Hopeless Cries

Reads
232
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

5. Menunggu Itu Membosankan

AKU pikir, Dito sedang benar-benar sibuk. Sepanjang minggu, nyaris tidak ada telepon darinya. Aku menunggu dia menghubungi barang satu atau dua menit saja. Itu tidak terjadi. Dito seolah hilang bak ditelan bumi tanpa kabar. Beberapa kali aku mencoba menghubunginya. Nada sibuk atau dialihkan. Apakah Dito sengaja melakukannya agar aku tidak bisa mengganggunya?
Dito tidak rindu padaku, seperti halnya aku padanya.
Apa yang harus kulakukan? Berkunjung ke indekosnya untuk lantas dia marah kepadaku? Atau berusaha meneleponnya lagi walau kemungkinan teleponku itu diangkat relatif kecil?
Aku memutuskan untuk menunggunya beberapa waktu ke depan. Tentu saja dengan perasaan tidak keruan.
Seminggu berikutnya berlalu tanpa kepastian. Teleponnya tidak bisa dihubungi. Aku semakin kesal. Apa yang terjadi?
Kubulatkan tekad untuk mendatanginya. Hari masih terlalu pagi ketika aku keluar dari rumah. Udara lembab sisa hujan semalam, menampar-nampar pipiku. Embus angin semakin membuat tubuhku menggigil. Aku mengenakan syal, juga jaket tebal dengan bulu-bulu di bagian leher. Ku-starter mobilku. Butuh beberapa lama sebelum mesin mobilku menyala.
Mobil melaju dengan kecepatan medium. Ini hari Minggu, aku baru menyadarinya ketika penyiar radio di mobil yang sedang kudengarkan menerangkan itu. Sebuah lagu mellow mengalun begitu lembut, menambah suasana menjadi semakin syahdu. Aku menatap lurus ke depan. Tidak ada macet, kecuali orang-orang bergerombol yang berjalan sepanjang trotoar dengan mengenakan kaus dan celana training. Kemungkinan mereka semua sedang jogging.
Ada yang salah dengan perasaanku. Sedari tadi, jantungku berdetak tidak beraturan. Aku begitu khawatir dengan keadaan Dito belakangan ini. Perasaan seorang perempuan begitu peka, bukan?
Saat siang menjelang, aku telah berdiri di depan pintu gerbang sebuah kos-an. Beberapa lelaki sedang duduk santai di beranda kamarnya masing-masing. Aku kerap datang ke tempat ini, tetapi, perasaan asing tiba-tiba melingkup begitu saja.
Kamar paling pojok. Aku paham betul, di sanalah Dito indekos. Kuperhatikan kamar itu, sangat lengang. Aku mendekat. Kuketuk pintu itu perlahan. Hening. Tidak ada jawaban. Kuketuk lagi. Masih sama. Hening.
Seorang lelaki klimis muncul di balik pintu kamar sebelah. Dia tersenyum lantas mengeluarkan diri dari balik pintu itu.
“Cari siapa, Mbak?” tanyanya mengakrabkan diri.
“Ditonya ada?” Aku balik bertanya.
“Dito? Kayaknya tidak ada, Mbak. Sudah hampir dua minggu ini kamarnya sepi, Mbak?”
Ada keterkejutan di dalam diriku. Dua minggu? Apa yang terjadi?
Aku berbincang dengan lelaki itu beberapa lama. Hanya ingin mengorek sedikit informasi mengenai Dito. Temannya itu—lelaki itu mengakunya demikian—sama sekali tidak tahu Dito ke mana.
Aku menduga-duga. Tapi tidak terpikirkan ke mana harus mencari Dito. Toh, selama berhubungan dengan dirinya, hanya sedikit tempat yang aku ketahui di mana Dito biasa berada.
Aku pamit. Kepalaku pusing memikirkan segala kemungkinan. Dito tidak seperti ini biasanya. Ada suatu hal yang mungkin sedang disembunyikannya. Tadi aku sedikit membahas perihal skripsi yang sedang dikerjakan oleh Dito, temannya itu hanya menggeleng, dia sama sekali tidak mengetahuinya.
“Kayaknya kelulusan Dito masih lama, loh, Mbak.”
Kalimat terakhir temannya itu menjadi sebuah pertanyaan besar bagiku. Apa mungkin Dito tengah berbohong terhadapku? Kalau iya, bohong untuk apa?
***
Aku membuka mataku keesokan harinya. Mataku terasa pedih. Kepalaku masih terasa pening, walau tidak terlalu. Hal pertama yang terlintas di pikiran untuk kali pertama membuka mata adalah Dito. Entahlah wajah itu terus berkelebatan dalam pikiranku.
“Kau terlalu memikirkannya.” Lisa, temanku, ketika aku meneleponnya untuk sekadar bertukar pikiran, sedikit sewot, merasa tidurnya terganggu. Aku mengabaikan fakta tersebut dan mengajaknya berbincang untuk satu alasan yaitu membahas Dito, atau setidaknya para lelaki untuk cakupan umum.
Tidak banyak teman perempuan yang bisa akrab denganku, semuanya bisa dihitung dengan jari: sepuluh, itupun tidak semuanya sering jalan denganku. Entahlah, bagiku berteman dengan perempuan itu sedikit membosankan dan berisiko. Pada kebanyakan kasus, teman-teman perempuanku lebih sering bergosip perihal apa pun di kampus, dan aku tidak pernah suka membicarakan kejelekan orang lain. Aku membatasi pergaulan, apalagi dengan perempuan. Namun, Lisa adalah pengecualian.
Lisa yang kukenal sangat care dan mampu menjaga rahasia. Aku bertemu dengannya ketika OSPEK. Dia orang yang menyelamatkanku dari hukuman paling memalukan yang dilakukan oleh para senior, hanya gara-gara tugas yang harus aku bawa tertinggal di rumah dan tidak mungkin kuambil dengan waktu yang terlampau mepet. Dia membelaku mati-matian. Sebenarnya, aku mampu menyelesaikan permasalahan dan melabrak para senior itu, tetapi Lisa bersikukuh bahwa dialah yang harus menyelesaikannya. Usut punya usut, Lisa punya dendam pribadi dengan para senior itu, terutama perempuan berambut pirang bernama Rinjani.
Terjadilah pertengkaran antara Lisa dengan Rinjani. Aku bertepuk tangan—bodohnya, Rinjani yang pada akhirnya berhasil dipermalukan oleh Lisa. Thanks, Lis.
Pikiran tentang pertemuan dengan Lisa terhenti. “Aku pikir iya,” aku tidak membantahnya. Kenyataannya memang seperti itu.
“Hubungi teman-temannya,” saran Lisa. Kemarin aku tidak memikirkan itu. Aku akan mencobanya setelah ini.
***
Dito benar-benar menghilang. Tidak satu pun dari temannya yang mengetahui keberadaannya. Aku semakin yakin bahwa ada sesuatu yang salah yang terjadi pada Dito. Berbagai upaya aku lakukan untuk mencarinya. Hasilnya nihil saja.
Aku sakit, setelahnya. Pikiranku tentang Dito membuat tubuhku luluh tidak berdaya. Di luar bahwa aku merindukannya, rasa kesal muncul begitu saja. Ini tidak bisa dimaafkan. Bila seandainya Dito sedang punya masalah, kenapa dia tidak mengatakannya kepadaku. Perihal skripsi, aku yakin itu hanya omong kosong semata. Dia sedang berbohong. Aku tahu itu pada akhirnya. Banyak temannya yang mengatakan bahwa itu tidak benar. Bahkan kuliahnya di fakultas sastra berada di ujung tanduk. Dito terancam drop out.
Ternyata, tidak banyak yang kuketahui perihal kekasihku ini. Banyak hal yang disembunyikan pada kenyataannya.
Suara beberapa SMS masuk ke teleponku. Tidak ada harapan. Aku tidak yakin bahwa satu dari sekian pesan singkat yang masuk, salah satunya berasal dari Dito. Dugaanku benar. Semua SMS itu berasal dari teman-teman kuliahku: Arsella, Nindyta, Alicia, Indira, Shanty. Mereka menanyakanku kapan aku kembali ke kampus. Aku tidak berminat membalas SMS mereka.
Kusingkirkan selimut dari tubuhku. Terlalu lama berdiam diri di atas tempat tidur membuat tulang punggungku sedikit kaku. Aku harus menghentikannya. Suasana di luar rumah bisa saja menyuguhkan hal-hal menarik ketimbang terjebak kesumpekan di dalam kamar.
Memikirkan Dito membuatku menjadi orang yang kurang waras. Aku harus menghentikannya dengan segera. Butuh waktu lima belas menit untukku menyegarkan diri: gosok gigi, cuci muka, menyemprotkan body cologne. Ini bukan aku yang seperti biasanya. Aku tidak peduli dengan semua itu. Hal terpenting saat ini adalah me-refresh pikiranku yang sedang kalut.
Aku melangkahkan kaki menyusuri trotoar. Suara bising mesin kendaraan, bunyi klakson, teriakan para kernet, langsung bertandang masuk ke pendengaranku. Ini jauh lebih baik ketimbang memikirkan Dito yang entah ke mana. Aku sedang tidak berminat untuk berkendara. Berjalan, ternyata jauh lebih mengasyikkan.
Beberapa orang tersenyum kepadaku saat berpapasan jalan. Semua orang—perasaanku—sedang berbahagia, sementara aku sebaliknya. Aku pikir kebahagiaan yang diperagakan orang-orang tidaklah terlalu sulit. Hanya butuh bertutur sapa, tersenyum, lantas semuanya akan baik-baik saja.
Dalam satu kesempatan, aku memutuskan berbelok ke arah kampus. Aku menundukkan wajah beberapa lamanya. Seseorang tiba-tiba berteriak saat aku menabraknya. Itu tidak disengaja. Tetap saja aku dibuat malu karenanya. Wajahku, saat ini, mungkin sedang bersemu merah. Seorang lelaki bermata sipit, berkulit kuning, dan ... sangat mirip Lee Min Ho tengah menatapku hangat. Bukan Dito, tetapi sangat mirip.
“Maafkan aku.” Aku yang menabraknya, tentu saja aku yang harus meminta maaf terlebih dahulu kepadanya.
Lelaki itu tidak segera menjawab. Aku pikir dia seolah terkesima akan wajahku. Bukannya ge-er, dari caranya menatapku, benar-benar seperti sedang mengagumiku. “Tidak masalah,” jawabnya kemudian.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices