Hopeless Cries

Reads
226
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

4. Cinta Mampu Mengubah Segalanya

AKU seorang perempuan perokok. Sebelum bertemu Dito di kaki gunung tempo hari pun, masih sebagai seorang perempuan perokok. Beberapa kali Mama menyarankanku untuk segera menghentikannya. Aku mencobanya. Akan tetapi, tetap saja masih belum bisa.
Ketergantunganku pada rokok dimulai ketika SMA. Teman-teman satu gengku perokok semua. Semula aku bertekad untuk tidak melakukannya. Olok-olokan sporadis yang dilancarkan teman-temanku membuat aku menyerah. Aku menyesali setelahnya.
Terlambat, pada akhirnya aku kecanduan.
Mama tidak mengetahuinya sebelumnya. Kalau tahu, tentu saja akan sangat marah. Papa, kalau saja masih hidup, pasti akan semarah Mama bila mengetahuinya.
Kebiasaanku merokok terbawa hingga aku kuliah. Masa-masa awal kuliah terlalu berat. Bukan karena tugas-tugas selama MOS yang menumpuk. Hanya saja, aku harus sembunyi-sembunyi bila ingin merokok. Seperti ini hal berat yang kumaksud.
Dito berpikiran terbuka. Ketika aku mengatakan bahwa aku seorang perokok, sama sekali ia tidak terkejut, alih-alih marah. Ia hanya menanyakan keseriusan ucapanku.
“Aku tidak,” ujarnya.
“Sudah kuduga. Bahkan bibirmu, jauh lebih merah dari bibirku.” Aku mengatakannya dengan menjawil dagunya yang selembut kulit bayi. Dia menyeringai kesakitan.
“Sangat disayangkan,” sesalnya. “Padahal bibirmu sangat seksi bila warnanya tidak secokelat itu.” Sedikit terpengaruh dengan ucapannya itu, aku membuka tempat bedakku dan mengecek bibirku di depan kaca kecilnya. Benar saja, bibirku berwarna cokelat. Aku pikir ini sedikit mengurangi kecantikanku. Menurutku. Entah menurut pendapat orang lain.
“Bila aku jadi kau. Aku lebih memilih tidak merokok dan memiliki bibir merah indah, ketimbang merusaknya dengan nikotin itu.” Ini seolah sebuah usaha untuk menyarankanku untuk berhenti merokok. Idenya cukup pintar, hingga tidak harus membuatku tersinggung.
Aku menatap keseriusan di ucapannya. “Ya, aku akan melakukannya, hingga siapa pun itu, bisa mengagumi keseksian bibirmu,” tambahnya lagi. Aku berpikir apakah ini waktunya untukku berhenti?
“Jika aku masih merokok, apakah kau masih akan terus mencintaiku?” tanyaku tiba-tiba. Ia sedikit terperangah lantas menatapku meminta kepastian pertanyaanku. Aku mengangguk, mengiyakan.
“Apakah aku termasuk tipe seorang kekasih yang memaksakan diri?” Dito malah balik bertanya. Aku tergeragap.
“Tidak. Bukan itu maksudku,” jawabku, “sekadar memastikan.”
“Di mataku, siapa pun itu, mempunyai kebiasaan yang aku pikir tidak seorang pun bisa menghentikannya. Tetapi, bila kebiasaan itu masih bisa dihentikan dan kekasihnya mengharapkannya, apakah itu tidak lebih baik? Aku tidak mengatakan bahwa aku akan berhenti mencintaimu bila kau tetap teguh dengan kebiasaanmu, tidak sama sekali. Jujur, aku hanya ingin kau melakukannya atas keinginan sendiri. Aku tidak memaksa, sepenuhnya ini hakmu. Bila kau pikir ini baik bagimu dan bagi orang-orang di sekitarmu, aku pikir kenapa tidak.” Itu ucapan panjang lebarnya. Intinya dia menginginkanku berhenti merokok—dengan terselubung.
Aku memikirkannya lantas bertanya dalam hati: apakah aku bisa melakukannya?
***
Dalam kepalaku selalu ada nama Dito. Aku ingin melakukannya demi diriku sendiri—sesuai saran kekasihku itu, juga demi dirinya, Dito. Kuputuskan untuk berhenti merokok.
Berbagai cara aku lakukan. Mulanya sangat sulit. Setelah terbiasa semuanya berjalan lancar. Aku bisa melakukannya. Dalam rentang waktu yang relatif singkat. Ini semua karena tekadku yang sudah bulat.
Demi aku.
Demi Dito.
Demi Mama, Papa Irwan—ayah tiriku, juga Almarhum Papa.
***
Dito sedang sibuk, itu yang kini terjadi. Skripsi yang beberapa waktu lamanya terbengkalai, menuntut untuk segera diselesaikan. Aku mencoba memakluminya, walau untuk itu, aku harus kehilangan banyak waktu kebersamaan dengan dirinya.
Aku meneleponnya sekali-kali saja. Takutnya, kalau keseringan akan mengganggu konsentrasinya. Aku sudah berhenti merokok. Kesepian dan kesendirian menarik-narik pikiranku untuk melakukannya lagi. Sekuat tenaga aku melawannya. Tidak terlalu berhasil, sih. Seperti saat ini, aku sedang memegang satu batang rokok seraya menimbang-nimbang untuk menyalakannya atau tidak.
Telepon berdering. Aku mengangkatnya, dari Dito.
“Maaf bila waktuku untukmu akhir-akhir ini tidak banyak,” ujarnya di telepon dengan penuh penyesalan. Aku memahami rasa bersalahnya.
“Tidak apa,” jawabku berusaha menguatkannya. “Aku tahu, kok, sesibuk apa hari-harimu belakangan ini. Jangan terlalu dipikirkan. I’m gonna be oke.” Di belakang setiap kalimatku, ada desahan berat yang sedang kusembunyikan. Aku merindukannya, itu sudah pasti. Aku merindukan dekapan tubuh hangatnya. Aku memikirkan itu, tetapi harus menahannya.
“Jangan pernah berpikir untuk melakukannya lagi,” tegasnya. Aku tahu apa yang dimaksud oleh Dito: rokok. Aku menatap batang rokok berwarna putih itu, meremasnya kemudian. Setidaknya, Dito telah menyelamatkanku kali ini.
“Aku berjanji untuk tidak,” tegasku.
“Baiklah. Happy nice day, dan jangan lupa makan. See ya, Baby Er,” pungkasnya di telepon.
“See ya, Daddy. Kau juga, jangan pernah melupakan waktu makanmu. Sukses dengan skripsinya, Babe,” balasku.
“Dit, kau terlalu peka, sampai-sampai dari tempat yang jauh pun, kau tahu akan apa yang kupikirkan. Terima kasih,” batinku. Remasan rokok itu aku buang ke dalam asbak seraya bernapas lega.
Aku berhasil melawannya.
Aku berusaha untuk tidak memikirkannya sepanjang waktu ini. Yang kulakukan hanya duduk, membuka-buka majalah musik tanpa sedikit pun berminat membacanya. Ini kali pertama aku benar-benar merasa kesepian. Di luar bahwa ini hanya sementara waktu, tidak sedikit pun membuat hatiku tenang. Kadung bimbang, kunyalakan televisi—yang isi salurannya tidak lebih dari acara-acara tidak bermutu.
Tidak ada hal yang menarik. Seandainya aku bisa tertidur jauh lebih cepat seperti biasanya, akan kulakukan.
Aku menatap ponsel yang tergeletak di atas meja rias. Ini baru pukul tujuh malam. Akan tetapi perasaanku jauh lebih sunyi dari keadaan di luar. Aku memikirkan untuk meneleponnya. Sekadar say hallo, atau apalah itu, sebagai upaya menghalau segala kegalauanku.
Aku memegangnya. Menatap layarnya dan mulai menyentuh log panggilan. Aku terpaku. Nomor itu masih di sana. Baby Lee. Aku menamainya demikian.
Aku memutuskan.
“Hallo?” sapaku ragu.
“Ya, hallo? Dengan siapa di sana?” suara seorang perempuan. Aku mengerutkan dahi.
“Dengan nomornya Anindito?” Aku memastikan bahwa nomor ini milik Dito.
“Ya, tentu saja. Ini dengan?”
“Ervina. Dito-nya ada?”
Perempuan di seberang sana berteriak ketika panggilan masih terhubung. Aku mendengarnya dan lega. Aku pikir itu adiknya, atau saudaranya.
Dito segera menjawab teleponku, dan kelegaan tiba-tiba berdenyar di dadaku. Aku tahu Dito sedang sibuk, maka kuputuskan untuk tidak berlama-lama berbincang, lalu mengakhiri obrolan ini dengan segera.
“Good night, Baby Lee. I always miss you,” pungkasku.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices