cinta rasa kopi
Cinta Rasa Kopi

Cinta Rasa Kopi

Reads
121
Votes
0
Parts
6
Vote
by Titikoma

5. Antara Kau, Aku Dan Bekas Pacarmu

Bryo baru saja selesai menyisir rambutnya yang selalu kelimis di depan cermin berukuran besar ketika istrinya selesai berdandan datang menghampirinya. Wanita itu langsung memeluk Bryo dari belakang sebelum lelaki itu sempat beranjak dari tempatnya berdiri.
“Mas, bisa tidak bisa sekarang kamu harus mengantarku ke Tunjungan Plaza. Besok ibu-ibu PKK mau arisan di rumah kita, jadi aku harus belanja sekarang,” kata istri Bryo sembari mempererat pelukan.
Kata-kata istrinya yang lebih mengarah ke suatu permintaan membuat Bryo terperanjat sesaat. Bagaimana tidak? Malam nanti adalah jadwalnya datang ke club dan sekaligus mengantar Joylin pulang. Tadi siang Bryo juga sudah bilang ke Joylin kalau dirinya pasti akan datang. Dengan begitu Joy jadi punya alasan pada bosnya untuk tidak menerima tamu lain karena sudah mendapat bokingan.
Tapi sekarang secara mendadak istrinya justru minta diantar belanja. Mau menolak rasanya juga tidak enak. Nanti yang terjadi justru istrinya curiga. Tapi, kalau diiyakan, Joylin pasti akan kecewa.
Untuk sesaat Bryo hanya bisa garuk-garuk kepala
“Bagaimana Mas, kamu bisa mengantar kan?” Sang istri mengulang pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban.
“Sebenarnya sore ini aku ada acara dengan teman kerja juga,” kata Bryo mencari alasan.
“Sekali ini saja, Mas. Aku mohon. Tolonglah." Istri Bryo merajuk.
“Tapi aku benar-benar...”
Belum selesai Bryo berkata, sang istri sudah memenggalnya dengan cepat.
“Urusan itu Mas kan bisa wakilkan ke teman kerja yang lain. Atau kalau nggak begitu ya ditunda saja jadwal pertemuannya.”
“Ya nggak bisa seperti itu, dong,” sahut Bryo memasang wajah cemberut.
Di benak Bryo sudah terbayang mata Joylin yang bulat pasti akan melotot tajam jika ia tidak jadi datang dan mengantarnya pulang. Wanita yang berwatak keras itu pasti tidak akan mau menerima alasan apapun yang akan diberikannya nanti. Kalau Joylin hanya sekedar marah, mungkin tak jadi masalah. Yang jadi persoalan itu kalau Joylin sampai berpaling ke lain hati. Itu bisa membuat Bryo merasa setengah mati.
“Bagaimana Mas, bisa kan? Atau biar aku saja yang bicara dengan teman kerjamu kalau sore ini kamu harus mengantarku belanja?.”
“Jangan! Biar aku sendiri yang bicara,” jawab Bryo sedikit gelagapan.
“Ya sudah kalau begitu, segeralah telepon dia.” Perintah istrinya.
Dengan wajah muram, Bryo mengangguk. Perlahan ia lepaskan tangan sang istri yang masih melingkar di pinggangnya. Dengan langkah lunglai Bryo beranjak ke meja kecil yang ada di sudut kamar. Diraihnya tas berwarna hitam yang tergeletak di atas meja. Dikeluarkannya handphone dari dalam kantong depan tas itu.
Demi untuk menjaga kerahasiaan hubungannya dengan Joylin, Bryo memilih menulis SMS.
Joy sayang, hari ini aku tidak bisa datang ke club dan juga tidak bisa mengantarmu pulang karena ada satu pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan. Kau jangan marah ya. Besuk aku pasti akan datang untukmu. Cup. I love U.
Bryo segera mengirim pesan singkat yang baru ditulisnya itu dan kemudian buru-buru mengirimnya ke nomor Joy yang ia namai dengan nama seorang laki-laki. Semua ia lakukan demi keamanan,
Tak perlu menunggu lama, Joylin membalasnya. Singkat.
Gak apa-apa Bryo. Aku bisa pulang sendiri kok. I love U, too. Emuaach.
Bryo membacanya sekilas lalu tersenyum. Buru-buru ia hapus SMS itu agar tidak ketahun oleh sang istri.
“Bagaimana Mas, sudah kamu telepon teman kerjamu?” kembali istrinya meminta kepastian.
“Sudah aku SMS.”
“Bisa kan?”
“Iya, bisa.”
“Nah aku bilang juga apa,” kata sang istri dengan senyuman.
Sepanjang perjalanan Bryo tak banyak berkata-kata. Karena hatinya sedang galau lantaran urung bertemu Joylin tersayang.
Jam delapan malam.
Hafal dengan kebiasaan sang istri yang apabila belanja selalu memakan waktu yang cukup lama, bahkan tidak cukup hanya satu atau dua jam, Bryo melenggang santai meninggalkan area Tunjungan Plaza ternama itu. Buru-buru ia melangkah ke tempat parkir guna mengambil mobil. Sejenak ia memandang langit. Mendung tebal nampak menyelimuti langit malam. Tak ada satu bintang pun yang bersinar. Langit benar-benar gelap. Segelap hati Bryo yang diselimuti kekecewaan atas kegagalannya menemani Joylin malam ini. Di hatinya sempat juga berkelebat suatu kekhawatiran atau lebih tepatnya cemburu, apabila Joylin harus melayani lelaki lain di club malam itu.
Perlahan Bryo mulai menghidupkan mesin mobil sembari berdoa semoga hujan tidak turun sebelum sampai di rumah. Tapi kiranya nasib baik tidak berpihak padanya. Berkali-kali ia starter tapi mesin koma mobil belum juga mau menyala. Bryo lalu keluar dan memeriksa mesin. Namun hingga ia berkeringat dan kaki terasa pegal semua karena berdiri dan mengecek saluran mesin, mobilnya masih tetap ngadat.
“Mogok, Bang?” tanya juru parkir kebetulan melintas di dekatnya.
Bryo mengangguk sambil membasuh keringat.
“Mungkin akinya tekor Bang, minta dicharger,” kata juru parkir itu lagi.
mesin mobil, mesin jahit saja ia tak paham sama sekali.
“Bawa ke situ Bang. Biar saya coba betulin,” kata juru parkir itu sambil menunjuk emper sebuah toko yang sedang tidak buka.
Tanpa menyahut Bryo dengan dibantu dua orang juru parkir yang ada mendorong mobilnya ke tempat yang dimaksud. Setelah sang juru parkir mengeluarkan sebuah motor yang diambil pemiliknya, barulah ia menghampiri Bryo yang sudah menunggu dengan gundah.
Sementara sang juru parkir sedang berusaha memperbaiki mesin mobilnya, Bryo duduk termangu sambil memandangi rintik-rintik gerimis yang mulai turun. Gerimis yang semakin menaikkan tensi kegelisahannya saat ia menyadari kalau ia tadi lupa tidak membawa sebatang rokok pun.
“Terima kasih, Om sudah bersedia menemaniku belanja malam ini.” Tiba-tiba suara lembut singgah di telinga Bryo dari seorang cewek yang nampaknya sedang berteduh tak jauh dari tempatnya.
“Iya Sayang, apapun pasti akan kulakukan untukmu. Apa sih yang nggak buat kamu,” sahut si Om yang ada di sisi gadis itu.
Perlahan Bryo menoleh ke asal sumber suara. Dengan jelas matanya dapat melihat tangan lelaki itu melingkar manis di pinggang gadis itu. Si gadis tampak bergelayut manja dengan senyum merekah.
Bryo merasa iri menyaksikan kemesraan itu. Kemesraan yang seharusnya malam ini bisa ia nikmati bersama Joylin tapi terpaksa batal gara-gara istrinya minta diantar belanja untuk arisan. Bryo merasa geram. Pemandangan indah di depannya benar-benar terasa menjadi sesuatu yang mencongkel mata.
Perlahan mata Bryo menelusur semakin ke atas. Ketika pandangannya sampai… tidak! Ternyata pasangan mesra itu adalah Joylin dan seorang lelaki yang ia tahu sering datang ke club malam. Dada Bryo terasa meledak. Dengan geram ia hampiri mereka.
“Joy! Jadi begini ya kelakuanmu di belakangku, heh?!” hardik Bryo dengan tatapan tajam.
Bryo menarik tangan Joylin dengan kasar hingga terlepas dari pelukan sang lelaki. Begitu kuat tarikan Bryo hingga Joylin sampai terhuyung-huyung nyaris ijatuh.
“Hai Om! Jadi orang tuh tahu diri dong! Kamu itu tidak pantas berhubungan dengan dia!” tuding Bryo dengan wajah beringas.
Bryo tersenyum menyeringai. Sinis dan sadis. Sementara Joylin semakin mengkerut lantaran takut. Kesempatan itu hendak dijadikan Bryo sebagai ajang untuk melampiaskan kekecewaannya, sekaligus untuk menunjukkan pada Joylin bahwa ia lebih pantas berada di sisinya dari pada lelaki setengah baya yang lebih pantas jadi ayahnya Joylin.
Namun, di luar dugaannya, bukannya berpihak padanya, Joylin justru membela laki-laki yang bersamanya secara terang-terangan di hadapan Bryo.
“Bryo! Kamu nggak berhak bicara kasar seperti itu pada Om Endik!” bentak Joylin seraya berdiri tepat membelakangi Om Endik dengan tujuan melindungi lelaki itu dari tudingan sinis Bryo.
“Apa kamu bilang?” Bryo tersentak.
“Kamu tidak berhak bicara kasar padanya.”
“Apa aku nggak salah dengar, heh? Dia ini siapa? Dia ini cuma pelangganmu, Joy. Dia nggak pantas untuk mendapatkan perhatianmu secara berlebihan seperti itu. Sadarlah Joy! Sadar! Tak ada yang bisa kamu harapkan dari om-om seperti dia. Yang ada justru harga dirimu akan jatuh kalau berdampingan dengan dia!” Bryo bicara penuh amarah.
“Tahu apa kamu soal harga diri, hah? Lagi pula tak ada hakmu untuk ngatur-ngatur aku. Aku mau berduaan dengan siapa pun, itu urusanku. Bukan urusanmu!” bantah Joy tegas.
“Tapi Joy, aku ini pacarmu,” tukas Bryo mencoba berkilah.
“Itu menurutmu. Tapi bagiku sudah tidak lagi.”
“Apa maksudmu?!”
“Apa perlu aku perjelas lagi? Kamu yang harusnya sadar, bagiku kamu sekarang tak lebih sebagai seorang mantan dari masa laluku. Paham?”
Seketika langit serasa runtuh menipa pundak Bryo yang mendadak terasa ringkih. Mata Bryo yang tadinya bersinar tajam dan garang, kini mulai mengerjap-ngerjap tak percaya. Andai saja Bryo bukan seorang lelaki, pasti tak mampu lagi ia membangun sebuah bendungan kokoh di kelopak matanya guna menahan air mata yang hendak tumpah.
“Ja-jadi kamu pilih orang itu dari pada aku, Joy?” tanyanya lirih.
“Ya, aku pilih Om Endik,” jawab Joylin seraya merengkuh bahu Om Endik dan dibawanya ke dalam dekapannya.
“Kamu tidak apa-apa Sayang?” tanya Om Endik sambil mencium kening Joy yang larut dalam dekapan hangatnya.
Joylin menggeleng. Seolah sengaja mengobarkan api cemburu di hati Bryo, Joylin balas melingkarkan lengannya di leher Om Endik hingga kecupan di dahi itu tak terlepas untuk beberapa saat.
“Joy, apa sih kurangnya diriku hingga kau tega mencampakkan aku hanya demi laki-laki yang cocok jadi ayahmu?” tanya Bryo dengan amarah semakin tinggi.
“Kamu seharusnya tahu Bryo, aku nggak suka membanding-bandingkan seseorang. Tidak ada yang kurang atas dirimu. Kau ganteng, pintar, kaya, dan memiliki segalanya. Tapi cinta tak memerlukan semua itu Bryo. Cinta hanya membutuhkan kepercayaan dan saling pengertian pada kesibukan masing-masing. Dan hal itu tidak aku dapatkan dari kamu. Tapi justru dari Om Endik. Karena itu aku pilih Om Endik,” sahut Joylin pelan namun mampu menikam hati Bryo hingga hancur berantakan.
Mendengar itu, Bryo kian tertunduk pilu. Taman kerinduan yang selama ini ia semai dengan benih-benih kasih sayang, perlahan tapi pasti, mulai dilanda kekeringan. Satu persatu daunnya yang mengering jatuh terbawa angin. Melayang tak tentu arah untuk kemudian terhempas ke lubang yang paling rendah yang bernama kedukaan.
Tak ada lagi sebuah kata-kata yang mampu keluar dari bibir Bryo ketika Joylin melangkah pergi sambil merengkuh pundak Om Endik. Seiring rinai gerimis yang semakin bertambah banyak, mengiris-iris hatinya hingga luka dan berdarah.
“Joy!”
Tak tahan menahan kecemburuan yang membakar segenap jiwa dan raganya, Bryo hampir saja tak dapat menahan diri. Ia sudah bersiap untuk berlari mengejar Joylin. Namun belum sempat niatnya itu terlaksana, istrinya yang sudah selesai belanja tahu-tahu sudah ada di dekatnya.
“Ada apa Mas, kok tampaknya kamu baru saja beradu mulut dengan wanita itu tadi?” tanya istrinya seraya menatap Joylin yang sudah jauh pergi.
Tapi bukan Bryo namanya kalau tidak dapat mengelak. Dengan gaya diplomatis, ia pun menangkis. “Siapa yang beradu mulut? Itu tadi wanita stres kali, kenal juga tidak, eh, tahu-tahu nuduh aku yang nggak-nggak.”
“Memang Mas dituduh apaan?”
“Masa dia bilang ke lelakinya kalau aku pernah menggodanya. Gila kan? Istriku saja sudah cantik, buat apa aku menggoda wanita yang gak jelas,” sungut Bryo meski dalam hatinya ia tertawa. Mentertawakan kebodohan istrinya yang selama ini terlalu gampang dikelabuhi.
“Ya sudahlah Mas, nggak usah dipikirin. Sekarang masukkan belanjaannya ke mobil, kita pulang.”
Dengan menyimpan kecemburuan yang masih membakar hatinya, Bryo mengangkat semua belanjaan istrinya dan lantas memasukkannya ke bagasi. Begitu istrinya masuk terus duduk di bangku depan, Bryo pun segera melajukan mobil sambil menyembunyikan dendam dalam lipatan hatinya. Ia benar-benar belum bisa menerima apa yang telah di lakukan Joy terhadapnya.
Bryo berjanji akan menuntaskan masalah ini secepatnya.
****
Malam ini Joylin sedang resah. Pertengkarannya dengan Bryo yang memergoki dirinya sedang berduaan dengan seorang pelanggan club, mau tak mau membuatnya dilanda kekhawatiran. Ia tahu benar bagaimana sifat Bryo yang kasar dan cemburuan. Meski Bryo sendiri adalah seorang lelaki tukang selingkuh tapi ia tak akan pernah rela jika wanita yang sedang berhubungan dengan dirinya, digandeng oleh lelaki lain. Makanya Joylin tidak pernah serius ketika berhubungan dengan Bryo meski ia memiliki hati untuknya. Jelas saja, wanita mana yang tidak jatuh hati pada pria tampan, tinggi dan berbadan atletis seperti Bryo. Pria yang selalu romantis pada wanita yang didekatinya. Sayangnya, sikapnya yang pencemburu dan playboy tingkat wahid itu membuat illfeel Joylin.
Seperti sikap yang ditunjukkan oleh Bryo kemarin malam pada Joylin. Padahal apa yang dilakukan Joylin kemarin malam hanyalah bagian dari pekerjaannya sebagai seorang waitress. Melayani pelanggan hingga puas adalah tujuan utamanya. Sebab hanya dengan begitu ia akan mendapatkan tambahan pendapatan yang besar. Dan hal itu sangat berarti bagi usahanya untuk mencukupi kebutuhan anaknya.
Dan tepat seperti yang Joylin perkirakan, malam ini Bryo datang ke club. Karena kedatangannya sudah agak larut malam, maka Bryo mendapatkan meja di sudut belakang. Merasa bahwa dirinya lebih berhak atas diri Joylin maka Bryo menghadap pemilik club untuk meminta prioritas agar Joylin yang melayani dirinya.
“Hai, Bung! Hampir setiap hari aku datang ke sini. Aku pelanggan tetap dari Joy. Karena itu malam ini aku hanya ingin dilayani oleh Joy!” protesnya di depan bartender.
“Tapi masalahnya Joy sudah lebih dulu diboking orang. Dia melayani meja nomor 7 sekarang,” kata manager club yang didampingi dua orang tukang pukul berwajah sangar.
“Aku tak mau terima alasan apapun! Pokoknya aku hanya mau, Joy!” bantah Bryo tetap tak mau mengerti.
“Jika Bung menginginkan Joy, datang lagi saja besok. Dan datanglah lebih awal dari sekarang.”
“Tapi aku maunya sekarang! Tahu!” bentak Bryo lebih keras lagi.
“Hai, Bung, kamu yang seharusnya tahu diri. Di sini siapa yang cepat, dialah yang dapat. Tak peduli kamu presiden atau apa!” kali ini salah seorang tukang pukul yang mencoba menjelaskan.
“Aku berani bayar sepuluh kali lipat kalau kalian mau!” sesumbar Bryo.
“Rupanya otakmu bebal juga ya, Bung! Di sini siapa cepat, dia yang dapat. Uang tidak akan berarti apa-apa,” kata sang manager lagi.
Tapi Bryo yang sudah tersulut emosi sedari kemarin itu, justru makin berulah. Ia melompat ke panggung yang disediakan untuk penyanyi dan langsung merampas mikrofon.
“Joy! Malam ini kamu hanya milikku! Kau harus melayani aku, Joy!” teriaknya melalui alat pengeras itu.
Alunan musik berhenti seketika. Dengan tatapan nanar Bryo mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, empat orang petugas keamanan segera menyusulnya melompat ke atas panggung. Dengan sigap mereka menangkap Bryo dan menurunkannya dengan paksa.
Bryo meronta-ronta. Tapi tenaganya kalah kuat dengan mereka.
“Joy! Aku inginkan Joy! Joy!” teriaknya sambil terus meronta.
Empat orang petugas keamanan itu terus saja menyeret Bryo menuju ruang keamanan. Ketika langkah mereka melintas di hadapan Joylin, wanita itu menghentikannya.
“Hai, Bryo! Apakah kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan, hah? Kamu bisa saja diseret ke penjara karena telah berbuat onar di tempat umum, tahu!?” Joylin menatap Bryo sinis.
“Tapi aku hanya inginkan kamu, Joy! Kau!” bantah Bryo sambil terus meronta.
“Kalau ingin aku, harusnya kamu datang lebih awal.”
“Tapi aku kekasihmu, Joy. Harusnya aku bisa mendapat prioritas atas dirimu.” Bryo tetap bersikukuh.
“Bryo, dari zaman masih bersekolah kita sudah kenal dan akrab dengan dunia malam. Pastinya kamu tahu bahwa di sini uang yang berkuasa. Bagiku di sini kamu sama saja dengan pelanggan yang lain, jika kamu kalah cepat maka kau juga harus mengalah.”
“Tapi aku mencintaimu, Joy.”
“Simpan saja cintamu itu untuk istrimu di rumah,” sahut Joylin enteng seraya memberi isyarat pada ke empat petugas keamanan itu agar segera membawa pergi Bryo.
Saat diseret keluar oleh keempat orang itu, tangan Bryo masih berusaha menggapai-gapai tubuh Joylin. Tapi wanita itu justru mencibirkan bibirnya dengan sinis. Begitu keributan sesaat itu telah reda, musik kembali menggema.
Joylin kembali tenggelam dalam gelombang dunia malam yang memabukkan.
****
Tepat pukul satu dini hari, mobil avanza hitam yang mengantar Joylin pulang sudah nampak berhenti di halaman rumahnya. Tanpa mematikan mesin mobilnya, lelaki yang tak lain adalah Om Endik itu dengan sabar menunggu Joylin turun dari mobilnya. Namun sebelum turun, Joylin masih sempat mengecup pipi lelaki itu seraya mengucapkan terima kasih. Begitu Joylin sudah turun, pinu mobil kembali menutup, Om Endik pun segera melajukan mobilnya menembus kegelapan malam tanpa lupa melambaikan tangan.
Joylin mengantar kepergian mobil itu dengan lambaian tangan. Ketika mobil itu sudah tak lagi tampak dari pandangannya, barulah Joylin berbalik badan. Melangkah perlahan menuju ke pintu rumahnya yang tampak gelap gulita.
Dengan bantuan cahaya dari handphone, ia mulai memasukkan kunci ke lubang. Dengan sekali putar, pintu langsung terbuka. Setelah masuk, Joylin langsung mengunci pintu kembali.
Hal pertama yang dilakukan Joylin adalah menyalakan lampu ruang depan. Sambil menenteng sepatu berhak tinggi yang tadi dikenakannya, Joylin melangkah menuju kamar. Namun betapa terkejutnya ia ketika menyalakan lampu kamar. Seseorang dilihatnya telah duduk di tepi ranjang.
“Bryo, kenapa kamu ada di sini?” tanya Joylin sambil melemparkan sepatu yang tadi di tentengnya ke kolong meja.
Lelaki yang duduk dengan posisi membelakanginya itu tersenyum menyeringai. Perlahan bangkit dan menghampiri Joylin.
“Jadi kamu lebih ingat pada bekas pacarmu itu daripada suamimu?” kata lelaki itu seraya meraih tangan Joylin dan dipegangnya dengan erat.
“Amar!” Joylin tersentak kaget.
“Ya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget melihat kedatanganku? Pasti kamu nggak senang kalau aku keluar dari penjara. Jadi kamu bisa bebas berhubungan dengan laki-laki lain. Aku dengar kamu sedang menjalin kasih dengan bekas pacarmu yang dulu. Benar begitu, kan?!” tuding Amar sinis.
“Tidak Amar! Kamu pasti salah mengerti.” Joylin masih berusaha membela diri.
Amar tak percaya begitu saja. Pengalamannya menggeluti dunia hitam membuatnya begitu paham liku-liku penipuan dari makhluk yang bernama wanita. Makanya dengan kasar ia mendorong tubuh Joylin hingga wanita itu terjerembab di atas kasur. Sedang cengkeraman tangannya tak juga ia lepaskan.
“Mentang-mentang selama ini aku di penjara, kamu kira aku nggak tahu apa yang kamu lakukan di luar sana selama ini, heh?”
“Memang apa yang kulakukan, Amar? Aku keluar malam hanya untuk bekerja. Dan itu untuk menghidupi anakmu karena punya papa yang tak berguna seperti kamu!”
“Jaga bicaramu, Joy. Walau bagaimanapun juga aku ini masih suamimu. Tadi saat pertama kamu melihatku, kamu langsung menyebut nama Bryo bekas pacarmu itu, dan itu artinya selama aku di penjara kamu pasti berhubungan kembali dengan lelaki itu kan? Iya kan Joy?” Amar kian naik pitam.
Karena Joylin masih bungkam, Amar yang sedang dilanda amarah itu langsung mengayunkan tangannya dengan keras.
Plaaakk!
Sekali lagi Joylin terjungkal di kasur sambil meraba pipi yang memerah oleh bekas tamparan.
“Brengsek! Dasar pemabuk, bisamu hanya marah-marah saja. Kamu nggak pernah menghargai kerja kerasku untuk mencukupi kebutuhan anakmu. Kalau kamu memang bisa berpikir seharusnya kamu justru berterima kasih pada Bryo, karena dia sudah banyak membantuku dan Asline selama kamu tidak ada,” umpat Joylin di sela tangisnya.
“Apa kamu bilang! Aku harus berterima kasih pada bekas pacarmu itu? Bah! Tak sudi aku. Kau jangan banding-bandingkan antara aku dengan bekas pacarmu itu. Apa yang bisa dibanggakan dengan orang yang mengganggu istri orang lain, heh!”
Sejenak Amar berhenti bicara. Dengan tatapan beringas ia pandang istrinya yang meringkuk di ranjang.
“Ingat baik-baik ya, mulai sekarang jika aku lihat lagi kamu bersama lelaki itu, aku pastikan dia akan mati dengan mengenaskan. Termasuk kamu!” lanjut Amar dengan emosi kian memuncak.
“Jadi kamu mengancamku?”
“Ini bukan ancaman! Silahkan kamu coba jika kamu dan bekas pacarmu itu memang sudah bosan hidup!” ancam Amar dingin.
Tangis Joylin semakin membuncah. Kebebasan Amar kiranya akan menjadi awal bagi terciptanya sebuah kehidupan kelam bagi dirinya. Pada dini hari yang teramat sunyi itu Joylin merasakan mulai terbentangnya benang-benang kusut yang siap menjerat masa depannya.
“Dengar Joy! Semua ini belum berakhir. Aku janji, aku pasti akan menuntaskan permasalahan yang terjadi antara kamu, aku, dan bekas pacarmu itu! Ingat itu Joy!” kata Amar dengan suara gusar. Lantas dengan kasar ia kunci pintu kamar itu dari luar. Tangis Joylin kian menyayat.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices