Hopeless Cries

Reads
213
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

20. Hari Yang Berat

AKU memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Sebenarnya Andro melarangku, aku tidak menggubrisnya. Andro masih ada beberapa urusan yang belum selesai. Itu tidak menjadi soal, toh, aku sudah besar dan terbiasa bepergian seorang diri. Apa yang harus ditakutkan oleh Andro?
Bandara Ngurah Rai sangat ramai. Ini akhir pekan. Pantas saja. Aku membenamkan tubuhku di bangku ruang
boarding pass. Masih beberapa menit lagi untukku meninggalkan Bali, juga pikiran tidak menentuku.
Sepanjang aku menunggu, pikiranku terbelah menjadi dua: memikirkan pengakuan Dito, juga keseriusan Andro. Jika bisa memilih, untuk saat ini, aku tidak menginginkan kedua-duanya. Tapi aku harus berpikir logis tentang rasa yang aku punya. Rasa untuk Dito akan segera berakhir, sementara rasa untuk Andro dalam masa pemupukkan setelah disemai.
Pesawat mulai take off. Aku merasa sedikit lega. Kerunyaman itu untuk sementara diterbangkan deru angin baling-baling pesawat. Inginnya aku terlelap dan membuka mata setelah pesawat yang aku tumpangi mendarat. Nyatanya memejamkan mata dengan pikiran yang kacau bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Aku tidak mengantuk. Padahal, semalaman tadi aku tidak tertidur.
Awan-awan putih bergulung-gulung sangat dekat. Aku ingin menggenggamnya jika bisa, merasakan sentuhan lembut awan tersebut sebagai upaya mengalihkan perhatian dari keresahan yang menumpuk. Nyatanya, tidak bisa. Aku hanya bisa memandangnya dari kaca kabin pesawat. Matahari masih tertutup awan sebagian, menciptakan siluet jingga pada tepi awan tersebut. Aku tersenyum. Entah untuk alasan apa.
Aku terus memikirkan pertemuan terakhir dengan Dito. Apakah aku seorang yang kejam? Hingga tidak sedikit pun memberikan kesempatan untuk Dito kembali. Bukan, bukan itu permasalahannya. Aku tidak ingin memberikan kekecewaan kepada lelaki yang ada ketika aku membutuhkan sandaran, dan itu adalah Andro. Aku sama sekali tidak peduli kalau Andro itu adalah saudara sekandung Dito. Dalam cinta, silsilah keluarga tidak berpengaruh banyak. Jadi apa salahnya aku berhubungan dengan Andro tanpa dibayangi oleh perasaan bersalah. Dalam hal apa pun, ternyata Andro jauh lebih baik. Jadi, memilih Andro untuk hubungan seriusku berikutnya bukan sebuah kesalahan. Kenyamananku ketika sedang berada di sampingnya adalah jawaban yang kini bisa kupastikan atas pertanyaan-pertanyaan yang mengendap di pikiranku selama ini. Aku mencintai Andro. Itu sudah pasti.
Pesawat landing. Perasaanku jauh lebih baik. Ketika aku menuruni anak tangga pesawat, embusan angin Jakarta membuat perasaan ganjil melambung dalam diriku. Rasa kebebasan, lebih tepatnya. Bebas dari penantian yang tak kunjung selesai yang diperagakan Dito kepadaku.
Aku memutuskan, melepaskan Dito adalah hal paling masuk akal. Selebihnya, aku akan menyerahkan jalan hidupku kelak kepada Tuhan. Perihal Andro, aku berpikir untuk sebuah kemungkinan bahwa dirinya bagian dari rencana Tuhan untuk kelangsungan hidupku.
Aku keluar dari dalam bandara. Seseorang tengah menungguku, sepertinya. Itu Andari. Aku pikir itu atas perintah Andro. Betapa berhati mulianya perempuan ini, pikirku. Setelah apa yang terjadi dengan dirinya, masih mau bersahabat denganku. Ini luar biasa.
“Andro menyuruhku menjemputmu,” ujarnya.
“Andro membuatmu repot.”
“Tidak sama sekali,” jawab Andari dengan senyuman manis. Tunggu dulu. Aku menghentikan langkah. Seseorang tengah berdiri tidak jauh dari Andari, dan ia tersenyum ke arahku. Apa aku mengenalnya? Tidak.
“Itu Jo. Johandy Subrata,” terang Andari. Aku menatapnya, meminta penjelasan. Dia hanya tersipu. Aku tahu itu artinya apa.
Kami melangkah. Meninggalkan bandara. Honda Jazz putih metalik membawa kami bergegas, membelah hiruk-pikuk jalanan yang tidak pernah sepi. Andari mungkin sedang berbahagia, kini giliranku, batinku.
***
Siang menjelang ketika aku tiba di rumah. Papa Irwan menyambutku dengan sebuah senyuman penuh arti. Aku bertanya-tanya dalam hati, gerangan apa yang terjadi ketika aku tidak ada di rumah. Mama muncul di ambang pintu dengan senyum yang sama. Aku menjadi semakin bertanya-tanya.
“Mama dan Papa tidak pergi?” tanyaku. Seperti pada banyak kebiasaan yang dilakukan mereka, hari Minggu ataupun hari lainnya tidak ada kata diam di rumah. Sekali ini beda. Mereka di rumah, aku kira ini aneh. Tapi, tak apalah sekali-kali.
“Sebentar lagi. Pukul sepuluh mungkin,” jawab Papa. Ternyata aku salah. Mereka tetap saja akan pergi, waktunya saja yang berubah. Biasanya pagi sekali. “Erin malah sudah terbang ke Surabaya,” timpal Mama.
Aku mengerutkan kening. Kerap aku ketinggalan informasi dari orang-orang rumah, termasuk sekali ini. “Ngapain?”
“Liburan akhir semester. Kami akan menyusul. Tentu saja sengaja menunggumu untuk ikut serta.” Mama merapikan rambutnya yang diembus angin.
“Aku baru tiba, Ma. Masih capek, kayaknya enggak deh, Ma,” jawabku. Pada kenyataannya aku memang capek, juga lelah, juga malas.
“Padahal kita jarang loh pergi bareng-bareng.” Setengah menyesal Papa Irwan mengatakannya. Ada benarnya. Kami terlalu sering bepergian sendiri-sendiri, jarang bersama. Harusnya ini adalah momen bersejarah. Sayangnya, aku sangat tidak berminat.
“Maafkan aku, Pa.”
“Papa paham, kok. Nggak apa-apa. Oh, ya. Seseorang telah mengirimmu sebuket besar karangan bunga. Papa pikir dari Dito. Pacarmu itu memang sangat baik. Oh, ya Ervina, buketnya Papa taruh di kamarmu,” terang Papa Irwan seraya menyeloroh pergi. Papa Irwan sudah seperti ayah kandungku sendiri. Dalam beberapa hal, dia begitu pengertian.
Pacar? Dito? Tunggu dulu. Apa yang papaku katakan? Oh God, mereka ternyata sangat keterlaluan. Bahkan, Papa masih tidak tahu kalau Dito sudah bukan lagi pacarku. Ke mana saja sih, mereka selama ini? Benar. Mereka terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.
Aku mengerjap dan bergegas menaiki anak tangga menuju kamarku untuk memastikan. Benar saja. Buket bunga itu masih berdiri di sana. Rangkaian yang indah: mawar merah, lili, gerbera, carnation, daffodil, dan anggrek. Lengkap. Lengkap sekali ini.
Aku mengambil kertas yang terselip di dalamnya. Dari Dito, sudah pasti. Papa Irwan sudah menyebutkannya tadi. Aku hanya ingin memastikan. Aku meremasnya karena tidak ingin membaca tulisan apa pun di dalamnya. Sejak kapan buket bunga itu tiba? Pagi ini sepertinya.
Aku bertanya lebih kepada diriku sendiri, untuk apa Dito mengirimkan buket bunga ini? Permintaan maaf, atau sekadar trik agar hatiku luluh dan mau menerimanya kembali? Tidak. Aku tidak ingin itu terjadi.
Aku pulang pagi-pagi dari Bali untuk pergi menjauh dari Dito. Nyatanya, kepulanganku pagi ini, sepertinya sudah terendus oleh Dito. Kemungkinan besar, dia pun sudah terbang dari Bali menuju Jakarta. Dito adalah pejuang sejati. Sayangnya, aku sudah tidak peduli.
Buket bunga itu kubawa turun dengan tergesa. Papa-mamaku menatapku dengan tatapan penuh tanya. Aku mengabaikannya. Mereka sudah bersiap untuk pergi.
“Mau dibawa ke mana?” tanya Mama.
“Dibuang,” jawabku datar.
“Kok?”
“Menuh-menuhi kamar saja.” Aku bergegas menuju bak sampah yang terletak di luar pintu gerbang.
“Dari Dito itu,” jelas Mama.
Aku tahu, Ma. Karena itulah aku mau membuangnya. Dito itu bajingan. Mama nggak tahu, sih. Kalimat itu tidak kuucapkan. Apa pentingnya. Aku masih pacaran sama Dito ataupun tidak, tak ada yang peduli, kok.
Mama masih berdiri di sana, sementara Papa Irwan sudah ada di balik kemudi mobilnya, ketika aku kembali. Mama masih kebingungan dengan tingkah polahku.
“Selamat bersenang-senang, Ma,” ucapku. Aku mengecup kening mama. Tidak ada penjelasan lanjutan dariku. Biarkan mamaku tidak mengetahuinya. Aku naik kembali ke kamar dengan tergesa. Sekali ini Mama tidak menuntut agar aku menjelaskan. Mama bergerak menuju mobil yang beberapa kali klaksonnya terus berbunyi.
“Hati-hati di rumah, Ervina!” teriak mama sebelum pergi. “Jangan ke mana-mana.”
Aku mendengarnya, tetapi malas menyahut. Aku melemparkan tubuhku di atas tempat tidur. Mendinginkan pikiranku segera.
***
Untungnya Andro menelepon beberapa jam berikutnya. Hariku tidak jadi buruk. Dia mengatakan bahwa dirinya baru akan pulang sore nanti. Kemungkinan malam hari baru tiba. Itu jauh lebih baik.
Sepanjang menunggu jam kepulangan Andro, tidak ada yang ingin kulakukan selain menenggelamkan diri dalam kemungkinan-kemungkinan yang akan kuambil setelah kekacauan yang kualami belakangan ini. Memikirkan keseriusan hubungan dengan Andro, itu sudah pasti. Kembali fokus dengan kuliahku pun itu sudah pasti. Dua hal tersebutlah yang akan kuprioritaskan, selebihnya, biarkan mengalir seperti yang seharusnya. Soal Dito? Selesai tidak selesai, anggap saja sudah selesai. Kalau dia datang ke rumah? Cuekin saja. Beres.
***
Bel rumah berdenting. Itu pasti Andro. Dia tadi sudah meneleponku bahwa dirinya sudah ada di Jakarta, dan kini sedang ada dalam perjalanan. Aku tergesa menuruni anak tangga lantas terkejut ketika membuka pintu. Bukan Andro yang ada di sana, melainkan Dito. Apa yang akan dia lakukan?
“Malam, Er. Boleh aku masuk?” katanya seraya membungkukkan badan. Menyebalkan.
“Untuk apa kau ke sini? Bukankah semuanya sudah selesai,” jawabku ketus. Dito tidak bergerak, seperti hendak tersenyum tapi batal. Wajahnya mendadak berubah rona.
“Kita belum selesai, Er. Masih banyak yang harus kita bahas. Jujur, tanpamu aku seolah kehilangan sesuatu yang sangat berharga.” Dito mulai gombal. Dulu aku sangat menyukainya. Sekali ini, tidak.
“Bukankah semuanya sudah jelas? Aku bukan siapa-siapamu lagi, ‘kan?”
“Tidak, Er. Aku masih ....”
“Hai!” Seseorang memotong kalimat Dito. Itu ternyata Andro yang baru turun dari taksi dan bergegas masuk beranda rumah. “Hah, Dito ngapain kau di sini?” tanyanya seraya menatap kakaknya itu. Dito tampak keheranan atas kehadiran Andro di rumahku. Dia sama sekali tidak tahu kedekatan kami. Aku tersenyum. Satu nol untuk Dito. Aku merasa puas sekarang.
“Kau sendiri ngapain kemari?” Dito balik bertanya. Aku menelan napas lega. Saatnya pembalasan, batinku.
“Menemui Ervina. Dia kekasihku. Oh, ya, Ervina, kau sudah kenal Dito?”
Aku mengangguk. Dalam hati tertawa. Betapa konyolnya Andro dengan berpura-pura tidak mengetahui posisi Dito dalam hidupku. Dito mulai salah tingkah. Dia bingung dengan posisinya saat ini.
“Suruh masuklah dulu, Er. Mungkin Dito ingin menemui papamu.” Andro mempersilakan Dito masuk, tapi ditolak dengan tegas oleh yang bersangkutan.
“Temui aku besok,” ujar Dito kepada Andro yang masih melakoni sandiwara ini. “Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Kenapa tidak sekarang, Dit?”
“Waktunya tidak tepat,” ketus Dito seraya bergegas. Tanpa permisi, membiarkanku melongo di bingkai pintu. Pukulan telak bagi Dito, aku tahu itu.
Sepulangnya Dito. Aku terpingkal-pingkal menertawakan kejadian barusan. Hari ini aku benar-benar puas. Hal yang sama dengan Andro, dia terpingkal-pingkal hingga kedua bola matanya berair.
“Kau jahat, Dro,” kataku. Aku menyerahkan air minum kepadanya.
“Dia jauh lebih jahat, ‘kan, Ervina?”
“Iya juga, sih. Tapi, dia itu kakakmu, nggak sopan tahu.”
“Biarkan saja. Biarkan dia sadar akan segala kelakuan berengseknya. Tidak semua perempuan bisa dibodohi. Iya, ‘kan, Er?”
“Kau mengganggapku bodoh, ya?”
“Tidak sama sekali. Kau tersinggung, ya, Er?”
Aku tersenyum. “Tidak.”
Rumah dalam keadaan sepi tanpa siapa pun, kecuali aku dan Andro. Itu membuat Andro risih. Bergegas ia pamit. Aku tahu bahwa Andro bukan lelaki yang selalu ambil kesempatan. Aku mengantarnya hingga pintu gerbang.
“Good night and happy nice dream,” ucapku.
Andro mencium keningku. Rasa berdesir itu muncul seumpama sengatan listrik berarus pendek. “Kau juga. Hati-hati di rumah. Called me bila kau butuh aku segera.” Andro tersenyum lantas bergegas. Sebuah taksi membawanya pergi. Aku termangu, tidak berminat untuk gegas. Malam merangkak naik.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices