by Titikoma
9. Cigarette In My Mouth
AKU melakukannya lagi. Merokok. Dengan sembunyi-sembunyi. Tidak di depan Mama.
Pikiranku sedang kacau. Pelarian seperti ini pada akhirnya kulakukan.
“Apa kabar?” Lelaki itu muncul tanpa kusadari di hadapanku. Dia begitu kaget ketika melihat sebatang rokok terselip di jariku.
“Apa aku melewatkan sesuatu hal?” tanyanya. Dia segera duduk di sampingku. Menatapku penuh kecemasan.
“Bahkan mukamu jauh lebih mengerikan dari seorang yang sedang frustrasi.” Dia memegang tanganku dan menarik wajahku lebih dekat ke arahnya untuk saling berhadapan. Hanya terpisah beberapa senti saja. Bahkan, aku yakin dia bisa mencium bau nikotin yang tersisa di dalam mulutku. “Apa yang terjadi, Ervina?”
“Tidak ada,” jawabku sedikit panik. Aku tidak bisa membohonginya sekali ini. “Aku tahu kau bertanya kepadaku karena aku merokok.”
“Tidak biasanya,” lirihnya.
Andro tidak menyukai perempuan merokok, seperti juga Dito. Padahal aku sudah mati-matian sembunyi agar tidak seorang pun tahu bahwa aku sedang merokok. Nyatanya semua itu gagal, Andro menangkap basah apa yang sedang kulakukan.
“Tidak seperti yang kau pikirkan.”
“Tetapi seperti yang aku lihat,” simpul Andro. “Kau sedang dalam masalah sepertinya. Jika kau mau, aku bisa membantumu.”
“Sayangnya tidak, Dro.”
“Berarti benar kau sedang terlibat masalah, Ervina.”
Aku tertohok dan tidak bisa mengelak. Pada akhirnya Andro tahu bahwa aku sedang terlibat masalah.
“Rokok hanya membuatmu tenang sementara, Er. Setelahnya, kau akan kembali pusing.”
Aku tidak menanggapinya. Ada benarnya. Tidak harus kudebat.
“Aku masih temanmu, ‘kan?”
“Ya. Tentu saja, Dro.”
“Jadi katakan masalahmu apa?”
“Tidak untuk saat ini,” jawabku.
“Baiklah. Nomor teleponku masih sama. Hubungi aku bila kau butuh saran.”
Aku tidak mungkin mengatakan masalahku kepada Andro. Alih-alih membantuku, Andro akan sakit hati karenanya.
Hari ini aku menyadari bahwa perhatian Andro jauh lebih besar dibanding dengan apa yang kuperkirakan. Kalau saja Dito tidak tiba-tiba muncul, pertimbangan untuk menaikkan level hubungan aku dengannya, mungkin akan kupikirkan.
Dalam hal ini, aku memperlakukan Andro sangat keterlaluan. Dia menyukaiku, itu sudah pasti. Sementara aku masih membatasi diri, terutama setelah kemunculan Dito.
Aku sangat egois, pikirku.
“Kau merokok lagi?” Seseorang bertanya di belakangku. Suaranya sangat aku hafal. Bukan Dito, bukan pula Andro. Itu adalah suara Papa.
Aku terkejut. Bukankah Papa sudah meninggal? Kenapa beliau tiba-tiba muncul dari belakangku?
Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Aku pikir, pertemuanku dengan Papa hanya sebatas mimpi saja, tetapi memiliki arti yang jauh lebih besar: Papa tidak menginginkan aku merokok lagi.
***
Aku keluar dari rumahnya dengan tergesa-gesa. Sama sekali Andro tidak mengetahui kedatanganku. Ketika aku membuka pintu, Andro tengah mencium kening perempuan itu dengan sangat mesra. Aku tidak berhak marah, harusnya. Bukankah aku selalu menganggap bahwa Andro itu hanya sekadar teman, padahal Andro menginginkannya lebih?
Aku hanya berdiri nanar di depan pintu sementara adegan di hadapanku begitu romantis: tangan Andro tengah bertualang di atas puncak kepala perempuan itu. Aku tidak tahu siapa perempuan itu. Mungkin aku mengenalnya, mungkin pula tidak—mereka berdua duduk di sofa dengan tubuh keduanya membelakangi bingkai pintu. Tentu saja mereka tidak melihatku berdiri mematung di sana.
Rambutnya hitam berkilau. Aku masih membayangkan perempuan itu. Ada rasa sakit yang menjalar. Niatku ke rumah Andro untuk berbagi keresahan, nyatanya semakin membuatku jauh lebih resah.
Darahku berdesir hebat. Sesuatu yang hangat mengalir begitu saja dari sudut kedua mataku. Aku menangis. Aku menangis untuk apa? Sama sekali tidak bisa kupahami.
Esoknya aku berusaha menghindari bertemu dengan Andro. Andro yang tidak paham hanya bisa bertanya-tanya dalam hatinya.
“Andro mencarimu sepanjang hari tadi,” kata Lisa.
Aku pura-pura tidak mengetahui situasinya. “Kenapa mencariku? Apakah ada masalah penting yang menyangkut aku dan dirinya?”
“Dia tidak mengatakannya, Ervina.”
“Tidak biasanya,” ujarku tidak berminat.
Aku belum mengatakan apa-apa kepada Lisa, perihal pertemuanku kembali dengan Dito. Lisa sahabatku, tetapi terkadang dia tidak bisa memendam sebuah kekesalan. Karena itulah aku tidak mengatakan kepadanya.
Lisa tahu perubahan sikapku. Namun, dia tidak berusaha untuk mencecarku dengan banyak pertanyaan.
“Kau pacaran dengan Andro, ya?” tanyanya. Aku terkejut. Apakah kedekatanku dengan Andro selama ini terpantau jelas oleh sahabatku ini?
“Gila kau!” sangkalku. Lisa terkikik.
“Kenapa tidak?” tegasnya. “Aku kira, Dito sama Andro tidak jauh beda. Pacarin saja,” perkataan Lisa membuatku mual.
“Kau ini,” jawabku.
Aku pacaran sama Andro? Kenapa baru kali ini aku memikirkannya? Fakta bahwa aku dekat dengan Andro tidak terbantahkan. Aku mengingat perempuan itu, dadaku langsung bergemuruh hebat. Entah cemburu atau apa pun itu.
Andro terus mencariku, esok dan esok harinya lagi, terus menerus. Aku terus berusaha menghindari bertemu dengannya.
Dia meneleponku berkali-kali, namun tidak pernah kuangkat. Dia mengirimiku banyak pesan singkat. Aku tidak pernah membuka-buka pesan itu, dan langsung menghapusnya.
“Kau ini kenapa sih, Er?” sekali ini aku tidak bisa menghindar. Andro berhasil menemuiku ketika aku lengah.
“Aku kenapa?” Aku tersudut, tetapi berusaha memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaannya itu. “Tidak ada. Aku baik-baik saja, kok.”
“Bukan itu!” Andro setengah berteriak. Aku tahu dirinya sedang sangat kesal. Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari wajah merah padamnya, agar sorot mata kami tidak saling bertemu. “Kau sedang berusaha menghindar dariku.” Sekali ini intonasi suara Andro mulai melembut.
“Maafkan aku. Aku tidak sedang menghindari siapa pun, termasuk kau. Aku sedang banyak pikiran. Aku tidak ingin pikiranku itu menyulut kekesalanku hingga orang-orang yang kutemui menjadi pelampiasan kekesalanku ini,” terangku. Andro tidak menjawab. Setelahnya, hening.
***
Perempuan itu berbaju merah. Dia berdiri tepat di sampingku. Mobilku sedang dalam perbaikan di bengkel, oleh karena itu aku memutuskan bahwa hari ini aku menumpang bus untuk pulang ke rumah.
Dia berwajah cantik dengan senyuman begitu menawan. Seraya menunggu bus, kubunuh waktu dengan mengajaknya mengobrol—dia memulainya dan tidak mungkin tak menimpalinya. Dia perempuan yang ramah. Bahkan, dia yang menyapaku untuk kali pertama.
Perempuan itu kuliah di universitas yang sama denganku. Hanya beda jurusan. Dia anak teknik informatika, sementara aku hukum. Mengobrol dengannya begitu menyenangkan. Dia mengatakan bahwa dirinya sedang dekat dengan seorang lelaki satu kampusnya. Dia mengatakan bahwa lelaki itu begitu tampan, wajahnya seperti aktor-aktor drama Korea.
Ketika ia mengatakan lelakinya, pikiranku langsung terbayang wajah cute Andro, sang Lee Min Ho. Aku tersenyum sendiri tanpa kusadari. Perempuan itu mengibaskan tangannya di depan mukaku. Aku terperanjat.
“Kenapa tersenyum sendiri?’ tanyanya. Bus yang kami tunggu belum muncul, sementara awan mendung di langit sana mulai bergerombol. Sebentar lagi, tampaknya hari akan hujan.
“Lelakiku juga mukanya seperti aktor drama Korea,” jawabku meluncur begitu saja.
“Serius?”
“Ya, tentu saja,” jawabku. Pikiranku langsung terbang ke sosok Andro, kemudian berputar haluan ke sosok Dito. Aku terperanjat. Kenapa bisa begini?
Perempuan itu tidak menyebutkan nama semenjak tadi. Aku enggan untuk memperkenalkan diriku terlebih dahulu.
“Aku Andari,” ucapnya pada akhirnya, ketika bus yang kami tunggu berhenti di depan kami. Kami masuk dan melanjutkan percakapan di dalam bus, sepanjang perjalanan.
Aku memikirkan banyak hal akan apa yang dikatakan oleh Andari di dalam bus selama perjalanan tadi. Katanya lelaki yang sedang dekat saat ini orangnya begitu romantis. Beberapa kali, Andari dikiriminya buket bunga: kadang mawar, lili, atau campuran keduanya.
Aku membayangkan bahwa Andro pernah melakukannya untuk diriku. Beberapa kali, dan aku pikir, Andro tidak kalah romantis seperti lelaki yang diceritakan oleh Andari.
Dia suka bercanda, kata Andari lagi. Betapa hari-harinya belakangan ini diwarnai dengan canda tawa. Bagi Andari, hidupnya kini jauh dari kata membosankan.
“Jokes-nya itu sangat menghibur,” katanya.
“Aku pernah tertawa sampai menangis saking lucunya cerita itu,” katanya lagi.
“Aku selalu menunggu dirinya menceritakan banyak hal, yang aku pikir akan selalu lucu,” pungkasnya. Tujuan pada akhirnya yang memisahkan kebersamaan kami. Aku turun terlebih dahulu.
“Bye, Andari.”
Aku masih memikirkannya. Entahlah apa sebabnya hingga setiap apa yang dikatakan oleh Andari membawa pikiranku tertuju pada sosok Andro. Tidak ada hubungannya sebenarnya. Akan tetapi, definisi fisik yang diutarakan Andari, perihal lelakinya, ada semua pada diri Andro. Apa mungkin lelaki seperti Andro, mungkin juga Dito, itu banyak di dunia ini?
Sampai obrolan kami berakhir, Andari belum mau menyebutkan nama lelakinya. Dia bilang, dirinya masih ragu kalau lelaki itu mendekatinya bukan karena menyukainya. Bisa jadi lelaki itu menempatkan dirinya hanya sekadar ingin berteman. Tidak lebih. Oleh sebab itulah Andari masih merahasiakan nama lelaki itu.
Aku paham maksudnya. Mungkin Andari malu bila kenyataannya tidak seperti yang dia harapkan.
“Lihat saja nanti. Kalau dia menembakku, orang kedua yang akan kuberitahu, tentu saja dirimu,” janjinya padaku. Aku hanya mengangguk. Aku baru dikenalnya, tetapi dirinya langsung percaya bahwa aku teman yang baik.
Malam berjalan pelan. Aku masih belum mengantuk. Kenyataan bahwa Andari memiliki teman dekat—untuk saat ini—membuat aku sedikit iri. Aku memikirkan Andro, walau pada kenyataannya aku sedang dilanda kecewa tanpa disadari oleh yang bersangkutan.
“Apakah Andro sudah tidak berminat menaikkan level hubungannya bersamaku?” tanyaku dalam hati. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Andro, toh, aku yang telah membuat posisinya seperti itu.
***
Aku memutuskan keluar rumah tatkala jam dinding masih menunjukkan angka lima tepat. Bayanganku perihal lelakinya Andari membuatku terbangun jauh lebih cepat. Padahal, aku tertidur sangat larut.
Pagi masih perawan. Sisa hujan semalam membuat pekarangan rumah basah. Butiran air yang terjebak di ujung daun berkilauan diterpa cahaya lampu. Aku menjejakkan kaki, diluar aroma lembab mengambung di penciumanku. Udara masih segar. Burung-burung sudah terbangun dan bercericit.
Aku baru menyadari bahwa terbangun di pagi hari membuat tubuhku jauh lebih segar. Aku berniat untuk sekadar jalan-jalan seraya menikmati udara pagi yang sejuk. Bukan jogging, karena aku tidak mengenakkan pakaian sport. Aku mengenakan piyama motif bunga-bunga berwarna biru, rambutku kubiarkan tergerai begitu saja.
Orang-orang sudah banyak yang berlalu lalang. Ini Jakarta. Bukankah kata orang-orang bahwa Jakarta itu tidak pernah mati? Ada benarnya.
Aku terus berjalan sepanjang trotoar. Para pedagang yang menjajakan dagangannya di atas roda mulai riuh. Beberapa orang sedang asyik berbincang sementara di hadapannya gelas-gelas kopi mengepulkan asap tipis.
Aku mendekati lapak penjual gorengan. Semalaman tadi, aku membiarkan perutku tidak terisi. Perutku mulai protes.
“Apa aku mengenalmu?” Seseorang di belakangku mengajakku berbincang. Suaranya tidak begitu asing. Perlahan kutolehkan wajahku, sementara tanganku masih menggenggam bungkusan berisi gorengan.
“Andro!” pekikku. Lelaki itu tersenyum. Memang Andro. Dengan kaus bola dan training berwarna biru. Berdiri seorang diri. Hatiku membuncah, senang, dan melupakan kejadian lalu.