
by Titikoma

Penulis Kesepian
Akhirnya, Henri tiba juga di lantai sepuluh Apartemen Thamrin. Seluruh badannya terasa pegal. Belum lagi tadi kakinya sempat terkilir gara-gara membalas smash tajam dari Arbi. Ya, dua jam penuh ia menghabiskan waktu bermain squash bersama Arbi di fitnes center, berharap bisa mengurangi timbunan lemak yang merajarela beberapa minggu ini. Lelaki itu sempat terkejut saat memeriksa timbangan badan kemarin lusa. Astaga, beratnya 80 kilogram! Pantas orang-orang di penerbit mengatainya si chubby. Memangnya tubuhku sebulat itu? gumamnya dalam hati. Saat ini ada satu hal yang membuat kepala Henri serasa ingin meledak. Ini selalu tentang novel, novel, dan novel. Ia benar-benar kesulitan menjernihkan isi kepalanya. Sungguh, ia butuh inspirasi agar tak perlu lagi mendengar teriakan orang-orang di Rainbow yang memaksanya untuk menulis novel bagus. Berharap bisa segera melempar draft-draft itu dan membungkamkan mulut mereka. Namun pada akhirnya Henri hanya bisa mengembus napas panjang. Untaian kata yang telah tertulis di beberapa lembar terasa kurang bernyawa. Jika dipaksakan, hasilnya tak akan pernah sempurna. Bukan pujian, melainkan cacian yang akan ia dapatkan! “Hen, kamu itu penulis puluhan novel best seller, kok bisa tulisanmu murahan seperti ini?” Sempat kalimat menjengkelkan itu diarahkan padanya saat seorang editor senior bernama Rendra membaca draft awal novelnya. Jelas Henri tersinggung, baru saja membaca beberapa lembar sudah membuat penilaian seenaknya. Mungkin memang sudah takdirnya menjadi penulis terkenal yang otomatis menjadi selebritis pula karena keseringan gaul dengan artis dan wartawan infotainment, terutama saat masih pacaran dengan Laura Alexandra. Henri Samuel pernah mendapatkan penghargaan bergengsi sebagai penulis novel romance berbakat dua tahun lalu. Dan ia tahu betapa jengah dengan semua titel-titel memuakkan itu. Mereka seolah membuat standar super tinggi untuk setiap karya yang ia hasilkan. Nyatanya, lelaki itu tak bisa menulis sebebas dulu saat masih berkumpul dengan komunitas penulis di Kota Bandung. Lambat laun, Henri mulai diurus oleh Harry Pradipto, editor senior yang baru bergabung di Rainbow enam bulan lalu, menggantikan Rendra 6 4 yang memutuskan bergabung dengan penerbit lain yang lebih besar. Nampaknya itu memberi keberuntungan tersendiri bagi Henri. Lelaki berbobot maksimum itu seolah tahu bagaimana membuat seorang penulis bisa termotivasi oleh ide-ide briliannya. Tak dipungkiri, Harry memang sosok yang menyenangkan. Partner kerja sekaligus teman main yang bisa diandalkan—terutama kalau menyangkut makanan. Dia mampu mengangkat suasana hati Henri yang kadang drop drastis dengan ocehannya yang luar biasa panjang atau sekedar mengajak diskusi di kafe tempat biasa mereka nongkrong. Ya, meski mulut lelaki itu lebih cerewet dari seorang perempuan. Tapi Henri tahu, Harry peduli padanya. Telepon genggam Henri berbunyi. Lampu indikator berwarna merah itu mulai berpendar lagi. Ada satu pesan dari Harry. Hen, book trailer novel si Riza sudah nongol tuh di YouTube. Coba dicek! Henri menyeringai sinis. Niat amat sih Harry ngasih kabar? So what? gumamnya dalam hati. Semua orang tahu novel terbaru Riza Pratama akan diluncurkan minggu depan. Namun, pesan dari Harry barusan seperti menabur garam di lukanya yang masih basah. Riza Pratama. Siapa sih yang tidak kenal penulis yang sempat satu sekolah dengan Henri dan Arbi saat SMA? Entah bagaimana ceritanya Riza seolah membayang-bayangi hampir di seluruh perjalanan hidup Henri. Persaingan mereka memang sudah berjalan sejak lama. Dan itu diawali saat keduanya menjadi satu tim dalam sebuah lomba karya tulis tingkat SMA. And guess what? Riza mencuri ide-ide Henri saat tak sengaja meninggalkan catatan di laboratorium bahasa. Henri gusar, Riza menyampaikan ide itu seolah satu-satunya orang yang paling berkontribusi pada kemenangan tim mereka. Akhirnya, bisa ditebak, keduanya berkelahi. Tak puas hanya di situ, saat di bangku kuliah pun Henri dan Riza sempat bersaing takhta memperebutkan jabatan ketua himpunan mahasiswa Sastra Indonesia di kampus. Sungguh, sepertinya berkelahi sudah bukan hal aneh lagi bagi mereka. Dan lagi-lagi, karena insiden itu Hima membatalkan pencalonan keduanya. Sebenarnya Henri tak mempermasalahkan jika Riza sekedar mencuri popularitasnya. Namun kenyataannya lebih dari sekedar itu, Riza membuat hubungan Henri dengan Laura hancur. Saat tahu ada yang salah dengan mereka berdua, Riza mengambil kesempatan mendekati Laura.
Sialnya, Laura seolah gelap mata. Tidak tahu siapa sebenarnya orang yang dia cinta. Ujung-ujungnya Laura bersimpati kepada Riza. Jauh di dalam hati Henri takkan pernah bisa memaafkan. Ketika semuanya ia berikan tulus pada perempuan itu, Laura sama sekali tak menghargainya. Hanya karena popularitasnya yang menurun, dia memilih Riza. Berharap bisa mengangkat namanya lagi sebagai model papan atas. Wajar Henri menyesali perpisahan itu. Bagaimana tidak? Mereka telah pacaran selama tiga tahun, tepatnya sejak popularitas Henri memuncak karena keberhasilan novel perdananya. Tak sengaja ia bertemu Laura pada sebuah acara jumpa fans. Tidak ada yang spesial saat Laura datang menghampiri dan memintanya untuk menandatangani halaman pertama novel itu—bahkan Henri tak menyadari kalau Laura seorang model. Meski tak dipungkiri paras Indo Jermannya membuat Laura terlihat berbeda dengan perempuan lain di sekitarnya. Apalagi dengan postur tubuh yang menjulang menyaingi tubuh Henri yang hampir mendekati 180 cm. She’s amazing. Dia juga yang secara tak langsung membuat Henri populer di dunia selebritis. Gosip-gosip hangat seputar siapa kekasih Laura Alexandra seolah menjadi sasaran empuk para wartawan. Hubungan ini memberi keuntungan tersendiri bagi karier Henri maupun Laura. Ia ingat persis saat perayaan Valentine dua tahun lalu, mereka menjadi ikon pasangan selebritis di sebuah majalah remaja nasional. Dan Henri sadar, ia ingin mengulang semua kenangan indah itu. ***
Sesibuk apapun, Henri selalu berusaha menjaga kualitas persahabatannya dengan Arbi. Sepuluh tahun cukup membuktikan kesetiaan Arbi sebagai seorang sahabat, dan tentunya Henri sungguh beruntung memiliki teman seperti dia. Meski terkadang objek pembicaraan mereka selalu tidak nyambung, seorang penulis berbicara dengan seorang bankir. Apa bisa tautan kalimat berdiksi menyatu dengan rumus dan angka-angka? “Hmm… book trailer-nya bagus,” komentar Arbi tanpa beban. Henri hanya menyeringai sinis, dia kesal bagaimana bisa sahabat sendiri tidak peka dengan perasaannya. Baru setelah sadar, Arbi sedikit mengoreksi kalimatnya. “Tapi, belum tentu ya isi novelnya?” Lelaki itu meringis lalu kembali mengunyah pancake-nya. “Masih jauhlah sama novel Cattelya. Oh iya, aku dengar Cattelya mau dibuatkan film ya?” Henri tahu sahabatnya itu hanya ingin membelokkan percakapan mereka. Padahal, Arbi tahu jelas, Cattelya gagal difilmkan karena kurang sponsor—seperti gosip yang sempat beredar di kantor. Pada akhirnya Henri mengangkat bahu, tidak berminat meladeni pertanyaan Arbi. “Kamu lihat sendiri, book trailer ini dilihat oleh hampir lima ratus orang! Pastilah mereka antusias menunggu novel itu.” “Namanya juga barang baru. Wajar dong kalau orang-orang penasaran kayak gimana sih novel barunya Riza Pratama?” meski sanggahannya masuk akal, tetapi semua hal yang berbau Riza Pratama benar-benar membuat Henri mual dalam seketika. Ia yang mulai tak berselera makan, akhirnya memutuskan untuk menutup laptop lalu meninggalkan Arbi sendirian di food court. Suasana hati yang memburuk membuat laparnya hilang seketika. “Loh? Bukannya kamu mau sarapan?” tanya Arbi masih dengan mulutnya yang penuh. “Aku ada janji sama Harry di Rainbow,” ujar Henri tergesa-gesa. Ia mencoba untuk rileks. Bagaimanapun lelaki itu harus bisa mengendalikan diri, apalagi di saat gempar seperti ini. Orang-orang di Rainbow pasti dibuat pusing gara-gara novel yang dikeluarkan Firework, perusahaan yang menerbitkan novel milik Riza Pratama. Dan Henri merasa dia akan kena getahnya. Seperti mesin penghasil uang yang mengacaukan rencana mereka. Ini semua tidak adil! Penulis di Rainbow bukan hanya aku seorang! Ingin rasanya ia berteriak di depan orang-orang sombong
itu. Bagaimanapun Henri telah berusaha. Semua kewajibannya telah ia tunaikan, termasuk membuat tiga novel sekaligus tahun lalu. Dan dia tak mau dipersalahkan hanya karena novel-novel itu tidak laku di pasaran. *** 10 8 “Sudah... sudah… kamu gak usah ngomel kayak gitu!” rupanya Harry sudah kesal mendengar ocehan Henri yang tidak penting sejak pertama memasuki ruangannya. “Bukannya kali ini jatah saya yang ngomelin kamu?” lelaki itu menatap anak didiknya dengan serius seraya melipat kedua tangan di dada. Cukup membuat Henri sedikit gugup. “Coba kesampingkan dulu soal tiga novelmu yang gagal kemarin dan renungkan apa kesalahanmu!” seru Harry. “Novelmu sudah ketinggalan zaman,” lanjutnya. Seketika itu juga Henri mendongak. Kalimat terhina yang pernah dia terima dari seorang editor. “Sorry, maksudmu apa?” ujarnya ketus. “Iya, itu yang saya simpulkan soal novelmu kemarin. Buktinya kemasan repackage saja tak bisa membantu. Hanya mampu terjual puluhan eksemplar. Tujuan utamanya memang bukan untuk meraup penjualan tinggi. Hanya sebagai pembuktian kepada masyarakat bahwa Henri Samuel masih ada, seolah sedang mempersiapkan novel spektakuler lainnya,” lelaki itu bangkit lalu mengintip ke arah luar melalui celah jendela. “Kamu tahu? Rainbow peduli dengan kariermu, bahkan saat kondisi terpuruk seperti ini kami mempertahankanmu. Kenapa? Karena kami yakin ada potensi yang belum ter-eksplore pada dirimu. Kamu pikir saya tidak pernah membaca puluhan cerpen yang berhasil masuk media massa bergengsi itu? Ayolah! Tunjukkan pada dunia siapa sebenarnya Henri Samuel!” suaranya mendadak menggelegar seperti seorang pembicara di depan forum pada sebuah sesi motivasi—khas seorang Harry Pradipto. Untuk pertama kali, bulu kuduk Henri berdiri mendengar ucapan lelaki itu. Namun pada akhirnya dia segera menyadarkan diri. Bisa saja editornya itu hanya mencoba merayu agar mau menuruti apa maunya. Pada akhirnya Henri hanya bisa menunduk tepekur. Menyerah pada dunia. Sepertinya dia siap menerima nasib buruknya. *** 11 9 Hari ini adalah launching novel terbaru Riza Pratama. Acaranya digelar di sebuah outlet buku terbesar di Grand Indonesia. Bukan main antusiasnya masyarakat menyambut kehadiran lelaki itu. Henri yang sempat dilarang datang akhirnya memaksakan diri meski harus sembunyi-sembunyi memakai topi hitam dan kacamata. Walau menyamar, karakter seorang Henri Samuel takkan bisa terbantahkan. Penampilannya tetap harus sempurna layaknya seorang Henri Samuel—walau dia sadar tak akan ada seorang pun yang akan mengenalinya. Riza tampak keren dengan memakai kemeja putih berlengan pendek. Badannya yang atletis membuatnya cocok memakai baju model apapun juga. Nampaknya kehadiran para penggemar perempuan bukan sekedar ingin melihat bukunya. Dari dulu Riza tidak pernah berubah, tebar pesona ke semua kaum hawa. Dan itu salah satu kebiasaan buruk dia yang Henri tak suka. Sang kekasih hatinya ternyata tidak pernah jauh dari pasangannya. Laura nampak tenang di kursi tamu undangan. Sesekali dia melambaikan tangannya ke arah Riza. Ya Tuhan, seandainya saja lambaian tangannya itu mengarah padaku. Sekarang juga kubawa lari Laura dari kerumunan orang ini, gumam Henri dalam hati. “Maaf, kakak ini Henry Samuel ya?” seorang perempuan yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Henri akhirnya mendekat dan menebaknebak sendiri. Henri tersentak, tak menyangka ternyata ada orang yang mengenalinya. Pelan-pelan ia mengangkat tangan. “Siapa? Henri? Maaf, kayaknya kamu salah orang,” sangkalnya, kemudian buru-buru pergi meninggalkan keramaian. Ya. Henri berhasil melarikan diri dari keramaian itu. Sambil melangkah pelan, tak sadar ia telah menapaki sebuah outlet buku sederhana. Tanpa tujuan pasti ia hanya mengikuti langkah kakinya memasuki tempat itu. Meski kecil, tetapi outlet buku ini nyaman. Pelayanan yang mereka berikan cukup membuat pengunjung betah. Seperti senyum, salam, dan sapa yang tak pernah henti kepada setiap pengunjung yang datang. Apalagi saat ini suasana toko begitu ramai dengan berbagai atribut promosi sebuah novel. Namun, mendadak mood Henri turun lagi saat menyadari justru novel Riza Pratama yang menjadi objek promosi besar-besaran itu. Benar sekali. Novel terbaru Riza Pratama “Finally Love” mulai beredar sebagai 12 10 New Release dan ditempatkan di sebuah meja display yang sangat besar dengan poster bergambar dirinya. “Silakan, novel terbaru Riza Pratama sudah terbit!” Huh… ya… ya… ya… tak perlu banyak bicara pun aku sudah tahu! gumam Henri jengkel. Ia tatap sinis pada pramuniaga itu. Dan pemuda tak bersalah itu akhirnya bergidik ketakutan melihat reaksi Henri. “Meretas ranjau cinta pada satu kisah. Perlahan mengalir di antara dua hati yang terbelenggu. Cinta. Tak semudah itu aku mengartikannya hingga kupahami semua melalui dirimu. Finally Love.” Henri menghela napas panjang. Sepertinya ia tak berselera lagi untuk membaca kelanjutan sinopsis novel Finally Love. Belum siap untuk mengakui bahwa karya Riza Pratama lebih hebat darinya. Maka ia meletakkan novel yang baru diraihnya di sembarang tempat. lalu bergegas menuju satu lorong di depan. Langkahnya kini menuju jajaran rak regular. Ya, dia pun ingin melihat novelnya sendiri yang sempat laris dua tahun silam dalam kemasan repackage. Setelah mencari beberapa saat, Henri menemukan novel berjudul Cattelya tepat di pojok bawah rak sebelah kanan. Menyedihkan kalau mengingat novel ini. Setelah gagal mengangkatnya ke layar lebar, kini novel seorang Henri Samuel harus ditempatkan di posisi terpencil seperti ini. “Kak Henri Samuel?” lelaki itu terperangah saat seseorang memanggil namanya. Sudah pasti perempuan itu mengenali lelaki jangkung berparas oriental di hadapannya. Meski bingung, Henri mencoba tersenyum ramah menyembunyikan kegelisahan sendiri. “Ah… ternyata benar ini Kak Henri Samuel,” ada binar kekaguman di mata gadis itu. “Iya. Kebetulan saya ada di daerah sini. Iseng masuk ke toko buku,” tak peduli alasannya masuk akal atau tidak, Henri harus bisa menjawab pertanyaan perempuan itu. “Saya penggemar Kakak, loh. Semua novel Kak Henri saya punya lengkap, termasuk Cattelya,” ujar perempuan itu seraya merogoh sesuatu di dalam tasnya. “Ini saya bawa novelnya. Kebetulan sekali ya? Novelnya ada di tas saya. Boleh minta tanda tangan Kak Henri?” seperti dugaannya. Perempuan itu ujung-ujungnya minta tanda tangan. 13 11 “Boleh…” Henri tersenyum sopan seraya menyiapkan pulpen yang entah kenapa sudah menempel di saku kemejanya. Perempuan itu menyebut satu nama. Rianti. To: Rianti. Thank you for being my fans Henry Samuel Ada kepuasan yang sangat di pancarkan wajah Rianti saat lelaki itu menyerahkan novel tersebut kepada pemiliknya. Gadis itu memiliki alis mata gelap berbentuk bulan sabit. Sangat serasi bersanding dengan bentuk matanya yang oval. Cukup lama Henri memperhatikan wajahnya. “Kak Henri?” “Ah, maaf,” Henri mengerjap lalu tersenyum malu. Hingga akhirnya perempuan itu berlalu meninggalkan kesan yang mendalam. ***
Lagi-lagi Henri melewati malam kelabunya bermain squash di fitnes center Apartemen Thamrin. Dengan siapa lagi kalau bukan dengan Arbi? Saat ini ia ingin memukul kencang bola dan membalas setiap pantulan yang melayang ke arahnya. Benar, ia butuh energi untuk meluapkan semua kegusaran ini. Kalau perlu Arbi dia buat mati bersimbah keringat memaksa memutar otak bagaimana cara membalas pantulan pukulan sahabatnya. Di sinilah seninya bermain squash, otak dipaksa untuk membuat taktik dan berstrategi. Seperti strategi yang dimainkan Henri, ia memainkan pantulan bola bervariasi. Saat Arbi berpikir ada di atas, ternyata bola itu terpantul ke bawah. Sungguh, mereka menyukai permainan ini. “Sudah-sudah! Aku nyerah!” Arbi menjatuhkan raket lalu mengangkat kedua tangannya. Terlihat kaosnya basah kuyup oleh keringat dan wajahnya mulai memerah seperti kepiting rebus. “Kamu gila apa? Bermain kayak orang kesurupan!” rutuk Arbi. Henri tak menanggapi gurauan Arbi. Namun setidaknya lelah ini lebih baik daripada sakit hati yang berbulan-bulan menderanya. Ia melempar raket sembarangan lalu menjatuhkan tubuh ke atas lantai dingin. “Tadi aku menghadiri acara peluncuran novel Riza,” gumamnya sambil menerawang langit-langit. “What?? Are you crazy?” Arbi terperangah. “Aku menyamar dan menyelinap di antara pengunjung,” Henri mengembuskan napas dalam-dalam lalu menoleh ke arah Arbi, “Aku sudah tidak berdaya. Tidak lama lagi karierku akan hancur,” tiba-tiba saja semua terasa hening. “Seorang Henri Samuel menyerah hanya karena kehabisan ide, ditambah masalah pribadi, dan sialnya sang kekasih direnggut oleh saingannya sendiri. Kamu gak merasa malu gitu?” gumam Arbi. Pertanyaan retoris yang sungguh membuat Henri muak, tetapi memang seperti itu keadaannya. “Coba bebaskan pikiranmu. Aku yakin setelah semua ini berlalu, kamu akan sadar begitu banyak penggemar yang ingin membaca novel terbarumu. Henri Samuel takkan pernah tergantikan, bahkan oleh Riza Pratama sekalipun!” Nasihat dari Arbi terasa seperti embusan menyejukkan. Arbi mengulum senyum. Ia berusaha meyakinkan Henri bahwa kalimatnya adalah benar. ***
Pagi-pagi sekali Henri sudah tiba di Rainbow. Harry memintanya untuk bertemu karena ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Dalam benaknya, Henri sudah bisa menebak. Pasti Harry ingin menekannya untuk segera membuat novel baru. Untung saja, obrolan semalam dengan Arbi telah membuatnya bersemangat kembali. Ternyata kedatangan Henri terlalu pagi. Harry belum menampakkan wajahnya di ruangan redaksi. Untuk membunuh waktu, lelaki itu memilih duduk di ruang tamu dan mengamati staf Rainbow beraktivitas. Beberapa staf ada yang sibuk dengan pekerjaannya dan beberapa lainnya juga ada yang masih asyik ngobrol dengan staf lain sambil minum kopi. Suasana kantor Rainbow pagi itu membuat pikiran Henri melayang jauh akan masa depannya kelak jika dia benar-benar kehilangan karier kepenulisannya. Jika pikiran buruknya itu menjadi kenyataan, bisa saja beberapa bulan ke depan Henri menjadi salah satu dari mereka. Segera Henri menggelenggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran buruknya itu. “Hen…,” suara khas Harry membuyarkan lamunannya. Harry menghampiri Henri. “Ayo ikut ke ruanganku. Aku ada ide bagus soal rencana novelmu nanti.” Tanpa ragu Henri membuntuti lelaki bertubuh tambun itu. “Hmm… serius amat? Kalian mau buat lagi edisi repackage novelku?” dia yakin pasti soal itu. Lelaki itu mengibaskan tangannya lalu duduk di kursi yang berukuran lebih kecil dari bokongnya. Kadang terdengar suara berderit dari kursinya, membuat Henri bergidik sendiri. Padahal dia pernah menyarankan Harry untuk memesan kursi yang sepadan dengan ukuran tubuhnya. “Bulan depan kamu diutus untuk pergi ke Seoul,” ujar Harry dengan wajah serius. Henri tersentak mendengarnya. Untuk apa ke Seoul? Syuting film Korea? Masih dengan tatapan tanda tanya. “Kamu buat riset di sana dan hasilkan sebuah novel dengan latar Korea Selatan,” ujar Harry tanpa peduli dengan ekspresi keterkejutan lelaki di hadapannya. “Kok gak tanya persetujuanku lebih dulu?” tanya Henri gusar. Benarbenar, semakin hari mereka semakin kelewatan. Henri tak mampu untuk menangkis permintaan Harry. Sungguh, menurutnya ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan. Dan pada akhirnya Henri terus mengoceh. Dia takkan berhenti sampai keputusan itu dibatalkan.