Kau Harus Bahagia

Reads
180
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

16. Penyesalan Datang Terlambat

Salon tempat yang kusinggahi untuk menghilangkan kegalauanku. Loh, memang di salon ada apa kok bisa menghilangkan galau? Di salon kan ada layanan creambath tuh, nah creambath itu bisa membuat kepala enteng, seakan beban di otak terangkat.
“Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” tanya mbak pelayan salon.
“Saya ingin creambath di sini, bisa?”
“Tentu saja bisa. Mari silakan duduk! Saya mau ambilkan alat-alat creambath dulu.”
Mbak pelayan salon memintaku duduk di kursi khusus creambath. Ia pun ke belakang untuk mengambil peralatannya. Sambil menunggu ia kembali, aku memanfaatkan waktu dengan membaca majalah.
Tak lama kemudian mbak pelayan salon kembali dengan membawa baskom, handuk kecil dan beberapa sampo. Handuk kecil yang dibawanya ditaruh di leherku, ia mulai membasahi rambut, kemudian memijat kepalaku. Pijitannya enak juga.
“Eh, ada wanita simpanan juga di sini. Pasti baru dikasih uang bulanan nih sama suaminya,” ucap seorang wanita bersuara cempreng.
Dari suaranya aku sudah hafal betul siapa pemilik suara tersebut. Siapa lagi kalau bukan Rani? Musuh bebuyutanku di kantor Mas Ata.
Dari awal aku masuk ke kantor Arga dia sudah membenciku. Apalagi waktu sama-sama jadi kasir, dia kerap kali berkata kasar. Untung Mas Ata cepat memindahkan aku ke divisi editing untuk jadi editor junior.
Menyebalkan. Mengapa harus bertemu dia di sini? Yang tadinya aku betah di-creambath sekarang malah ingin cepat selesai. Satu atap sama musuh buyutan itu rasanya seperti di neraka.
Untunglah keinginanku cepat terkabul. Mbak pelayan salon telah menyelesaikan tugasnya. Aku meraih tongkat dan buru-buru menuju kasir.
“Mbak, berapa totalnya?” tanyaku sama mbak kasir.
“Cuma empat puluh ribu, kok.”
“Oh, bentar ya!”
Aku mengobok-obok tas untuk mencari dompet, namun dompet tak kunjung ditemukan. Dompetku ke mana ya? Apa dompetku ketinggalan di rumah? Untuk memastikan jawabannya, aku menelepon Si Cupu.
Tuuut… tuuut...
“Halo Sayang. Ada apa nelepon?” akhirnya Si Cupu angkat teleponku juga.
“Kamu lagi di rumah?”
“Iya, emang kenapa?”
“Lihat dompetku nggak?”
“Oh, dompetmu ada sama aku kok. Tadi malam aku beli mie instan tapi aku nggak punya uang kecil, terpaksa deh aku ngambil uang dari dompetmu dulu. Terus aku lupa naruhnya lagi di tas. Maaf ya!”
“Kok kamu nggak bilang sih? Gara-gara kamu aku jadi malu nggak bisa bayar di salon,” cerocosku mengomeli Si Cupu.
“Oke, sekarang posisimu di salon mana? Biar aku anterin dompetnya.”
Telepon pun terputus.
“Mbak, kalau dompetnya ketinggalan boleh bayar besok kok.”
Sebenarnya pengen sih ngutang dulu di salon, mbak salon juga sudah memperbolehkan ngutang. Tapi karena ada Rani di salon ini, aku jadi gengsi buat ngutang. Nanti dia malah semakin menghinaku.
“Nggak, suami saya bentar lagi datang nganterin dompet.”
***
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil Si Cupu segera sampai. Menit berlalu menjadi jam. Aku semakin tidak sabar dan mulai menghubungi dia lagi.
Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering, teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, Ibu. Apakah Ibu istri dari Bapak Nazriel?”
Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberi tahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke Rumah Sakit Kepolisian.
Saat itu aku terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap, bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit, dan seluruh keluarga hadir di sana menyusulku.
Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu dokter di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku.
Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang azan magrib terdengar, seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. “Maaf, Pak Nazriel sudah tak terselamatkan lagi.”
Duar!
Hatiku bagai disambar petir ketika mendengar perkataan dokter. Rasa pedih kehilangan pun menyelimuti hatiku. Aku sendiri tak tahu mengapa rasa itu ada. Aku selama ini tak mencintai Si Cupu, harusnya aku bahagia dia pergi untuk selamanya.
Aku langsung memasuki ruang UGD. Aku shock ketika melihat Si Cupu terbaring kaku di ranjang.
Aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak, teringat apa yang telah ia berikan padaku selama kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyuman hangat.
Air mata merebak di mataku, mengaburkan pandangan. Aku terkesiap berusaha mengusap agar air mata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja.
Tapi bukannya berhenti, air mataku malah semakin deras membanjiri kedua pipi. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya selama menjalani pernikahan dengannya.
Aku selalu memanggilnya dengan sebutan “Si Cupu”, aku selalu berkata kasar padanya. Teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi, terutama ketika aku sakit.
Ia tak pernah absen mengingatkanku supaya makan teratur, terkadang ia menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah menanyakannya. Aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Bahkan yang paling parah, aku berselingkuh dengan pria lain.
“Nazriel, jangan tinggalin gue!” teriakku.
Aku merasakan ada tangan lembut mengelus pundakku.
“Kamu yang sabar ya Sayang, ikhlaskan kepergian Nazriel,” ucap seorang wanita bersuara lembut. Aku tahu itu bukan suara mama. Lantas siapa dia?
Aku menoleh ke samping. Di sampingku ada seorang wanita sekitar umur empat puluh lima tahunan, tapi dia masih terlihat cantik.
Mataku terbelalak tak percaya melihat wanita itu ada di depanku. Dia kan mamanya Arizal. Meskipun aku telah lama tak bertemu dengannya, tapi aku masih ingat betul wajah mamanya Arizal.
“Lho, Tante kan mamanya Arizal, kok bisa ada di sini?” tanyaku heran.
Dahi mamanya Arizal berkerut, “Lho, kamu nggak tahu Nazriel itu kakak kandung Arizal?”
Kedua kalinya aku mendengar kejutan tak terduga. Kenapa aku tak pernah menyadari Arizal dan Nazriel itu kakak beradik?
***
Seminggu kemudian
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan, tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya.
Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Mama dan mamanya Nazriel membujukku makan, tetapi yang kuingat hanyalah saat Nazriel membujukku makan kalau aku sedang ngambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi, berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali.
Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.
Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-logout, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-nya, berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnya pun tidak mau kuhapus.
Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote itu.
Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana, meninggalkan baunya yang membuatku rindu.
Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku salat, meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.
Aku salat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahkan padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Salatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku ber-cover warna hitam yang terletak di atas meja di samping tempat tidur.
Sepertinya itu buku agenda Nazriel. Rasa penasaran membuncah di hatiku. Aku menyambar buku tersebut dan mulai membaca isinya.
Halaman 1
Hanya ada satu foto ukuran 3R. Foto itu adalah foto Arizal dan Nazriel waktu masih kecil dan masih berumur 10 tahunan.
Aku mengelus wajah Nazriel di foto. Harus kuakui Nazriel mirip dengan Arizal, terutama di bagian mata dan hidungnya. Aku baru menyadari kemiripan itu di hari-hari terakhir Nazriel hidup.
Halaman 2
Aku membaca tulisan Nazriel tentang rahasianya antara Arizal dan dia. Dari tulisan di halaman ini, aku mengetahui sebuah kenyataan pahit, Arizal memang telah meninggal seperti yang ia katakan di mimpi-mimpiku. Namun sebelum Arizal meninggal, ia mendonorkan hati untuk Nazriel. Ia juga memberikan wasiat pada Nazriel untuk mencintaiku dengan tulus.
Halaman 3
Membaca tulisan di halaman 3 ini membuat hatiku tambah sesak.
Dear Airin
Aku tahu kamu dari awal menikah denganku hanya karena harta papamu, aku juga tahu kamu berselingkuh dengan pria lain di belakangku.
Melihatmu bermesraan dengan pria lain itu jauh lebih menyakitkan daripada mendengar kata-kata kasar seperti yang sehari-hari kamu ucapkan padaku. Tapi aku mencoba sabar dan ikhlas menerima itu. Aku tetap mempertahankan rumah tangga ini. Aku melakukan itu bukan hanya menjalankan wasiat Arizal, tapi karena aku mencintaimu.
Caraku mencintaimu adalah membuatmu bahagia untuk selamanya. Maka dari itu aku membiarkanmu menjalin cinta dengannya di belakangku.
Jika ragaku tak bisa lagi membahagiakanmu, tapi kau sendiri yang harus meraih kebahagiaan itu. Jika kamu sudah menemukan orang yang mampu memberimu kebahagiaan, cintailah dia dengan tulus. Aku tak mau dia mengalami hal yang sama seperti yang aku alami.
Love
Nazriel
Aku terisak membaca tulisannya di halaman tersebut. Kupeluk buku itu, membayangkan seperti memeluk Nazriel.
Kenapa aku tak pernah menyadari kalau orang yang dikirimkan Arizal untuk mencintaiku dengan tulus itu Nazriel bukan Mas Ata? Benar yang dikatakan Arizal, “Di saat mentari terbit, kita enggan untuk melihatnya. Tapi ketika mentari itu terbenam, barulah kita menyadari betapa indahnya ia. Begipu pula dengan cinta, seseorang yang menghiasi hari-harimu kamu anggap biasa saja. Tapi ketika seseorang itu pergi, barulah kamu menyadari betapa berharganya ia di hidupmu.”
Aku baru menyadari berharganya Nazriel di hidupku setelah dia pergi untuk selamanya. Sekarang aku hanya bisa merelakan kepergiannya.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices