuk ngebahas editing naskah yang aku tangani, belajar sales dan marketing atau menemani Mas Ata membuat laporan buat Pak Bram. Kita bisa menyelingi makan malam bersama lalu pulang ke rumah masing-masing.
“Sayang, kok melamun? Tuh es krimnya mulai lumer lho! Ayo cepat abisin! Nggak usah mikir berat-berat, hidup sudah susah. Buat easy going saja!” Mas Ata menyalakan laptopnya.
“Hmmm… iya Mas. Enaknya es krim taman kota. Pokoknya nggak kalah dengan baskin robbins deh.”
“Kamu Rin, kaya anak kecil,” Mas Ata mengacak rambutku.
Dan aku tersenyum bahagia. Enaknya dicintai oleh seseorang yang hati kita juga merasa sangat cocok dengannya.
Mas Ata sosok yang sangat sempurna di hadapanku. Bersamanya, waktu seakan bergulir cepat. Tidak terasa sembilan bulan ini kita hampir menghabiskan banyak waktu bersama, terutama selepas jam kantor. Kita selalu berpisah sekitar pukul 21.00. Sepertinya lembur paling enak jadi alasan buat Si Cupu yang suka usil bertanya-tanya tentang kerjaanku di kantor.
***
“Airin cabut yuk! Kita makan roti bakar sambil duduk-duduk di warung Edi.”
Tiba-tiba Mas Ata mengajak keluar. Sudah pukul 20.00 dan memang perutku juga keroncongan. Diisi roti bakar sepertinya pas banget, nggak terlalu berat dan juga nggak terlalu ringan.
Aku baru mau beranjak, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi dan tampak di layar nama Si Cupu, menyebalkan.
Ih apaan sih dia telepon-telepon segala, biasanya juga SMS doang. Membuat aku jadi bete saja.
Aku matiin saja deh.
“Rin, kok dimatiin sih? Diangkat dululah, siapa tahu penting,” Mas Ata berkata sambil merapikan laptopnya ke tas.
“Males ah, mengganggu saja,” kataku cuek.
Mas Ata cuma geleng-geleng kepala dan senyum tipis.
“Ayo Sayang...” Mas Ata menjulurkan tangan dan membantu aku jalan menuruni tangga. Memang ruang editor sekaligus marketing pemasaran ini ada di lantai dua, sementara toko buku ada di lantai satu.
Suasana kantor sudah sepi, tersisa aku dan Mas Ata. Pokoknya nyaman sekali deh kerja di sini.
***
Warung Edi tampak cukup ramai dengan para muda-mudi yang saling bercengkerama. Aku sudah memesan roti bakar nenas dan teh manis hangat.
“Asyik ya, lihat mereka yang tengah pacaran, sepertinya dunia milik mereka,” Mas Ata tersenyum melihat pemandangan sekitar.
“Mas Ata nggak kangen apa sekali-sekali pulang cepat ke rumah? Memang Mbak Marina dan Aina nggak menanti kamu?” aku tiba-tiba ingin bertanya lebih dalam akan keluarga Mas Ata.
Menurut aku, Mas Ata sih keterlaluan waktu lemburnya di kantor. Seperti masih bujangan saja, nggak merindukan istri dan putrinya yang menanti di rumah.
“Airin, semua ada alasannya. Kamu ingin tahu kenapa aku memilih banyak di kantor ini? Ini susah memang, sudah kebiasaan yang aku lakukan sebelum aku mencintai kamu,” Mas Ata menatapku lekat, membuat wajahku memerah dan hatiku tak berhenti berdegup kencang.
Mas Ata tampak termenung sesaat. Aku sungguh menjadi ingin tahu apa yang dirasakannya.
“Airin… istriku adalah wanita karier. Dia sendiri bisa pulang lebih malam dari aku dan ini sudah bertahun-tahun sejak kami mulai menikah. Sampai Aina sekarang berumur tiga belas tahun dia tidak mau meninggalkan kerjaannya. Jabatan dia sudah lebih bagus dari aku dan pendapatan dia juga bisa dibilang jauh lebih besar.”
