Hopeless Cries

Reads
227
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

6. Seperti Deja Vu

DITO menatapku dengan sorot mata penuh penyesalan. Dia mengulangi ucapannya berkali-kali. “Aku minta maaf. Ini tidak akan kuulangi.”
Aku hanya diam termangu. Bukankah yang harusnya meminta maaf itu adalah diriku, bukan lelaki itu. Aku tidak melihat ke arah depan ketika aku dengan tidak sengaja menabraknya. Buku-buku yang ada di genggamanku berhamburan sementara beberapa lembar kertas tercecer dan sebagian yang lainnya terbang diembus angin.
Aku malu. Lelaki itu menganggap bahwa itu adalah kesalahannya. Padahal sebaliknya.
cerita dari tabrakan dengan Dito itu sampai pertemuan kedua di kaki gunung saat hiking. Aku kira itu adalah pertemuan kedua—aku tidak menyadarinya dan menganggap pertemuan di kaki gunung itu adalah yang pertama.
“Bahkan kau tidak mengingat bahwa kita pernah bertemu sebelumnya. Di kampus.”
“Aku tidak mengingatnya. Sama sekali,” tegasku. Udara kaki gunung saat itu begitu dingin.
“Lupakan. Itu tidak penting,” ujarnya.
Aku baru mengingatnya ketika sampai di rumah. Tabrakan itu! Nyaris aku tidak mengingatnya. Oh God, what happened to me? Padahal semalaman setelahnya aku membayangkan wajah Korea itu berkali-kali.
Lupakan. Yang penting, aku sudah mengingatnya.
Pertemuan itu terulang. Hari ini. Bukan dengan orang yang sama, tetapi lelaki itu sangat mirip dengannya.
Apakah ini yang dinamakan dengan DÉJÀ VU?
***
Banyak hal yang kuingat manakala Dito tidak ada di sini, di sampingku. Bahkan, ketika Dito masih ada, sama sekali aku tidak bisa mengingatnya. Ini menyakitkan. Dito yang kutahu, tidak terlalu romantis. Tidak juga. Kadang-kadang dia bisa romantis juga ternyata. Pada satu kesempatan, dia menghadiahiku boneka Teddy Bear berpita merah. Aku pikir itu hadiah paling konyol yang kuterima darinya.
Dito tahu aku sangat alergi dengan apa-apa berbau girlies. Aku perempuan. Aku tahu itu. Namun, boneka sama sekali ide terburuk. Aku tidak menyukainya. Sampai kapan pun.
Aku menolaknya mentah-mentah. Dito hanya terkekeh, seolah apa yang kulakukan itu tidak membuatnya tersinggung.
”Apa kau sengaja melakukannya, Dit?”
Dito menepuk dahinya berkali-kali. “Aku pikir itu ide paling brilliant yang kupunya. Nyatanya aku salah. I’m so sorry, Queen of my heart,” sesalnya.
Setelah dia mengatakan penyesalannya itu, aku merasa bersalah. Bukankah dia memberikan hadiah itu begitu tulus? Harusnya aku menerimanya tanpa harus menunjukkan ketidaksukaanku langsung di hadapannya. Sepanjang malam aku memikirkannya. Teddy Bear itu tergeletak di atas tempat tidurku meskipun tidak ingin kusimpan.
Aku memikirkannya. Minta maaf adalah satu cara agar diriku terbebas dari rasa bersalah, meski, aku tahu Dito tidak memikirkan hal demikian hingga segitunya.
“Aku menyimpannya, Dit,” ujarku. Itu pukul sepuluh malam saat aku meneleponnya, untunglah dia masih belum terlelap.
“Syukurlah,” jawabnya. “Tidak pun tidak apa. Aku tidak akan tersinggung, kok.”
“Maaf untuk kejadian tadi.”
“Er, please. Ini bukan masalah serius, jadi lupakanlah.”
Teddy Bear itu masih ada di kamarku, meski aku pernah berniat untuk membuangnya. Aku menyimpannya untuk satu buah alasan: demi menghargai kekasihku, Dito.
Ketika aku menatapnya, aku memikirkan Dito lagi. “Dit, kau di mana, sih, sebenarnya?”
Mataku bergetar. Sesuatu yang hangat mulai mengalir deras ke sudut dua bola mataku. Apakah aku menangis? Aku kira itulah yang ingin kulakukan pada saat ini.
“Aku menangis. Tanpa kusadari.”
Esoknya aku mengajak Lisa bertemu di Oriental Cafe. Kebetulan dia sedang tidak ada mata kuliah yang harus dimasukinya. Dia dengan t-shirt merah jambu bergambar Bugs Bunny, dengan jeans sobek-sobek selututnya datang jauh lebih cepat dibanding aku. Dia tersenyum. Aku tahu maksudnya: kau-yang-traktir-aku-kan-ya?
“Aku menangis. Tanpa kusadari,” ulangku. Dia menatapku dengan serius.
“Itu tandanya kau merindukannya, Ervina,” jawabnya seraya meletakkan sendoknya di atas piring salad buah yang nyaris tandas.
“Entahlah. Aku berusaha melupakannya secepat yang kubisa.” Aku mendesah. Aku mengatakannya, dan itu sungguh menyakitkan. Di satu sisi, benar, aku sedang merindukannya, tetapi pada lain sisi, aku mulai membencinya. Dito hilang tanpa kabar berita. Bukankah itu menjengkelkan?
“Semakin kau ingin melupakannya, semakin kau terus mengingatnya. Apakah seperti itu, Ervina?” ini telak. Apa yang dikatakan oleh Lisa benar adanya. Aku mengalaminya.
Aku mendesah. “Ya, memang seperti itu,” jawabku.
“Benar-benar tidak ada kabar?”
“Sama sekali, Lis.”
“Kalian tidak sedang berantem, ‘kan?”
Aku menggeleng.
“Ini aneh, Ervina. Sesuatu yang salah sedang terjadi, sepertinya.”
“Hal yang sama. Aku pun menduganya demikian.”
“Apa aku mengganggu kalian?” Seseorang berdiri di hadapan meja kami. Aku menoleh dan meliriknya. Lelaki itu—lelaki yang mirip Dito—tengah menunggu jawaban kami. Lisa menatapku dan mengatakan lewat mata: itu bukan Dito, ‘kan? apakah kau mengenalnya?
“Tidak. Ada yang bisa kami bantu?” jawabku mewakili Lisa yang masih menatapku penuh pertanyaan.
“Boleh aku duduk?” tanya Lelaki itu. Dia memakai kemeja warna biru dipadu dengan blue jeans, jam rolex melekat di tangan kanannya yang berbulu halus.
“Silakan,” jawab kami berdua dengan serempak.
Lelaki itu mengatakan, entah itu sekadar basa-basi atau tidak, bahwa dia ingin mengembalikan berkasku yang tercecer dan terbawa olehnya ketika tabrakan tempo hari. Aku merasa tidak kehilangan berkas itu, atau mungkin aku, hingga saat ini tidak pernah mengecek keberadaan berkas-berkas itu.
Dia mengeluarkan selembar berkas yang dimaksud. Aku membacanya sepintas, ada namaku di dalamnya. Sebenarnya berkas ini tidak terlalu penting, namun aku segera menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
“Aku mencarimu ke mana-mana. Di kampus, kau tidak pernah kelihatan,” terangnya.
“Syukurlah, aku menemukanmu di sini.”
“Kebetulan aku sedang jarang ngampus,” jawabku gusar.
Ada hal penting yang kutangkap dari lelaki ini. Dia begitu bela-belain mencariku hanya untuk mengembalikan sebuah berkas yang aku kira tidak terlalu penting. Aku pastikan kalau dia mengetahui bahwa itu hanya berkas biasa.
Ada hal lain selain mengembalikan berkas? Pikirku.
“Dia menyukaimu, sepertinya,” dakwa Lisa setelah lelaki itu pergi. Aku tergeragap lantas tertawa.
“Janganlah. Satu masalah saja belum beres,” jawabku.
***
Aku berupaya untuk tidak memikirkan lelaki mana pun saat ini, termasuk lelaki itu, juga Dito. Hari ini sepertinya aku ingin tenang. Sepulang dari kafe tadi aku langsung masuk kamar. Papa Irwan dan Mama sedang berada di rumah. Ini tidak biasanya. Erin, adikku pun tampak sedang asyik menonton televisi. Aku tidak peduli dengan mereka. Saatnya tidur, atau setidaknya merebahkan tubuh di kasur.
Harusnya aku segera memejamkan mata. Rasa lelah seharian tadi ternyata tidak berpengaruh. Tanpa dikomando, pikiranku melayang ke satu tempat, di mana lelaki itu muncul tiba-tiba. Shit! Padahal tadi aku tidak ingin memikirkan lelaki mana pun.
Jika aku mengatakan bahwa lelaki itu menarik, tentu saja. Kalau dalam keadaan biasa, mungkin aku langsung jatuh cinta dengan ketampanannya. Sayangnya, aku sedang tidak berminat. Lelaki itu mirip Dito. Sangat. Bahkan aku berani bersumpah. Bedanya hanya sedikit saja, tinggi badannya. Lelaki itu jauh lebih tinggi beberapa senti dari Dito.
Aku tidak mengetahui namanya, padahal sedari tadi—walau tidak cukup lama—kami mengobrol. Kupikir ini lucu. Aku sedang memikirkan lelaki, yang bahkan tidak kuketahui namanya. Pikiran macam apa ini, Ervina? Cepat tidur, besok kau harus kuliah.
Ini minggu kedua Dito tidak ada kabarnya. Harusnya aku semakin mengkhawatirkannya. Nyatanya yang kupikirkan malahan lelaki itu. Ini aneh. Kalau saja Dito tahu bahwa aku sedang memikirkan lelaki lain selain dirinya, aku pastikan dia akan marah besar.
“Sebaiknya kau tanya dirimu sendiri apakah sudah benar-benar mencintaiku?” suatu kali Dito cemburu hanya gara-gara seorang lelaki menatap ke arahku dengan pandangan tidak berkedip. Aku melambaikan tangan ke arah lelaki itu—tidak ada maksud lain kecuali mencandainya. Dito melihatnya dan kesal. Dia marah dan berusaha mengataiku perempuan celamitan. Aku terkikik melihat kecemburuannya hingga seperti itu. Ini kali pertama selama hubungan kami.
“Hai! Apa yang kau maksudkan?” Aku pura-pura tidak mengetahuinya. Dito semakin berang.
“Apa aku melakukan sebuah kesalahan, Dit?”
“Tidak merasa,” jawabnya setengah nyinyir.
Aku tertawa di dalam hati. Ini terlalu kekanak-kanakkan. Tapi, ya sudahlah. Aku tahu Dito sedang cemburu kepadaku. Itu artinya dia benar-benar mencintaiku.
“Aku tidak cemburu,” ujarnya. Wajahnya tampak cemberut. Dia tidak mau mengakuinya.
“Serius?” pancingku.
“Sedikit.” Dito tersenyum. Dia menyunggingkan senyum. Manis sekali.
“Banyak pun tidak apa-apa.”
“Hai!” kalimat Dito tidak selesai. Aku segera mendaratkan ciuman di bibirnya. Dia terengah, sementara aku mendesah, menikmatinya.
“Thanks, Daddy.” Setelah beberapa lama aku melepaskan ciuman itu.
Aku terperanjat, dering ponsel membuatku kaget. Nomor baru, aku tidak mengenalinya.
“Hallo!” sapaku. Tidak ada jawaban. Hanya dengung suara angin, yang aku pikir itu kipas angin.
“Hallo! Dengan siapa di sana?” Aku mengulangi sapaanku. Masih sama. Tidak ada jawaban, hanya dengung kipas angin. Aku menunggu beberapa menit.
Hampir aku menutupnya. Suara seorang lelaki, sepertinya ragu-ragu, terdengar. “Ervina?”
Aku mengerutkan dahi. Suara itu terlalu asing di telingaku. “Ya. Ini aku, Ervina. Ada yang bisa aku bantu?”
Hening beberapa saat. Aku semakin penasaran siapakah lelaki itu.
“Aku ingin berteman denganmu,” ucapnya ragu-ragu. Aku tertawa. Apa-apaan ini? Aku pikir ini hanya sebuah lelucon konyol, hampir aku menutupnya. Ternyata tidak. Ini serius.
“Sudah lama aku ingin menjadi temanmu. Hanya saja, aku tidak cukup punya keberanian. Sepanjang hari aku memikirkanmu,” ujarnya membuatku kaget.
“Teman? Kau siapa? Apa aku mengenalmu?”
“Sebelumnya tidak. Aku mengobrol denganmu tadi.”
“Kau?” Ini mengejutkan. Lelaki itu. Dari mana dia tahu nomor teleponku?

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices