by Titikoma
3. Panggil Aku Queen Of My Heart
KAMI baik-baik saja, setelah pelamaran tidak terduga tempo hari. Itu intinya. Namun, di dalam sebuah hubungan percintaan, pertengkaran itu terkadang sangat wajar terjadi.
Kami selalu memanggil satu sama lain dengan sebutan yang berbeda sesuai kesepakatan. Suatu kali, Dito memanggilku dengan sebutan yang salah. Bagiku itu sangat fatal. Aku kerap disebutnya Little Princess, suatu ketika, atau Queen of My Heart, atau Baby Er.
disebutnya Little Princess, suatu ketika, atau Queen of My Heart, atau Baby Er.
“Baby Alamanda, di mana kau?”
Aku yang sedang bersembunyi di balik pintu—untuk mengejutkannya—sedikit tersentak. Itu sebutan baru yang belum kami sepakati. Bahkan, mendengarnya pun baru kali ini. Aku marah. Tetapi, belum saatnya meluapkannya sampai dia memberikanku penjelasan.
Aku menatapnya dengan tatapan tidak bersahabat. Dia menyadarinya dan segera menghambur ke arahku. Hampir dia memelukku sebelum akhirnya aku menghindar. Dia mengerutkan dahi.
“What’s wrong with you, Baby?” tanyanya sedikit heran.
Aku merenggut, mendekapkan kedua tanganku di dada. Tatapanku menusuk. Dia mengerjap penuh kengerian.
“Aku tahu,” lirihnya. “Boleh aku jelaskan?”
Tentu saja. Aku sangat membutuhkan penjelasan itu.
Dito menjelaskan apa yang dimaksud dengan Baby Alamanda. Kakaknya melahirkan, sesorang anak perempuan yang sangat cantik yang diberinya nama Alamanda Az Zahra. Sepanjang waktu, katanya, dia memikirkan bayi cantik itu hingga namanya terus terngiang-ngiang dalam pikirannya. Di luar bahwa dia jatuh cinta dengan bayi kakaknya itu, hal lain membuatnya berkali-kali menyebut nama itu—namanya unik. Di kampus, di rapat organisasi. Saat menemuiku, juga.
Mulanya aku tidak percaya sampai dia mengatakan bahwa dirinya lupa tidak memberitahu kabar itu kepadaku beberapa waktu lamanya. Aku lega. Alamanda bukan nama perempuan dewasa yang bisa jadi indikasi awal ketidaksetiaan Dito terhadapku.
“Aku melewatkan kabar gembira itu terhadapmu. So, maafkan aku,” sesalnya
Aku memanggilnya Sinchan, kadang-kadang. Alasannya karena dia lucu, jail, sekaligus bermata sipit. Sebenarnya nama itu sangat tidak relevan dengan postur tinggi langsingnya yang berkulit kuning, selayaknya aktor-aktor tampan Korea. Tapi, entahlah, nama itu tiba-tiba muncul begitu saja, mengingatkan aku akan tokoh kartun Jepang yang pernah menjadi film kartun kesukaanku.
Kadang, aku memanggilnya Baby Lee. Merujuk pada penampakan dirinya yang mirip Lee Min Ho. Sekali waktu yang lain aku memanggilnya Daddy. Untuk yang satu ini hanyalah keisenganku saja, tanpa ada alasan yang jelas.
Kami berbeda satu sama lain. Itu faktanya. Tetapi, cinta kami sama. Sampai kapan pun. Pastinya.
“Sinchan, i’m hungry now? Bisakah kau membuatkanku semangkuk besar kue dorayaki?”
Dito terbahak. Nama itu terdengar lucu di pendengaran sekaligus mesra. Dia bergegas datang dan memberi hormat kepadaku. “Ok! My Little Princess. Wait for a minute.”
***
Dito pintar memasak, apa pun: dessert, appetizer, main course, masakan tradisional, masakan internasional, cookies, cakes. Sebaliknya aku, hanya bisa makannya saja. Kami berbeda. Dalam hal apa pun. Sedikit persamaan yang kami miliki, di antaranya: tidak ingin terlalu terikat, open minded, dan semau gue.
***
Sepanjang hubungan yang kujalin bersama Dito, pertengkaran-pertengkaran kecil kerap terjadi. Kesalahpahaman satu sama lainlah yang terkadang menjadi awal pertengkaran. Kami melewati hal itu dengan saling berdiam diri. Itu lebih baik ketimbang harus memaki satu sama lain dengan kata-kata kasar. Aku menikmati setiap momen pertengkaran itu sebagai bumbu kebersamaan.
“Mie ayam tanpa ayam, tidak enak,” belanya.
“Tanpa pedas pun, sama tidak enaknya,” timpalku.
“Apalagi tidak pakai mangkuk,” tambahnya lagi.
“Gila kau!”
“Sama. Kau juga.” Kami saling terbahak setelahnya. Betapa hal-hal kecil seusai pertengkaran menjadikan hubungan kami kian erat.
Kami saling berdiam diri, untuk beberapa lama. Jujur, dalam hal gengsi, satu sama lain di antara kami sama besarnya. Tidak ada yang mau mengalah. Kalau sudah begini, kami hanya bisa saling menunggu siapa yang tidak bisa bertahan.
Dito datang ke rumah, pura-puranya ingin menemui mamaku, padahal aku tahu ia ingin menemuiku. Gengsi. Ia menunggu aku yang memulainya. Tidak. Kau duluan saja.
Aku segera pergi tanpa ingin menyapanya. Padahal, di dalam hati aku geregetan. Kalau saja tidak di dalam kondisi tidak ingin menyapanya terlebih dahulu, mungkin, aku akan berkata: masih marah kau? Please deh, hentikan! Aku sudah tidak tahan.
Aku menahan langkah kaki, menunggu. Aku harap dia menahanku. Nyatanya tidak terjadi. Sebal aku. Dito asyik mengobrol dengan Mama, sementara aku gondok di beranda rumah.
“Dit! Antar aku.” Pada akhirnya aku menyerah. Aku kalah. Perang dingin ini dimenangkan oleh Dito pada akhirnya. Tidak apalah.
“Ke mana?” tanyanya. Dia mengulum senyum mengejek atas kemenangannya. Aku kesal bukan kepalang. Seraya berbalik, kusorotkan pandanganku dengan gemas ke arah Dito. Yang ditatap hanya bisa cengengesan. Puas kau, hah? rutukku dalam hati.
“Terserah kau, ke mana pun. Asal tidak ke kampus. Lagi malas aku,” jawabku.
“Maaf Tante, aku tinggal dulu. Little Princess-ku mengajakku pergi.” Dito undur diri di hadapan Mama. Ibuku ini hanya bisa tersenyum. Aku semakin kesal.
“Hati-hati, Nak Dito. Princess-mu sedang sangat kesal, bisa-bisa kau jadi sasaran kekesalannya.” Mama ikut mencandaiku.
“Ih, Mama,” rutukku.
Kami bergegas. Tidak ada yang ingin dilakukan olehku saat ini bersama Dito selain makan-makan seraya berbincang. Kalau sudah begini, seharian penuh ini aku berharap bahwa waktu tidak berjalan dengan cepat.
Don’t disturbed us for this time. Ok!