dengan ini saya terima nikahnya
Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Reads
181
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

6. Tentang Rasa (1)

“Apa bisa kita kontrak Erik jadi model tetap?” tanya Dita.
“Memangnya ada apa?”
“Fotonya sempurna, penjualan majalah bulan ini meningkat dibanding bulan lalu… dan banyak telepon masuk bertanya soal Erik.”
Aku berpikir sejenak, “Kau urus saja bagian itu.”
“Tapi akan lebih cepat kalau kamu juga yang membujuknya,” pinta Dita.
Aku mengangkat bahu, “No, thanks. Kamu saja.”
Dita mendengus, “Deuh… dasar yang lagi pedekate…”
“Pedekate apaan?” aku merengut.
“Ya lagian gak mau banget bantu.”
“Kalau urusan talent saja aku yang handle… terus tugas PR apa?” tanyaku santai.
“Hmm…” Dita berpikir sejenak, “Iya juga sih… hehehe.”
“Kalaupun harus membujuk Erik, berarti gajiku harus ditambah karena itu di luar jobdesk… gimana?” godaku.
Dita memonyongkan bibirnya, ”Ogah bangeeet,” diikuti dengan gelak tawa kami berdua. Tak lama Dita pamit keluar ruangan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kulihat majalah yang sudah dicetak tiga minggu lalu. Wajah Erik menghiasi salah satu rubrik. Kuingat pada saat sesi pemotretan, gayanya begitu luwes dan menuruti arahan Photographer. Selain itu, pembawaannya yang cepat akrab tidak menunjukkannya awam di dunia permodelan
. Aku sempat datang ke studio dan menyaksikan sesi pemotretan. Pada jeda istirahat kusempatkan berbincang dengannya. Tapi tak berlangsung lama sampai urusan kantor menyita waktuku. Aku hanya bertemu dengannya lagi saat pemotretan selesai dan dia bersiap untuk pulang karena esoknya harus bekerja.
“Kamu di mana sekarang?” ucapku diujung ponsel.
“Masih di kantor, ada yang harus dikerjakan. Kamu… jadi ke sini kan?” tanyanya.
“Iya, sebentar lagi ke sana.”
“Oke…”
Ini adalah pertemuan ketiga. Semenjak sesi pemotretan selesai, Erik benar-benar sibuk. Dia tidak bisa jauh-jauh dari area kerja. Bahkan tidak sempat melihat fotonya terpampang di majalah. Kami saling menelepon untuk mengetahui kabar masing-masing. Kuakui kami semakin dekat.
Kupercepat ritme pekerjaanku. Kuringkas segala tugas yang harus ditangani. Setelah semuanya selesai, kuberjalan menuju area parkir. Kutancap gas Mirage putihku. Mobil kuarahkan menuju area Kopo. Butuh satu jam setengah sampai aku menghampiri gerbang perusahaannya. Satpam mendekat bertanya maksud kedatanganku. Setelah kukemukakan, Pak Satpam kembali ke posnya berbicara sesuatu lewati handy-talkie. Tak berapa lama, pintu gerbang terbuka. Aku masuk ke area depan dan parkir di sana. Kumatikan mesin mobil. Kuambil tas dan majalah yang kusimpan dalam bungkusan cokelat polos. Aku masuk ke dalam bangunan utama dan menghampiri resepsionis. Kukatakan padanya ingin bertemu Erik. Resepsionis menyuruhku menunggu. Aku mengangguk. Segera kududuk di kursi besi panjang tak jauh dari resepsionis.
Sebenarnya aku gugup. Ingin rasanya pulang saja. Namun urung kulakukan. Lima menit berselang, Erik datang. Dia terlihat beda dari sebelumnya–kemeja biru langit, celana hitam, blazer hitam dan rambut yang dipotong pendek. Dia berjalan sambil melambaikan tangannya padaku. Aku sempat tertegun namun segera kutepis. Kami bertukar senyum. Dia duduk di sampingku.
“Sudah lama di sini?” tanyanya.
“Enggak...”
Dia tersenyum, “Yuk… ikut aku.”
Aku mengangguk. Kuikuti langkah kakinya. Kami menuju sebuah lorong sebelum akhinya berbelok ke arah kanan. Ruang kerjanya. Erik membuka pintu dan mempersilakanku masuk. Kusimpan bungkusan warna cokelat di mejanya. Dia duduk menghadapku meraih bungkusan dan membuka isinya.
“Bagaimana hasilnya?” tanyanya sambil membuka halaman majalah.
“Lihat saja,” jawabku.
“Oke…” ujarnya, “Oh iya, mau minum apa?”
“Bebas… terserah.”
“Baiklah,” dia meraih telepon kantor menghubungi entah siapa–memesan sesuatu. Dia membolak-balikkan halaman majalah. Sesekali dia tersenyum. Namun ada kalanya serius membaca artikelnya.
“Ternyata… aku berbakat jadi model juga,” senyumnya.
“Not bad…” candaku.
Terdengar ketukan dari luar. Ternyata itu adalah Office Boy. Dia mengantarkan minuman dan menyimpannya ke meja kami. Teh manis hangat. Dia tersenyum sopan padaku kemudian pamit keluar. Erik terus membuka halaman majalah satu per satu saat aku minum teh tersebut. Tak lama ponsel Erik berdering. Dia mengangkatnya sambil sesekali memandangku. Percakapannya agak lama. Aku tidak begitu mendengar jelas dengan siapa dia berbicara.
“Habis ini mau ke mana?” dia bertanya seketika.
“Hmmm…” aku mencoba mengingat jadwalku, “Tidak ke mana-mana… mungkin setelah ini aku akan langsung pulang, kenapa?”
“Mau ikut denganku?”
“ke mana?”
“Malam ini ada acara kantor. Perayaan target perusahaan. Acaranya di Hotel Grand Preanger. Tapi kali ini peraturannya sedikit berbeda, harus membawa satu orang tambahan untuk setiap undangan.”
Sejenak aku merasa kaget, “Kenapa harus aku?”
“Ada yang salah?”
“Tidak, hanya saja… ini mendadak.”
“Ini baru jam 4 sore. Dua jam menuju acara kukira tidak mendadak, cukup.”
“Tapi… aku tidak bawa baju yang sesuai untuk acara kantor.”
“Acaranya non-formal kok,” sesaat dia memperhatikan pakaianku, “Lagi pula menurutku penampilanmu tidak ada yang salah.”
Aku terdiam.
“Ayolah… anggap saja ini adalah acara kantormu. Hanya untuk hari ini saja,” bujuknya.
Aku masih diam menimbang tawarannya.
“Come on, Dara… hanya undangan biasa, tidak lebih.”
“Apa… semua karyawan ikut?” akhirnya kubuka suara.
“Tidak… hanya untuk Kepala Manager saja,” ucapnya santai.
Tunggu. Kepala Manager? Ini berarti Erik adalah… aku terhenyak. Kutatap Erik. Sedikitpun tidak ada tampilan yang mengesankan dia seorang Kepala Manager. Seketika ingatanku kembali ke pertemuan awal bagaimana Erik bercerita tentang teman-temannya.
Kini aku mengerti kenapa banyak yang memanfaatkannya.
“Gimana?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Heh…” aku mencoba mengingat kembali, “Oh… acara kantor ya… hmm, apa tidak mengganggu? Maksudku… aku bukan karyawan di sini.”
“Tidak jadi soal kalau kamu bukan karyawan di sini. Aku hanya butuh kamu untuk menemaniku dan jawab ya atau tidak.”
Aku berpikir. Erik menatapku seperti sedang membaca pikiranku.
“Tenang saja. Tidak usah takut,” dia memulai pembicaraan, “Toh mereka tidak mengenalmu.”
Aku diam kembali. Sesaat aku berpikir–Tidak ada salahnya juga menemani Erik ke acara kantornya sebagaimana yang biasa kulakukan dengan Dita, anggap saja refreshing. Kuhela napas dan menatap Erik,
“Oke.”
“Oke apa?”
“Iya… oke, aku terima tawarannya.”
Erik tersenyum, “That’s what I want to hear from you.”
Selang setengah jam kemudian kami keluar dari ruangan. Erik tidak membawa mobil karena rumah mess-nya dekat dengan kantor. Dia membawa Mirage-ku. Sempat aku ragu. Bukan karena menemaninya ke acara kantor, tapi ragu karena khawatir jika aku melakukan kesalahan dan membuatnya malu. Terlebih lagi, aku tidak tahu harus memosisikan diri sebagai apa. Kusandarkan punggung pada jok agar tidak panik. Mobil sudah berkumpul dengan kendaraan lainnya di jalan.
“Santai saja,” ujarnya menghentak lamunanku, “Oh iya, tadi Dita meneleponku… dia memintaku untuk menjadi model. Menurutmu bagaimana?”
“Bagaimana apanya?”
“Tawaran Dita, haruskah kuterima?”
Aku mengangkat bahu, “Kalau kamu tertarik, terima saja… tapi kalau sekiranya tidak ya tolak.”
“Hmmm… akan kupikir dulu tawarannya.”
Aku mengangguk. Jelas kuarahkan pandangaku ke depan menikmati jalan, “Kenapa kamu tidak bilang dari awal?”
“Bilang apa?”
“Kamu adalah Kepala Manager.”
Dia menoleh padaku sebentar, “Untuk apa?”
“Aku merasa serba salah, entahlah… hanya saja...”
“Kamu segan padaku?” dia memotong perkataanku.
Aku mengangguk.
Dia tersenyum sambil melajukan mobilku, “Bagiku… posisi Kepala Manager tidak ada apa-apanya, tetap dianggap karyawan,” kemudian Erik terdiam sejenak, “Apa aku harus mundur dari Kepala Manager agar kau tidak segan padaku?”
Aku terhenyak, “Tidak… tidak perlu seperti itu,” seketika aku merasa tidak enak, “Maaf sudah membuatmu tidak nyaman dengan perkataanku.”
“Tidak usah minta maaf, harusnya kita membahas yang lain.”
“Membahas apa?”
“Ada yang belum kuberi tahu.”
“Tentang apa?”
“Tentang kamu.”
“Aku?” tanyaku heran, “Memangnya aku kenapa?”
“Iya… kamu,” dia mengambil napas seolah mengumpulkan kekuatan, “Aku belum memberi tahu kalau kamu adalah wanita pertama yang kuajak di acara kantor.”
Mataku terbelalak. Apa? Dia bilang apa tadi?
***
Apartemen Majesty, tiga bulan kemudian
“Mau dibawain apa?” Dita bertanya melalui ponsel.
“Apa saja boleh. Oh iya… kalau sudah sampai langsung ambil kartu kamar di resepsionis,” ucapku.
“Sip, nanti dikabari kalau sudah sampai lobi ya.”
“Oke” jawabku sambil menutup ponsel.
Hari ini Dita dan Erik berencana mengunjungi apartemenku. Tiga hari sudah badanku tidak bisa diajak kompromi. Sakit. Dokter bilang aku terlalu workaholic sehingga kurang menjaga kesehatan.
Tak lama, hanya butuh tiga bulan bagi kami bertiga untuk akrab layaknya sahabat. Meski begitu, di antara kami bertiga, Dita lebih sering berinteraksi dengannya. Maklum, sejak Erik menerima tawaran menjadi model freelance, intensitas pertemuan mereka jadi lebih banyak. Membahas proyek bersama. Sesekali mereka juga makan di luar. Sedang aku bisa terbilang jari bertatap muka dengannya. Itupun tak lama.
Sejak pertemuan terakhir–Acara Kantor, aku merasa lebih lepas berbicara dengannya. Aku nyaman dengannya. Ia pun begitu. Tiada hari yang kulewatkan tanpa berbalas kabar dengannya. Tak jarang Erik curhat tentang aktivitas kantor dan kejadian lucu yang dialaminya. Kami sering menghabiskan malam dengan tertawa bersama di ujung telepon membahas hal sepele, berbalas ide dan bercengkerama. Sempat aku menaruh perasaan.
Namun kuurungkan hal itu. Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau terbawa perasaan. Khawatir salah memersepsikan kebaikan seseorang. Terlebih semenjak Erik seringkali menanyakan kabar Dita–kupikir dia suka padanya.
Erik selalu bersikap baik kepada siapa saja–terlalu baik malah. Easy going. Hangat. Cerdas. Ramah. Terkadang bersikap konyol layaknya anak remaja. Tidak senang berbasa-basi. Mau mendengarkan orang lain meski perbincangannya tidak begitu menarik. Siapapun–terutama wanita, pasti akan meleleh dan tergila-gila padanya. Terkadang aku berpikir Tuhan tidak adil memberi berbagai kelebihan dan menumpahkannya pada satu lelaki.
“Pak,” sahutku pada resepsionis bawah menggunakan telepon kamar.
“Iya Mbak Adara, ada yang bisa kami bantu?” jawabnya dengan ramah.
“Sekitar satu jam lagi akan ada teman saya yang datang, tapi saya tidak sanggup keluar karena sedang sakit… jadi saya titip kartu kamar di resepsionis bisa?”
Petugas resepsionis terdiam sejenak, “Iya bisa, Mbak. Mohon bantu dikonfirmasi nama temannya siapa saja?”
“Dita dan Erik, Pak.”
“Iya, baik kalau begitu, petugas kami akan segera ke sana untuk mengambil kartu kamar.”
“Baik, terima kasih ya Pak.”
“Iya, sama-sama Mbak Adara,” sapanya ramah. Kututup teleponku.
Badanku masih lemas. Hanya bisa bergerak di area kamar saja. Beberapa menit setelah aku menelepon resepsionis, suara ketukan terdengar dari luar. Petugas apartemen datang. Bergegas aku datang membuka pintu. Aku tersenyum dan sedikit bertegur sapa. Petugas menanyakan kartu kamar dengan ramah. Aku berikan seraya berterima kasih. Dia kemudian pamit pergi. Tak lama setelahnya, kututup pintu dan kusambar handuk. Masuk ke kamar mandi untuk menyeka badan yang sudah tidak beraroma sedap serta membilas rambut.
***
“Dara!!” teriak Dita sesaat setelah membuka pintu. Erik mengikuti dari belakang membawa beberapa tas belanjaan. Aku tersenyum sambil melambaikan tangan dari tempat tidur. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku langsung kembali beristirahat di tempat tidur. Tenagaku belum sepenuhnya pulih. Dita menghampiriku dan mendaratkan telapak tangannya di atas dahiku.
“Ya ampun, anget gini badannya!” nadanya setengah teriak.
“Lebay… cuma sakit biasa kok,” jawabku datar.
“Kata dokternya gimana?” Dita bertanya. Aku tahu dia sedang mengkhawatirkanku.
“Disuruh istirahat, banyak makan, itu aja.”
“Tapi dikasih obat kan?”
“Iya.”
“Udah diminum obatnya?”
“Iya, sudah,” ucapku sambil tersenyum.
“Syukur kalau gitu, yuk makan dulu. Kita sengaja beli makanan kesukaan kamu. Biar cepat sembuh,” ajaknya sembari menarik lenganku. Kuikuti kemauannya. Kuarahkan kaki menuju ruang makan. Terlihat makanan dalam jumlah banyak, serta Erik yang sudah duduk manis sedari tadi menunggu kami berdua.
“Cepat sembuh ya,” ucap Erik sambil mengacak rambutku pelan. Aku merengut mengibaskan tangannya. Dia tertawa kecil.
Semua makanan menutupi meja–pizza, donat, ayam goreng, salad, sosis goreng dan tak lupa aneka jus. Aku menelan ludah. Tanpa basa-basi langsung kulahap satu per satu. Melihatku menjajal semua makanan dengan buas membuat mereka menggelengkan kepala. Aku tidak begitu memedulikan reaksi mereka. Enaknya hidangan di meja berhasil mengalihkan selera makanku yang sempat padam karena indra pengecapku sempat hambar.
“Kalau mau minum atau apapun, langsung ambil di dapur aja. Anggap rumah sendiri,” Selorohku sambil berlalu menuju tempat tidur.
“Dasar, SMP–Sudah Makan Pulang!” seru Dita yang melihatku terjun bebas menuju kasur setelah menghabiskan semua makanan.
“Yee, orang sakit kan gak boleh terlalu capek,” candaku. Aku langsung menutupi badan dengan selimut. Aku mengantuk setelah makan. Kubiarkan mereka berdua di sana–entah sedang apa dan aku tidak begitu peduli. Mataku sudah tak bisa menahan kantuk lebih lama.
***
Entah berapa lama aku tertidur. Hangatnya kasur dan selimut yang membungkus sampai leher membuatku betah. Samar kubuka mata sedikit. Ada seseorang sedang duduk di samping kasurku. Duh Dita, gak usah nungguin segala. Kupejamkan kembali mataku mencoba menikmati pelukan maut kasur. Tangan Dita mulai mengelus pelan kepalaku beberapa kali. Bibirku mengukir setengah lingkaran–tersenyum, masih dengan mata terpejam. Kutahu Dita akan melihatnya. Sesaat aku merasa senang–aku tidak begitu sendiri. Tapi… sebentar, ada yang aneh, sejak kapan tangan Dita menjadi besar begini? Kenapa aroma parfumnya berbeda? Sontak aku membuka mata dan terperanjat melihat sosok di depanku.
“Kamu ngapain?!” tanyaku setengah berteriak.
“Gak ngapain-ngapain. Cuma mastiin tidur kamu nyenyak.”
Aku coba mengumpulkan kesadaran dan melihat sekitar, “Dita mana?”
“Pulang duluan, ada urusan katanya.”
“Kenapa gak ikut pulang juga?” kataku sambil memicingkan mata.
“Kalau aku pulang, nanti kamu makan gimana? Seharian tadi kerjaannya tidur terus,” jawabnya santai,
“pantesan sakit… ngurus badan aja serampangan.”
“Kata siapa?!” timpalku berargumen.
“Lha ini?! Tidur seenaknya, makan seenaknya. Pasti belum mandi kan?”
“Udah kok!”
“Kapan?”
“Tadi pagi.”
“Itu kan pagi… sekarang sudah sore, Nona.”
“Hmm… jam berapa Dita pulang?”
“Persis jamnya aku tidak ingat, mungkin satu jam yang lalu.”
Aku diam–kaget persisnya.
Sudah berapa lama Erik melihatku tidur?
Dia hanya melihatku tidur, kan? Tdak melihat yang lain lagi, kan?
Sebentar, berarti… tadi hanya aku dan dia berdua di kamar?!
Kulihat sorot bayangan merah saga menembus ruang tidurku. Kuraih jam di meja–sudah pukul 4 sore. Pantas saja dia mengomel. Aku membetulkan posisi dudukku di kasur sambil menatapnya curiga.
“Kamu… benar cuma lihat aku tidur, kan?”
Erik mengernyitkan dahi seolah tak percaya bahwa aku bertanya hal seperti itu. Sejenak dia menggelengkan kepalanya, “Memangnya kamu mau aku lihat apa lagi?”
“Eemm… enggak, hanya memastikan saja.”
“Memastikan apa? Kalau aku tidak akan berbuat mesum?”
“Hmmm… ya begitulah.”
“Kamu itu ya…” telunjuknya menekan dahiku keras, “Sekarang bangun dari tempat tidur, mandi, aku tunggu lima belas menit lagi.”
“Memang, kita mau ke mana?” tanyaku heran.
“Aku lapar.”
“Bukannya sudah makan?”
“Iya, tadi pagi. Dari siang sampai sore belum.”
“Kenapa gak buka kulkas?”
“Mana aku berani!”
“Tinggal ke dapur apa susahnya sih?”
“Sudahlah, jangan banyak bicara, kita makan di luar. Sesekali menghirup udara segar daripada diam di kamar terus,” ucapnya sambil bersiap beranjak dari tempat duduk, “Tidak lebih dari tiga puluh menit ya, aku tidak suka menunggu lama!” ucapnya sambil berlalu menuju pintu.
***
Besoknya sampai beberapa hari ke depan,entah kenapa Erik selalu sigap berada di depan lobi untuk menjemput dan mengantarku pulang kerja. Seringkali aku protes padanya–aku bukan anak kecil. Sakitku hanyalah perkara biasa yang tidak memerlukan perlakuan khusus. Namun dia hanya menanggapinya dengan satu kalimat–aku mengkhawatirkanmu. Cerewet bertanya apakah obatnya sudah kuminum, makanan apa yang kumasukkan ke perut dan segudang pertanyaan lain yang kadang membuatku jengah. Semakin kutolak bentuk perhatiannya padaku, semakin tak dihiraukannya. Dasar, keras kepala!
Bukannya tidak mau diperhatikan. Hanya saja saat tiba-tiba seseorang begitu khawatir kala dirimu terbiasa mandiri memang hal yang agak aneh. Seperti hari ini, dia mengantarkanku ke kantor dan mendatangi ruangan setiap 30 menit sekali. Ya, kebetulan hari ini Erik sedang melakukan sesi pemotretan di lantai 2. Sedang aku sudah berkutat dengan tumpukan kertas yang harus ditandatangani.
“Boleh masuk?” suara di balik pintu membuatku terhenyak.
“Iya, silakan,” jawabku yang masih mengurusi lembaran MoU di meja. Aku tidak begitu memperhatikan orang tersebut masuk dan duduk di hadapanku.
“Dara...” panggilnya. Sontak segera kuarahkan kepalaku menuju sumber suara. Oh, kamu rupanya.
“Ada apa, Deni?”
“Surat dari Jakarta gimana?”
“Soal apa?”
“Pengadaan wardrobe buat talent.”
“Oh... yang itu,” kataku sambil mengambil sebuah berkas, “Ada poin yang kurang cocok jadi belum ditanda tangan.”
“Sebelah mana?” katanya.
“Poin ini,” tunjukku sambil menjelaskan apa yang menjadi ketidakcocokanku serta meminta Deni agar suratnya direvisi.
“Oke kalau gitu, gue telepon perusahaannya,” sambil membawa berkas tersebut, “Ini suratnya diambil lagi ya.”
“Oke,” jawabku. Kukira setelahnya Deni akan langsung beranjak dari kursi, namun tidak. Dia memandangiku sampai aku heran dibuatnya.
“Biasa aja ngeliatinnya, nanti kalau lo suka, siapa yang tanggung jawab?” candaku.
“PD banget!”
“Ya lagian gitu banget ngeliatnya, kenapa emang?”
“Gak kenapa-kenapa, cuma aneh aja.”
“Aneh? Maksudnya?”
“Maksud gue, seberapa parah sih sakit lo sampai talent itu datang ke ruangan berkali-kali?”
Aku terhenyak, “Kamu merhatiin?”
“Gimana gak merhatiin wong daritadi gue mondar-mandir ke meja Winda dan ngeliat itu bocah masuk ke ruangan,” Deni mulai berbicara informal saat membahas hal di luar pekerjaan. Sudah kebiasaannya.
“Ini ceritanya lo cemburu atau gimana?” candaku mencoba mengalihkan perhatian.
“Mending gue cemburu sama bini gue.”
“Ya terus kenapa harus bahas ini?”
“Isn’t that suspicious?”
“Maksudnya?”
“Ada cowok ngecek kondisi lo tiap berapa menit sekali, padahal sakit lo sih biasa aja.”
“Anggap saja dia khawatir.”
“Tapi gak segitunya juga.”
Sesaat kuterdiam dan mencoba menerka maksud obrolannya, “Sebenarnya lo itu mau bahas apa sih, Den?”
“Ya… gue pikir dia suka sama elo.”
Aku kaget, “Please Den, hanya karena sikapnya kayak gitu gak berarti dia suka! Ya bisa aja karena emang dia khawatir.”
“Dara… lo tuh udah gede tapi perkara kayak gini aja kok gak ngeh!”
“Bukan gak ngeh, tapi males bikin analisa aneh-aneh di saat kerjaan belum kelar,” jawabku datar.
“Kalian udah kenal berapa lama?”
“Hmmm… kurang lebih tiga bulan.”
“Ya bener kalo gitu.”
“Bener apanya?”
“Dara… denger nih ya, kalau ada lelaki sebegitu perhatian sampai ke hal remeh tentang lo, berarti di matanya lo itu penting dan berharga–lebih dari sekedar teman dekat.”
“Udah deh jangan suka bikin asumsi gak jelas.”
“Yeee… dikasih tahu malah gak mau.”
“Sebodo amat! Mending lo bantuin beresin ini berkas biar cepet kelar.”
"Ogah! Malesin banget.”
“Dih ya, dasar!” aku mendengus kesal.
Deni tertawa melihatku, “Denger baik-baik, gak lama lagi gue jamin dia bakal nembak lo. Dan kalau itu bener, please… demi keberlangsungan hidup dan episode asmara lu, terima aja.”
“Deni!!!”
“Hahahaha…” tawanya semakin kencang dan berlari meninggalkan ruangan.
***
“Kita mau ke mana?” tanyaku sambil memasang seatbelt.
“Makan… aku lapar.”
“Di mana?”
“Mujigae?”
“Oke,” kemudian aku terpikir sesuatu, “Gimana kalau kita ajak Dita? Dia pasti mau.”
“Iya, boleh.”
Kubuka tas dan meraih ponsel mencoba menghubungi Dita. Selang tak lama terdengar suara di ujung telepon. Kutawari ajakan makan padanya sambil berbincang masalah pekerjaan tadi. Beberapa menit setelahnya kututup telepon dan menyimpannya kembali dalam tas.
“Dita gak bisa ikut, dia mau istirahat katanya.”
“Oke kalau gitu. Berarti kita berangkat sekarang ya.”
“Iya.”
Mobil melaju menembus jalan. Tak lupa musik dinyalakan menemani perjalanan. Suasana tidak begitu ramai sehingga Erik mengemudikan kendaraannya sedikit cepat. Kusandarkan punggungku pada jok mobil, melepas semua penat pekerjaan. Sepanjang jalan kami tidak melempar pertanyaan apapun, sampai tiba di tempat makan dan memilih tempat duduk di lantai 2. Pramuniaga memberikan kami masing-masing daftar menu. Mataku terbelalak saat melihat gambar makanan yang disajikan begitu menggoda. Terlebih saat ini nafsu makanku sedang baik.
“Mau pesan apa?” tanya Erik
“Mau pesan banyak, gambarnya menarik, semoga aslinya juga sama.”
“Hahahaha… lagi enak makan ya?”
“Sepertinya iya.”
“Ok, let’s order”
Kami memesan melalui aplikasi yang tersedia di sana. Setelah memastikan tidak ada yang terlewat, kami menekan tombol ‘Order’ dan menunggu. Pelayanannya cepat, pramuniaga membawakan makanan dan minuman serta meletakkannya di meja. Aku menelan ludah melihat semua hidangan berjejer memenuhi meja. Setelah pramuniaga pergi, aku langsung melahapnya tanpa aba-aba. Kuhabiskan satu per satu dan tidak begitu memedulikan sekitar–termasuk reaksi Erik. Setelah semua selesai, kurebahkan punggungku di kursi sejenak mengambil jeda. Menghabiskan semua termasuk kudapan telah menyedot seluruh energiku sehingga aku tidak banyak berbicara–Erik juga. Meski begitu tetap saja lidahku menuntut untuk mengecap lebih banyak makanan dan minuman yang masuk.
“Sudah kenyang?” tanyanya.
“Belum.”
Erik membelalak tak percaya, “Ya ampun, itu perut mau nampung berapa banyak?”
“Maklum lah, pemulihan dari sakit,” jawabku datar.
“Kamu lapar atau kalap sih?”
“Sepertinya keduanya. Sudahlah, lagian jarang-jarang kan?”
“Iya juga. Ya sudah, habis ini mau ke mana?”
“Ke Starbucks, ke sebelah…”
“Oke, tapi harus habis ya.”
“Iya.”
Kami melakukan pembayaran. Setelah semua selesai, kami beranjak pergi dan pindah ke tempat tujuan selanjutnya. Saat sampai, kami disambut dengan ramah dan bertanya akan pesan apa. Kulihat daftar menu yang terpajang di depan. Kupesan yoghurt, kopi dan beberapa donat. Erik hanya memesan kopi ukuran kecil. Setelah menunggu, akhirnya pesanan datang dan kami mulai melihat tempat duduk yang masih kosong. Ah! Ada kursi khusus berdua di area luar. Kami berdua segera menempati kursi tersebut, kemudian meletakkan makanan di meja.
“Yakin habis?” ucapnya.
“Pasti,” jawabku bersemangat.
Erik tersenyum mendengar ucapanku. Aku mulai memasukkan donat ke dalam mulut. Pelan tapi pasti, semua yang ada di meja berpindah ke dalam perut. Sesaat aku pun heran kenapa nafsu makanku bisa sebuas ini.
“Usus kamu kayaknya gak punya ujung deh,” katanya tiba-tiba.
“Maksudnya?”
“Iya… makan banyak dan habis. Ini aku aja masih kenyang dan gak kuat masukin makanan lagi.”
“Jarang kan lihat aku kayak gini?”
“Bukan jarang, baru kali ini justru.”
“Ya maka dari itu… santai saja. Toh semuanya habis kan?”
“Iya sih,” sambil senyum terkekeh dan menggaruk kepalanya, “Baru kali ini ada cewek gak malu makan banyak di depan cowok.”
“Kalau begitu, Selamat!”
“Selamat?”
“Iya selamat, karena jenis wanita seperti ini baru kamu temui.”
“Hahahahaha…”
Kami menikmati suasana sekitar. Hawa malam sedikit berangin ditambah pengaturan lampu yang baik membuat tempat ini semakin hidup. Pengunjung yang datang makin ramai. Semilir lembut udara yang bergerak membelai pelan rambutku membantu mengurangi kadar stres dari beban pekerjaan yang lumayan banyak. Kupejamkan mata untuk lebih meresapi momen yang ada. Saking asyiknya, sampai aku tidak sadar ada dua bola mata yang memperhatikan seksama.
“Jangan tidur di sini,” ucapnya membuyarkan momenku. Aku agak kesal.
“Gak bisa lihat orang santai sebentar ya?” aku mendengus.
Lagi-lagi dia menyunggingkan senyum, “Jalan lagi?”
“Yuk… tapi ke BreadTalk dulu ya.”
Tetiba dia membelalakkan matanya tak percaya, “Makan lagi?!!”
“Enggak, mau beli untuk persediaan di kulkas.”
Dihela napasnya mendengar kata-kataku. Mungkin bersyukur karena tidak lagi melihat kebuasan perutku yang semakin menyeramkan. Kami beranjak dan pergi ke tempat berikutnya. Aku membeli beberapa roti dan muffin sebagai persediaan makanan di kulkas–pelengkap cemilan nonton sebenarnya. Setelahnya, aku keluar dengannya hendak menuju parkiran, sampai tangannya menarikku kuat menuju area lantai dua.
“Ada yang dicari?” tanyaku.
“Itu,” tangannya menunjuk pada area Skywalk. Ada binar terpancar dari matanya, seolah menemukan harta karunnya yang berharga.
“Jalan ke sana?”
“Iya,” dia melangkahkan kakinya perlahan dengan tanganku yang masih digenggamnya. Sampai pada setengah jalan, dia berhenti dan melirik live music performance dilahan kosong area lobi bawah yang langsung bisa dilihat dari Skywalk.
“Emang belum pernah?”
Dia mengelengkan kepala, “Aku hanya berkutat di area bawah setiap pergi ke tempat ini dengan teman-teman di kantor.”
Pelipisku mengernyit, “Tidak ada yang mengajak?”
“Tidak ada.”
“Wah! Aku heran, kok ada ya lelaki seperti kamu?”
“Eh… maksudnya?”
“Iya, menghabiskan waktu di kantor, jarang ambil libur, hanya keluar kalau diajak teman, belum pernah ke Skywalk lagi. Kasihan sekali hidupmu, hahahaha…” ejekku.
Dia tertawa terbahak mendengar ejekanku–begitu lepas. Akupun menertawakannya. Dia tidak berkomentar apapun. Aku terdiam. Perhatiannya tertuju pada pertunjukan band. Sekilas kulihat langit dan lalu lalang orang–hanya kami berdua di Skywalk. Lainnya mengerumuni penyanyi yang semakin memeriahkan malam.
“Terima kasih, Dara,” ucapnya tiba-tiba.
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya.”
“Hmmm…” aku tidak mengerti maksud perkataannya, namun juga tidak mau mempertanyakan alasannya, “Iya, sama-sama.”
“Mari lakukan ini lebih sering.”
“Menghabiskan waktu dengan bepergian entah ke mana dan melakukan beberapa hal konyol?”
“Iya.”
“Pasti, bertiga dengan Dita akan lebih seru.”
“Tidak… tidak bertiga. Hanya berdua, aku dan kamu.”
“Eh? Berdua?” aku menoleh padanya.
“Iya… tertawa bersama, berjalan bersama, ke manapun, kapanpun.”
Aku mencoba mencerna perkataannya–apa yang ingin kamu katakan? “Tapi Erik… dengan semua ucapanmu, itu bukanlah hal yang bisa dilakukan sebagai teman.”
Dia menatapku lamat-lamat seraya mendekatkan dirinya, “Aku tidak bermaksud melakukan semua itu sebagai seorang teman.”
“Lantas?”
“Aku ingin lebih dari itu.”
“Aku tidak mengerti perkataanmu.”
Dia menghela napas, meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Sejenak jantungku berdegup kencang. Apa mungkin?
Matanya menatapku tajam, “Dara, aku merasa nyaman dan bisa menjadi diriku sendiri tanpa khawatir akan penilaianmu tentangku. Aku tak mau kehilangan hal seperti itu. Jadi, kuingin melakukan apapun bersamamu, menempuh segala cara untuk bisa melihatmu, menghabiskan waktu mendengar segala tentangmu, seterusnya begitu… selama sisa hidupku.”

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices