Hopeless Cries

Reads
221
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

17. Berhenti Menyalahkan Diri

SELEPAS pertemuan terakhir dengan Andari, aku kerap dibayang-bayangi perasaan bersalah. Andari tahu kalau aku masih belum menerima cinta Andro walau dirinya sudah melepaskannya dengan tulus. Bukan, bukan itu yang kini mengganduli pikiranku. Hanya saja, aku masih belum yakin bisa menjalani hubungan dengan Andro, sementara Dito yang hingga kini masih belum jelas keberadaannya, adalah saudara sekandung lelaki berengsek itu.
Aku bisa saja mengatakan iya dan bersedia pergi ke mana pun dengan Andro bila sudah menikah kelak. Namun, apakah diriku yakin bahwa setelah ada dalam kehidupan Andro, Dito tidak akan bersinggungan lagi dengan kehidupannya? Aku sama sekali tidak yakin. Cepat atau lambat, Dito, sebagai kakak iparku, akan muncul. Lantas apa yang akan kukatakan bila kelak Dito muncul dan tahu kalau kekasih adiknya itu adalah pacarnya—aku sudah menganggap diriku tak ada lagi hubungan dengan Dito, tetapi sepertinya Dito masih menganggapku pacar, walau setelah kegoblokan yang telah dilakukan olehnya.
Aku pusing. Aku terlalu takut akan hal, yang, belum tentu akan terjadi.
“Kau tampak jauh lebih tua dari umurmu, Er. Apa yang terjadi?”
Andro kerap datang ke rumahku, selepas kebebasan yang didapat setelah Andari melepaskan diri. Sekadar berbagi cerita, atau menghiburku. Sebenarnya dia tahu akar permasalahan yang membuatku terlihat memprihatinkan, akan tetapi dia tidak mau memaksaku untuk mengatakannya.
“Aku tidak apa-apa,” ujarku. Kebohongan yang kuperagakan seharusnya tidak perlu kulakukan. Andro selalu tahu kalau aku tengah berbohong.
“Kau butuh liburan sepertinya,” pancing Andro.
“Aku tidak sedang berminat pergi ke mana pun, Dro.”
“Nggak perlu ke luar kotalah, Er. Ke Monas, atau Ancol, atau Marina Beach. Gimana?”
“Apanya, Dro?”
“Liburan.”
“Tidak.”
“Sama sekali?”
“Sepertinya iya, Dro.”
“Baiklah kalau tidak mau. Izinkan aku pergi bersama Andari kalau begitu.”
“Dro. Kau serius?”
“Tentu saja.”
“Bukannya Andari ...?”
“Stop! Hentikan. Tidak usah kau lanjutkan. Aku hanya memancingmu. Kau tidak cemburu?”
“Untuk apa aku cemburu? Toh, kau bukan ....”
“Pacar?”
“Seperti itu.” Aku tersenyum melihat sedikit kemarahan yang terpancar di wajah Andro.
“Kau serius tidak mau jadi pacarku, Er?”
“Hahaha. Entahlah.” Aku terbahak. Konyol sekaligus ini lucu.
“Kalau kau nggak mau, aku mau kembali ke ....”
“Andari? Sialan kau, Dro!” Aku kena jebakannya. Andro tersenyum, sementara wajahku bersemu merah. Malu.
“Gimana, Er?”
“Baiklah kalau begitu.”
“Sip.”
“Kapan?” tanya Andro antusias.
“Kapan-kapan.” Aku membalasnya.
“Sial!” rutuk Andro. Aku terkikik geli.
“Er ....”
“Apa?”
“I love you. Bersediakan menjadi kekasihku?”
“Sial!” rutukku sekali ini. Hatiku berbunga, “Aku belum mau menjawabnya.”
“Baiklah. Kalau tidak bisa sekarang ... nanti sore saja.”
“Apanya, Dro?”
“Jawabannya.”
“Baiklah. Sore aku ke sini lagi.”
“Jangan!” teriakku.
“Kenapa?”
“Aku akan pergi.”
“Ke mana?”
“Ke mana pun. Ke tempat di mana aku tidak bisa dijumpai oleh siapa pun, termasuk kau, Andro.”
“Lakukan,” pungkas Andro. Kami terkikik atas candaan kami barusan. Ini tidak biasanya. Namun efeknya mampu membuat hariku ceria setelah kegelisahan yang sedari tadi menderaku.
***
Aku tidak bisa memejamkan mata. Bukan. Bukan karena suntuk atau depresi akan apa yang telah terjadi kepadaku, yang melibatkan Dito di dalamnya. Tidak sama sekali. Aku tidak bisa memejamkan mataku karena aku terlalu berbahagia. Bahagia akan apa yang telah dilakukan Andro terhadapku.
Andro menyukaiku. Itu sudah jelas. Andro mencintaiku juga. Harusnya, sudah sejak lama aku menerima cintanya. Andro jauh lebih menyenangkan dibanding dari yang kukira selama ini. Aku kerap berpikir, dulu. Dulu sekali. Bahwa di dunia ini lelaki paling sempurna adalah Dito, dengan segala kelebihannya. Dito tampan. Sudah pasti. Pengertian, ya, aku akui itu ... dan sangat romantis. Tetapi setelah sekian lama mengenal sosok lelaki lain, aku baru menyadari semua hal tentang Dito tidak seratus persen benar. Andro jauh lebih baik, lebih pengertian, dan tentu saja tidak kalah tampan dari Dito, bajingan itu.
Aku begitu nyaman di samping Andro. Itu tidak kusadari sebelumnya. Kini rasa nyaman itu kian terasa seiring waktu yang terus berjalan seiring intensitas pertemuan aku dengan Andro. Apakah rasa nyaman yang selama ini pernah kuabaikan adalah bukti nyata bahwa sebenarnya rasaku untuk Andro ada. Dulu mungkin kuabaikan. Sekarang apakah aku bisa melakukannya?
Andro begitu istimewa. Pernah aku berpikir betapa beruntungnya Andari bisa mendapatkan lelaki itu, sementara aku berusaha mengabaikannya. Hampir saja aku kecewa telah melakukan itu. Aku beruntung. Kenapa tidak mulai membuka hati sepenuhnya dan menerima cinta Andro? Aku berpikir, kemungkinan besarnya aku coba, iya.
Aku melakukannya. Semoga ini awal yang baik. Seharian tadi aku ada bersamanya: jalan-jalan, makan, berbincang perihal apa pun. Nonton, bercengkerama, saling bercerita kisah masa lalu masing-masing-makan lagi-jalan-jalan lagi. Betapa hari itu terlalu istimewa bagiku. Aku tidak bisa memejamkan kedua mataku. Kebahagiaan tadi tidak ingin cepat berlalu dalam pikiranku.
“Apa kau mencintaiku?” tanya Andro tepat ketika seorang badut menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna pink dengan pita warna merah, tadi siang ketika Andro muncul tiba-tiba dan memaksaku pergi saat itu juga.
“Belum,” jawabku sok jual mahal.
“Baiklah. Aku bertanya sekali lagi. Apa kau mau mencintaiku?”
“Untuk saat ini masih belum,” jawabku seraya tertawa.
“Baiklah.” Andro seolah memaksa. Dia mengambil kotak di genggaman tangan sang badut. “Untuk kali terakhir kubertanya, apakah kau mencintaiku?”
Sejenak aku terdiam. Degup dada ini terlalu sukar untuk kuredakan. “Iya. Aku pastikan, ya. Aku mencintaimu.”
Andro tertawa. Dia segera memberikan kotak itu kepadaku. “Jangan dibuka di sini. Malu. Entar saja, kapan-kapan kalau kau sudah siap.”
“Aku tidak suka menunggu,” ujarku dengan manja.
“Kalau begitu lakukan sekarang. Tapi, izinkan aku bersembunyi.” Andro bergegas pergi menuju rerimbunan semak yang ada di belakangku. Aku tertawa. Ini konyol. Kelakuan Andro sungguh konyol.
Aku membuka kotak itu. Sebuah gelang berwarna perak—aku memikirkan bahwa itu sepasang cincin, seperti kebanyakan yang orang-orang lakukan. Aku salah. Itu sebuah gelang, motif sulur dengan ujung daun hati saling bertaut. Ada namaku di sana, juga Andro.
“Kejutan!” teriaknya dari arah belakang, sekeluarnya dari rimbunan pohon perdu itu. “Would you marry me?” tanyanya.
Jeda sesaat muncul. Aku tidak langsung menjawabnya. Aku butuh waktu. Namun, waktuku tidak cukup banyak. Aku mencoba mempertimbangkannya dalam selintas waktu yang teramat cepat.
“I will.” Aku tidak harus menangguhkan momen seperti ini terlalu lama Lagi. “But, not yet,” lanjutku. “Aku masih belum mau kalau kuliahku terancam drop out.”
Kami tertawa. Apakah ini artinya aku telah menerima kehadirannya?
***
Dito keluar dari kamar hotel tepat ketika Rindra masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rindra yang merasa ada yang salah dengan Dito, pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia kembali dari kamar mandi, menengok ke dalam ruangan. Sepi. Ke mana Dito?
Rindra mencari-cari hingga ke balkon. Dito tidak di sana. Dengan dongkol, Rindra merapikan baju yang digantinya dari baju mandi ke setelan santai. Dia harus menguntit Dito hingga dapat.
Sepanjang koridor hampir tidak ada orang kecuali seorang remaja perempuan berumur sekitar enam belas tahunan yang tengah menggelendot mesra di bahu seorang lelaki yang lebih cocok menjadi bapaknya. Mereka berjalan setengah tertatih. Rindra pikir, sang lelaki itu tengah mabuk.
Rindra terus melangkah. Hampir dini hari. Udara yang dingin memaksa dirinya merapatkan pakaiannya. Dia masih belum menemukan ke mana Dito pergi.
“Apa Anda butuh sesuatu, Nyonya?” tanya seorang room boy yang berpapasan dengan Rindra sekeluarnya dari dalam lift.
Rindra tersenyum seraya menggeleng. Rindra hendak masuk ketika pertanyaan itu melintas. Ia berbalik, room boy itu hampir gegas ketika dia memanggilnya. “Tunggu, Dek.”
Lelaki itu masih sangat muda. Sekitar umur belasan tahun. Berbalik dengan sopan. “Ya, Nyonya?”
“Adek melihat seorang lelaki berkulit putih dengan mata sipit turun ke lobi?” tanya Rindra.
Room boy itu mengerutkan dahi untuk sekadar mengingat. Dia tersenyum. “Maksud Nyonya lelaki yang perawakannya mirip aktor drama Korea? Kalau tidak salah, dia sedang ngopi di resto hotel,” jawabnya. “Dia masih di sana ketika aku naik, Nyonya.”
“Baiklah. Terima kasih, Dek.”
“Sama-sama.”
Rindra menekan angka satu—resto terletak di sana—pada panel lift. Lift mendengung, sementara Rindra menekan kekesalan yang mulai naik. Apa sih yang ingin dilakukan oleh Dito malam-malam begini sementara ini adalah malam pertama mereka seusai resepsi tadi?
Lift terbuka. Rindra segera bergegas menuju resto hotel. Resto itu tidak sesepi yang Rindra perkirakan. Beberapa orang tengah asyik mengobrol dengan teman, kekasih, atau lawan bicaranya, sementara di hadapan mereka cangkir-cangkir kopi masih mengepulkan asap tipis yang menguarkan aroma kenikmatan yang kental.
Rindra memindai sekeliling. Hampir dirinya melewatkan orang yang dicarinya yang sedikit terhalang pohon bunga sakura imitasi yang berwarna merah muda, yang berdiri terlalu menjorok ke tengah ruangan di antara meja-meja. Rindra mendekat sementara Dito tidak menyadari kalau perempuannya itu tengah mengarah ke arahnya. Dito membelakangi arah kedatangan Rindra.
“Menunggu seseorang?” tanpa ba-bi-bu Rindra melontarkan pertanyaannya langsung ke pusat kecurigaannya.
Dito sama sekali tidak terlihat terkejut. Dia menyeruput kopinya sebelum menoleh. “Oh, kau. Aku kira siapa.” Dingin. Jawaban Dito tanpa ekspresi. Dia sama sekali tidak berusaha untuk menawari Rindra duduk.
“Jawab!” Rindra mulai marah. Pertanyaannya sama sekali tidak digubris.
“Boleh diulang?” betapa menyebalkannya Dito, pikir Rindra.
“Kau sedang menunggu seseorang!” jerit Rindra. Namun, Rindra sedikit menekan jeritan itu agar suaranya tidak terlalu keras. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian.
“Menunggu siapa?” jawab Dito kian menyebalkan.
“Dit!”
“Aku? Tidak. Tidak menunggu siapa pun.”
“Jangan bohong!”
“Duh.” Dito menatap perempuan yang tengah berang yang kini duduk di hadapannya, terhalang meja. “Kau bertanya apa menuduh, sih, sebenarnya?”
Rindra terdiam. Ini kian menjengkelkan.
“Istriku,” ujar Dito manis. Rindra tahu bahwa ini hanya sekadar cibiran. “Aku tidak sedang menunggu seseorang. Aku bosan di dalam kamar terus. Aku suntuk,” lanjut Dito, tanpa emosi.
“Ini malam pertama kita, Dit.”
“Yang benar saja. Ini malam kesekian kayaknya.”
“Dit. Aku serius!”
“Sama. Aku juga.”
Emosi Rindra meledak. Dia mengambil gelas kopi yang setengah tandas, mengguyurkan isinya ke wajah dingin Dito, kemudian bergegas tanpa menengok sama sekali.
Dito tak beranjak, bahkan tidak marah atas perlakuan Rindra. Dia mengambil tisu, menyeka wajahnya dengan senyuman ganjil.
“Semoga setelah ini, kau sangat membenciku, Rin. Itu akan sangat jauh lebih mudah,” gumam Dito. Dia tersenyum lantas berdiri dari kursinya, berjalan perlahan. Tidak menuju lift, melainkan berjalan keluar dari resto menuju parkiran.
***
“Sudah siap?” tanya Andro kepadaku yang masih berbaring malas-malasan di atas tempat tidur kamarku.
“Sebentar lagi. Aku merasa kau sedang merencanakan sesuatu. Kau tidak bermaksud untuk menjebakku, ‘kan?”
Andro tertawa. “Jangan terlalu curiga padaku, Er. Aku tidak sejahat itu.”
Aku bangkit dari tempat tidurku. Sebenarnya sudah sejak tadi aku sudah siap. Pakaianku, make-up minimalisku, dan travel bag yang tergeletak begitu saja di sudut kamar. Aku masih bimbang sebenarnya. Dito tidak mengatakan alasan mengajakku pergi. Itu yang membuatku sedikit malas.
“Kalau aku memberitahumu sekarang, jelas, itu bukan kejutan namanya,” jawabnya ketika aku menanyakan alasannya mengajakku pergi.
“Semoga kau tidak mengajakku ke Bali, menemui Dito yang sedang honeymoon,” ujarku.
Andro tersenyum. Rona wajahnya tidak terbaca. Apa itu kemungkinannya? Aku sama sekali tidak tahu.
“Ayo! Saatnya berangkat!” Andro menarik tuas travel bag-ku. Ia sendiri hanya membawa tas gendong yang isinya terlihat enteng di punggungnya.
“Tidak ke Bali, ‘kan?” Aku meminta kepastian.
“Lihat saja nanti,” jawab Andro. Ini kian mencurigakan.
“Ayolah, Dro. Bilang terus terang, kalau ke Bali, ya katakan ke Bali. Aku tak mau kau terus menyembunyikannya.”
Andro mematung di ambang pintu kamar. Ia menoleh, raut wajahnya kini berubah, antara bingung dan mencoba menjelaskan sesuatu.
“Ke Bali, ‘kan, Dro?”
Andro mengangguk pada akhirnya. “Jangan marah. Aku ingin memberi kejutan kepada Dito. Jika kau tak berminat, temani saja aku hingga Bali. Kau boleh seharian ke mana pun, sementara aku menemui Dito, bila kau tidak ingin menemuinya.”
“Sial!” rutukku. Kecurigaanku terbukti. Bahkan, sebelum aku terbang menuju sana.
“Atau jika kau memang tidak berminat pergi, aku tidak akan memaksa. Aku akan tetap pergi. Bagaimana?”
Aku mengembuskan napas. Ya, mau gimana lagi. Satu sisi aku ingin menghindari pertemuan dengan Dito, pada sisi lainnya aku ingin menemuinya untuk lantas mendampratnya hingga puas. Beberapa saat aku mempertimbangkan kemungkinan untuk tetap pergi atau tidak. Aku memutuskan.
“Baiklah aku ikut,” jawabku, “tapi tidak janji kalau harus datang menemui si berengsek itu.”
Aku ingin melihat reaksi Dito atas kedatanganku. Mungkin itu satu-satunya alasan aku memutuskan ikut ke Bali, walau sebenarnya, ketika di sana aku tidak yakin untuk datang menemuinya.
“Terima kasih, Er.”
Kami bergegas. Menuju bandara untuk lantas terbang menuju Bali. Apakah aku siap bila harus menemui Dito? Entahlah.
***
Aku berdiri di ambang pintu hotel setenang yang aku bisa, sementara Andro mengetuk pintu, lantas bergegas pergi dan meninggalkan aku terjebak dalam situasi yang aku pikir aneh. Menit demi menit terlampau menikam bagiku. Debar jantung sedari tadi terus bergolak. Perasaanku campur aduk: antara marah, kecewa, benci, dan menyesal.
Daun pintu perlahan terkuak, seseorang melongokkan wajahnya dan terkejut.
“Surprise!” teriakku. Aku tahu orang di balik pintu itu adalah Dito.
Betapa pucat wajah lelaki yang pernah menjadi lelakiku itu. Dia tidak bergerak sama sekali. Wajahnya terlihat sangat bingung. Aku langsung bergegas meninggalkannya. Harusnya aku memakinya sampai aku puas. Nyatanya, aku tidak bisa melakukannya. Entahlah kenapa hal itu bisa terjadi. Ada banyak keingintahuanku atas kepergian Dito tanpa kabar—walau pada kenyataannya Andro telah menjelaskannya. Aku ingin mendengar penjelasan Dito secara langsung. Sayangnya aku belum berani, dan memilih bergegas pergi.
Rencana yang telah kubuat batal seketika.
Dito tidak mengejar. Itu jauh lebih baik. Bagiku, mungkin butuh waktu untuk memahami situasi seperti sekarang ini.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices