dengan ini saya terima nikahnya
Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Dengan Ini Saya Terima Nikahnya

Reads
200
Votes
0
Parts
15
Vote
by Titikoma

10. Jalan Bersamamu

“Mau dipindah ke sebelah mana?” tanya Ryan saat mulai memindahkan dus barang-barangku dari mobil ke ruang tengah rumahnya. Ya, kami sudah menjadi pasangan suami istri. Proses lamaran menuju pernikahan memakan waktu dua bulan. Terbilang cepat. Kukira akan lebih lambat dari perhitungan, namun takdir berkata lain. Beruntung segala urusan dimudahkan.
“Simpan dulu saja… toh baru sampai ini,” jawabku yang duduk di sofa. Ini hari ketiga kupindahkan sebagian barangku ke rumah Ryan. Sedangkan sebagian lainnya tetap disimpan di apartemen. Beberapa ada yang sudah tersusun rapi dan lainnya masih diam dalam dus. Sudah tiga hari ini kami belajar menggabungkan dua karakter dalam satu rumah. Tidak mudah memang. Apalagi saat baru tahu kalau Ryan adalah orang yang begitu detail, terencana, dan rapi. Karakter aslinya muncul. Berbeda denganku yang sedikit flamboyan dan senang menyederhanakan masalah.
“Maksudku sekalian dibereskan, agar tidak banyak menumpuk,” ucapnya yang segera menghampiriku dan ikut duduk di sebelahku.
Kualihkan mataku padanya, “Emangnya kalau sudah beres semua, kita mau ke mana lagi?” kataku sambil tersenyum setengah bercanda.
Dia melirikku, “Gak ke mana-mana sih, paling istirahat.”
“Memangnya aku dari tadi duduk di sini sedang apa? Main poker?”
“Ya maksudku…”
“Maksudnya bagaimana?” aku menyela kalimatnya. Terlihat reaksinya yang gelagapan saat aku terus membercandainya. Sejenak kuamati Ryan salah tingkah. Ini menjadi pemandangan lucu bagiku.
“Ya maksudku… begini…” senyap sejenak, kemudian matanya tertutup berusaha mengingat sesuatu. Agak lama sampai akhirnya dia menyerah kemudian mencubit pipiku, “Tuh kan… jadi lupa mau ngomong apa. Kamu sih, bercanda terus dari tadi.”
“Lupa atau terpesona?” rayuku.
“Terpesona… dan akhirnya lupa,” jawabnya. Kami berdua tertawa bersama.
“Tenang… sebentar lagi juga pasti beres. Toh itu bukan barang yang harus dibongkar.”
“Memang isinya apa?”
“Buku kuliah. Sengaja kusimpan karena masih berguna.”
“Hmmmm…” dianggukkan kepalanya, “Ya sudah kalau begitu, aku ke kamar dulu.”
“Ke kamar?”
“Iya, ke kamar… mau main poker,” senyumnya sambil mengacak rambutku kemudian berlalu menuju kamar. Kugelengkan kepala melihat tingkahnya. Tak berapa lama kuhampiri dus barang dan memindahkannya ke dalam gudang. Kusimpan sedikit menyudut bersatu dengan beberapa dus lainnya. Sengaja kububuhkan tulisan ‘Buku Dara’ agar tidak ada yang curiga. Sebenarnya saat kubilang isinya adalah buku pelajaran, itu benar. Tapi hanya beberapa. Selebihnya yang tersimpan di dalamnya adalah kenangan tentang Erik–hadiah, majalah dengan Erik sebagai model dan beberapa foto kebersamaan. Bukan karena aku masih menyimpan rasa padanya. Hanya saja aku ingin menempatkan segala tentangnya di tempat yang tepat. Ryan tidak tahu tentang ini. Aku dan Dita sepakat untuk melupakannya dan menganggapnya sebagai sosok imajiner yang tak pernah ada.
***
Hey, what happened to the butterflies?
Guess they encountered that stop sign
And my heart is at the yellow light, yellow light
Hey, right when I think that we found it
Well, that’s when we start turning around
You’re saying “Baby, don’t worry”
But we’ll still going the wrong way..
Lagu Ariana Grande mengalun lembut dari mini speaker-nya sepanjang siang ini. Entah sudah yang ke berapa puluh kalinya musik terus berputar menyanyikan nada yang sama. Saat intro dimulai, Ryan langsung menutup mata seakan menikmati ritmenya. Tak jarang mulutnya ikut bernyanyi, meski tak bersuara. Terkadang tangannya membentuk gestur seperti memegang mic dan satunya bergerak acak. Bertingkah seperti penyanyi aslinya. Dia lebih senang melakukan itu ketimbang mendengarkan permintaanku yang menyuruhnya mandi sedari tadi.
Aku menghampiri Ryan yang masih betah bersandar di kasur dan memegang pipinya, “Serius banget nyanyinya, bikin gemes deh.”
Ryan memegang balik tanganku, “Iya dong harus serius, biar tambah ngegemesin di mata kamu,” senyumnya nakal.
Aku tertawa kemudian mencapit hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk, “Justru tambah ngegemesin kalau kamu sekarang ambil handuk terus ke kamar mandi.”
Mendengar hal itu Ryan merengek manja dan menggelengkan kepala, “Bentar lagi Sayang, satu lagu lagi.”
“Satu jam tadi kamu juga bilangnya gitu,” aku langsung mencium aroma badannya, “Tuh kan badannya udah bau asem gini.”
“Satu kali lagi ya, Pleaseeeee,” katanya manja.
Aku tertawa melihat tingkahnya. Sikap manjanya membuatku gemas, “Bener nih ya satu kali lagi?! Habis itu langsung mandi. Aku ke dapur dulu, mau dibikinin apa?”
“Gak mau apa-apa.”
Dahiku mengernyit, “Terus maunya apa?”
“Maunya kamu,” jawabnya yang seketika itu langsung mendaratkan bibirnya di bibirku lembut. Aku tak sempat menghindar karena lengannya melingkar erat mengunci pinggangku. Dia melumat bibir bagian atas kemudian beralih ke bagian bawah. Badanku mendadak lumpuh tak kuasa menolak. Kami saling mengecap bibir masing-masing. Perlahan ketegangan yang menghampiriku sedikit mengendur. Kututup mata karena terbawa suasana, namun kelebat wajah Erik datang tiba-tiba. Sontak aku memalingkan wajah. Ryan kaget melihat reaksiku.
“Kenapa?” tanyanya polos.
Kucoba mengalihkan topik, “Belum gosok gigi ya?”
Dia terdiam sekejap kemudian membelalakkan matanya, “Karena itu alasannya?”
Kuanggukkan kepalaku, “Iya, bikin mual… coba kalau tadi sudah mandi, pasti beda ceritanya.”
“Ya ampun, ini pasti gara-gara lagu tadi makanya aku susah disuruh mandi,” elaknya.
“Ckck! Jangan banyak alasan, gih sana mandi!”
“Siap, komandan!” dia memberi hormat padaku kemudian langsung bergegas menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Aku tertawa geli melihat tingkahnya. Maaf Sayang, aku sudah berbohong.
***
Makanan sudah tersedia di meja berikut kesukaannya–telur dadar. Benda itu bagaikan belahan jiwanya. Tak ada satu haripun tanpa telur dadar. Tak terpisahkan. Hal ini kutahu saat kami berpacaran dulu. Entahlah, andaikata dunia runtuh, satu-satunya yang akan diselamatkan Ryan adalah stok persediaan telurnya.
“Gimana, udah ganteng belum?” ucapnya menarik perhatianku. Ryan mengenakan kaus putih tipis dan celana pendek selutut. Tubuhnya terlihat jauh lebih segar, wajahnya juga. Rambutnya tersisir rapi meski setengah basah.
“Ganteng kok,” ucapku sembari menyajikan hidangan yang kubuat.
“Kalau ada kata ‘kok’ berarti aslinya gak ganteng,” dia merungut.
Kucubit pipinya, “Kamu ganteng, Sayang. Pake banget,” kulihat dia menahan senyum, entah karena menjaga wibawa atau tidak mau terlihat malu di depanku. Sesaat rasa bersalah berkelebat di dalam dada karena kejadian tadi. Kucoba membayarnya dengan mengecup bibirnya sebentar, “Rasanya lebih baik dari yang tadi.”
Ryan kaget, “Hmm… kasih aba-aba dulu gitu loh biar aku siap-siap.”
“Hahaha, memang sengaja bikin kaget,” kuletakkan sendok dan garpu di depannya.
Kami makan bersama. Rasa bersalahku sedikit berkurang. Kami menikmati makan dalam diam. Setelah selesai, kami mencuci piring masing-masing. Aku dan Ryan sepakat, tidak menumpuk piring kotor. Seberesnya mencuci piring, Ryan beranjak menuju ruang tamu sambil membawa secangkir air putih dan menyalakan TV. Aku membereskan hidangan yang masih bisa disantap lagi sorenya. Kupastikan semuanya rapi, kemudian menyusul duduk di sebelahnya. Dilingkarkan tangan kirinya di pundakku, sedang tangan satunya lagi menyesap air putih. Kurebahkan kepalaku pada tangannya.
Kami cuti kerja 5 hari–cuti menikah tentunya. Namun dua hari kemarin Ryan harus berangkat keluar kota karena urusan pekerjaan genting dan tidak bisa ditinggalkan. Sebenarnya aku kesal karena Ryan tak bisa membantuku pindahan barang. Ryan sudah meminta maaf, dan sebagai gantinya dia langsung tancap gas pagi-pagi buta ke apartemenku dan membawa sisa dus yang belum terangkat. Sehingga secara teknis hari ini adalah hari pertama kami berbulan madu. Sambil menonton televisi, pikiranku melompat ke malam sebelum pernikahan saat Dita mengunjungiku memberi selamat sambil memberikan nasihatnya tentang malam pertama dan hal lainnya. Masih segar di ingatan, namun tetap saja aku tak bisa membayangkannya lebih jauh.
“Ada apa?” tanyanya.
Lamunanku buyar. Kualihkan kepalaku padanya, “Eh?” tanyaku polos.
“Kayak yang lagi mikirin sesuatu, mikirin apa sih?”
“Oh, ehm…” kucoba mencari alasan, “Lagi mikirin kamu… hehehe.”
Dia mengacak-acak rambutku, “Alah… gombal banget.”
“Emang gak mau digombalin?” tanyaku.
“Ya mau dong.”
“Berarti digombalin setiap hari gak masalah, kan?”
“Ya gak setiap hari juga, Sayang.”
“Ya sudah sehari sekali saja kalau begitu,” candaku.
“Sama saja!” dia menekan dahiku dengan telunjuknya.
Kami tertawa renyah sambil beradu pandang. Sejenak kulihat wajahnya lekat dari jarak dekat. Kuamati satu per satu setiap lekuk bagiannya. Dadaku berdegup. Ryan sangat tampan. Lebih tampan dari biasanya. Rahangnya tegas jelas terlihat. Untuk ukuran pria, kulitnya bersih terawat. Meski berwarna cokelat eksotis, justru bagiku begitu maskulin, dan seksi tentunya. Rasanya aku heran kenapa tidak ada wanita yang mengejar lelaki berparas elok ini? Tak jemu kumenatapnya lamat-lamat. Tanpa sadar, mataku tak berkedip sama sekali.
“Biasa saja lihatnya, jangan begitu terpesona,” ucapnya dengan seringai nakal.
Perkataannya menyadarkanku. Serba salah. Panas mulai menjalari pipi. Jantungku semakin berdetak kencang. Dia terkekeh melihatku. Aku tak kuat menahan malu. Kuangkat kakiku mencoba pergi melarikan diri. Rasanya ingin sembunyi saja. Sedikit lagi aku berhasil menghindar, namun Ryan lebih cepat menahan tanganku.
Deg!
Ditariknya tanganku secepat kilat sampai keseimbanganku goyah. Aku limbung namun dengan sigap Ryan segera menahan pinggangku. Ditempatkannya badanku di atas pahanya. Inginku menghindar kedua kalinya, namun lingkaran tangannya mencengkeram kuat.
“Suami itu jangan ditinggalin nonton sendirian, kasihan,” ucapnya dengan tatapan tajam dan seringai nakal.
Aku tak bisa menjawab. Aku gugup. Sial!
Ditariknya badanku semakin dekat. Refleks kedua tanganku memegang pundaknya. Wajah kami semakin dekat sampai bisa kurasakan hembusan napasnya. Dia menatapku semakin tajam. Aku menduduki bagian bawah tubuh Ryan–tepat di bagian miliknya. Ada desir keinginan yang sulit kujabarkan. Kutahan napas. Aliran darahku mengalir lebih cepat. Tak satu kata pun keluar. Tangan kanannya membelai rambut bagian samping kemudian melanjutkannya sampai bagian punggung. Aku meleleh dibuatnya.
“Sayang kamu,” bisiknya lembut di telingaku kemudian mengecup lekuk antara leher dan pundak sampai kembali ke bibir. Aku kesulitan bernapas tapi Ryan tak mau memberi jeda. Waktu terus berjalan. Kami semakin terbawa suasana. Ryan membaringkanku di sofa sambil tak melepaskan tangannnya. Kejadian selanjutnya… entah, akalku mendadak hilang.
***
Masa cutiku dan Ryan sudah habis. Pagi ini kami harus berangkat kerja. Berat sebenarnya, tapi pekerjaan dan ratusan pesan yang menumpuk membuatku harus membereskannya secepat mungkin. Selama cuti, aku sengaja mengabaikan semua pesan masuk kecuali tiga–Ryan, orang tua dan Dita. Jadwal harianku berubah. Aku bangun lebih awal darinya. Tugasku sudah bertambah. Memilihkan baju, menyiapkan sarapan dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal–untuk kami berdua. Aku mandi lebih dulu karena tidak mau berebut kamar mandi dengan Ryan. Kuberganti pakaian dan memakai riasan sederhana. Setelah semuanya siap, kuhampiri Ryan yang masih terlelap tidur. Kuguncangkan badannya. Ryan mengeluh dalam tidurnya, aku terkekeh lalu meniup telinganya.
“Bangun, Sayang,” bisikku.
Ryan membalikkan badannya pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan tidur. Gemas melihatnya, kuguncangkan lebih keras. Aku terpekik saat tangan Ryan mengangkat tubuhku sampai terguling ke ranjang, kaki dan tangannya langsung membelit tubuhku.
“Mau ke mana sih pagi-pagi udah nyuruh bangun?” gumamnya.
“Ayo bangun! Nanti telat ke kantor nih!”
Bukannya melepaskanku, Ryan malah memelukku makin kuat. Disesapnya aroma tubuhku. “Kamu wangi,” gumamnya lagi.
“Ya iyalah, udah mandi soalnya!! Ayo Sayang, bangun!! Anter aku ke kantor.”
Ryan menggelengkan kepalanya, “Nggak usah kerja dulu ya, temenin aku di sini.”
“Gak mau! Bosen,” candaku.
Ryan memutar bola matanya, “Masa bosen sama babang tampan?” senyumnya nakal.
“Iya bosen, soalnya kalau ketemu kamu malah jadi gak mau ngapa-ngapain.”
“Ya bagus dong!”
“Bagus apanya, Sayang. Kerjaan gak akan beres-beres kalau gitu.”
“Hahaha…” tawanya renyah, “Tapi masih ngantuk,” kali ini dibenamkan selimutnya padaku.
Tak mau menyerah, kukeluarkan jurus jitu, “Suamiku sayang, ayo bangun. Aku sudah buatkan sarapan, termasuk bekal makanan kamu untuk di kantor. Aku goreng telur dadar banyak,” bisikku.
Kata ‘telur dadar’ seakan memiliki daya magis tersendiri bagi Ryan. Matanya langsung terbelalak. Dia langsung bangun dengan rambut yang masih acak-acakan. Sejenak aku mendengus kesal.
“Sebenarnya, kamu lebih pilih siapa sih? Aku atau telur dadar?” tanyaku iseng.
Dahinya mengernyit kemudian mencubit daguku, “Ya pasti pilih kamu lah.”
“Beneran?”
Ryan mengangguk, “Iya. Tenang saja, telur dadar tidak akan cemburu dengan hubungan kita,” jawabnya sambil terkekeh buru-buru ke kamar mandi, khawatir aku menimpuknya dengan bantal.
***
Aku berjalan masuk ke dalam kantor selepas berpamitan dan mencium punggung tangan Ryan. Mirage-ku sengaja disimpan di rumah. Selain itu, Ryan sudah berjanji akan selalu mengantarku ke mana pun pergi. Aku masuk menyusuri lorong menuju ruang rapat. Terlihat dari kaca tebal yang menghiasi interior ruangan kalau semua karyawan sudah berkumpul menunggu kedatanganku.
Kubuka pintu dan menyapa semuanya, “Halo semua!”
“Halo!!” jawab mereka kompak.
Aku duduk di kursi kosong tepat sebelah Deni. Meletakkan tas kemudian membuka berkas yang sudah tersimpan rapi. Kubaca secara ringkas kemudian membuka agenda rapat, “Selamat pagi rekan semuanya, saya harap kalian sehat dan baik-baik saja. Sekilas saya sudah membaca beberapa dokumen yang ada. Hari ini kita akan membahas konsep majalah untuk dua bulan mendatang. Sekarang saya minta setiap divisi memberikan presentasi untuk gambaran outline-nya.”
Perwakilan dari divisi satu ke divisi lainnya bergulir memberikan penjelasan. Konsep majalah kali ini akan mengeluarkan jumlah halaman lebih banyak dengan tambahan rubrik yang masih diperdebatkan. Beberapa ada yang setuju dan lainnya ada yang harus diperbaiki. Bubuhan catatan kutuliskan di setiap laporan divisi yang kuterima. Rapat berjalan lancar dan efektif. Hanya dua jam lamanya sampai rapat kututup seraya memberikan semangat kepada semua karyawan. Semua beranjak menuju tempatnya masing-masing, kecuali aku dan Deni. Ada hal di luar rapat yang harus dibahas.
“Na… ada undangan acara di Jakarta,” ucap Deni
“Acara apa?” tanyaku polos.
Deni memberikanku sepucuk kartu undangan, “Jakarta Fashion Week. Mereka minta kita ke sana, tapi.. ” Deni menghentikan ucapannya.
“Tapi apa?”
“Tapi di tanggal tersebut pas banget kita juga ada agenda presentasi dengan semua investor.”
“Gak ada pengganti untuk yang ke Jakarta?”
“Sayangnya gak ada, SDM kita sudah terfokus untuk pembuatan majalah. Udah koordinasi ke Pak Aditya tapi beliau juga gak bisa gantikan ke sana, sudah ada agenda katanya.”
“Hmmm...” tanganku mengetuk-ngetuk meja memikirkan solusinya. Agenda presentasi adalah agenda tahunan di mana aku dan Deni harus hadir. Wajib. Tidak boleh hanya datang salah satunya. Semakin kupikir, semakin buntu dan aku menyerah. “Gini aja deh… kita obrolin lagi sehabis makan siang, gimana?” tawarku.
“Ya sudah kalau begitu, gue coba koordinasi lagi dengan Pak Aditya, mudah-mudahan ada solusinya.”
Aku mengangguk. Kami berdua meninggalkan meja rapat dan kembali ke posisi masing-masing. Sebelum masuk dalam ruangan, tak lupa kusapa Winda kemudian menyiapkan tenaga untuk menghadapi rutinitas pekerjaan. Benar saja, tak lama setelahnya telepon di meja mulai berdering. Enjoy the day, Dara!
***
Matahari sudah naik. Jam istirahat sudah habis. Kupusatkan kembali perhatian pada pekerjaan yang datang setelahnya. Masih ada dua pekerjaan menanti. Menganalisa perubahan pasar serta tren konten majalah sampai akhir tahun yang nantinya dirubah menjadi laporan pada Pak Aditya. Beruntung setelah makan siang tidak ada karyawan yang masuk ke ruangan. Mereka semua mengerjakan porsinya masing-masing. Itu berarti fokusku tidak begitu terbagi.
Kucoba kerahkan tenaga dan pikiran semaksimal mungkin. Membaca semua kemungkinan kemudian menuangkannya dalam kalimat. Halaman demi halaman dipenuhi oleh ide dan gagasan. Setelah dirasa sempurna, kukirimkan hasilnya melalui email. Sehabis itu, kutengok jam dinding. Seratus delapan puluh menit sudah waktu yang dihabiskan untuk menyusun semuanya. Kukendurkan otot punggungku pada kursi seraya memandangi atap ruangan.
Tok… tok… bunyi ketukan pintu.
“Iya, silakan masuk,” jawabku. Kubenarkan posisi duduk seraya melihat siapa yang datang. Ah, Deni rupanya. Kuharap dia membawa kabar bagus.
Deni duduk di kursi kemudian tersenyum senang. “Na… gue punya dua kabar. Pilih, mau kabar buruk atau kabar bagus?”
Aku diam sejenak, “Kabar bagus saja dulu.”
“Oke,” jawabnya, “Gue udah nego ke Pak Aditya soal Jakarta Fashion Week. Agak alot sih emang, tapi untungnya dia approve lo buat ke sana.”
Alisku mengernyit, “Serius lo?”
“Serius lah.”
“Terus yang gantiin gue presentasi siapa?”
“Gak ada. gue sendiri, tapi dibantu Winda.”
“Winda? Tugas dia ngapain emang?”
“Asisten doang kok, doi gak akan gue suruh jawab semua pertanyaan investor.”
“Hmmm… kok Winda belum bilang ke gue?”
“Ya belum lah, soalnya gue baru ngomong ke elu doang.”
“Winda belum dikasih tahu?”
“Belum.”
“Oh, yaudah kalo gitu, biar gue yang urus.”
“Sip deh.”
“Nah… kabar buruknya?”
“Kabar buruknya… lo ke Jakarta sendiri gak dianter sama sopir, terus perusahaan cuma bayarin biaya hotel doang. Selebihnya lo tanggung sendiri.”
“Lah? Kok gitu?!”
“Tau tuh Pak Aditya….”
Aku merungut, “Ngeselin banget.”
Deni mengangkat bahunya, “Ya lumayan lah, daripada gak ada yang datang ke sana, nanti reputasi kita bisa anjlok.”
“Iya juga sih… eh acaranya berapa hari?”
Deni melotot, “Lo gak baca surat undangannya?”
“Belum sempet… hehe.”
“Ckck! Dasar! 3 hari, lusa berangkat pagi-pagi.”
“Oke deh kalau gitu.”
“Hmm…” jawabnya sembari meletakkan bingkisan di mejaku dan menyodorkannya, “Ini kado buat suami lo. Happy wedding by the way, akhirnya temen gue nikah juga,” ucapnya sambil terkekeh.
Kulihat seksama. Kadonya berbentuk permen dengan sampul warna pastel. “Isinya apaan?”
“Rahasia. Inget ya, kasih ke suami lo.”
“Kok perasaan gue gak enak nih.”
Deni tertawa kemudian tersenyum penuh arti, “Nanti juga lo tau sendiri.”
Aku mendengus kesal, “Kok gue gak dikasih sih?” pintaku.
“Buat lo ada juga kok,” ucapnya sembari mengeluarkan kado satunya dengan ukuran lebih kecil, “Dibukanya pas udah di rumah aja ya.”
“Kok lebih kecil sih?” tawarku.
“Ampun deh… dikasih hati minta jantung,” lagi-lagi Deni melotot.
Aku tertawa melihat tingkahnya. “Iya deh, makasih banget ya Den.”
“Hmm… Oh iya, kado yang buat lo itu istri gue yang pilih. Jadi gue gak tanggung jawab sama isinya,” Deni menunjuk kadoku.
“Emang dia gak ngasih tahu?”
“Kagak… katanya biar surprise, tapi kayaknya gue bisa nebak isinya apaan.”
“Apaan?”
“Rahasia… hahaha.”
“Ckckck!” kugelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Dara… gue harap lo bahagia sama Ryan. Semoga langgeng ya,” kata Deni tulus.
Aku tersenyum. “Thank you so much.”
***
Ryan menjemputku sedikit terlambat. Rapat yang seharusnya selesai ternyata tidak jadi karena menunggu senior memberikan arahan. Ryan meminta maaf. Aku tidak mempermasalahkannya. Kami saling menceritakan kegiatan yang sudah dialami seharian tadi. Mobil diarahkan ke rumah makan cepat saji di kawasan Pasirkaliki. Ryan sedang ingin makan di luar sehingga tidak membolehkanku memasak. Aku setuju saja dengan pilihannya. Beruntungnya hatiku memiliki suami sepertinya, tidak repot untuk urusan perut.
Kami menghabiskan waktu dua jam di tempat makan sebelum akhirnya pulang. Sesampainya di rumah, kusiapkan baju gantinya dan menghangatkan cemilan yang ada dalam kulkas. Kami berdua memiliki kebiasaan yang sama–menyantap kudapan sehabis makan. Untuk urusan ini, kami begitu akur. Ryan melepas pakaiannya dan segera masuk ke kamar mandi. Kuhidangkan cemilan dan minuman hangat di meja ruang tamu sambil menunggu giliran mandi. Kutunggu lima belas menit sampai akhirnya Ryan keluar. Giliranku membersihkan badan.
Badan segar setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan. Kuhampiri Ryan yang sedang menonton saluran TV luar. Hanya beberapa saluran dalam negeri yang disukainya, itupun hanya sesekali dilihat. Aku langsung mengambil posisi duduk di sebelahnya sambil menyandarkan kepalaku di pundaknya. Seperti biasa Ryan melingkarkan tangannya di pundakku sesekali mengelus rambutku.
“Kok gak dimakan, Yang?” tanyaku menunjuk cemilan yang masih utuh di meja.
“Sengaja… nunggu kamu,” senyumnya. Ryan kemudian menyentuh makanan dan menyuapiku. Pempek dan kerupuknya yang khas kami dapatkan dari teman Ryan. Oleh-oleh katanya. Tak hanya itu, beberapa potong buah juga sudah kusiapkan di meja–agar gizinya seimbang. Kami saling menyuapi.
“Yang, Deni kasih kita kado,” kataku sambil mengunyah makanan.
Ryan melirik kanan kiri, “Kok aku gak liat ada barang mirip kado?”
“Emang gak ada di sini, aku simpan di tas.”
“Oh… pantesan gak ada.”
“Tunggu bentar ya, aku ambil dulu,” ucapku yang dibalas dengan anggukan Ryan. Kulangkahkan kakiku menuju ruang tidur, tempat tasku berada. Kuambil kado kemudian bergegas menghampiri Ryan kembali. Kuserahkan kado padanya. Sejenak Ryan mengamati kemudian menggoncangkan kadonya untuk menebak isinya.
“Isinya apaan, Yang?” tanyanya heran.
Kugelengkan kepala, “Gak tahu, Yang. Deni cuma bilang kadonya gak boleh dibuka sama siapapun kecuali kamu.”
Dahinya mengernyit, “Jadi penasaran,” lantas dia membuka isinya. Setelah dirobek sampul depan kado, Ryan tertawa terbahak-bahak kemudian membalikkan isinya padaku. Majalah dewasa. Hampir saja aku tersedak cuka pempek. Pantas saja hatiku tak enak sedari tadi. Yang lebih parah saat Ryan memberikan catatan kecil yang menempel di majalah tersebut padaku–Fyi, Dara suka banget sama majalah ini.
Buru-buru kusilangkan tangan, menyangkal. “Beneran, Yang. Aku gak suka majalah kayak gitu!!” mencoba memberi penjelasan berharap Ryan mengerti.
Ryan terbahak-bahak lagi. “Justru kalau kamu kayak gitu malah makin keliatan emang kamu beneran koleksi majalah itu,Yang.”
Kepalaku tertunduk menahan malu. Tak seharusnya aku kelabakan merasa panas kalau aku tidak suka. Mendadak aku seperti orang bodoh.
Ryan membuka beberapa halaman majalahnya. “Cantik-cantik modelnya, kulitnya juga mulus.”
Mendengar Ryan berkata begitu, ada panas yang menggeliat di hati. Aku tidak rela Ryan melihat wanita lain meski hanya sebatas di majalah. Aku cemburu. Segera kurebut majalahnya tapi kalah cepat. Ryan menjulurkan lidahnya meledekku.
“Siniin majalahnya, Yang!!” kataku setengah berteriak.
“Gak mau, lagian ini kan hadiah untukku,” candanya.
“Ih… aku gak suka lihatnya. Yang!”
“Gak suka majalahnya atau isi dalamnya?” tanyanya dengan senyum bercanda.
“Dua-duanya!!” jawabku sembari masih berusaha meraih majalah tersebut beberapa kali meski gagal. Sekilas kami seperti anak kecil yang berebut mainan.
“Cemburu?” tanyanya polos.
“Tau ah!!” jawabku ketus kemudian menghampiri meja dan menyantap cemilan yang tersisa.
Ryan menghampiri dan mencubit pipiku, “Kamu kok makin cantik sih kalau lagi cemburu, Yang?”
“Gak mempan digombalin!!” kataku sambil terus mengunyah cemilan.
Ryan mencubit pipiku lebih kencang, “Cie yang lagi marah.”
Aku mengaduh kesakitan lantas balik mencubit pipinya. Ryan pun sama–kesakitan. Namun hal itu membuat kami tertawa. Ryan kemudian memelukku dari belakang dan mencium kepalaku. Kami menikmati kebersamaan ini sampai Ryan melihat kado untukku.
“Buka isinya dong… mau lihat,” pintanya seraya tak melepas pelukannya.
Aku mengangguk. Kuambil kadoku. Ukurannya lebih kecil dari kado Ryan. Teksturnya berbusa saat kupegang. Kurobek sampulnya sampai terlihat sebagian isinya. Kutarik sedikit sambil kugenggam–kain baju. Kukeluarkan sisanya. Bentuknya tak beraturan. Kubentangkan agar terlihat jelas bentuknya. Kemudian mataku melotot tak percaya, sedangkan Ryan bersiul manja. Baju tidur dengan kain yang sangat tipis. Entah Ryan melihatnya atau tidak–pipiku memerah. Aku tidak tahu harus berbuat apa, belum lagi pelukan Ryan semakin erat.
“Minta nomor Deni, Yang.”
Dahiku mengenyit, “Buat apa?”
“Mau bilang terima kasih buat kadonya,” candanya.
“Gak usah, biar aku saja,” kataku.
“Ya udah kalo gitu,” katanya sambil mencium pipiku lama. Aku tahu, Ryan sedang menginginkan sesuatu. Tanpa aba-aba Ryan membalikkan badanku. Kami saling berhadapan. Aku kaget bukan main. Bisa kurasakan tangannya yang kuat menahan bobot tubuhku. Kado dari Deni terbukti ampuh membuat ruang tamu tak hanya berantakan dengan setumpuk piring kotor, tapi baju kami yang berserakan juga. Ya, kami bersenang-senang di sana.
***
Me : lo emang temen gua yang paling rese
Deni : Hahahaha. Untung gue ngasih majalahnya satu, coba kalo berseri. Ancur lo
Me : Dikasih satu majalah aja bikin gue babak belur.
Deni : Ish ish ish, sangar juga suami lo. Hahaha
Me : Berisik lo Den!!
Deni : Biarin. Wkwkwkwk
Demikian percakapan kami sesaat sebelum shuttle bus mengantarku ke Jakarta. Awalnya Ryan sempat menolak memberiku izin menghadiri acara pagelaran busana tersebut. Bukan karena cemburu, tapi karena Ryan tidak bisa mengambil cuti agar bisa menemaniku di sana. Kucoba meyakinkannya bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Kujelaskan kenapa aku harus menghadiri acara tersebut. Meski enggan akhirnya Ryan memberi izinnya dengan catatan tidak boleh pergi ke selain pagelaran saja.
Aku mengangguk mengiyakan kesepakatannya. Ryan mengantarku sampai ke kantor shuttle bus dan memesankan tiket untukku serta membayarnya. Aku sengaja tidak membawa mobil. Kupikir akan melelahkan saat harus menyetir sendiri ketika tenaga sudah terkuras habis karena acara. Sebelum bus berangkat, kami saling berpelukan dan mengucap salam perpisahan. Jangankan tiga hari, satu jam saja tidak melihat Ryan rasanya hatiku kosong.
Perjalanan tak memakan waktu lama. Kondisi jalanan relatif lengang sehingga kendaraan melaju kencang. Sesampainya di Jakarta, kuturunkan koper kecilku dan menghampiri jajaran taksi yang diam manis. Kusimpan koperku di bagasi dan memberi tahu lokasi tujuan. Sesekali kulihat pemandangan sekitar selama perjalanan menuju hotel. Kuucapkan terima kasih saat taksi menjemputku sampai tempat dengan selamat. Kuturunkan koper dan membayar sesuai argo yang tertera.
Kujejakkan kaki di hotel yang sudah dipesan perusahaanku. Tak jauh dari tempat acara. Aku menuju resepsionis dan mengonfirmasi pesanan kamar. Staf resepsionis memeriksa sebentar sembari memverifikasi data yang diperlukan. Setelah selesai, kartu pintu kamar elektrik diberikan kepadaku sembari memanggil petugas untuk mengarahkanku ke sana. Aku berjalan mengikutinya. Kamarku terletak di lantai 5. Butuh waktu satu menit sampai aku tiba di depan pintu. Petugas tersebut berlalu kemudian aku masuk kamar dan meletakkan koper. Kurogoh ponsel dalam tas kecilku kemudian mengirimkan pesan pada Ryan.
Me : Arrived already. Wish you were here, babe
Kesayangan : Me too. Baik-baik di sana, jangan nakal ya sayang
Me : Mau nakal ah biar kamu ke sini... hahaha
Kesayangan : -_- Ckckck, awas kalau nakal, nanti digigit!
Me : Hahaha, see you 3 days later, dear
Kesayangan : Cant wait!!
Me : Love you
Kesayangan : Love you more…
Aku tersenyum membaca pesan terakhir Ryan. Kusimpan ponsel itu dan merebahkan diri diranjang. Acara berlangsung malam hari. Kulihat jam tangan di tangan kanan. Masih ada sembilan jam tersisa. Segera kuhampiri koper dan membuka resleting kemudian membuka isinya. Kusimpan dalam lemari kecil, sedang peralatan kecantikan disimpan di meja dekat TV.
Setelah dirasa selesai, aku keluar kamar menuju restoran di lantai 1 untuk mengisi perut. Kupesan beberapa menu kemudian mencari tempat duduk sambil menunggu. Pelayanannya begitu cepat. Tak sampai sepuluh menit, pelayan membawakan pesananku. Kunikmati semuanya satu per satu. Alunan musik yang dimainkan membuat suasana jadi hidup. Belum dengan lalu lalang orang ramai bersantap di sini.
H-8 jam, aku menonton saluran TV di kamar hotel.
H-7 jam, aku membaca semua majalah kamar hotel.
H-5 jam, mulai memilah baju yang akan kupakai.
H-4 jam, aku mulai membersihkan diri.
H-3 jam, berganti pakaian dan memulas wajah dengan riasan.
H-2 jam, aku berangkat dengan memesan taksi.
H-1 jam, aku sudah berada di tempat.
Jakarta Fashion Week dimulai. Aku duduk di barisan depan sejajar dengan perancang busana kawakan. Beragam konsep busana membombardir mata tanpa henti. Sederet model terus melenggang di catwalk menawarkan beberapa helai kain yang dijahit menjadi satu kesatuan pola utuh. Ritme beberapa nada dan penampilan beberapa penyanyi menambah hidupnya suasana. Tak hanya itu, kilatan lampu kamera wartawan seakan ingin menyaingi lighting yang sudah dirancang. Belum lagi coretan yang ditulis acak oleh setiap senior fashion pada catatan kecil yang disimpan di paha mereka. Terkadang, busana bukan hanya sekedar padu padan warna dan pola jahitan, lebih dari itu, seni dan idealisme sang perancang.
Kemudian acara dilanjutkan dengan dinner yang dihadiri oleh beberapa orang–termasuk diriku. Membahas tren masa depan serta analisa warna yang akan mendominasi tahun depan. Pelayan menghantarkan makanan mulai dari appetizer sampai dessert. Semua hidangan tersaji sampai aku lupa berapa piring yang dihantarkan. Kegiatan selesai jam sembilan malam. Dan begitu terus berulang sampai hari terakhir. Saat semua sudah berakhir, langsung kurapikan semua baju dan pulang hari itu juga ke Bandung. Urusanku sudah selesai dan ingin secepatnya beristirahat. Tak ada yang lebih nyaman selain melepas penat di rumah sendiri, kan?
Me: Yang, aku pulang ke Majesty. Kalau ponselku tidak aktif berarti aku sudah tidur dan kartu apartemen ada di resepsionis. Love you.
Kukirim pesan pada Ryan setibanya di Bandung sekitar jam sebelas malam. Shuttle bus berhenti di area apartemenku. Saat fisik lelah, tak ada yang lebih penting dari kasur. Itulah alasanku mengarahkan kaki ke apartemen. Kukira aku tak bisa menunggu Ryan datang menjemputku entah kapan. Kujejakkan kaki merangsek masuk lobi dan menuju kamar. Tanpa menghabiskan waktu, setibanya di sana langsung kutelepon resepsionis minta dititipin kartu apartemen kalau suamiku datang. Yang kuingat adalah petugas datang membawa kartu pintu kemudian kukendurkan syaraf punggungku di sofa, lantas semuanya menggelap.
***
Hangatnya sinar matahari pagi menyusup melalui tirai jendela kamar tidur apartemenku. Tidak begitu silau namun cukup ampuh untuk membangunkanku. Kupicingkan mata mencoba bersahabat dengan cahaya pagi. Kukumpulkan seluruh kewarasanku. Sedikit bingung menyadari tubuhku berada di kasur. Padahal jelas kuingat kemarin malam, sofa adalah tempat terakhir melepas penat. Kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Meski begitu, aku merasa ada beban yang hinggap di pinggangku. Tangan kekar dengan sedikit otot menyembul berwarna cokelat
. Bibirku menyunggingkan senyum. Aku tahu pemilik tangan ini. Sontak kuputar badan dan mendapati Ryan sedang tertidur pulas. Kasur apartemenku berukuran lebih kecil dari single bed sehingga badan kami saling menempel. Jarak kami kurang dari satu senti. Kusentuh wajah Ryan lembut. Aku tidak tahu kenapa ada lelaki yang semakin tampan dilihat dari jarak teramat dekat ini. Bahkan aku iri saat menyadari kalau bulu mata Ryan agak lentik seperti perempuan. Sekejap aku beruntung bisa melihat dua pemandangan indah. Satu pemandangan pagi yang hangat, satunya lagi pemandangan wajah Ryan.
Sudah seharusnya aku bersyukur pada Tuhan karena mendatangkan Ryan padaku. Lelaki yang begitu dewasa, maskulin, dengan suara beratnya yang mampu menenangkan dan membuatku merasa tidak sendiri. Lelaki yang tatapannya membuat seakan hanya kau wanita satu-satunya di planet ini. Tajam, intens dan dalam. Yang begitu tegap namun juga lembut saat memeluk. Aku merasa aman dengannya.
Saat kutatap lekat, tak terasa bulir air mata jatuh dari bola mataku. Entah air mata bahagia atau air mata penyesalan karena… jujur, aku belum sepenuhnya bisa menghilangkan kenangan masa lalu. Aku sudah mencoba keras, namun bayang itu berkelebat secara kurang ajar dan mengganggu konsentrasiku. Semakin kucoba melupakan, semakin masa lalu itu jelas terbayang di ingatan. Dan sekarang, aku harus menemukan cara lain untuk bisa menghapus masa laluku. Aku hanya tidak ingin menjadi wanita tak tahu diri yang tetap diam berkutat dengan bayang semu saat masa depan sudah menggenggam mengajakku pergi jauh.
Sudah agak lama mataku tak beralih dari wajah Ryan. Ada semacam efek ketagihan yang membuatku ingin terus melihatnya lagi dan lagi. Kusentuh pipinya pelan dengan jari telunjukku. Sepertinya dia terbangun karena itu. Badannya menggeliat dan matanya terbuka pelan. Kami beradu pandang lantas saling tersenyum. Ryan mencium keningku–pelan, lembut, dalam, tidak tergesa-gesa. Setelah itu Ryan membenamkanku dalam pelukannya dan kembali terpejam. Kubiarkan dia melakukannya. Lagipula, aku betah dipeluknya–tubuh Ryan hangat. Aku suka.
“Kok gak bilang mau ke sini?” tanyaku polos.
“Mau bilang gimana? Kamu tidur pulas kemarin malam. Gak sadar ada yang datang ya?” jawabnya tanpa melihatku.
“Enggak,” kataku polos.
“Ckck! Dasar Kebo!”
“Kalau aku kebo… kamu apa?”
“Juragan kebo!” kami terkekeh bersama sambil tak melepaskan pelukan masing-masing. “Kangen kamu, Na…” ucapnya.
“Aku juga…” jawabku.
“Tau gak, tiga hari gak ada kamu rasanya kayak gimana?”
“Kayak gimana emang?” tanyaku penasaran.
“Kayak karyawan lagi di-pending gajinya, bikin pikiran gila.”
“Masa sih?”
“Iya.”
“beneraaan?” tanyaku dengan senyuman menggoda.
“Iya.”
“Yakiiiiiiiin?” tanyaku semakin menggoda.
“Iya.”
“Masa siiih?” senyumku makin genit.
“Duh! itu mulut enaknya diapain ya? Dari tadi ngoceh terus,” kata Ryan gemas.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. “Laper gak?” tanyaku asal.
“Laper.”
“Gak ke dapur?”
“Males.”
“Aku masakin ya.”
“Gak usah, delivery service aja.”
“Kok?”
“I just want you and this moment all day long. Please,” pintanya.
“Segitu kangennya?”
“Unfortunately, yes.”
“Gak disuruh ke kantor sama bos?”
“Enggak. Kerjaan udah beres kemarin, sengaja dikebut biar weekend gak usah ke kantor. Jadi daripada nganggur gak ngapa-ngapain, mending peluk kamu seharian.”
“Gak akan pegel?”
“Ya enggak, kan istri sendiri. Kecuali kalau istri tetangga.”
“Ckck! Emang paling pinter bikin alasan.”
“Yang penting berhasil… hehe.”
“Ish… ish… ish.”
“Selama dua hari kamu gak boleh masak, beres-beres termasuk cuci baju!”
“Mandi boleh?”
“Itu harus.”
“Mandi doang?”
“Iya, gak berat kan?”
Aku menggeleng tak percaya, “Jadi ceritanya aku mager seharian nih? Ngikutin kamu aja?”
“Iya, Ibu Daraaaaa.”
“Kamu kemarin makan apa sih? Ngedadak kayak gini.”
“Ckck! Suami nyuruh mager bukannya seneng malah disangka macem-macem. Just do nothing and stay beside me and I will do the rest. Clear?”
Aku mengiyakan, “Clear,” ini di luar kebiasaan Ryan, tapi aku pun tak mau membahasnya lebih jauh.
Ryan tersenyum kemudian meraih ponselnya yang tak jauh dari tempat tidur. Menggeser layar dan menekan sesuatu beberapa kali. Sepertinya sedang memesan makanan. Setelah selesai, diletakkan ponselnya ke tempat semula kemudian memelukku lagi. Kubiarkan Ryan memperlakukanku seperti guling. Terkadang Ryan membelai rambutku, mengusap punggungku, menyentuh wajahku. Setiap kulakukan hal yang sama, Ryan selalu menyimpan kembali tanganku seolah hanya dia yang berkuasa berbuat begitu.
Pelukan Ryan terlepas saat terdengar ketukan dari luar pintu. Ryan beranjak mengambil dompetnya dan berjalan mendekatinya. Tak lama dia membawa satu boks pizza jumbo, minuman soda, salad, serta buah dan menyimpannya di meja kecil ruang tamu. Langsung badanku berpindah ke ruang tamu dan mencoba membuka semua penutup makanan. Ryan menyalakan TV dan memilih channel luar kemudian setelahnya menarik lenganku dan mendudukkanku di depannya. Ryan menonton sembari disuapi dan tak melepaskan lingkaran tangannya di pinggangku.
“Kamu kenapa sih? Gak biasanya kayak gini,” tanyaku semakin heran dengan tingkahnya.
“Gak kenapa-napa, kangen aja,” jawabnya polos.
“Yakin cuma kangen aja?” tanyaku sambil menyuapinya.
“Apa harus ada alasan lain?”
“Harusnya sih ada.”
“Sayangnya aku gak punya.”
“Ngarang aja.”
“Tahu sendiri aku paling gak bisa ngarang.”
“Ckckck!”
“Gak mau dikangenin? Gak mau dipeluk?”
“Mau lah.”
“Bilangnya mau tapi dari tadi protes terus.”
“Ya ampun, Ryan. Bukan gitu.”
“Bukan gitu apa?” candanya.
“Ya maksudku… gak biasanya kamu kayak gini.”
“Tuh kan… protes lagi.”
“Bukan gitu… ta…”
“Nah kan… nah kan, udah dua kali nih protesnya.”
Aku diam.
“Udah jangan banyak tanya, jangan banyak protes. Tinggal duduk manis temenin Juragan Kebo, Deal?”
Kuhela napas, “Deal,” kami berjabat tangan kemudian melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. Begitu seterusnya sampai keesokan harinya. Pelukan Ryan hanya terlepas saat mandi saja. Selama itu, aku seperti boneka kesayangan Ryan yang terus digenggam. Mengikuti ke mana pun dia suka dalam diam.
Ya, adakalanya dalam hidup di mana kita tak mau melakukan apapun kecuali bersama dengan orang yang kita sayang. Menikmati setiap detiknya. Menghabiskan momen di sampingnya. Sedapat mungkin membersamainya. Tanpa terdistraksi oleh beban hidup lainnya. Kamu untukku, aku untukmu, kita untuk selamanya.
***
Rasa dingin enam tahun lalu yang begitu betah mendiami dada kini mulai luruh. Berganti hangat dari orang yang berbeda. Kumulai memberanikan diri untuk jatuh cinta lagi. Mulai merasa. Mulai menyayangi. Bukannya aku tidak mencintai Ryan sejak awal menikah. Aku cinta. Aku berusaha sekuat mungkin menjadi istri yang baik untuk Ryan. Hanya saja kenangan itu seolah menarikku untuk mundur di saat kaki ingin melangkah maju. Dita benar, selama ini aku salah karena begitu menggantungkan kebahagiaanku pada satu orang di saat aku bisa mendapatkan hal yang lebih dari itu.
Tak terasa empat bulan kami menjalani rumah tangga. Meski ada beberapa pertengkaran kecil, itupun karena perbedaan jam pulang disebabkan lembur. Sebisa mungkin aku dan Ryan menjaga komunikasi. Bagiku, Ryan adalah paket lengkap. Lelaki yang bisa menjadi suami, kakak, sahabat sekaligus partner in crime. Meski sampai saat ini belum dikaruniai anak, namun tak membuat kami bersedih. Belum lagi orang tua Ryan yang begitu baik padaku. Maklum, Ryan adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Ditambah Ryan adalah anak emas dan aku adalah menantu kesayangannya.
Dukungan selalu mengalir untuk kami. Bahkan ibu Ryan pernah bilang kalau beliau lebih sayang padaku dibanding Ryan. Semuanya sudah lebih dari cukup–terlalu sempurna malah.
Seiring berjalannya waktu, kehadiran Ryan mampu menggeser posisi Erik. Pelan tapi pasti. Aku mulai bisa menerima kenyataan ini. Kenyataan aku begitu menginginkan Erik dengan segenap idealismeku tentang jodoh memang tak akan pergi, namun sudah tak mendominasi pikiranku lagi. Aku sadar, mimpi kita hanya dibatasi oleh takdir semesta. Ada satu titik di mana segala yang sudah diusahakan untuk meraih mimpi ternyata dialihkan sedemikian rupa sampai bertemu dengan kenyataan lain, dan yang bisa kita lakukan hanya menerimanya sebagai jalan hidup.
Seperti setiap malam yang sudah-sudah. Kulakukan aktivitas sehari-hari. Menyiapkan makanan. Memilihkan baju tidur untuk Ryan. Sesekali diseling dengan bercanda sampai waktu istirahat tiba. Namun sebelum kumatikan lampu, bunyi notifikasi muncul dari ponsel. Bunyi khas yang datang saat ada email masuk. Ah, bahan revisi apa lagi ini? Inbox email-ku hanya berbunyi jika ada kerjaan kantor yang meminta diperbaiki secepat mungkin. Kubuka kunci ponsel dan menekan tampilan layar. Kuputar bola mata tak percaya. Betapa terkejutnya.
Apa maksudnya ini?
Erik Pradana Rahadian
No Subject
It’s been a very long time. Apa kamu masih di tempat yang sama? Cant wait to see you.
***

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices