Hopeless Cries

Reads
203
Votes
0
Parts
23
Vote
by Titikoma

22. Menantimu Dengan Cemas

“AKU masih di Yogya. Pesawatnya delay karena sebuah alasan yang aku tidak tahu. Maaf jika aku terlambat datang. Namun, aku akan mengusahakannya untuk tidak terlalu terlambat. Jangan cemas. Aku pasti datang. Baik-baik di sana, ya, Sayang. Bye.” Andro menutup sambungan teleponnya.
Harusnya, sudah semenjak dua jam tadi dia sudah ada di Jakarta. Hari ini aku diwisuda. Dia akan mengantarku dan menemaniku sepanjang acara andai pesa- siap-siap dengan kostum terbaiknya. Aku pun demikian.
Baiklah. Ini bukan kesalahan Andro. Sebenarnya aku sedikit kesal atas dirinya. Begini, aku menyarankan Andro untuk pulang kemarin agar aku tidak cemas menunggu. Nyatanya dia tidak bisa. Aku mencoba membujuknya, sama sekali tidak berhasil. Aku tahu alasannya masuk akal. Tetap saja itu membuatku agak kecewa.
Kecemasanku terbukti. Dia terlambat. Ya sudah. Mau apa lagi?
Aku memutuskan pergi tanpa perlu menunggu Andro. Aku bilang, kalau dia sudah tiba di Jakarta, langsung saja menuju tempat wisuda. Dia mengiyakan.
Sepanjang acara, aku terus dibekap kecemasan. Sambutan-sambutan yang diluncurkan oleh pihak-pihak tertinggi kampus sama sekali tidak kuperhatikan. Berkali-kali aku mengecek ponsel, siapa tahu ada SMS masuk dari Andro yang mengabarkan bahwa dia sudah ada di Jakarta. Beberapa kali aku kecewa. SMS itu belum ada.
Aku menatap wajah Mama yang begitu serius menyimak pidato yang dilontarkan oleh rektor, begitupun Papa Irwan, sama seriusnya. Aku sudah tidak berminat untuk menyimak. Bahkan, toga yang kupakai serasa terlalu panas dan membuatku tersiksa.
Kau sudah sampai di Jakarta?
Ketikku di layar ponsel. Satu menit, dua menit, tiga menit. Tidak ada balasan. Aku pikir ponsel Andro masih non-aktif, itu tandanya dia masih ada di dalam pesawat.
Acaranya sudah hampir puncaknya. Kau sudah ada di mana?
Ketikku lagi. Satu persatu mahasiswa yang lulus dipanggil. Masih belum giliranku. Kecemasan itu, entahlah, kenapa sangat menyiksa?
ERVINA JANIS!
Namaku dipanggil. Aku bangkit dan berjalan dengan gontai. Lelakiku masih belum nampak. Aku pikir Andro akan datang setelah acaranya usai, dan itu sangat mengecewakan.
Baiklah. Untuk sesaat aku harus melupakan bahwa Andro tidak di sini. Aku harus berkonsentrasi dengan apa yang akan kulakukan di podium.
Jangan terlihat cemas, Ervina. Jangan. Dia akan datang, pasti. Percayalah, dia tidak akan mengingkari janjinya. Tidak seperti Ditomu. Yakini itu, Ervina. Itu kalimat-kalimat yang muncul di pikiranku. Aku tersenyum. Yakin.
***
Aula terbuka tempat acara wisuda itu lambat laun mulai sepi. Hampir tidak ada orang yang tersisa, kecuali mereka yang masih sibuk membereskan alat-alat bekas acara. Aku termangu di salah satu kursi yang sebentar lagi mungkin akan dibereskan juga. Aku menatap laju jarum jam tanganku, mendekati sore. Mama dan Papa sudah aku paksa untuk pulang terlebih dahulu. Sementara aku menunggu. Terus menunggu hingga Andro muncul.
Ini tampaknya kesia-siaan. Orang yang bersangkutan sepertinya tidak akan muncul, bahkan untuk sekadar memberi kabar singkat lewat SMS. Beberapa kali aku mencoba untuk menghubungi ponselnya, sama saja. Tidak berhasil. Sepertinya ponsel itu dalam keadaan non-aktif. Aku takut. Tentu saja sangat takut. Kejadian waktu itu terulang: Dito tidak datang sesuai janjinya. Apakah ini akan terjadi kembali denganku? Bukan Dito sekarang, tetapi Andro, adiknya.
Aku mendongakkan kepala ketika tetes air pertama jatuh di puncak kepalaku. Aku masih menggunakan toga kala itu. Air itu, gerimis sepertinya. Alam tampaknya sedang berkonspirasi terhadap kecemasan yang aku rasakan saat ini. Orang-orang itu menyingkir. Gerimis mulai turun perlahan. Aku ikut menyingkir walau berpikir bahwa gerimis ini tidak akan lama. Ini Mei, saatnya kemarau yang sedang panas-panasnya, harusnya.
“Kau sepertinya sedang menunggu seseorang,” ujar suara yang lumayan aku kenal, tetapi sudah lama tidak kudengar. Lisa.
“Ya, seperti itu. Kau apa kabar, Lis?” tanyaku.
“Harusnya aku yang bertanya soal itu. Kau tampak sangat memprihatinkan dengan toga itu,” ujar Lisa. Dia tidak diwisuda hari ini, mungkin dia sedang ada urusan di kampus. “Kau tidak sedang sakit, ‘kan? Atau sakit hati mungkin.” Lisa tersenyum jail. Dia segera menuntunku untuk mencari tempat agar gerimis tidak membasahi kami berdua.
“Menunggu Dito?” Lisa sudah lama tidak mendengar informasi apa pun tentang diriku. Jadi, tidak salah kalau dirinya melewatkan berita buruk perihal aku dan Dito.
“Tidak,” aku menggeleng. “Bukan, maksudku. Seseorang yang lain.”
“Seseorang yang lain?” Lisa menatapku penuh selidik. “Pacarmu baru ya, Er?”
Aku tertawa. Tidak harus kujelaskan. Lisa ikut tertawa karena aku yakin dia memahaminya.
Sepanjang menunggu gerimis itu reda, kami saling berbincang dan melupakan bahwa diriku sedang menunggu kehadiran seseorang. Kami terlalu bersemangat hingga lupa bahwa malam akan segera tiba. Kami terperanjat, lampu-lampu tampak sudah dinyalakan dan bangunan-bangunan sekitar kampus mulai benderang.
“Aku melupakan sesuatu,” ujar Lisa seraya mengecek ponselnya. “Aku harus pulang, dan ... lupakan seseorang yang kau tunggu itu. Lelaki selalu saja begitu. Sama bajingannya,” rutuk Lisa.
Andro bukan bajingan, rutukku dalam hati. Tidak ingin membenarkan asumsi yang dilontarkan oleh Lisa. Perihal lelaki itu tak datang, itu yang jadi pertanyaannya: apa yang terjadi dengannya?
Aku cemas selepas kepergian Lisa. Memutuskan untuk pulang dengan perasaan tidak menentu membuatku sedikit marah.
Dulu Dito, sekarang Andro. Apa sih yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Widjaya? batinku seraya gegas. Sekali ini aku sudah bosan menunggu. Lagian, Mama dan Papa akan sangat cemas bila aku tidak pulang dengan segera.
“Kenapa belum pulang?”
Seperti dugaanku, Mama menelepon. Aku menjawabnya dengan mengatakan masih ada dalam perjalanan pulang dan terjebak macet, padahal baru keluar dari pintu gerbang kampus dengan gerimis yang mulai reda.
***
Hampir aku gegas keluar dari area kampus ketika sesosok lelaki berkelebat di hadapanku, sosok yang sangat aku kenal. Dalam setelan kemeja yang kusut aku melihat wajah letih Andro dengan keringat tampak bercucuran. Aku tahu itu akibat perjalanan tergesanya. Ia tersenyum. Aku terpaku di tempatku semula dan menunggu langkahnya mendekat.
“Maafkan aku. Aku terlalu terlambat,” sesal Andro. Dia mencium keningku dan merangkul tubuhku hingga terbenam di tubuhnya yang kukuh. Aroma parfum maskulin yang telah bercampur dengan keringat menciptakan aroma yang aneh, tetapi aku menyukainya. Dia mendekapku dengan mengalirkan kehangatan. “Selamat ya, Er, sekarang kau sudah jadi sarjana,” bisiknya di telingaku. Desiran aneh membangkitkan perasaan melambung di tubuhku.
“Dan … ini,” lanjutnya seraya merenggangkan pelukannya seraya merogoh saku belakang celannya. Dia terkejut dan memandangi apa yang telah dikeluarkannya: sekuntum mawar merah yang kelopak-kelopaknya sudah hampir rontok, mungkin terlalu lama berada di saku dengan cara tertekuk. Aku hampir tertawa, bunga mawar itu terlihat sangat memprihatinkan, penyok di sana-sini, dengan tangkai patah.
“Maafkan aku,” ucapnya. “Aku tidak bermaksud memberimu bunga … yang … jelek.” Andro menunduk penuh sesal.
“Lupakan. Aku tidak terlalu menginginkan bunga, tetapi menginginkan kehadiranmu. Itu jauh lebih penting,” hiburku. Sekali ini aku yang memeluknya dan tak menyadari bahwa aku kini yang menciumnya. Kehangatan menjalar di tubuhku.
Hampir aku terus terlena dalam suasana ini, ketika seseorang yang lain muncul di belakang kami. Aku tidak menyadari bahwa sosok itu—lelaki dengan senjata di tangan tengah mengokangkan senjata itu ke arah kami. Aku terperanjat, dan menyadari bahwa sesuatu yang buruk sedang mengincar kami, terutama Andro yang sedang ada dalam posisi membelakangi lelaki itu. Namun terlambat, desingan suara peluru yang dilepaskan dari larasnya terdengar. Suasana tiba-tiba membeku. Wajah Andro tiba-tiba memerah dan mulutnya memuntahkan darah segar. Aku tahu apa yang sedang terjadi. Desingan itu. Peluru itu. Lelaki itu. Semua sudah terlambat.
Andro ambruk dengan darah mengalir deras. Peluru itu menembus punggungnya hingga perut. Aku mematung. Aku tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi di hadapanku. Setelahnya aku menjerit histeris. Lelaki itu pergi, tetapi aku yakin bahwa aku mengenal lelaki itu. Lelaki yang menembak Andro, kekasihku. Namun, siapa? Wajahnya sedikit disamarkan dengan masker yang dikenakannya.
***
Aku merasakan pandanganku tiba-tiba gelap. Rasa sesak mengimpit dadaku. Aku mencoba mencari pegangan dan gagal. Mama tidak begitu kuat menahan beban tubuhku. Papa yang terlambat menghampiriku hanya mampu melihat aku terjengkang menumbuk lantai kamar. Setelahnya aku mendengar jeritan dari Mama. Lantas, aku tidak ingat apa pun. Yang kuingat sebelum aku hilang kesadaran adalah sosok Andro yang tersenyum di belakang tubuh Papa. Aku ingin meraihnya tapi tak sanggup. Andro pergi dan tak mungkin kembali, dan aku masih belum bisa percaya bahwa semuanya terjadi begitu cepat.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices