Hopeless Cries

Reads
221
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

10. Apakah Aku Menyukainya?

DITO masih belum datang seperti yang dia janjikan. Anehnya, aku tidak dibuatnya resah. Hal lain telah mengalihkan perhatian itu: Andro.
Angin berembus kencang. Daun-daun dan ranting kering berjatuhan. Usianya mungkin berakhir sampai di situ. Aku tengah membaca buku di taman sekitaran kampus. Tidak ada
Sebenarnya tidak benar-benar sedang membaca. Pikiranku jauh berkelana di antara kata-kata.
Andro yang masih kupikirkan, walau pada kenyataannya dia jarang berbincang denganku belakangan ini. Kemarin-kemarin aku yang mencoba menghindarinya—perempuan yang bersamanya saat itu membuatku kesal. Sekarang dialah yang melakukan sebaliknya. Dia sedang sibuk, terkaku. Atau hal lain yang membuatnya banyak menghabiskan waktu di luar kampus.
Aku mencoba memakluminya. Sekali-kali aku meneleponnya, masih diangkat olehnya. Juga pesan-pesan singkat, dia pun masih mau membalasnya. Aku tahu itu artinya apa.
Andari—setelah pertemuan di halte—menjadi sangat dekat. Dia kerap menceritakan banyak hal perihal lelakinya. Masih menyembunyikan identitasnya, kecualinya menyebutnya dengan inisial Mr. PW. Aku terkikik, lucu, PW yang kubayangkan artinya ‘posisi wuenak’, kontan Andari pun ikut tertawa.
Aku sedikit lega. Inisial lelakinya Andari PW, bukan AN, AD, AS, atau apa pun yang ada huruf A-nya. A yang kupikirkan, mungkin saja untuk nama Andro. Tapi ternyata bukan dia, sepertinya.
“Dia mengajakku makan malam. Semalam.” Andari membuka percakapan. Aku menutup buku yang tengah kubaca lantas memandang wajahnya yang berbinar, dilanda keceriaan.
“Luar biasa,” ujarku. “Setelahnya apa yang kalian lakukan?”
“Dia mengajakku nonton.”
“Serius? Wow ini keren.” Aku ikut antusias.
“Iya. Aku benci film horror. Demi dia, aku rela melakukannya.”
“Let me guess. Kau ketakutan sepanjang adegan, bukan?”
“Tentu saja tidak.” Andari mengulum senyum, ada sesuatu yang menggelitik perasaannya.
“Sepanjang adegan, dia mendekapku, sementara mataku terpejam, tentu saja telingaku aku sumbat dengan kapas. Wangi tubuhnya membuat darahku berdesir-desir,” terangnya panjang lebar.
Aku membayangkan adegan itu dan melongo, lantas berdecak kagum. “I see. So sweet,” ujarku pada akhirnya.
“Kalian pasangan yang beruntung,” ujarku tanpa kusadari. “Sepertinya kau harus memperkenalkan lelaki itu padaku, aku ingin mengenalnya.”
“Masih belum,” jawabnya, membuatku sedikit kecewa. “Dia masih belum mengatakan cinta kepadaku.” Sekali ini Andari yang tampak sedikit kecewa.
“Apa cinta harus dikatakan?” pancingku.
Andari menatapku, memastikan pertanyaanku itu serius. Aku mengangguk.
“Bagiku, entah bagi perempuan lain, cinta harus dikatakan. Takutnya kalau tidak dikatakan, kepastian itu tidak ada. Aku menganggap dia cintaku, bagaimana kalau anggapannya tidak seperti itu? Aku takut hal seperti itu terjadi.”
Ada benarnya. Aku yakinkan itu.
“Kalau aku jadi kau, aku akan memancingnya agar dia mengatakannya dengan segera,” kataku.
“Akan aku usahakan. Secepatnya kalau bisa.”
“Good job, Andari. Lakukan.” Aku menyemangatinya. Dia tersenyum.
Beberapa lamanya kami mengobrol. Seperti teman lawas yang dipertemukan kembali. Banyak topik yang kami bicarakan, tentu saja seputar topik perempuan, bukan hal lain. Dari mulai asmara, teman, mantan, hingga tipe-tipe lelaki yang layak dijadikan kekasih.
Sangat menyenangkan.
***
Bila Dito tidak benar-benar datang seperti yang dijanjikannya, aku harus memantapkan diri: melupakannya. Banyak hal yang bisa kulakukan tanpa kehadirannya. Aku bisa fokus kuliah tanpa harus dibebani pertanyaan kapan dia kembali. Aku bisa melanjutkan hidup tanpa harus terus berharap. Lalu, tentu saja aku akan memperjelas statusku dengan Andro, sebelum semuanya begitu terlambat.
Masih satu minggu lagi dari waktu yang Dito sepakati. Tidak ada kabar berita hingga saat ini. Menunggu terkadang membuatku kesal. Aku bosan atas semua ini.
Beberapa hari ini Andro tidak terlihat. Setiap kali memandang ujung koridor, tempat mahasiswa-mahasiswa berjalan, aku kerap berharap, bahwa salah satunya adalah Andro. Itu tidak terjadi. Andro benar-benar tidak nampak.
Bukan hanya Andro yang hilang begitu saja, Andari pun demikian. Dia jarang terlihat ngampus. Apakah ini ada hubungannya? Aku menepiskan kecurigaan itu. Aku pernah bertanya kepada Andari bahwa selama ini aku tidak pernah memergokinya jalan di kampus, bahkan di mana pun, dengan lelakinya. Andari menjawab bahwa lelakinya tidak ingin melakukan itu. Pertemuan di rumah atau resto atau tempat-tempat romantis lainnya sudah lebih dari cukup. Ini hanya sementara, bila dia sudah menyatakan cintanya, Andari akan memaksanya. Bukankah cinta itu adalah kebahagiaan? Kenapa harus menyembunyikannya? kata Andari.
Aku menelepon Andari untuk memastikan. Andari mengangkatnya dan mengatakan bahwa dirinya sedang berlibur di suatu tempat—dia merahasiakan nama tempat itu untuk sebuah alasan—bersama lelakinya. Aku ikut senang mendengarnya.
Sementara Andari mengangkat telepon dariku, Andro tidak melakukannya. Berkali-kali aku meneleponnya, salurannya terhubung pada kotak mailbox. Aku bertanya-tanya, untuk lantas menghibur diri sendiri bahwa Andro sedang sibuk dengan tugas kuliahnya dan tidak mau diganggu.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices