dengan ini saya terima nikahnya
Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Reads
183
Votes
1
Parts
15
Vote
by Titikoma

2. Sebuah Penawaran

“Mbak, Pak Deni izin masuk ke ruangan. Katanya ada yang mau dibahas,” Winda memberitahuku lewat loudspeaker telepon kantor yang terhubung paralel antara ruangannya dengan ruanganku. Ini memudahkan kami untuk terus berkomunikasi tanpa harus susah payah mengeluarkan keringat mengunjungi ruangan masing-masing. Aku memang sengaja meminta Winda menyuruh siapapun untuk konfirmasi terlebih dulu jika ingin masuk ruanganku, karena tidak mau fokusku pecah saat mengamati laporan dan revisi yang begitu banyak.
“Iya, boleh. Silakan. Terima kasih ya Winda,” jawabku.
“Iya Mbak,” ucapnya.
Sesegera itu aku rapikan sedikit meja kerjaku yang penuh dengan laporan hasil wawancara dan hasil foto yang harus kusortir dan perbaiki. Hanya dalam hitungan detik Deni sudah mengetuk pintu ruanganku, pertanda meminta izin untuk masuk.
“Iya, masuk!” jawabku dalam ruangan. Masih dengan memeriksa beberapa laporan.
Perlahan Deni membuka pintu dan menuju kursi meja dan duduk dengan santai. Ada beberapa dokumen yang ia pegang. Aku pun menghentikan aktivitasku, menutup lembaran kerja dan mulai melihat Deni.
“ Ada yang bisa dibantu?” tanyaku bercanda.
“Ada,” jawabnya dengan mimik serius.
“Apa?”
“Talent mendadak membatalkan pemotretan, sedangkan waktu tinggal sedikit lagi. Konten materi sudah siap. Budget menipis, padahal masih ada beberapa survey dan pemotretan yang harus dilakukan. Satu lagi, shoot untuk rubrik fashion kayaknya harus diulang, soalnya hasil gambarnya kurang menjual.”
Aku bisa menangkap kegelisahan Deni di balik semua lontaran yang dikemukakan. Bagiku, ini bukan hal baru untuk dihadapi. Hal semacam ini sudah menjadi makanan keseharianku. Aku diam sejenak mencari solusi paling baik. Deni masih duduk terdiam menunggu keputusan yang akan aku buat.
“Kita beresin satu-satu ya, Den,” ujarku berusaha menenangkan. Deni mengangguk setuju dan mau mengikuti arahanku. Aku mulai mengumpulkan napas dan berbicara dengan nada tenang, “Roni ada di ruangannya?”
“Iya,” jawab Deni.
“Hasil fotonya sudah di-print?”
“Iya, sudah. Terakhir gue lihat fotonya sedang disusun untuk diseleksi.”
“Oke, kita ke sana,” ujarku sambil beranjak dari meja. Kubiarkan dokumen yang masih terbuka dibiarkan begitu saja agar aku mudah mengingat berkas mana yang masih harus kuurus dan kusimpan rapi.
Deni mengikutiku dari belakang. Kami pergi ke ruangan Roni. Dia adalah Art Photographer. Dia orang yang sangat ahli dalam menangkap momen dan membuatnya terlihat begitu alami namun tetap menjual. Ruangannya tidak berpintu, sengaja karena Roni sendiri termasuk orang yang sibuk sehingga menurutnya membuka dan menutup pintu adalah hal yang sangat tidak efisien dan membuang waktunya yang berharga.
“Hai, Roni…” sapaku saat memasuki ruang kerjanya dan melihatnya sedang memperhatikan foto hasil pemotretan beberapa hari yang lalu. Dia kaget untuk sesaat, namun cepat menyadari dan berbalik padaku.
“Eh… iya Bu… ada yang bisa dibantu?” katanya
“Boleh saya lihat hasil fotonya?”
“Iya boleh, silakan,” Roni mempersilakanku maju ke meja display dan membiarkanku mengamati hasilnya satu per satu. Deni memperhatikan hasil fotonya bersebelahan denganku.
Secara umum semua hasil pemotretannya bagus, hanya saja entah kenapa ada beberapa efek yang mengganggu. Mataku tertuju pada foto wajah close-up dengan riasan natural serta fokus mata besar namun berkesan rapuh dan gaya bibir yang tidak begitu dirapatkan untuk menampilkan kesan seksi. Aku ambil fotonya dan kuamati baik-baik.
“Roni…” aku menunjukkan foto wajah yang kulihat tadi, “Wajahnya masih harus di-re-retouch, kemudian untuk lehernya tolong diedit sedikit jenjang dan hilangkan kerutannya. Bisa?”
“Iya, bisa Bu,” Roni langsung memisahkan foto yang kutunjuk dan menyimpannya pada buku khusus untuk menyimpan foto yang akan dirubah.
Mataku kembali menatap satu per satu hasil foto.
“Yang ini...” kataku sambil menunjuk foto dengan model pemandangan, “Ini terlalu gloomy, aku tidak suka. Reshoot lagi. Cari yang lebih segar!” kataku yang langsung diikuti dengan tangan Roni yang sigap memisahkan foto.
Kuamati lagi seterusnya sampai foto yang tadinya berjumlah 30 menyusut menjadi setengahnya. Sisanya yang tidak terpilih? Dibuang. Aku menentukan foto tersebut diletakkan di halaman mana dan berdampingan dengan foto apa. Aku berikan juga saran baju dan potongan yang harus digunakan untuk edisi majalah bulan ini. Setelah selesai, aku pergi dari ruang kerja Roni dan meninggalkannya untuk segera merevisi foto yang sudah kupilih.
Aku kembali ke meja kerjaku dan duduk. Deni masih mengikutiku. Aku tahu, jika Deni sudah mengikutiku ke mana-mana, itu pertanda dia memang buntu dan sudah tidak tahu lagi bagaimana mengatasi masalah yang ada. Terkadang aku merasa beruntung. Ya, beruntung karena aku adalah editor-in-chief termuda di perusahaan ini dan yang paling didengar, bahkan perancang dan kolega lama perusahaan ini menyukai hasil pekerjaanku. Terlebih dari itu semua, aku bangga akan diriku sendiri karena pencapaian atas hasil kerja kerasku terbayarkan semua.
“Sampai di mana kita tadi, Den?” tanyaku.
“Satu masalah sudah beres. Three left to go. Budget, talent, konten.”
“Oke, soal budget, butuh tambahan berapa?”
“20 juta lagi.”
“Ok, nama talent yang cancel jadwal shoot siapa?”
“Davina.”
“Mau diganti siapa?”
“Antara Sandra Dewi atau Senk Lotta.”
“Senk Lotta,” jawabku mantap memberi keputusan.
“Gue udah telepon, dia sibuk, gak bisa. Ada jadwal shoot juga,” Deni berusaha meyakinkan bahwa saranku akan sia-sia.
“They will not refuse when it comes to me,” aku menjawab mantap, “Just wait and see,” aku memegang gagang telepon dan menekan tombol dengan mantap. Aku menelepon Winda.
“Iya Mbak, ada yang bisa dibantu?” Winda sigap bertanya di sebelah ruangan sana, berkonsentrasi untuk mendengarkan apapun yang akan kukatakan.
“Ya, tolong dengarkan instruksi saya! Satu, telepon divisi konten, suruh mereka ke ruangan saya 30 menit lagi dengan membawa laporan materi dan layout-nya. Dua, hubungi agensi Senk Lotta, minta mereka jadi model kita untuk shoot dua hari ke depan. Bilang ini permintaan langsung dari Adara Qorina Haris. Sepuluh menit lagi hubungi saya hasilnya. Ada yang kurang jelas?” ucapku panjang lebar.
“Tidak Mbak, jelas semuanya. Telepon divisi konten dan agensi Senk Lotta. Winda usahakan maksimal sepuluh menit lagi sudah ada kabar.”
“Baik, mohon dibantu ya.”
“Iya, siap Mbak,” ujarnya sambil menutup pembicaraan.
Rupanya sedari tadi Deni memperhatikanku mengatur dan memberi instruksi begitu cepat di saat dia sendiri kebingungan mencari solusi.
“Nah, soal budget?” tanya Deni memastikan tidak ada yang terlewat.
“Sebentar,” aku meraih ponsel dan mencari kontak yang tepat. Pak Aditya. Owner Perusahaan. Cara paling tepat untuk meminta bantuan masalah dana saat divisi keuangan susah diajak berkoordinasi. Kutekan tombol panggilan keluar. Tak butuh waktu lama untuk mengangkat panggilanku. Percakapan kami terbilang singkat dan terkesan seperlunya, meski kami sempat berbasa-basi menanyakan kabar pada awalnya. Aku langsung menjelaskan kondisi yang terjadi dan meyakinkan beliau untuk menambah kucuran dana sebesar nominal yang kusebut.
Tak lama percakapan berhenti dan akupun melanjutkan pekerjaanku seperti sediakala. Deni yang sedari tadi berharap-harap cemas nampaknya kesal melihat sikapku yang datar dan terkesan flamboyan. Secara teknis, Deni adalah Production Manager. Dia yang memastikan semua alur pekerjaan selesai tepat waktu. Meski begitu, Deni memiliki akses terbatas untuk hal tertentu, namun itu tak berlaku untukku.
“Jadi, gimana nih?” tanyanya masih dengan nada cemas.
“Mending lo duduk manis, jangan ke mana-mana. Tunggu sepuluh menit lagi,” jawabku datar sembari masih menilik dokumen yang belum selesai kuperiksa.
“kalau gagal?”
“Just wait... Den,” aku menatap Deni dengan yakin untuk menepis rasa gelisahnya.
Lima menit. Aku dengan santainya meminum kopi yang sudah kubeli sewaktu istirahat dan Deni masih terlihat cemas.
Tujuh menit. Aku sudah selesai memeriksa semua dokumen dan meminta Winda laporannya dikembalikan kepada divisi masing-masing untuk selanjutnya dimasukkan dalam konten majalah.
Delapan menit…
Sembilan menit. Rona wajah Deni mulai frustasi. Aku menawarinya cemilan yang kubawa dari rumah, namun dia menolaknya. Selera makannya hilang.
Sepuluh menit. Telepon kantor berdering. Aku dan Deni saling bertatap muka seolah saling memastikan apakah bunyi telepon itu berasal dari telepon kantor yang ada di mejaku atau bunyi dari ruangan lain. Kami terdiam menyimak. Dering kedua, benar itu dari telepon kantor di mejaku. Seketika Deni langsung sigap duduk berharap cemas untuk mendengarkan hasilnya, dan aku otomatis menekan tombol pengeras suara agar terdengar jelas oleh kami berdua.
“Halo, Mbak.”
“Iya gimana, Win?” aku dan Deni mendekatkan telinga kami ke arah pengeras suara dan berkonsentrasi mendengar setiap detailnya.
“Winda mau laporan tugas yang tadi Mbak kasih.”
“ Iya, silakan,” aku memberikan izin.
“Divisi konten sudah dihubungi dan mereka siap untuk presentasi semua materi. Dua puluh menit lagi perwakilan dari divisi akan ke ruangan Mbak.”
“ Iya, baik,” aku menimpali.
Winda diam sejenak kemudian melanjutkan hasil laporannya, “Untuk Senk Lotta, sudah dihubungi pihak agensinya dan mereka bersedia shooting untuk majalah kita. Agensinya minta pihak kita menghubungi secepatnya untuk masalah teknis,” mendengar hal ini, mata Deni melotot tak percaya mendengar bahwa Senk Lotta bersedia melakukan pemotretan, padahal sebelumnya tadi menolak, “Terus satu lagi… hmm…” Winda berusaha mengingat sesuatu, “Oh iya, tadi Pak Aditya telepon Winda, titip pesan untuk Mbak kalau uang 20 juta sudah ditransfer ke bagian keuangan.”
“Ada lagi, Win?”
“Sementara tidak ada, Winda telepon lagi kalau ada pemberitahuan selanjutnya,” pungkas Winda mengakhiri percakapannya di telepon.
Deni diam. Aku menatapnya sesaat. Terlihat sekali ekspresi wajah percampuran antara kaget, senang dan masih tak menyangka. Maklum, tenggat waktu pembuatan majalah sebentar lagi dan seluruh kantor sudah tahu kalau sikap Deni akan semakin sensitif dan agak menekan rekan kerjanya. Aku tahu, tanggung jawab yang diemban membuatnya berpikir untuk tidak mau memiliki cacat sedikitpun di setiap pembuatan edisi bulanan. Deni sangat perfeksionis.
Aku rehat sejenak dan meneguk air mineral yang selalu disiapkan di meja. Kali ini, Deni yang menatapku lekat.
“Adara Qorina Haris, I don’t believe this!” ucapnya masih dengan mata menatapku kaget.
Aku tersenyum, “4 surabi rasa durian dan setengah lusin donat saja cukup kok.”
Deni tertawa mendengar jawabanku. Dia tahu kalau aku ingin dibelikan makanan tersebut sebagai balasan karena sudah membantunya, “Lo lapar atau rakus sih?” jawabnya heran.
“Ya anggap saja dua-duanya, hahaha…” jawabku.
Kami tertawa berdua.
“Deal! Malam ini gue traktir. Sebut saja mau ke mana, menunya pilih, terserah. Surabi dan donatnya gue beli setelah lo beres makan,” jawabnya.
“Ya mau bagaimana lagi… rezeki kan tidak boleh ditolak… gue sih yes,” ucapku sambil tersenyum kecil.
“Dasar, lo itu ya,” ucapnya sembari pamit keluar dari ruangan setelah hampir seharian mengikutiku. Sesaat setelah dia keluar, aku menatap jendela dengan pemandangan menghadap taman belakang kantor. Taman yang didominasi mawar putih dan sedikit campuran bunga lainnya serta air mancur kecil sederhana dapat memanjakan mataku dan menghilangkan segala kejenuhan rutinitas pekerjaan. Aku pejamkan mata mencoba menikmati momen hening sebelum jam kerja berakhir dan Deni mengantarku menuju ke mana pun yang aku mau. Namun tak lama, karena tiba-tiba sekelebat bayangan muncul memenuhi ruang kepala dan membuatku tersentak. Bayanganmu.
***
Me: Thanks for the meal, Den ;). Sering2 kayak gini ya. Hehehe
Pesanku di ponsel yang terkirim ke nomor Deni melalui aplikasi instant messaging. Tadi selepas pulang kerja, Deni sudah menungguku di luar kantor dengan mobilnya, sedangkan mobilku dipakai oleh divisi marketing communication dan akan dikembalikan ke apartemen setelah tugasnya selesai.
Sesuai dengan janjinya, Deni mentraktirku makan sebagai rasa terima kasihnya karena sudah membantu menangani masalah kantor yang menurutku bukanlah hal besar. Aku utarakan padanya untuk makan ke sebuah restoran sekaligus toko kue yang terletak di depan Pasar Simpang Dago. Mendengar permintaanku, Deni mengantar tanpa banyak bertanya. Sesampainya di sana, aku meminta kepada pramusaji agar dipilihkan tempat duduk di area luar yang dihiasi dengan aneka bunga dan lampu gantung bercahaya putih benderang.
Tempatnya sangat hommy, nyaman dan membuat selera makanku meningkat. Aku bebas memilih menu makanan sebanyak apapun tanpa harus khawatir membayar. Terang saja, aku menghabiskan Shaslik, Pizza 4 Season, Apple Pancake dan Coffee Float sendirian sampai Deni melongo karena heran melihat besarnya nafsu makanku yang tidak berbanding lurus dengan rampingnya badanku. Di saat yang sama, Deni hanya makan Spagheti dan minum Lemon Tea. Tak hanya sampai di situ, Deni membelikanku surabi dan setengah lusin donat serta mengantarku sampai ke lobi apartemen.
Deni: Bisa bangkrut kalo lo makannya kayak gitu. Hhahaha. Awas aja kalo surabi sama donatnya gak abis !!
Me: Makanan yang tadi aja habis, apalagi ini!!
Deni: Hhahaahaha
Aku melihat sebentar balasan Deni kemudian menyimpan ponsel di meja kecil samping ranjang, sedang surabi dan donat kuletakkan di meja dapur sebelah kiri pojok. Kurebahkan separuh badanku di tempat tidur untuk melepas sedikit rasa penat. Aku menghela napas seraya melemaskan badan, berharap masih ada tenaga tersisa untuk berganti pakaian dan melakukan aktivitas perawatan wajah harian. Wajah dan kulit tubuhku tergolong sensitif sehingga jika tidak dibersihkan akan langsung meruam memerah karena gatal. Kadang aku kesal kenapa kulitku tidak senormal tipe kulit wanita lainnya yang masih baik-baik saja, meski tidak melakukan perawatan sesering aku.
Kupaksakan diri bangun dari ranjang dan melangkah menuju lemari pakaian untuk memilih piyama. Tanganku mengambil piyama berwarna pastel polos tanpa motif. Sesegera setelah itu aku membersihkan diri dan berganti pakaian. Pakaian kerja aku taruh di keranjang kotor untuk dikumpulan dan dibawa ke tempat laundry. Aku duduk di meja makan sambil membuka kotak donat dan surabi, memikirkan mana yang duluan akan kumakan. Tak berapa lama, pilihanku jatuh pada sekotak donat dengan berbagai varian rasa dan kubawa ke ruang tamu beserta teh hangat yang baru kubuat. Kumasukkan surabi ke kulkas agar esoknya masih bisa dinikmati.
Kunyalakan televisi dan mencari saluran yang menayangkan program hiburan secara acak. Namun sayang tidak ada yang menarik sehingga aku putuskan mengubah saluran televisi menjadi saluran video dan memutar film yang sengaja kusimpan pada memori televisi datar. Aku belum pernah menontonnya meski sudah disimpan beberapa hari lalu. Film yang diproduksi tahun 2011 tersebut mengisahkan persahabatan wanita dan pria yang berubah menjadi cinta. Kisah sederhana yang terjadi di keseharian. Aku menekan tombol play dan menikmatinya sambil memakan donat dengan santai. Filmnya diawali dengan latar belakang sebuah kota di Amerika Serikat tahun 1988. Anne Hathaway dan Jim Sturgees sangat apik dalam memerankan karakter tokohnya. Setiap perpindahan adegan seakan memiliki emosi tersendiri, dan aku pun hanyut di dalamnya.
The way that you’re moving
You know what you’re doing
I want to prove that I’m right about you
Go ahead, admit it
Ooh, sing it
Lagu dari band Karmin yang kujadikan sebagai nada dering panggilan masuk berbunyi. Aku menoleh dan segera menghampiri sumber suara. Film yang baru 30 menit kutonton terpaksa dijeda. Aku melihat nama yang terpampang di layar ponsel. Dita. Namun sebelum kuangkat, panggilan sudah berhenti. Hanya misscall. Kuletakkan kembali ponselku dan kembali ke ruang tamu melanjutkan cuplikan adegan film yang tertunda sampai selesai, bersamaan dengan habisnya sekotak donat. Olehku sendiri.
***
Alarm berbunyi nyaring dari ponsel saat waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku membuka mata dan meraih ponsel untuk mematikan alarm. Aku terdiam sejenak sebelum beranjak dari tempat tidur karena masih ingin menikmati hangatnya selimut dan empuknya kasur yang membuatku tertidur nyenyak. Kuraih remote pembuka tirai otomatis yang tergeletak di tempat yang sama dengan ponsel. Kutekan tombolnya agar tirai terbuka dan membiarkan sinar matahari masuk dari luar. Cahaya yang hangat menembus ruang kamar tidur dan sebagian kecil ruang tamu
. Kuangkat selimut dan kurapikan tempat tidur meski sebenarnya masih betah ingin berlama-lama barang beberapa jam lagi. Kuhampiri jendela dan melihat pemandangan luar. Nampak lalu lalang kendaraan ramai melintasi Jalan Sarijadi. Tak terkecuali dengan mahasiswa dan karyawan yang kantornya berada di area berdekatan. Hari ini aku tidak masuk kantor karena segala revisi konten untuk pembuatan majalah sudah selesai, dan kebetulan aku tidak ada agenda apapun sehingga berencana untuk berenang di lantai atas.
Aku menekan tombol angka di lift sembari membawa baju ganti dan perlengkapan mandi. Sebelumnya aku sudah menelepon lobi memesan menu makanan berbasis buah dan jus diantar ke area kolam renang. Apartemen di sini sebenarnya berfungsi sebagai hotel juga sehingga segala permintaan akan direspons cepat oleh petugas. Kolam renang di apartemen ini tidaklah begitu besar karena yang memakai fasilitas tersebut sangatlah jarang. Hanya berukuran kurang lebih setengah lapangan sepakbola sedalam 2 meter dengan beberapa tempat duduk serta ruang ganti. Sesampainya di disana aku menaruh tas kecil di tempat duduk dan melakukan pemanasan sederhana agar otot badan tidak mengalami kram. Belum ada satu orangpun yang datang ke sini saat aku beranjak berenang dengan gaya dada. Hanya aku sendiri.
Satu jam sudah badanku dilingkupi cairan kaporit sampai mataku merah dibuatnya. Aku duduk sambil makan makanan yang sudah dipesan tadi. Jus mangga dan potongan salad membuat energi tubuh kembali segar. Beruntung karena orang-orang mulai berdatangan memenuhi area kolam renang beberapa menit setelah aku selesai berenang di sana. Aku melihat mereka bermain air, belajar berenang atau hanya sekedar duduk memainkan ponsel mereka. Tiga puluh menit sudah aku duduk beristirahat sampai akhirnya bergegas menuju ruang ganti untuk membersihkan diri dan kembali ke kamar.
Aku berjalan menyusuri lorong sehabis keluar dari lift. Area kolam sehabis aku berganti pakaian semakin penuh dan ramai. Baju renang yang sudah kubungkus dengan tas kecil akan kusatukan dengan pakaian kotor lainnya dan menelepon pihak laundry untuk dicuci. Saat aku berjalan mendekati pintu kamar, kulihat seseorang sedang menunggu. Tepat di pintu kamar. Sosok itu nampaknya bisa merasakan kehadiranku yang semakin mendekat. Dia menoleh dan melihatku sambil tersenyum melambaikan tangan. Akupun melakukan hal yang sama.
“Udah lama, Ta?” tanyaku padanya.
“Baru aja nyampe, Na,” jawabnya
“Kirain udah lama. Yuk masuk!” ujarku sambil membukakan pintu kamar yang bisa diakses dengan kartu elektronik khusus.
Aku masuk bergegas menuju tempat pakaian kotor untuk mengeluarkan baju renang dari tas kecil yang kubawa, sedang Dita mengikutiku dari belakang. Dita adalah sahabatku semenjak sekolah menengah atas. Kami menjadi sahabat karena memiliki kesukaan yang sama–mengoleksi majalah fashion di saat yang lain mengoleksi majalah teenlit. Bagi kami berdua, perpaduan beberapa warna potongan pakaian disertai pose dalam frame foto lebih menarik ketimbang pose model remaja yang disertai hasil wawancara seputar prestise pencapaian karier dan gosip. Beranjak lulus SMA, kami mengambil jurusan fashion di Esmode dan bekerja di tempat yang sama, hanya saja setelah menikah tiga tahun lalu, Dita pindah ke Jakarta ikut bersama dengan suaminya dan bekerja di sana. Kami masih sering berkirim kabar dan berencana mengunjungi satu sama lain, hanya saja karena kesibukan masing-masing, hal itu belum terwujud.
“Mau minum apa, Ta?” tanyaku
“Yang ada di kulkas kamu aja,” ucapnya. Dita tahu isi kulkasku tak pernah kosong.
“Ta, mau surabi gak? Belum sempet dimakan kemarin malam, masih banyak lho,” tawarku sambil memberikan minuman kesukaannya, susu cokelat kaleng.
“ Iya boleh. Sekalian kita makan bareng, aku bawa banyak juga,” dia mengangkat plastik putih besar berisi beberapa makanan yang dibeli dari restoran cepat saji.
“Oke,” aku mengangkat jempol tangan pertanda setuju.
Aku buka dus surabi dan meletakkannya pada mangkuk tahan panas satu per satu, kemudian memasukkannya dalam microwave selama lima menit. Dita langsung menuju ruang tamu tanpa diberi aba-aba dan membuka makanan sambil menyalakan televisi. Sebenarnya Dita sering mengunjungi apartemenku jauh sebelum dia menikah. Begitupun aku. Kami sudah dekat satu sama lain sehingga bisa bebas meminjam atau melakukan apa saja tanpa harus meminta izin terlebih dulu. Kami sudah seperti saudara kandung. Banyak yang kami bagi–aib, rahasia, gosip, cerita cinta sampai jumlah mantan. Dia sangat pandai menyimpan rahasia dan tergolong objektif dalam menilai sesuatu, itu yang membuatku nyaman menceritakan segalanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
“Ta, sengaja dari Jakarta?” tanyaku berjalan menuju ruang tamu sembari membawa mangkuk berisi surabi yang sudah panas.
Dita menyambut mangkuk surabi dari tanganku, “Sebenarnya udah tiga hari yang lalu di Bandung. Suami stay di sini, soalnya proyek rancangannya gak bisa ditinggal. Harus diawasi biar selesai sesuai jadwal.”
“Berapa lama?” aku mengambil makanan yang terjejer dimeja dengan rapi dan mulai menyantapnya.
“Satu tahun setengah, Dara,” ujarnya sambil mengunyah surabi.
“Emang sekarang tinggal di mana?”
“Di The Suites. Semua keperluan ditanggung perusahaan suami.”
“Enak dong?”
“Cucok meong, Dara… hhahaha”, tawanya renyah, “Lumayan kan jadinya kita bisa ketemuan lagi.”
“Emang udah gak kerja?” setahuku Dita masih bekerja di majalah fashion di Jakarta.
“Udah setahun aku resign. Kasihan suami dapet waktu sisa, soalnya setiap hari pulang malem gegara rapat. Apalagi kalau mau dekat ke proses cetak, ketemu kalau udah mau tidur aja.”
“Oooh, begitu toh,” jawabku datar.
“Iya begitu,” ujarnya sampai sepersekian detik kemudian dia mengingat sesuatu, “ Eh iya, kamu kok gak ke kantor?”
“Libur. Tinggal nunggu laporan via email aja.”
“Pantesan…”
“Pantesan kenapa?”
“Ya, itu, aku telepon gak diangkat. Ada yang gak mau diganggu ternyata, hhahaha…”
“Hehehe… maaf,” aku tersenyum kecil. Aku memang sengaja meninggalkan ponsel di kamar karena tidak mau menghabiskan waktu melihat banyaknya notifikasi pesan yang masuk.
Setidaknya untuk satu hari saja.
Kami menghabiskan waktu di ruang tamu sambil menonton televisi dan membicarakan banyak hal, hingga matahari naik ke posisi paling tinggi dan membuat cuaca panas terik. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melepas kerinduan. Satu per satu makanan dilahap habis oleh kami berdua. Dita memang leluasa mengunjungiku ke sini karena suaminya sedang bekerja di area proyek, sehingga tidak ada teman untuk sekedar mengobrol. Di samping itu, hingga kini Dita belum dikaruniai buah hati.
“ Dara…” tiba-tiba Dita memulai percakapan di tengah aku serius menonton film Real Steel yang dibintangi oleh aktor yang juga bermain di film Wolverine.
“Iya ada apa, Dita?” jawabku sambil menurunkan volume suara televisi agar tidak menyaingi Dita yang mencoba berbicara padaku.
“Kamu sama dia, gimana?”
Aku tersentak. Pertanyaan Dita bagai sengatan listrik yang membuat jantungku berhenti sesaat. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Untuk yang satu ini aku memang belum menceritakannya pada Dita. Tentang lima tahun setelah dia pergi.
“Kamu mau aku jawab apa?” ucapku setelah beberapa menit terdiam.
“Entahlah,” Dita merebahkan punggungnya pada bantal sofa, “Mungkin kamu ingin memberitahuku kabar baik… meski aku tahu kenyatannya tidak demikian.”
Aku hanya tersenyum. Senyum dengan seribu rahasia yang tersimpan.
“Bukan sehari dua hari aku mengenalmu, Dara. Aku bahkan bisa tahu kalau kamu punya masalah meski kamu tidak pernah cerita. Termasuk tentang dia. Ini sudah lima tahun,” Dita menghela napas seperti berat untuk melanjutkan perkataannya, “…dan aku tahu kamu masih menunggunya. “
Aku menghentikan asupan makanan ke mulutku. Tetiba selera makanku menghilang begitu saja. Keseruan film terasa hambar. Aku terdiam mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang kurasakan. Tepatnya, pembenaran diri atas apa yang terjadi padaku sekarang.
“Tidak bolehkah aku menunggunya?”
“Tidak ada yang melarang. Hanya saja…” Dita terdiam sejenak, “Apa yang ingin kau tunjukkan dari sikap penantianmu selama ini?”
Badanku berbalik arah dan memandanginya.
“Salahkah jika aku mencoba setia, Ta?”
Dita memandangiku lekat, “Tidak ada yang salah, Sayang. Kau benar. Tapi sampai kapan seperti ini terus? Kamu terus menunggu tapi waktu tidak. Kamu terus bertahan tapi usiamu tidak!” nada suaranya mulai melunak, “Sempatkah kamu berpikir bahwa bisa jadi, di belahan sana, dia sudah bahagia dengan yang lain?”
Sontak aku menatap Dita lekat terbelalak, “Tidak mungkin!” ada rasa marah yang bergumul di dada dan menjalar panas dalam kepala.
“Kenapa harus tidak mungkin? Kalau dia saja bisa menggantungkan statusmu maka sangat mungkin dia bisa melakukan hal yang lebih dari ini. Toh kalian belum ada ikatan apapun, jadi dia bebas berbuat semaunya. Termasuk menikah dan mempertahankanmu sebagai cerita indah masa lalunya.”
Terkejut. Selama ini aku tidak memikirkan ke arah sana. Aku begitu naïf saat menghadapi cinta. Di satu sisi aku mulai rapuh dan meragukan alasan bertahan menunggu tanpa tahu ke mana ini akan berujung. Tapi di sisi lain aku tidak tahu akan seperti apa jadinya jika semuanya berakhir. Penantian ini.
“Sebenarnya…” aku menatapnya penuh dengan pertanyaan, “Apa maksud semua obrolan ini?”
Dita sesaat melengkungkan senyum lembut di sudut bibirnya,” Adara Qorina Haris, sahabatku. Maksudku adalah… dunia ini bukan tentang kamu dan dia saja, tetapi ada tentang yang lainnya juga… orang tuamu misalnya,” dia sedikit memberi jeda untuk memilah beberapa kata secara cermat agar tidak menyinggungku. Dia tahu rona mukaku akan sangat tidak bersahabat dan cenderung skeptis jika itu bersinggungan dengan perkara menyangkut dia, “Semakin kau menunggu dia, semakin orang tuamu menua. Sedang mereka menginginkanmu bahagia. Mereka berhak untuk dibahagiakan. Kau pun demikian. Tak terkecuali aku.”
Aku paham maksudmu, Ta. Ini bukan kali pertama kita membahasnya.
“Na, kita tak pernah tahu dengan siapa kita berjodoh. Tersering hasil akhirnya tidak pernah sama dengan keinginan karena bukan kita yang memberi keputusan. Masih banyak kesempatan di luar sana. Aku berharap kau mencoba semua pintu yang masih terbuka dan menyambut takdir terbaikmu, meski tidak selaras dengan harapmu,” Dita menghela nafas, “Kamu bisa mengakhiri ketidakpastian ini dan menjalani kisah indah yang sama seperti lainnya.”
Aku terdiam, begitupun dia. Kami saling menunggu. Sampai akhirnya aku membuka mulut, “Teruskan maksud perkataanmu!”
Dita kaget, tak menyangka akan responsku yang tidak menolak. Terlihat senyumannya yang penuh harap, “Dara, ada yang memintaku untuk dicarikan pendamping. Aku pikir bisa jadi kamu adalah orang yang dia cari. Kalau cocok, mungkin dialah jodohmu. Tapi kalaupun gagal, setidaknya kamu sudah mencoba. “
Aku berpikir sejenak, “Hmmm… apa aku harus jawab sekarang?”
“Tidak harus sekarang. Dia akan datang lima hari lagi ke Bandung dalam rangka supervisi kantor. Dia bekerja sebagai Regional Manager area Jawa di perusahaan besi nasional. Aku harap kau akan memberi jawaban sebelum hari kelima. Jujur memang banyak wanita lajang yang kukenal, namun baru padamu saja kucoba ceritakan.”
“Dia tahu akan bertemu denganku?”
“Tidak, aku belum berkata apapun padanya. Jika kamu menerima tawaranku maka aku akan mengatur pertemuannya. Namun jika tidak, maka dia akan kuperkenalkan dengan wanita lain.”
“Wanita seperti apa yang dia cari?” tanyaku menelisik.
“Segala kriteria yang dia mau, kamu termasuk di dalamnya,” Dita melanjutkan makannya yang tertunda. Suasana mulai mencair tidak setegang tadi.
Aku berpikir lagi, “Hmmm… how is he?”
Dita menghabiskan makannya, “Say yes, and I will tell you after that. Say no, and I will keep it secret forever. That’s the deal.”
Aku berdiam untuk waktu yang lama. Ini tidak mudah bagiku, “Oke, you have my answer on the day after tomorrow.”
“Noted! Cant wait to see it,” senyumnya mengambang pertanda lega, seolah telah melepas sesuatu yang tertahan. Terlebih setelah aku meresponsnya.
***
“Hati-hati di jalan ya,” antarku pada Dita setelah dia membuka kaca mobil.
“Pasti, kamu juga ya,” lambaian tangan dan deru mesin mobil bersamaan pertanda akan berangkat.
Aku melambaikan tangan juga sebagai tanda perpisahan. Aku melangkah menuju lobi setelah mobilnya menghilang dari pandanganku.
Aku langsung duduk di meja rias memandangi kotak hadiah yang tersimpan di sudut setelah membuka pintu kamar. Kuraih dan kuambil foto di dalamnya. Kupandangi lekat-lekat. Kututup mata. Kutengadahkan wajah menghadap plafon langit-langit kamar.
Selama dua tahun belakangan, Dita memang kerap menawariku untuk diperkenalkan dengan beberapa teman lelakinya yang masih melajang. Sebanyak apapun Dita memperkenalkanku dengan lelaki yang menurutnya cocok menjadi pendampingku, maka sebanyak itupula aku menampik dengan berbagai alasan. Mulai dari alasan yang dibuat-dibuat seperti sibuk bekerja dan belum berniat menikah, sampai alasan sejujurnya–menunggu dia. Pernah Dita sempat dibuat kesal melihat sikapku yang menurutnya konyol karena menanti sesuatu yang tidak pasti.
Dita terheran tak habis pikir kenapa aku begitu bersikukuh mempertahankan sikapku yang begitu dingin kepada setiap pria yang mencoba mendekat, bahkan cenderung abai. Dita kerap menasihatiku untuk membuka hati pada pria yang berniat baik menggenap, namun aku bergeming. Tetap pada keyakinanku bahwa suatu hari dia akan datang. Setiap Dita menyinggung soal dia–yang menurutnya tak ada bedanya dengan setiap pria yang hendak dikenalkan padaku, aku langsung memasang wajah kesal dan tidak mau mendengarkan ucapannya, bahkan sampai memalingkan muka pertanda tidak suka. Perseteruan akan selalu menjadi ujung kesudahan obrolan kami.
Aku memasang dinding tinggi dalam hati agar tidak ada seorang pun yang masuk. Dan sekarang, aku mulai meragukan keputusanku tersebut.
Pikiranku melayang tak tentu arah. Kuakui kalau Dita benar, aku harus mengakhiri kesamaran ini dengan menjemput takdirku. Tapi, bagaimana jika takdirku adalah kamu? Kubuka mata dan memandangi foto semakin lekat. Jelas senyummu terlihat. Aku mendadak luruh. Hati ini begitu tertahan untuk terus berdiam menunggu dan berharap suatu saat akan terbayar dengan sebuah jawaban. Namun akal tidak demikian. Aku mendaratkan telunjukku tepat pada foto wajahmu dengan lirih. Kau, sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices