Cinta Rasa Kopi

Reads
135
Votes
0
Parts
6
Vote
by Titikoma

1. Dalam Sangkar Emas

Mendung tebal menyelimuti langit malam. Tiada sebentuk bintang yang berani menampakkan diri. Bahkan mengintip pun tidak. Semua bersembunyi di balik hamparan awan hitam yang sengaja digelar oleh penguasa kegelapan. Sesekali seberkas cahaya membela langit. Lantas kepergiannya disusul oleh guntur yang berteriak menggelegar penuh kesombongan.
Bumi menggigil dalam kebisuan. Binatang malam yang biasanya bernyanyi riang, malam ini semuanya bungkam. Mereka bersembunyi di tempat yang paling aman. Seolah tak ada satu pun yang mau menyambut datangnya hujan. Hanya pasukan kodok yang kelihatannya masih berani berharap di balik suasana yang gelap.
Di ujung sebuah gang di kompleks perumahan elit yang ada di kota ini, seorang lelaki muda bertubuh kekar sedang berjalan sempoyongan menyusuri jalan selebar tiga meter itu. Tanpa memperdulikan celana blue jeans dan jaket hitam yang dikenakannya nampak mulai basah, lelaki itu terus melangkah menembus rinai hujan yang semakin deras semenjak memasuki mulut gang tadi. Air yang menggenangi jalan setinggi mata kaki tetap dilalui tanpa mencopot sepatu yang dikenakannya.
Sesekali lelaki itu nampak berhenti melangkah dan terbatuk-batuk di tengah jalan. Di sela batuk, ia masih sempat pula mengutuk cuaca yang tidak bersahabat dengan sumpah serapah yang tak begitu jelas terdengar karena suaranya berbaur dengan suara rintik hujan. Langkahnya yang sempoyongan menciptakan suara gemericik dari tiap percikan air yang tersibak oleh ayunan kakinya.
Tiba di sebuah rumah mewah nomor 24, lelaki yang dalam pengaruh alkohol itu langsung membuka pintu pagar besi bercat hitam. Dengan langkah sempoyongan yang makin tak terkendali, ia mulai menggedor-gedor pintu rumah itu.
Tok! Tok! Tok! Tok tok tok!
"Joylin, buka pintunya, Joy! Joylin, buka pintunya! Joylin!" teriaknya dengan suara berat sambil tetap menggedor-gedor pintu.
Sepi. Tak terdengar jawaban. Lelaki yang masih dalam pengaruh minuman keras itu mendengus kesal. Kembali digedornya daun pintu itu dengan lebih keras lagi.
Tok tok tok! Tok tok tok! Tok tok tok!
“Joylin! Buka pintunya, Joy! Bukaaa!”
Wanita muda yang sedang hamil lima bulan bangkit dari sofa ruang tengah sembari mendesah kesal. Sejenak ia melirik jam dinding berukuran besar yang menggantung di tembok sisi kanan. Jarumnya sudah tepat menunjukkan pukul sebelas malam. Wanita itu kembali mendesah sambil mengusap perut yang sudah tampak membesar.
Tak berlebihan kiranya jika Joylin begitu malas melangkah ke arah pintu. Sebab semenjak menikah dengan Amar, ia justru merasa bagaikan hidup di dalam sangkar. Hampir setiap hari suaminya itu keluyuran dan selalu pulang dalam keadaan mabuk. Seolah Amar tak peduli dengan kehamilannya.
Terkadang Joylin menyesali pernikahannya itu. Andai saja ia tidak hamil duluan sebelum menikah, mungkin saat ini ia masih bisa menikmati saat-saat indah di bangku kuliah. Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Mustahil memutar waktu. Mau tak mau ia harus tinggal di sangkar emas yang justru membelenggunya.
“Joy! Buka pintunya, Joy! Cepat, buka! Cepaaat!” teriak Amar lagi. Bahkan, kali ini semakin keras.
“Iya, iya, ini juga masih jalan,” sahut Joylin sedikit mempercepat langkah.
“Cepat sedikit kenapa, sih!” gerutu Amar dari luar disertai amarah.
Joylin tak menyahut lagi. Meski perasaan dongkol memenuhi rongga dadanya, begitu tiba di hadapan pintu berornamen ukiran khas daerah Yogyakarta, ia langsung memutar anak kunci yang masih menancap di lubangnya.
Klik! Perlahan ia putar handle pintu berbahan steanless mengkilat itu dan kemudian ditariknya perlahan. Begitu daun pintu terkuak setengahnya, bau alkohol yang menyengat langsung menusuk hidung. Buru-buru Joylin menutup lubang hidung dengan telapak tangan.
Amar yang limbung menyenggol perut sang istri hingga membuat Joylin terhuyung beberapa langkah sambil meringis.
Dengan kasar pula Amar melemparkan jaket yang baru dilepasnya ke atas sofa yang tadi diduduki Joylin. Dengan kondisi tubuh setengah basah, lelaki itu menghempaskan pantat di sofa. Masih dalam pengaruh minuman keras, lelaki itu berusaha melepas sepatu dan kaos kaki yang masih melekat di kakinya dengan gerakan yang selalu salah.
Kesempatan itu digunakan oleh Joylin untuk menumpahkan kekesalannya yang selama ia pendam hingga yang kerap merasa sesak lantaran sikap Amar yang tak pernah berubah sebagai calon bapak.
“Amar, kapan sih kamu mau berhenti dari kebiasaan burukmu ini, heh! Kamu lihat perutku yang sudah semakin membesar ini! Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang bapak. Apa jadinya kalau setiap malam kau tetap mabuk seperti ini? Apa tidak pernah terpikir olehmu untuk bekerja demi calon anak kita?”
Braakk!
Serta merta Amar membanting sepatu yang baru berhasil di lepaskannya. Dengan tatapan nanar dan posisi duduk yang sedikit oleng, lelaki itu membantah.
“Diam, wanita cerewet! Suami pulang, kehujanan, capek, bukannya dibikinkan kopi atau apa kek, malah ceramah! Dasar!”
“Aku hanya ingin membuatmu sadar, Amar!” bantah Joylin tak mau kalah.
“Apa? Sadar? Ha ha ha! Sadar dari apa, hah?”
“Kamu ini sebentar lagi akan jadi bapak. Kebutuhan kita pasti akan meningkat terus. Tentu tidak mungkin kalau kita terus bergantung pada orang tua, kan? Harusnya kamu punya tanggung jawab! Setidaknya lakukan untuk calon bayimu!“
Braakk!
Kali ini Amar menggebrak meja. Tatap matanya dipenuhi rona kebencian.
“Hay, Joy! Orangtua kita kan kaya raya. Kekayaan mereka tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Jadi buat apa aku harus capek-capek bekerja, hah? Hidup ini jangan dibuat susah. Nikmati aja,” sahut Amar dengan senyum sinisnya.
“Amar seberapa pun besarnya kekayaan, kalau terus menerus dipergunakan tentu ada masanya akan habis. Sebab, besar pasak daripada tiang maka lambat laun pasti akan mengalami kebangkrutan,” kilah Joylin masih coba menyadarkan.
Tapi dasar sifat Amar yang memang pemalas dan terbiasa hidup berfoya-foya, ia tak mau mendengar alasan apapun bila sudah menyangkut tentang bekerja. Ia seolah alergi dengan kata yang satu ini. Ibarat seorang pangeran dalam kehidupan Amar apa yang ia mau selalu harus ada, tanpa harus keluar keringat ataupun tenaga.
“Justru itu, sebelum orang tua kita bangkrut, nggak ada salahnya kalau sekarang kita puas-puaskan menikmati kekayaan mereka. Toh, mereka mengumpulkan semua kekayaan itu memang untuk dinikmati anak-anaknya termasuk kita.
“Tapi Amar, kita....”
Belum sempat Joylin melanjutkan kalimatnya, Amar dengan sigap mencengkeram tangan Joylin erat hingga membuat istrinya itu meringis kesakitan.
“Sudahlah, jangan banyak bacot! Aku capek! Aku mau tidur!” umpat Amar sambil mendorong tubuh Joylin hingga kepala belakangnya membentur sandaran sofa.
Joylin meringis kesakitan. Ia menggigit bibir sambil berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. Hatinya merasa begitu nelangsa atas sikap suaminya yang tak pernah berubah. Tapi, Amar tak menghiraukannya lagi. Ia melangkah ke kamar dan menutup pintu dengan bantingan keras.
Tanggul di pelupuk mata Joylin akhirnya jebol. Genangan air yang tadi coba ditahannya kini meluncur deras membasahi pipi. Kepedihan yang menusuk hatinya melangutkan jiwa. Perasaan yang membuncah mengantarnya terbang kembali kemasa silam. ketika ia salah mengambil langkah untuk masa depannya. Karena salah pergaulan, masa muda yang seharusnya Joylin pakai untuk menuntut ilmu dan mengejar cita-cita, justru ia pergunakan untuk berfoya-foya. Akibatnya, Joylin terjerumus dalam pergaulan yang salah. Kehidupan bebas yang menggiringnya masuk ke dalam sangkar emas lantaran ia harus menikah muda karena sudah hamil di luar nikah.
Joylin mendesah berat. Tantangan kehidupan yang kini dihadapinya sangat berliku dan penuh kerikil tajam. Rasanya, Joylin tak sanggup menjalani semuanya.
Tak kuasa menahan kepedihan hatinya yang semakin membuncah, Joylin membiarkan tubuhnya terkulai di sofa itu hingga matanya terpejam.
****
Waktu terus bergulir dengan cepat tanpa menghiraukan orang-orang yang jungkir balik tergilas oleh kondisi perekonomian yang tak bersahabat. Kesalahan langkah Joylin dalam membina bahtera rumah tangga menjadi titik kulminasi bagi terciptanya hari-hari kelabu yang mau tak mau harus ia lewati. Masa kehamilan yang seharusnya membutuhkan perhatian yang lebih dari seorang suami, nyatanya harus Joylin jalani dengan makan hati. Sebab Amar lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mencumbui botol-botol minuman keras.
Orangtua Joylin bisa dibilang bergelimang harta. Mereka memiliki dua rumah mewah, yang satu didesain klasik modern dengan segala ornamen khas Jawa, mirip keraton Yogyakarta dan yang satunya didesain minimalis yang saat ini dihuni oleh Joylin dan Amar. Tiga buah mobil juga selalu siap mengantar mereka kemana saja. Selain sebagai juragan angkot dan makelar tanah yang cukup sukses, orangtua Joylin juga memiliki beberapa usaha di bidang retail. Tapi semua itu tak membuat Joylin bebas tertawa menikmati kehidupannya. Ia seperti burung nuri dalam sangkar emas.
“Akh!”
Joylin mendesah. Hari ini dirasakannya masih sama dengan hari-hari melelahkan sebagai seorang wanita kadang ia merindukan kehidupan yang normal seperti seorang istri pada umumnya. Dimana setiap pagi punya rutinitas untuk mempersiapkan baju kerja dan sarapan bagi sang suami. Lalu saat sore menyambut kedatangan suami pulang kerja dengan secangkir teh hangat yang akan segera dibalas oleh suami dengan sebuah ciuman lembut tanda cinta. Tapi semua itu hanya mimpi di siang hari bagi Joylin. Daripada istri, ia lebih merasa seperti seorang satpam yang harus bersedia membukakan pintu. Kapan pun Amar datang dengan aroma minuman keras yang memuakkan.
“Nyonya Joy, handphone Nyonya berdering,” kata Mbok Darmi, wanita setengah baya yang sudah lima tahun lebih mengabdi sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Joylin.
“Iya Mbok, bawa ke sini,” sahut Joylin tanpa beranjak dari sofa ruang tengah. Ia hanya mengecilkan volume televisi yang sedang menyiarkan gosip-gosip artis ternama yang menjadi tontonan wajib baginya setiap pagi.
Mbok Darmi tergopoh-gopoh mengulurkan handpone pada majikan mudanya.
“Terima kasih, Mbok.
Mbok Darmi hanya mengangguk dan tersenyum lantas kembali ke dapur untuk meneruskan pekerjaannya.
“Hallo assalammualaikum,” sapa Joylin seraya mendekatkan handphone itu ke telinganya.
“Wa’alaikumsalam Joy, ini Mama,” sahut Bu Hera dari seberang sana.
“Iya Ma, ada apa?”
“Joy, sekarang juga kamu ke sini, ya. Cepat ke sini, Joy. Itu Antony...” suara Bu Hera terdengar amat cemas.
“Ada apa dengan Kak Antony, Ma?”
“Dia, dia, kumat lagi Joy. Cepatlah kamu ke sini, Joy! Di rumah nggak ada siapa-siapa. Mama takut, Joy!”
“Baik Ma, Joy berangkat sekarang juga.”
“Iya Joy, cepatlah.”
Joy mematikan sambungan telepon. Tanpa mematikan televisi masih menyala ia bergegas ke rumah mamanya diantar sopir keluarga yang selalu siap sedia. Sepanjang perjalanan Joylin menyandarkan kepalanya yang terasa berat demi mengingat nasib kakaknya. Akibat pernah mengalami kerasukan makhluk halus di tempat kerja, kini kakaknya mengalami gangguan mental. Entah sudah berapa kali masuk rumah sakit jiwa dan menelan biaya yang sangat banyak, namun penyakit aneh yang diderita kakaknya belum sembuh juga.
Joylin sampai miris memikirkannya.
****
Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit, Joylin sudah sampai di rumah mamanya. Saat ia tiba di sana, sang mama sedang berdiri terpaku di depan pintu kamar Anotny sambil menatap anaknya dengan pandangan pias. Joylin langsung memeluk sang mama ketika melihat kakaknya yang bertingkah sangat beringas. Tangan Antony bergerak tak tentu arah sambil tertawa lepas.
“Hahaha… pergi! jangan ganggu aku… pergi! hahaha,” teriaknya sambil memukul-mukul kepala. Rambutnya yang agak gondrong diacak-acak dan ditarik-tarik.
“Hahaha… pergi kamu! Pergi! Hahaha… sial! Pergiii!” oceh Antony sambil terus memukul-mukul kepalanya sendiri.
Joylin dan mamanya saling berpandangan. Di wajah mereka terbias sesuatu yang sulit untuk di terjemahkan. Cemas, tak mengerti, dan takut berbaur jadi satu.
“Mama, kenapa Kak Antony jadi makin parah seperti ini.” Joylin tak melanjutkan kata-katanya. Ditatapnya wajah sang mama yang sedang memandang lurus ke arah Antony yang masih tetap berteriak dan tertawa tawa aneh.
“Pergi! Hahaha... Hihihi… jangan ganggu aku! Pergi kamu! Pergi semua… pergiii!“
“Kak Antony!” pekik Joylin tanpa sadar. Dibantingnya tas kecil warna hitam yang menggantung di pundaknya. Ia melangkah perlahan meninggalkan mamanya yang masih berdiri mematung. Air mata Joylin jatuh bercucuran. Ia terus melangkah dan baru berhenti di depan Antony yang terus tertawa dan berteriak-teriak karena kesurupan.
“Kak Antony sadarlah Kak....” sapa Joylin lirih diantara isak tangis. Tangannya yang gemetar mencoba memegang lengan Antony.
“Pergilah kamu, hahaha... Jangan ganggu aku, hihihi… huhuhu… hahaha! kata Antony dalam tawanya yang menggelegar.
“Kak Antony! Tidaaak! sadarlah Kak! Sadar....” kata Joylin terbata-bata. Tangan nya terus mencoba memegang lengan Antony, tapi dengan kasar ditepis tangan Joylin oleh laki-laki itu berulang kali. Tangis Joylin makin keras, sementara itu Bu Hera dengan perasaan takut-takut mulai melangkah ke arah mereka.
Antony terus saja berteriak.
“Antony! Mengapa kamu begitu, sadarlah Antony?” tanya Bu Heta seraya mengguncang-guncang pundak anak lelakinya.
“Pergilah kamu! Pergi?!” bentak Antony.
Matanya yang merah padam menatap tajam ke arah sang mama dan Joylin yang telah mundur beberapa langkah. Kemudian Antony tertawa lagi sambil tetap memukul-mukul kepalanya.
“Tidak kak Atony. Kamu harus sadar,” teriak Joylin ditengah isak tangisnya.
Seketika Antony berhenti tertawa. Matanya menatap Joylin nyalang.
“Apa? Siapa kamu? Kamu yang mau mengusikku,” tanya Antony serak seraya mencekal lengan Joylin. Keringat mengucur dari keningnya dan menyatu dengan air mata.
“Kak Antony sadarlah, ini aku Joy, adikmu Kak.”
“Akh, tidak! Kau pasti mau mengusikku?” tanya Antony sambil tersenyum. Wajahnya berubah pias. Joylin kaget setengah mati. Ditahannya air mata yang jatuh. Bola matanya yang buram tertutup air mata itu berputar-putar.
“Kak Antony,” desis Joylin.
“Pergi! Pergilah kau.” Suara Antony tetap serak parau.
“Tidak kak Antony, tidak. Ini aku adikmu.”
“Oh tidak, aku takut,” kata Antony seraya merengkuh bahu Joylin.
“Kak Antony,” bisik Joylin. Ada kecemasan yang masih terbias di wajahnya.
“Sudahlah Joy, sepertinya kakakmu semakin parah. Kita harus kembali memasukkannya ke rumah sakit jiwa,” kata mamanya lembut.
Bu Hera mengecup kening Joylin yang masih bingung bercampur cemas. Joylin terhanyut dalam kelembutan itu. Matanya terpejam. Seakan ingin menanam ketenangan itu di jiwanya yang paling dalam.
“Iya Ma, tapi kita harus bicara dulu sama Papa. Di mana Papa, Ma?” tanya Joylin dengan tatapan heran karena sejak kedatangannya tak melihat sang papa.
Bukannya menjawab, sang mama malah kembali memeluk Joylin dengan berurai air mata. Membuat Joylin semakin bingung
“Ma, kenapa Mama malah menangis? Ada apa sebenarnya dengan Papa?” Joylin menatap mamanya dengan mata sembab.
Sambil menyusut air mata di pipinya yang mulai dihiasi kerutan usia, Bu Hera mulai menceritakan tentang papa Joylin. Sekarang semakin tenggelam dalam perjudian. Akibat hobi judinya pula beberapa usaha yang selama ini jadi sumber penghasilan mulai berpindah tangan guna menutup hutang-hutangnya. Begitu pula dengan beberapa aset lainnya seperti dua rumah mewah yang dimilikinya juga sudah tergadaikan untuk menutupi hutang papanya yang menumpuk akibat kalah bertaruh dalam perjudian. Bisa jadi rumah yang kini ditempati Joylin dan suaminya bakal disita pihak bank karena beberapa waktu lalu Joylin kedatangan tamu dari pihak bank yang menagih hutang atas nama papanya.
Serasa sudah jatuh masih tertimpa tangga. Joylin terdiam tak berdaya. Kiranya roda nasib sedang mempermainkan keluarganya. Di saat usianya baru menginjak 25 tahun, kekayaan orang tua yang dulu sempat dibanggakannya, sekarang mulai berada di ambang kebangkrutan. Satu-satunya yang membuatnya masih bersikap tenang ketika ia menyadari kalau dirinya adalah seorang pekerja keras. Hingga sampai saat ini ia masih bisa mencari uang sendiri untuk menghidupi keluarganya.
“Lalu dimana Papa sekarang, Ma?” tanya Joylin dengan perasaan tak karuan.
“Papamu pasti sedang di meja judi di rumah salah seorang temannya yang entah dimana. Tapi sudahlah Joy, kita bawa saja kakakmu ke rumah sakit jiwa, tak perlu menunggu papamu.”
“Tapi Ma....”
“Mama mohon, lakukan perintah Mama. Ini demi kebaikan kakakmu juga.”
Kata-kata sang mama serasa langsung menembus hatinya. Tak ada lagi alasan baginya untuk menolak. Kiranya keruwetan hidup ini memang harus ditanggung oleh mereka berdua. Ya hanya mereka. Joylin dan mamanya.
Sejenak kedua wanita itu terdiam. Bu Hera menatap Antony yang sedang duduk meringkuk di sudut kamar seraya memandang kosong ke kolong ranjang. Sementara Joylin mengelus-ngelus perutnya yang membusung seraya memutar otak, mencari cara untuk mendapatkan suntikan dana untuk perawatan kakaknya.
“Cobalah kamu hubungi kakak sulungmu, mungkin dia dapat membantu kita,” kata sang mama membuyarkan kecamuk di hati Joylin. Perempuan berwajah oriental itu tersenyum kecil.
“Kak Thomas, maksud Mama?” tanyanya dengan senyum merekah.
Sang mama menganggukkan kepala dengan penuh harap. Harapan indah akan datangnya seseorang yang bisa diajak bicara tentang permasalahan yang sedang melilitnya.
“Ya, Mama benar. Sudah agak lama juga aku tidak menghubungi Kak Thomas.”
Tanpa menunggu tanggapan sang mama, Joylin langsung mencari nomor kontak kakak sulungnya yang masih tersimpan di handpone. Setelah ketemu, ia langsung menekan tombol call.
Joylin tersenyum. Panggilannya langsung diangkat.
“Hallo, selamat siang Joy. Tumben kau masih ingat dengan kakakmu ini? Bagaimana kabarmu dan suami?” sang kakak yang memang sangat menyayangi adik perempuannya itu langsung nerocos mendahului Joylin.
“Alhamdulilah Kak, aku dan keluarga selalu sehat. Ini aku sedang di rumah Mama.”
“Bagaimana keadaan Mama? Mama nggak kenapa-napa kan?” terlihat jelas ada nada kekawatiran dalam suara Thomas.
“Tidak Kak, Mama sehat kok. Cuma tadi Mama telepon agar aku datang ke rumah.”
“Memang ada apa?”
“Kak Antony kumat lagi.”
“Kenapa nggak dimasukkan ke RSJ lagi, biar sampai sembuh total.”
“Memang rencananya begitu, Kak. Tapi....” Joylin terlihat ragu untuk mengatakan apa yang ada dalam hatinya.
“Tapi apa Joy? Katakan saja. Aku pasti akan membantu semampuku.”
“Semua terkendala oleh Papa, Kak.”
“Papa?” ulang Thomas setengah mendesah.
“Iya Kak,” sahut Joylin lengkap dengan anggukan kepala. Seakan ia tak peduli jika kakak sulungnya itu sudah pasti tak akan bisa melihat anggukannya.
“Jadi Papa masih suka berjudi sampai sekarang?” tanya Thomas menahan geram.
“Iya Kak bahkan makin parah. Beberapa aset Papa sampai ludes di meja judi. Sekarang Papa sudah diambang kebangkrutan. Padahal kami masih butuh biaya besar untuk mengobati kak Antony. Kasihan Mama, dia sampai pusing memikirkan semua ini,” jawab Joylin dengan suara mengiba.
“Ya sudah, kita harus tabah menghadapi semua ini. Sekarang apa rencana Joy dan Mama soal Antony?”
“Kami berencana membawa Kak Antony ke RSJ sekarang juga tapi kami kesulitan mencari transportasinya. Apa kak Thomas bisa antar kami?”
“Waduh! Kalau sekarang sepertinya aku nggak bisa.”
“Tolonglah Kak....” suara Joylin terdengar jelas merajuknya.
“Oke, oke, kalian jangan panik. Aku akan kirim orang untuk mengantar kalian. Sekarang juga. Kau tunggu saja, ya!”
“Baik Kak, terima kasih.”
“Ya.”
Dengan senyum sumringah Joylin menghampiri mamanya yang kini sudah duduk di sofa ruang tengah. Lalu diceritakannya kesediaan kakak sulungnya yang hendak mengirim orang untuk mengantar Antony ke RSJ.
Sang mama tersenyum. Dengan mata yang masih sembab lantas wanita itu mengajak Joylin untuk berkemas. Mempersiapkan segala kebutuhan yang mungkin Antony butuhkan selama menjalani perawatan.
Joylin membantu mamanya berkemas dengan senyuman. Walau tak urung ia sesekali harus memegangi perutnya karena janin yang ada di dalamnya menendang-nendang.
Seolah sudah tak sabar ingin segera keluar dari dalam sangkar emas.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices