Hopeless Cries

Reads
215
Votes
1
Parts
23
Vote
by Titikoma

2. Sebuah Awal, Sebuah Pertemuan

ANINDITO.”
Ia meyebut nama seraya menyodorkan tangannya. Aku menyambutnya dengan sikap berlebihan. Tadinya aku mengira bahwa lelaki itu adalah seseorang yang sangat aku kenal. Hari yang beranjak sore, sedikit mengaburkan pandanganku. Ada kemiripan yang mampu menyamarkan pandanganku terhadapnya.
Aku menjabat tangannya dan menyadari bahwa lelaki itu bukan lelaki yang kumaksud. Kadung malu, kuajaknya berbincang dengan tema yang lebih mirip basa-basi ketimbang percakapan serius.
“Aku suka kuda.” Setelah kupikir-pikir ini obrolan tidak terlalu penting. Kesan sekadar basa-basi kian kentara. Aku sama sekali tidak peduli. Daripada harus terjebak dalam suasana serba kaku, basa-basi seperti ini, sedikit banyaknya bisa mencairkan kebekuan yang melingkup di antara kami.
“Aku sebaliknya,” timpalnya. “Sesuatu yang buruk pernah terjadi ketika usiaku belum genap sepuluh tahun.”
Aku pikir dia pernah terjatuh dari punggung kuda atau ditendang oleh kuda yang sedang berahi atau hal lain seputar pacuan kuda yang membuatnya trauma. Aku tidak ingin mengetahuinya lebih jauh. Aku beringsut menatap matahari senja yang siap terbenam di ufuk barat. Suasana yang mencengangkan; langit berwarna magenta dengan siluet gerombolan burung-burung yang hendak pulang ke sarangnya, tidak ingin kuabaikan.
“Apakah aku mengganggumu?” tanyanya. Aku sontak terperangah. Aku lupa, bahwa di sampingku seseorang sedang ada bersamaku.
“Sama sekali tidak. Aku sedang mengagumi senja, dan aku tidak ingin melewatkannya,” jawabku.
“Baiklah. Bolehkah aku menemanimu?” tanyanya. Aku mengangguk. Kupikir itu tidak akan mengganggu ketenanganku. “Aku juga mengagumi senja. Bagiku senja itu ajaib,” lanjutnya.
Ya. Senja itu sangat ajaib. Sangat misterius, juga romantis.
Itu hari pertama aku mengenalnya. Di satu tempat yang tenang, sebuah kaki gunung. Aku tidak suka hiking, ini kali pertama, sekadar mencari suasana baru untuk melepaskan segala penat. Terutama stress akibat kuliah yang tidak kunjung selesai.
***
“Aku sudah melakukan sebuah kesalahan, Er,” ucapnya suatu saat. Aku tidak paham dengan apa yang dikatakannya.
Hal-hal yang menurutku aneh sering terlontar dari bibirnya yang berwarna merah. Dia bukan perokok, wajar saja bibirnya semerah bibir perempuan. Aku pernah menanyakan suatu hal yang kalau kupikir, bisa saja dia sangat tersinggung.
“Apa kau menyukai seorang perempuan?” Aku menanyakannya ketika kedekatan kami baru dalam hitungan beberapa hari. Aku meragukan kenormalannya dalam berorientasi seks. Wajahnya yang sebening boneka porselein, ditopang hidung mancung, mata berwarna cokelat, dan bibir merah, lebih terlihat cantik ketimbang tampan.
Dia mengerutkan dahi dan terdiam sesaat sebelum menjawab. “Apa aku terlihat cantik di matamu, Nona?” Sama sekali, dari nada bicaranya dia tidak tampak tersinggung. Dito tersenyum untuk sebuah alasan, aku pun demikian.
“Apakah pertanyaanku salah, Dit?”
“Tidak. Aku pikir, tidak sama sekali. Kau orang kesekian yang menanyakan hal tersebut.”
Aku terdiam. Intinya bukan cuma aku yang meragukan ketampanannya.
“Ya, aku menyukai perempuan. Tentu saja,” jawabnya pasti. Aku tersenyum. Tentu saja dia menyukai perempuan. Toh, ketertarikan lelaki itu kepadaku semakin jelas kentara setelah beberapa kali pertemuan.
“Aku hanya sekadar memastikan,” belaku. Dalam hati aku bersorak. Lelaki yang berada di hadapanku ini tidaklah seburuk seperti yang aku bayangkan.
“Aku bukan homo, Nona. Boleh aku buktikan?” candanya. Ia terbahak atas keisengan ucapannya. Aku mengulum senyum, menyadari kesalahanku.
“Tidak usah, Bung. Lain kali saja.” Aku balik mencandainya.
***
“Aku sudah melakukan sebuah kesalahan, Er,” ulangnya sekali lagi. Percakapanku tempo hari dengannya langsung menguap. Aku memalingkan wajah seraya menyentuh dagunya yang berkulit bayi, tanpa sedikit pun bulu yang tumbuh di sana.
“Kesalahan apa? Perihal apa pula yang kau rasa salah, Dit?”
Sekali ini dia tidak langsung menjawab. Dia merengkuh bahuku. Tatapan kami saling beradu dalam jarak yang sangat dekat.
“Mencintaimu adalah sebuah kesalahan, Er,” ucapnya. Dia melepas rengkuhannya lantas menunduk. Apa? Aku berteriak dalam hati. Apa-apaan ini? Apa maksudnya?
Aku hampir marah dan mendampratnya. Sebelum aku melakukannya, dia mengeluarkan sebuah kotak persegi beledu berwarna merah. Aku menangkapnya lewat sorot mataku. Aku bisa menebaknya itu apa.
“Dengan mencintaimu, aku melakukan sebuah kesalahan besar. Kesalahan itu adalah ... bahwa aku ... tidak pernah ingin beranjak sedetik pun dari sisimu, dan itu membuatku sedikit gila. Membuatku gila adalah kesalahan. Kaulah penyebab kesalahan itu. Jadi, sebelum aku benar-benar gila, bolehkan aku meminta sesuatu darimu?”
“Boleh,” jawabku pasrah. “Apakah itu?”
“Bersediakah kau menjadi pendamping hidupku selamanya sampai ajal memisahkan?”
Aku merasakan desir hebat di dalam diriku. Sesungguhnya aku sudah menunggu saat-saat seperti ini. Entahlah. Kenyataan ternyata tidak terlalu mudah untuk dipercayai dibanding dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Aku tidak segera menjawab. Kutatap suasana sekeliling. Tanpa kusadari kafe ini menjadi sangat hening, sementara mata orang-orang di dalamnya sedang menatapku penuh harapan.
Aku pikir ajakan dinner Dito malam ini hanya makan malam biasa. Nyatanya aku tidak memprediksi hal ini. Gigiku bergemeletuk seolah udara yang mengalir dari AC disetel pada posisi paling dingin. Aku terbata dan menjawabnya dengan patah-patah. “A ... ku ber ... se ... di ... a.”
Di dalam kafe, orang-orang mengembuskan napas lega. Setelahnya mereka bersorak-sorai gembira merayakan momen langka seperti ini.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices