
by Titikoma

Mafia Itu Telah Mati
Kacamata hitam milik pria itu berkilat tertimpa cahaya keemasan, sang mata dewa nyaris tersandung dan jatuh di kaki langit. Kemeja hitam yang lengannya tergulung rapi hingga batas siku tampak berkibar sebab kancing-kancing yang tidak bertaut. Kesempitan. Menampilkan kaus senada yang melekat erat di dada dan perut sixpack-nya. Tak luput skinny jeans berpadu dengan sneakers gelap membalut tubuh bagian bawah si pria. Sebagai penyempurna penampilan stylish-nya, sebuah ransel merek luar negeri tersampir di punggung. Dengan atribut keren itu, si pria tampak serupa patung manekin pusat perbelanjaan. Sekilas, pria itu tampak menawan,wajah bersih tanpa hiasan kumis atau cambang pada kulit putih mulusnya. Amat terawat. Jelas, ia rajin facial atau minimal langganan dokter kulit dan kelamin. Kilatan manik mata legam berkelopak sempit disembunyikan di balik kacamata hitam. Bertengger manja pada hidung bangir yang tampak semakin runcing karena efek minyak berlebih pada wajah yang belum sempat diseka dengan oil control film. Menambah kesan misterius dengan serius. Tubuh pejantan itu memancarkan aroma maskulin samar yang berpadu dengan aroma segar bubble gum. Sedikit tidak singkron dengan visualisasinya memang. Tapi siapa peduli? Toh, setelah ini ia dapat dengan mudah membeli parfum macho sekelas Hermes Terre D’hermes atau Hugo Bos Orange untuk dimandikan keseluruh tubuh. Sekali lagi, tidak disemprot tapi dimandikan. Terdengar sombong memang. Itulah gayanya. Pria itu kini mematik sesuatu yang ia keluarkan dari saku jeans-nya. Bersender nyaman pada kursi balkon bangunn mewah diujung sebuah tebing sebuah bukit. Mengisap lamat-lamat sembari merem-melek. Amat nikmat. Didepannya, pada deretan perbukitan lain yang lebih menjulang, tersuguh lukisan alam yang indah pula memanjakan mata. Lanskap pegunungan yang menghijau lengkap dengan langit cerah berpijar kilau keemasan sebagai latar belakang. Ketika udara sejuk khas dataran tinggi berembus, abu di pucuk putung rokoknya segera beterbangan tak tentu arah, serupa jomblo yang kehilangan titik koordinasi hati. Terombang ambing tak tentu arah. Pria itu masih enggan beranjak dari tempatnya duduk, berupa set kursi jati berukir yang posisinya membelakangi kolam renang kecil. Betah. 6 4 Jika siatuasi memungkinkan, ia akan memilih menginap di vila mewah di sebuah puncak bukit itu. Sebab ia begitu menikmati detik demi detik pergeseran waktu yang terjadi. Hatinya sedang bungah. Diliriknya smartwatch berlogo buah tidak utuh di lengan kirinya yang mengeluarkan bunyi ‘bip’. Pertanda waktunya sudah habis. Kemenangan mutlak ditangannya. Misinya telah berhasil. Saatnya ia mengucap kata; sempurna. *** 7 5 Ruang kamar sebuah vila mewah menampilkan dinding bercat kuning gading dan berlantai granit mengilap. Perabotan monokrom perpaduan putih dan emas mengisi interior ruang itu. Tampak amat berkelas. Baik layar televisi LED yang tergantung, ranjang besar, sova, karpet tebal, vas bunga, lampu hias, bingkai foto mantandan semua benda didalamnya tertata dengan apik. Sudah pasti didesain dengan ahlinya dengan presisi. Baik segi estetika dan kegunaannya. Ahli botani. Sepasang mayat yang terbujur kaku pada ranjang ukuran king di tengah ruangan. Tersembunyi di balik selimut sutra mahal super lembut hasil impor, Tanah Abang. Keduanya terbaring tak berdaya bagai bunga raflesia arnoldi layu sebab lupa waktu mekar. Sebenarnya, jika diamati sekilas, kematian tampak amat damai menjemput keduanya. Bak Romeo-Juliet dalam pose saling berpelukan, seolah pasangan sehidup-semati yang tak terpisahkan meski ajal telah datang. Dalam pose tidur pulas untuk selamanya, tidak ada setitikpun bercak darah di sekitar mayat. Baik pada seprai, selimut, pakaian, underwear, lantai granit, maupun area kamar mandi berhias penuh batu pualam, semuanya bersih. Tidak ada luka luar pada sepasang mayat itu. Tampaknya kerja si pembunuh amat efisien. Bahkan tidak meninggalkan jejak pembunuhan sekecil apapun. Baik sehelai rambut atau setitik kelupas kuteks kuku. Tipe kelas kakap yang menghilangkan nyawa manusia secara profesional. Salah satu mayat, seorang pria paruh baya berbadan tambun dan berperut buncit dengan kepala separuh botak mengilap. Persis pejabat-pejabat korup. Merupakan incaran utama si pembunuh. Sementara mayat yang lain, seorang wanita muda berbadan sintal dengan wajah oriental yang terpaut umur belasan tahun dengan si pria sesungguhnya tidak memiliki kepentingan apapun dengan si pembunuh. Namun untung tak dapat dimakan, malang terpaksa ditelan. Sial. Ia tengah bersama si korban saat kejadian. Si pembunuh tidak memiliki pilihan selain turut mengirimnya ke neraka lebih cepat dari semestinya. Kalau saja si wanita tahu, bahwa di manapun tempat, pembunuh tidak menghendaki alibi. Sebab itu akan merepotkan dalam persidangan di meja hijau jikalau si pembunuh tertangkap nanti. Maka untuk mempersingkat usaha, daya upaya, pula air mata buaya, maka dilenyapkan sekaligus dua manusia itu. Si wanita pasti mati penasaran. Demi sebuah janji masa lalu, demi sebuah dendam yang mengalir di setiap 8 6 detak nadi, demi sakit hati yang melekat di ingatan masa kecil, demi kuah mie instan di tanggal tua, dua insan nista terpaksa harus dilenyapkan dari atas muka bumi. Dinas kependudukan harus mengucap syukur, sebab populasi penghuni bumi kini sedikit lebih lega akibat kepindahan dua makhluk sosialnya ke neraka. Si pembunuh sebentar lagi akan mendapat penghargaan, berupa Nobel.
Pria itu kini beranjak dari tempat duduk sembari membenarkan letak topi yang menutupi separuh wajah. Tidak ada ekspresi apapun di sana. Datar saja. Degan atribut serba gelap dan seringaian kecil,semestinya ia tampak misterius serupa pembunuh berdarah dingin dalam adeganadegan film thriller. Namun ia justru lebih seperti akan mengadiri upacara pemakaman. Mendadak sekelumit momen terlempar bebas pada ingatannya, saat ia mengabdi pada profesi lamanya. Pekerjaan yang amat menyenangkan dan menegangkan. Jika boleh jujur, ia lebih suka pekerjaan lamanya yang memacu adrenalin. Sebab dengan begitu ia akan tetap merasa tetap berdiri tegak layaknya kaum adam seharusnya. Lima tahun lamanya ia telah menggeluti dunia tembak-menembak. Sebagai seorang penembak jitu tak bersertifikat. Ilegal. Kapabilitas dan kredibilitasnya tidak perlu diragukan lagi. Ia seorang sniper kelas kakap. Ini tidak sedang membicarakan teknik mnangkap ikan di laut. Tapi, tidak ada misinya yang tidak berhasil. Sekali tarikan pelatuk dari jemari lentiknyanya berakibat fatal.Menembus tulang kepala dan mengoyakkan isinya. Memuncratkan cairan merah ke mana-mana. Nyawa melayang. Tapi mulai hari ini, ia akan meninggalkan zona nyamannya. Ia telah melonjongkan tekad untuk pindah haluan. Menutup buku kenangan tentang pekerjaan kotornya dan memulai lembaran baru. Demi sebuah alasan dan sebuah transaksi beroyalti tinggi. Ia siap banting stir. Tapi bukan untuk menjadi pengusaha cireng Bandung. Maka untuk menutup karir gemilangnya, ia menciptakan gaya baru di penghujung masa kerja. Semacam kenangan tak terlupakan. Sesuatu yang akan terkenang sampai akhir hayat, serupa hal remeh-temeh yang dilalui bersama mantan kekasih. Sekalipun itu bukan gayanya. Ia lebih suka mengirimkan korbannya ke neraka dengan cepat dan efisien. Mengeluarkan otak dari dalam kepala si korban dengan peluru pistol contohnya. Ia tidak suka berbasa-basi. Selalu ada pengecualian untuk hal-hal tak terduga di luar kuasa manusia. Seperti mati, jodoh dan mengirim seseorang ke hadapan gerbang neraka. Untuk orangyang membawa pengaruh besar sepanjang hidupnya, orangyang menjadi muara seluruh masalahnya selama ini, ia harus sekali berbasa-basi sampai berbusa. Anggap saja pemanasan untuk si korban sebelum bertemu malaikat Rakib dan Atid. 10 8 Ketika udara sejuk khas dataran tingggi kembali berembus ia menyadari sesuatu. Murni kelalaiannya. Akibat langsung dari terlalu banyak melamun dan memikirkan masa lalu. Lalu mengumpat, “Sialan!” Ia lupa, bahwa nikotin yang berpadu dengan adrenalin dan dinginnya dataran tinggi dapat mengakibatkan penyakit lamanya kambuh. Asma. “Sialan! Sialan! Sialan.” Ia memaki lagi bertubi-tubi sembari tersengal. Sesuatu seperti mengikat dadanya. Menyesakkan. Memaksa oksigen didalam paru-parunya agar enyah sejuh mungkin. Citranya sebagai pria misterius serupa pembunuh berdarah dingin runtuh sudah dalam sekali jentikan jari. Jari-jemari malaikat. Tidak ada manusia yang terlahir sempurna, menurut sebuah lirik lagu. Bahkan pria muda bercitra pembunuh berdarah dingin kelas kakap sekalipun. Tapi mestinya tidak kambuh saat sedang beraksi juga. Ia meraba saku celana mencari cari sesuatu yang dapat menambah panjang umurnya. Sangat tidak lucu sebuah berita utama koran harian mengabarkan berita ‘Seorang Pria Muda Bercitra Pembunuh Berdarah Dingin Mati Saat Mengemban Tugas.’ Ketemu! Disemprotkan obat keparat itu ke dalam rongga mulut sebelum kunangkunang di kelopak matanya semakin berlipat jumlahnya. Ia memejamkan mata beberapa saat hingga berhasil mengusik kunang-kunang sialan itu. Ketika kesadarannya pulih total, ia baru menyadari ponsel di dalam saku kemeja bergetar. Entah sejak kapan. “Kau sudah melakukannya?” Ucap suara dari seberang saluran tanpa sapaan ataupun ucapan sayang. “Apa?” Jawab si pria cenderung polos. Mengusap peluh sebesar batu akik yang menggenang di dahi. “Bodoh! Aku minta kau eksekusi sejak sejam yang lalu tolol!” Maki suara bariton dari telepon tanpa tedeng aling-aling. Seperti teringat sesuatu ia menjentikkan jemari lentiknya. “Ah, ya! Aku sudah melakukannya.” “Bagaimana aku bisa memercayaimu?” Si bariton menyahut dengan nada meremehkan. 11 9 “Jika kau tidak percaya kenapa menyuruhku? Kau meragukan kredibilitasku!” Si pria menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kesal. “Lalu kenapa aku tidak menerima kabar menghebohkan serupa mafia pengedar narkoba terbesar di kota ini mati hah?!” Rupanya suara dari sebrang saluran telepon tidak kalah kesal. Ikut naik satu oktaf. Jika kejadian ini berlanjut, keduanya pasti pantas menggelar konser seriosa. Menyanyikan lagi-lagu dengan nada tinggi. “Kau pikir aku harus update di Path setelah melakukan pembunuhan agar berita menyebar dan menjadi viral?! Hah!” “Kau ini bodoh atau apa?! Panggil polisi tolol! Aku ingin kehebohan!” “Oh ya, kau benar, aku lupa menghubungi para perut buncit pengeruk recehan.” Sesalnya sembari memikirkan betapa sial penyakit asmanya kambuh saat sedang bekerja. “Pastikan kau tidak lupa menghirup oksigen sebanyak-banyaknya agar tidak turut mati konyol seperti mafia narkontika itu, wahai anak muda!” Si bariton mengakhiri pembicaraan. “Bagaimana kau bisa tahu? Kau ini cenayang atau apa? Halo, halo—,” sayang sambungan telah diputuskan secara sepihak. “Sialan!” Umpatnya kemudian. Dijauhkannya telepon pintar dalam genggaman itu dari telinga. Layarnya yang sesaat memunculkan pemberitahuan mengunci layar otomasis, kemudian padam. Sepi. Tidak ada lagi sua dari bend kotak pipi itu. Lakilaki itu tertegun, cukup lama. Ditatap olehnya layar selebar lima inci di tangan. Sesuatu terpikir di benaknya. Cukup mengganggu. Dibukanya kembali histori panggilan masuk sembari berpikir serius. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat lamanya, diusapnya layar itu untuk membuka kunci layar. Dan menghubungi nomor panggilan terakhir. Tak membutuhkan waktu hingga mantan pacar mau diajak balikan, ia segera menghubungi nomor panggilan terakhir “Maaf aku tidak tahu berapa nomor telepon kantor polisi yang bisa dihubungi,” ujarnya jujur. Cenderung polos tanpa dosa.