“Wah, hebat istri Mas Ata, wanita karier yang sukses,” aku berusaha jujur, kagum atas prestasi Mbak Marina.
“Iya, sayangnya aku jadi merasa kerap direndahkan dan tidak ada harganya. Jujur, saat bertemu kamu, kenapa ya aku merasa kamu itu menghargai aku dan sangat membutuhkan aku? Aku ingin memiliki istri yang merasa tergantung dengan aku dan aku adalah orang yang penting buat dirinya. Nyatanya aku merasa bukan apa-apa baginya. Dia sama sekali tidak butuh harta aku, aku, dan juga Aina anak kami yang dari kecil tidak dapat perhatian penuh ibunya,” Mas Ata bercerita dengan pelan dan penuh tekanan, ada air mata yang mengembang di dua bola matanya yang meredup.
“Mas...” aku meraih jemari tangannya dan meremas.
Mas Ata membalas dengan meremas dan mencium tanganku.
“Maafkan aku ya Airin, aku sama sekali tidak bermaksud mempermainkan hubungan kita. Semakin kemari entah kenapa aku merasa kamu lebih cocok menjadi istriku daripada Marina yang sudah bertahun-tahun bersamaku,” Mas Ata menatapku masih dengan air mata tersisa.
“Aku... aku tahu Mas Ata,” seketika aku merasa melambung, Mas Ata berkata jujur kalau aku lebih pas untuk jadi istrinya dibandingkan Mbak Marina.
Sepulang dari warung Edi, Mas Ata semakin hangat. Dia tidak melepaskan genggaman tangannya pada tanganku sembari menyetir mobil, bahkan saat turun dari mobil, kami sempat berciuman cukup lama. Persetan dengan Nazriel yang mungkin tengah mengintip apa yang baru saja aku lakukan dengan Mas Ata. Aku sangat menikmati setiap sentuhannya.
***
Saat aku memasuki ruangan dia, ternyata Nazriel tengah membaca. Tatapannya sekilas tampak sinis, tapi kemudian memilih diam dan kembali membaca tanpa berkata apapun.
“Pukul 23.00 kamu baru pulang Rin, kamu pekerja keras sekali ya,” entah itu ucapan mengagumi atau menyindir, aku tidak peduli. Rasa debar hatiku karena ciuman barusan memilih aku tidak mau mendebat dan langsung masuk kamar, mandi, dan langsung tidur. Tak sabar nunggu besok agar bisa bertemu kembali dengan Mas Ata.
Ternyata hari ini Mas Ata tidak masuk. Dia cuma berkirim SMS.
SMS Mas Ata:
“Airin sayang, Mas nggak masuk kantor, Aina dirawat karena sakit. Take care sayang...”
Aku membalas SMS-nya.
“Semoga Aina cepat sembuh ya Mas, aku boleh nengok besok-besok?”
Balasan SMS Mas Ata:
“Boleh kok, bye.”
Ternyata benar-benar sosok Mas Ata adalah penyemangat kerjaku. Tanpa ada dia, buat apa aku harus lembur? Lebih baik aku pulang supaya bisa tidur cepat. Tersadar sudah sembilan bulan ini aku selalu tidur di atas pukul 22.00.
Pulang pukul 18.00 ternyata di rumah sudah ada Si Cupu. Aku jadi ngerasa salah dari kemarin selalu pulang malam dan tak pernah memperhatikannya.
Nazriel tampak kaget melihat aku pulang cepat. Tapi aku cuek saja karena aku berharap bisa mengakhiri semua ini, walau jujur Nazriel semakin hari semakin baik dan penampilan dia mulai berubah, atau apakah aku yang mulai terbiasa melihatnya?
Jangan-jangan ada cinta di hatiku buat Si Cupu, meskipun sedikit? Ah, kenapa aku jadi mikirin Si Cupu? Pacar aku itu Mas Ata yang sekarang tengah bersama istri dan putrinya yang sakit.
Aku kenapa jadi sakit hati juga ya sehari ini Mas Ata bersama istri dan putrinya? Dia pasti sudah tidak memikirkan aku sama sekali, buktinya tidak ada SMS atau telepon setelah SMS pemberitahuan dirinya tidak masuk kantor.
“Airin, kejutan kamu pulang cepat, bos galak kamu tidak menyuruh kamu lembur? Atau bos galak kamu sedang berbaik hati?” tanya Nazriel setengah tersenyum sinis.
Bukan salah dia juga bilang bos galak karena memang alasan aku beberapa kali sempat mengatakan kalau bosku galak dan aku harus lembur untuk menyelesaikan kerjaan kantor, padahal mana ada bos galak? Yang ada juga Mas Ata yang membuat aku betah di dekatnya. Dasar Si Cupu, gampang banget sih aku kibulin.
“Ya gitu deh. Enak juga kalau bos galaknya ada keperluan mendadak, jadi karyawannya bisa pulang cepat deh,” kataku, berbohong pastinya.
“Iya, semoga besok-besok begini seterusnya ya. Enak juga lihat istriku masih sore-sore gini kelihatan segar. Jadi aku ada teman makan dan ngobrol malam ini,” kata Si Cupu kalem.
Ih males banget ngobrol, enakan juga aku baca novel yang. Tapi iyalah sekali-kali nyenengin Si Cupu, kasihan dia sudah mau mengurusi usaha almarhum papa dan sudah menggemukkan tabungan aku. Mosok nemanin ngobrol dan makan aku males-males? Setidaknya aku mulai belajar jadi istri yang baik nantinya. Tentu saja buat Mas Ata, dan Si Cupu buat latihan saja. Ih jahat banget ya aku ? Bodo ah!
Dan malam itu memang aku temani Nazriel ngobrol. Ternyata Nazriel asyik juga sih diajak ngobrol. Wawasan dia tentang bisnis sangat luas. Dan kenapa ya aku menangkap ada hal yang dia sembunyikan tentang penerimaan dia untuk menjadi suamiku?
Aku seperti merasa perubahan penampilan Si Cupu sekilas ada kemiripan dengan Arizal. Tapi sudahlah, ini perasaanku saja. Semoga firasatku tidak benar.
Malam itu aku merasa Si Cupu tidak lagi cupu penampilannya, dia berubah sedikit demi sedit. Ya ampun, Airin… Si Cupu tampan juga kalo dilihat lebih lama.
***
Rumah Sakit Persahabatan
Dan di sinilah aku sekarang, di Rumah Sakit Persahabatan tempat Aina dirawat. Aku memang memutuskan untuk menengok Aina yang ternyata mengalami kecelakaan dan sempat koma.
Aku tidak sanggup menahan air mataku, baru saja aku dengar permintaan tulus Aina pada papa mamanya, “Papa, Mama... Aina mohon... Tuhan telah memberi kesempatan Aina kehidupan kedua. Jangan pernah Papa dan Mama berencana meneruskan perpisahan. Papa Mama, Aina tidak mau jadi anak broken home. Aina sangat menyayangi kalian berdua. Papa dan Mama berjanjilah akan menjaga Aina sampai Papa dan Mama tua. Tidak ada satupun yang bisa memisahkan kita Pa, Ma... Aina mohon...”
Aku sudah tidak sanggup berkata-kata lagi, aku merasa tertampar pada sebuah kesalahan dan harapan fatamorgana.
Apalagi tampak Mas Ata menyatukan tangan Mbak Marina dan Aina dalam genggamannya, dan dia berjanji pada putri dan istrinya. “Papa janji Nak, Papa akan menjaga kalian sampai kapan pun. Maafkan Papa ya... Mama dan Aina adalah harta Papa yang paling berharga. Papa janji tidak ada satu pun yang bisa memisahkan kita sampai kapan pun. Sampai Papa tua dan mati, Papa akan selalu bersama kalian.”
Seketika aku yang baru saja merasa percintaan terindah darinya tiba-tiba terpuruk begitu dahsyatnya.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices