Hopeless Cries

Reads
221
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

11. Sweet Memories

SELAMA aku berpacaran dengan Dito, banyak hal berubah dalam diriku. Aku yang pecandu rokok harus benar-benar menghentikannya, walau pada kenyataannya Dito tidak memaksaku untuk melakukannya. Murni karena aku menginginkannya.
Dito tidak merokok, kupikir lucu bila aku merokok di hadapan Dito sementara lelakiku itu tidak merokok. Apa kata orang nantinya.
Aku sedikit tomboi. Itu faktanya. Jarang aku mengenakan riasan wajah, kecuali bila ada acara-acara resmi. Sepanjang hari aku membiarkan wajahku tanpa riasan, bedak tipis sekalipun, kadang-kadang. Tanpa pewarna bibir. Aku membenci perempuan berbibir merah menyala. Apalagi harus mengenakannya.
Seiring waktu aku mulai mencobanya. Dito menyukai perempuan yang merias diri, walau tidak secara langsung mengatakannya padaku. Aku sadar diri. Apa salahnya aku menyenangkan hati lelakiku sendiri.
Aku mencobanya, dan cukup sulit. Berkali-kali menatap diri di depan cermin, aku tersenyum, betapa anehnya wajahku dengan lipstik dan maskara. Sekali waktu aku menganggap diriku adalah topeng. Ini sangat menakutkan.
Aku melukis alisku dengan pensil alis. Setelah kulukis aku menghapusnya, begitu pun dengan bedak, memakainya lantas menghapusnya kemudian. Kulitku bagus dan putih, tidak memakai bedak sekalipun tidak masalah sebenarnya.
“Kau tampak cantik hari ini,” puji Dito kala itu. Aku tersipu malu. Ini hari pertama aku merias diri—aku melakukannya dengan susah payah.
“Thanks, Daddy. Do you like me, now?’
“Tidak hari ini saja,” jawab Dito. “Selamanya. Sepanjang usia.”
Perasaanku melayang karenanya. Aku berharap perasaan itu terus hinggap dan jangan jatuh lagi. Aku tersenyum.
“Apa kau melakukannya demi aku?” tanya Dito. Apa aku harus menjawabnya, iya.
Aku tertegun sesaat, memikirkan jawabannya. “Bisa jadi iya, bisa juga tidak,” jawabanku terdengar mengambang.
“Aku tidak mau kau melakukannya demi aku,” rutuk Dito seolah tidak suka. “Aku ingin kau melakukannya demi diri sendiri,” lanjutnya lagi. “Cantik itu bukan paksaan.”
Aku tergeragap. Iya juga, sih. Menjadi cantik bukan atas dasar paksaan, harus atas kesadaran diri sendiri.
Mama tersenyum senang melihat perubahan yang terjadi padaku, almarhum Papa juga sepertinya, begitu juga dengan Papa tiriku (aku menyebutnya juga dengan sebutan Papa).
“Nah, begitu dong, anakku. Kau jauh lebih cantik,” puji Mama.
“Mama. Apaan, sih.” Aku tersipu malu. Dito telah berpengaruh atas perubahan besar yang terjadi dalam diriku.
Aku terperanjat ketika bunyi klakson terdengar. Aku tidak sadar bahwa aku sedang terperangkap di jalan raya sementara lampu lalu lintas sudah beralih dari warna kuning menjadi hijau.
Aku melamun. Mengenang kejadian lalu, ketika Dito masih bersamaku.
“Ah, bahkan kabarnya kini, aku sama sekali tidak tahu,” batinku.
Kulajukan mobilku. Hari ini aku sedang bersemangat untuk pergi ke kampus. Aku harap, Andro sudah kembali, siapa tahu Andari juga sudah pulang.
Aku ingin membicarakan banyak hal kepada Andari. Aku sedang butuh teman untuk berbincang. Itu faktanya. Kuharap itu akan terjadi.
***
Aku dilanda kebimbangan selama berada di kampus. Andari masih belum nampak batang hidungnya. Begitupun dengan Andro. Entah pikiranku saja atau hal lain, aku mencurigai kepergian mereka berdua ada hubungannya. Apa yang dimaksud Andari dengan MR. PW itu Andro? Pertanyaan itu telah merusak konsentrasi belajarku. Apa yang dikatakan oleh dosenku sama sekali tidak bisa kutangkap.
Hari ini pikiranku sedang kacau. Tidak satu pun teman yang bisa kuajak bicara. Lisa, entah ke mana dia, selama seminggu ini, bahkan aku tidak pernah melihatnya.
Aku memutuskan untuk pergi ke Oriental Cafe sendirian. Berharap, menu makanan di sana bisa mengubah suasana hatiku saat ini. Nyatanya aku salah. Kenangan perihal Dito muncul tiba-tiba hingga membuat hatiku dibebat oleh kesedihan berlipat. Fakta bahwa beberapa kali pertemuan terjadi di kafe ini, membuat kenangan ini tumbuh begitu saja. Mengingat Dito, ada sedikit harapan yang masih bisa kupertahankan bila dia benar-benar datang, menepati janji, lantas menjalin kembali hubungan yang sempat terhenti.
Dito pintar memasak, menu makanan yang kusantap sekali ini, kurang lebih mendekati seperti yang pernah dimasak Dito. Cita rasa masakannya kuat sekali, seolah dia seorang chef profesional.
Aku menggigit steik, pikiranku langsung teringat dengan steik yang dibuat oleh Dito, di satu kesempatan, ketika dirinya berkunjung ke rumahku. Kami sekeluarga terbiasa menyimpan daging sapi segar di dalam freezer. Aku tidak menyuruhnya untuk membuatkanku steik. Dia berinisiatif. Bermodal daging sapi, bumbu-bumbu seadanya, jadilah steik rumahan yang rasanya sangat identik dengan steik restoran hotel bintang lima, seperti yang aku makan sekarang.
Ketika aku memutuskan untuk melupakan Dito, di kepergian yang pertamanya, aku merasa akan banyak kehilangan yang berhubungan dengan dirinya, termasuk kepintarannya dalam memasak. Kenyataannya memang demikian.
Ketika aku memutuskan untuk melupakan sosok Dito, Andro muncul begitu saja seolah diutus Tuhan untuk menggantikan Dito. Sayangnya, rasaku masih tersisa untuk Dito. Rasa itu memudar seiring dengan perjalanan waktu. Aku sudah memantapkan diri untuk memberi kesempatan kepada Andro, yang aku pikir sedang melancarkan sinyal-sinyal asmara kepadaku, ketika Dito muncul kembali.
Rasa yang hampir punah terhadap Dito tiba-tiba tumbuh kembali seumpama benih yang tersiram air hujan, apalagi Dito berjanji untuk kembali setelah urusannya selesai. Sebagai perempuan yang mencinta, aku memutuskan mengikuti keinginannya. Perempuan seperti aku terlalu rapuh, walau pernah disakiti, tetap saja mau memaafkan. Perihal Andro pada kesempatan selanjutnya aku memberikannya jarak. Andro seolah tahu dengan apa yang kulakukan.
Aku mulai menyukai Andro padahal. Namun, daya tarik Dito jauh lebih besar dibanding lelaki mana pun.
Aku kecewa. Dito tidak memberiku sedikit kabar, padahal aku menantikannya, walau sekadar pertanyaan ‘apa kabar’. Di luar Dito yang tidak kunjung muncul, rasaku kepada Andro lambat laun mulai kupupuk. Mungkin, suatu saat aku akan mengatakannya terus terang. Aku tidak mau menjadi temannya lagi, seperti yang aku inginkan. Mungkin lebih. Menjadi kekasih hati misalnya.
Aku terlalu naif? Terkadang cinta membuat kita berubah menjadi seorang yang naif. Jadi, apa salahnya?
Aku tertegun ketika seorang lelaki muncul di pintu kafe. Itu Andro, dengan setelan casual: v-neck shirt, dipadu celana pendek tiga perempat berwarna krem. Andro memakai kacamata hitam. Hampir aku melambaikan tangan ketika seorang perempuan muncul dan mensejajari langkah Andro. Aku tahu perempuan itu: Andari. Apa yang sedang mereka lakukan di sini?
Aku menatap laju mereka berdua. Mereka mengambil tempat duduk di sudut kafe, membelakangi tempat dudukku. Pertanyaan-pertanyaanku perihal mereka berdua seakan terjawab hari ini. Ternyata mereka ... bahkan aku tidak berani meneruskan dugaanku. Jangan-jangan ....
Aku ingin menghampiri mereka berdua untuk meminta penjelasan. Sayangnya, setelah aku berpikir, bila aku menanyakan hal demikian, apa urusannya dengan mereka? Toh, Andro temanku—seperti yang kuinginkan pada hari-hari yang lalu. Andari pun temanku juga. Bila mereka memutuskan untuk jalan berdua sebagai kekasih, apa salahnya?
Dadaku bergolak hebat. Rasa panas meleleh di sudut mataku. Aku mengendap dan berusaha keluar dari dalam kafe tanpa diketahui oleh mereka. Ini jalan terbaik. Seandainya ada kesempatan, aku akan bertanya kepada Andari perihal lelaki yang bersamanya di Oriental Cafe—dengan pura-pura aku tidak mengenali Andro.
“Aku berada di Oriental Cafe kemarin sore. Aku pikir kau juga di sana kemarin bukan?” Andari sedang membaca buku di perpustakaan ketika aku menghampirinya. Ini hari pertama aku melihat Andari setelah sekian hari. Andari tersenyum sebelum menjawabnya.
“Iya. Aku baru pulang dari bandara, kelaparan, lantas makan di sana. Steiknya juara,” jawab Andari. Keceriaan kemarin sore masih tertahan di bola matanya. “Kau ada di sana juga?” tanyanya setelah menyadari bahwa kalimatku menerangkan bahwa diriku ada di sana juga saat itu.
Aku mengangguk. “Aku tidak melihatmu sama sekali. Kenapa kau tidak menyapaku, Er?”
“Hampir. Tetapi, tidak jadi kulakukan. Kau bersama lelakimu, aku tidak ingin mengganggu kehangatan suasana kalian,” jawabku. Aku masih membayangkan wajah Andro yang tersenyum kepada Andari dengan senyuman hangat.
“Aku ingin memperkenalkannya kepadamu. Bukankah kau orang kedua yang akan kuberitahu, setelah mamaku, tentunya. Dia sudah menyatakan cintanya. Aku menerimanya dengan senang hati.” Ada yang memedih di dalam diriku. Aku pikir ada yang salah dengan diriku. Sangat salah. Aku sangat terlambat untuk mengakui bahwa aku menyukai Andro.
“Syukurlah. Selamat Andari, kau begitu beruntung.” Ketika mengatakannya, rasa pedih itu kini menjalar ke seluruh bagian tubuhku. Aku berusaha menahan air mata yag tiba-tiba menonjok-nonjok kedua sudut mataku. Haruskah aku menangis di hadapan Andari?
Aku segera pamit kepada Andari. Takut hal-hal yang tidak diinginkan olehku terjadi. Menangis di hadapannya akan membuat Andari bertanya-tanya.
Aku bergegas menuju toilet. Di sana, air mataku tidak bisa kubendung lagi. Tumpah, menderas, lantas menggenang. Aku terlambat menyadari bahwa aku benar-benar menyukai Andro. Andro pernah berharap, dan betapa bodohnya aku mengabaikannya hanya karena seorang Dito, yang hingga saat ini sama sekali tidak kuketahui rimbanya.
Penyesalan selalu datang terlambat.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices