by Titikoma
7. Tentang Rasa (2)
Aku terkejut. Waktu mendadak berjalan lebih lambat. Dadaku berdegup tak karuan. Aliran darahku serasa terhenti. Aku menahan napas dan mencoba fokus agar warasku masih terjaga.
“Apa kamu sedang menyatakan perasaanmu padaku?” kucoba memperjelas maksud pernyatannya.
Dialihkan pegangan tangannya menuju pundakku. Ditegakkannya badanku menghadap lurus ke arahnya. Pelan tapi pasti, kedua tangannya memegang wajahku lembut. Berdua di Skywalk. Meski udara sekitar bertambah dingin, namun nyatanya membuat hati dan wajahku memanas–aku meleleh. Dia menatapku dengan tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Beginikah rasanya?
“Adara Qorina Haris… maukah kau melengkapi hidupku? Menjadi sebab tawa dan bahagiaku? Dan menjadi separuh jiwaku?”
Tetiba aku mematung tak bisa berkata-kata. Kelu. Terlebih saat dia memegang kedua tanganku kembali tanpa melepaskan tatapannya. Ingin rasanya kuberlari. Aku gugup. Belum pernah segugup ini.
“Apa… harus dijawab sekarang?”
“Iya! Kau tahu aku bukan tipe orang yang suka menunggu.”
Aku diam. Menimbang-nimbang.
“Aku hanya ingin mendengar jawaban–iya atau tidak,” ucapnya
Aku diam lagi. Kuputar pikiranku semakin keras. Memang betul aku pernah punya perasaan padanya. Namun apa benar dia merasakan perasaan yang sama sepertiku?
“Dara… jangan diam saja. Please, tell something.”
Aku mulai membuka mulut. Kuambil sebuah keputusan.
“Erik… sebenarnya aku…” ingin aku melanjutkan ucapanku, namun tiba-tiba rahangku terkunci dan aku begitu gugup. Kucoba kembali berkata, “Aku… sebenarnya…” dan lagi-lagi otak ini buntu. Sial! Apa yang harus kulakukan? Semakin kucoba malah semakin sulit. Akhirnya aku pasrah–aku anggukkan kepala.
Erik tidak mengerti, “Aku tidak mengerti maksudmu.”
Kuhela napas dan mengumpulkan kekuatan, “Maksudku… menjadi separuh jiwamu… menjadi sebab tawa bahagiamu dan lainnya…” kuanggukkan kepala sekali lagi.
Dia terdiam sesaat, menerka anggukan kepalaku sampai kemudian matanya terbelakak kaget, “Kamu bersedia?”
Aku mengangguk.
“Kamu bersedia menjadi pelengkap hidupku?” dengan ekspresi kagetnya.
Aku mengangguk.
“Bersedia menjadi separuh jiwaku?” tanyanya sekali lagi.
Aku mengangguk.
“Bersedia?” kali ini nadanya kuat memastikan.
Aku mengangguk. Mengiyakan.
Erik tersenyum begitu lebar melihat responsku. Nampak matanya sedikit berkaca-kaca. Dia memelukku erat. Untuk sesaat tubuhnya yang hangat membuatku nyaman. Ada perasaan lega saat kubalas pelukannya. Kami larut dalam momen ini. Malam semakin pekat. Sayup terdengar untaian lirik lagu mengalun dari penyanyi yang belum menyelesaikan penampilannya.
Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau sentuh
Aku ingin kau tahu bahwa ku selalu memujamu
Tanpamu sepinya waktu merantai hati
Bayangmu seakan-akan
“Terima kasih.. Daraku,” bisiknya lembut di telinga sambil kemudian bibirnya mendarat di pipiku.
Aku mengangguk pelan.
***
Enam bulan kemudian, Bandara Soekarno Hatta
“Telepon aku secepatnya begitu kamu sampai di sana,” ucapku yang sedari tadi menemaninya menunggu jadwal keberangkatan ke Spanyol. Erik dipilih oleh perusahaannya sebagai perwakilan Manajer yang akan dibimbing selama dua tahun penuh mengenai sistem operasional dan manajerial. Dia akan tinggal di sana. Kami menjalani hubungan yang paling tidak kusuka–Long Distance Relationship.
“Iya Sayang,” jawabnya sambil mencubit pipiku gemas. Aku merengut. Belum terbayang di benakku bagaimana bisa melewatinya nanti. Ada rasa takut kehilangan saat melepasnya pergi. Erik merangkul pundakku dan menyodorkan sesuatu dengan tangan satunya. Sepucuk surat dan kotak hadiah, “Simpan ini baik-baik.”
Aku mengambil kedua benda tersebut, “Apa isinya?”
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” ucapnya sambil tersenyum, “Buka setelah kamu sampai di rumah ya.”
Aku mengangguk senang, “Terima kasih,” sambil kumasukkan hadiahnya ke dalam tas.
“Sayang…” ujarnya.
“Iya, apa?”
“Dulu aku pernah bilang bahwa kau berutang padaku tiga hal.”
“Iya… aku masih ingat. Dan aku sudah melunasinya satu.”
“Sekarang tersisa dua.”
“Iya…”
“Akan kuberi tahu cara melunasi utangmu yang kedua.”
“Caranya?”
“Tunggu aku pulang,” sambil mengelus rambutku pelan.
Aku memandangnya dan tersenyum, “Anggap saja aku sudah melunasinya.”
“Hmm… baiklah kalau begitu, berarti tinggal satu tersisa–hutang ketiga.”
“Apa itu?”
“Jadilah istriku.”
“Kedua utang itu sudah lunas.”
Bibirnya melengkungkan senyum sambil tak lepas memandangku lekat. Akupun begitu. Tangan kami terus menggenggam satu sama lain. Aku berharap waktu berhenti agar terus menikmati suasana ini. Berharap terus menahan tangannya sampai batal pergi. Namun tak bisa. Pemberitahuan jadwal keberangkatan lewat pengeras suara sudah diumumkan. Erik dan aku bergegas bersiap menuju area boarding.
“Jaga kesehatan, jangan sakit,” ucapku sambil membetulkan kerah jaketnya yang sedikit miring.
“Kamu juga,” dipeluknya tubuhku lebih erat, “I am going to miss you so bad.”
“Me too,” ucapku sambil menatapnya.
Wajahnya menghadap lurus ke arahku. Tangannya membelai lembut pipiku. Hatiku luruh melihat matanya yang seolah tak mau melepasku. Ah, kenapa jarak menjadi hal menyebalkan untuk kita? Aku mencoba menghiburnya dengan memberi semburat wajah ceria. Erik sedikit terhibur. Dia melepasku dan membawa kopernya berjalan mendekati antrean dengan yang lain. Aku melambaikan tangan perpisahan padanya. Dia pun begitu. Aku menunggu sampai dia masuk dalam pesawat. Setelahnya, kubalikkan badan hendak keluar bandara. Namun langkah itu terhenti saat tangannya merangkul tubuhku dari belakang.
“I Love You, Dara… so much,” ucap Erik.
Tiga bulan… semuanya berjalan sempurna.
Enam bulan… komunikasi kami lancar, perbedaan tempat tak jadi masalah.
Satu tahun… kami bisa menghadapinya.
Satu tahun dua bulan… Erik jarang memberi kabar.
Satu tahun empat bulan… tak ada satupun pesanku yang dibalas.
Dua tahun… aku kehilangan jejaknya.
Tiga tahun… kamu di mana? Aku di sini sendiri sepi.
Empat tahun… aku mulai lelah. Bolehkah aku menemukan separuhku yang lain?
Lima tahun… kembalilah, aku merindukanmu, sangat!