balada cinta kamaliah
Balada Cinta Kamaliah

Balada Cinta Kamaliah

Reads
18
Votes
0
Parts
1
Vote
by Titikoma

Laga Yang Sesungguhnya

Badannya jungkir balik di udara dan akhirnya menyentuh tanah. Sebuah bambu ukuran satu meter diayunkannya ke belakang bahu. Matanya bak elang, melirik sinis pada mereka yang kini sedang mengintarinya. Sungguh lawan yang tidak sebanding. Sekumpulan para preman dengan kayu balok di tangan beberapa orang dari mereka cukup mengerikan untuk dilawan oleh satu orang; terlebih seorang gadis dengan balutan jilbab menutupi rambutnya. Namun, tidak ada sedikit pun rasa takut maupun getar pada diri gadis ini. Bak pendekar hebat ia menantang mereka hanya bermodalkan bambu kecil di tangannya. “Sudahlah, cantik. Mendingan menyerah saja!” ada seringai tawa mengejek terdengar samar-samar. Selembar kain menutupi setengah wajah sang gadis telah terbuka sedari tadi. “Menyerah? Yang benar saja.” Gadis ini benar-benar berani. “Ah, ini perempuan ingin cari mati rupanya.” Salah seorang dari mereka maju menghampiri ia. Badannya yang kekar sangat jauh beda dengan badan gadis ini. Balok di tangan diayunkan tepat di depan wajahnya, dengan sigap dia pun mundur satu langkah dan membalasnya dengan mengayunkan bambu tersebut kearah lawan. Namun, sayang bambu itu patah begitu saja. Suara tawa terdengar nyaring di dermaga tempat mereka berada saat ini. Tidak ada orang lain di sana. Tidak hanya sampai di situ, serangan kembali diterima. Walau susah payah namun dia bisa menangkisnya. Satu pukulan mendarat tepat bagian pipi salah seorang dari mereka. Gerak cepatnya mampu menghajar beberapa orang yang ada. Dengan tumpuan pada tangki, gadis ini mencoba untuk menghajar menggunakan kaki. Sekitar sepuluh orang akhirnya mampu dikalahkan. Hari cukup terik. Matahari tidak mau bersahabat saat ini walaupun angin mampu mendinginkan badan yang semakin gerah. Para geng preman belum juga menyerah. Ada sekitar lima belas orang di sana, dan kini tinggal lima orang yang belum terkenak pukulan dari satu orang gadis bertubuh tinggi semampai, tapi tidak jauh beda kehebatannya dengan mereka. “Fyuuuh ... apa kalian tidak malu, main keroyokan begini? Terlebih pada seorang gadis sepertiku.” Ia berkata sembari menyeka peluh di dahinya. 

 “Kenapa kau selalu menghalangi kerja kami, Kay?!” salah seorang dari mereka menanyai gadis yang dipanggil Kay ini. “Apa aku harus diam saja melihat kau dan anak buah kau itu—“ “Itu bukan urusanmu, Kayla!” ucap ketua preman itu dan kembali perkelahian terjadi. Gadis yang dipanggil Kayla ini sudah cukup lelah menghadapi mereka yang selalu meresahkan warga. Pukulan demi pukulan diberikan olehnya walau terkadang dia pun kewalahan menghadapi seorang diri. Hari ini di dermaga tempat di mana Kayla sering melatih bela diri, dia akhirnya harus berakhir menyedihkan di tangan para preman tersebut. Seseorang dari belakang dengan cepat memiting batang leher gadis itu. Karena mungkin sudah lelah, dia tidak mampu untuk melepaskan diri. Terlebih tubuh laki-laki yang memitingnya cukup besar. “Lepasin aku!” Kayla meronta-ronta agar bisa terlepas. Namun, tangannya kini sudah terikat kuat ke belakang. Tidak hanya itu, selang beberapa menit mulutnya pun dibungkam dengan kain. “Percuma kau meronta, kali ini tidak akan kulepaskan dirimu Kay!” kata laki-laki yang berpakaian serba hitam itu. Wajahnya lumanyan ganteng untuk ukuran seorang preman. Dan kini dengan paksa Kayla dibawa ke dalam mobil. Dia menurut saja, tidak lagi melawan seperti tadi di dermaga. Gadis penyuka menyendiri ini tahu ke mana ia akan dibawa. Jadi dia lebih memilih diam daripada mengabiskan tenaganya untuk hal yang sia-sia. Setengah jam berlalu. Rombongan preman tersebut sampai di markasnya. Sebuah gedung tua bekas kantor yang pernah terbakar beberapa tahun lalu kini menjadi tempat perkumpulan para preman ini. Lebih dari lima puluh orang ada di sana. Bak bodyguard mereka selalu dalam keadaan siap siaga. Kayla yang mengenakan baju lengan panjang dan celana berbahan kain lembut kini sudah berada di dalam ruangan yang hanya terlihat tembok nan kusam. Sinar matahari sesekali masuk menembus gedung lembab itu. Tetiba seseorang hadir menghadap Kayla, seseorang yang tidak asing baginya. “Hei, siapa ini?” seseorang itu bertanya dengan raut wajah yang begitu bahagia. “Hmm ... Kayla Aulia Aisy, seorang gadis yang tidak pernah takut 7 5 mati ternyata.” “Huh, ternyata kau masih hidup saja, Faiz Kenzie Hamizan.” Kayla yang baru saja dibuka ikatan pada tangan dan juga kain yang menutup mulutnya akhirnya bersuara. “Lama tidak melihatmu, Kawan.” “Kay, kenapa kau tidak menjadi bodyguard pribadiku saja? Jurus bela dirimu lumanyan untuk menjagaku dari musuh. Apalagi setelan baju dan cadar yang menutupi wajahmu membuatku tertarik ingin merekrutmu, Kay.” “Boleh. Asal kau bersedia mati di tanganku hari ini.” “Aduh, janganlah garang seperti itu Cantik.” Faiz mencoba tersenyum pada gadis yang pernah menjadi sahabatnya dulu, sembari memberi kode pada anak buahnya dengan mengangguk pelan. Dan Kayla sangat hafal dengan tabiat sahabatnya itu. Dua orang preman memegang lengan Kayla dengan maksud ingin mengikatnya pada sebuah kursi yang berada tepat di depan Faiz. Namun, gadis ini dengan gesit mengayunkan tangannya. Bahkan, dengan cepat ia berjalan menuju Faiz. “Kalau kau tidak menjadi bos dari gerombolanmu ini, mungkin aku akan bersedia menikah denganmu, Kawan.” Faiz begitu garang. Ia memegang kuat pada dagu mantan sahabatnya ini, dan Kayla dengan rasa sakit mencoba mundur selangkah. Namun, lagi-lagi Kayla tak berdaya. Di belakangnya telah berdiri dua preman yang siap mengikatnya kembali. “Ah, karena perkataanmu tadi aku jadi ingin menikahimu, Kay. Kau kan, tahu kalau aku pernah memendam cinta padamu.” Ketawa bahagia mengiasi diri seorang Faiz Kenzie Hamizan. “Cuih, tak sudi!” “Cut. Oke, kerja bagus untuk semuanya,” suara dari jauh sana terdengar jelas. “Kita break sejenak, sekitar satu jam ke depan syuting akan kembali dimulai.” 

Kamaliah dengan tidak semangatnya berjalan menuju sebuah kursi di bawah tenda. Syuting hari ini benar-benar melelahkan baginya. “Ada kabar baik untukmu,” seorang laki-laki menghampirinya. “Cuba tengok ini!” Dia memperlihatkan ponselnya pada Kamaliah. Sekilas Kamaliah melihat ponsel tersebut. Namun, raut wajahnya biasa saja. Tidak ada yang membahagiakan. Padahal di dalam ponsel tampak ribuan angka di bagian followers pada aplikasi media sosialnya. “Sekitar dua atau tiga lagi, dan itu butuh masa hingga awal hari.” Tidak ada tanggapan lain selain menghela napas berat dari seorang Kamaliah. Para kru sedang mempersiapkan alat untuk syuting sebentar lagi. Waktu hampir satu jam berlalu dan itu tandanya Kamaliah harus kembali bekerja. Seorang wanita tata rias kini sedang mendandani artis laga yang sedang “naik daun” ini. Hanya tinggal lima belas menit lagi. Dan ternyata Alia— begitu panggilannya—cukup cantik hanya dengan polesan natural. “Ayo ... lima menit lagi kita standby!” laki-laki paruh baya itu kembali memberi aba-aba. “Siap, Bos.” Beberapa orang kru serta pemain drama mengucap kata yang sama sembari berjalan menuju posisi masing-masing. Begitu pula dengan Kamaliah walau tidak semangat ia berjalan menuju tempat yang telah ditentukan. “Semuanya sudah ready?” Sang Sutradara menanyakan pada semua dan seseorang dari cameraman memberi tanda oke dengan jemarinya. Laki-laki separuh baya yang disapa “bos” ini kembali bersuara. “Camera rolling ... action!” Byuur .... Kayla terbangun karena guyuran air mengenai tubuhnya. “Sudah bangun cantik?” laki-laki yang lumanyan tampan menanyakan Kayla. Laki-laki ini sebenarnya kawan dari Kayla juga Faiz dan sekarang ia menjadi “tangan kanan”nya Faiz. “Hei, Kayla sudah dua hari kau hanya terbaring lemas. Tak berdaya sangat.” Faiz yang sedari tadi berada di samping Kayla mencoba untuk tersenyum manis.

 Namun, ekspresi dari raut wajah Kayla sangat datar. Biasa saja. “Mau sampai kapan kau tahan aku di sini?” tanya Kayla sembari beranjak dari ranjang besi tersebut. “Sampai kau mau menikah denganku.” Faiz mencoba duduk di sebelah Kayla, tetapi gadis ini menjauh dari laki-laki yang telah membuatnya benci. “Kalau kau mau pergi dari sini, silahkan! Tapi dengan satu syarat. Kau harus mau menjadi pengawal pribadiku, Kayla.” “Harus kah? Aku tidak yakin dengan apa yang—“ “Cut, cut, cut! Alia, kamu tidak membaca skenarionya kah?” Sutradara drama laga itu sedikit kesal. “Sorry, Bos,” apa yang ada di pikiranmu Alia, batinnya. “Ada apa sih, tak fokus gitu?” tanya lawan mainnya. “Tak ada apa-apa.” *** 

 Hari kian senja. Matahari tadinya cukup menyengat kini menjadi pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Kamaliah sepertinya bosan dengan adegan dimainkannya. Sebenarnya dia sangat menyukai adegan laga dengan jurus diciptakannya sendiri. Namun, itu semua tidak membuat dirinya puas. Bagaikan mimpi yang hanya akan menjadi mimpi saja. Sepuluh tahun yang lalu. Terlintas begitu saja di benak seorang artis sedang tenar dengan drama laganya. Sebuah kejadian yang membuatnya ingin menjadi guru bela diri. Saat itu umurnya masih tiga belas tahun, dan dia sudah pandai menguasai ilmu bela diri dari gurunya, Tuan Rasyad. Sebenarnya Shazana Syafara Kamaliah ini cukup pandai dengan ilmu pengetahuan. Bahkan, ia sangat pandai dalam memberi masukan kepada orang lain pun kepada keluarganya. Semenjak dulu daerahnya tidak aman. Begitu banyak para perantau ingin menguasai daerahnya. Tidak heran kalau sering terjadi baku tembak dari dua belah pihak. Bahkan, sampai saat ini pun harus berhati-hati terhadap orang yang tidak dikenal. Dan keinginan Kamaliah masih saja diinginkan sampai sekarang; menjadi guru bela diri. Namun, sayangnya belum terwujud. Tanpa disadari ingatan tentang dua tahun silam pun terlintas begitu saja, saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Seorang laki-laki dengan berani melawan para mafia hanya bermodalkan parang saja. Ilmu bela dirinya sangat bagus. Laki-laki itu begitu gesit melawan musuhnya. Tidak ada rasa takut sama sekali. Padahal, para mafia itu bersenjatakan pemungkas 1. Saat itu pula keinginan Kamaliah untuk mendirikan tempat belajar silat pun semakin besar. Bagaikan termotivasi, gadis yang dianggap istimewa oleh semua orang ini yakin kalau dia akan memenuhi keinginannya. Dan hanya sekali saja ia bertemu dengan laki-laki itu, sampai sekarang tidak pernah lagi melihatnya. Mereka pun tidak sempat untuk berkomunikasi, saat ingin mengucapkan “terima kasih” kepada Kamaliah, gadis itu telah dibawa lari ke rumah sakit, itu karena Shazana Syafara Kamaliah ini sempat menolong sang laki-laki karena pasukan dari para mafia tersebut cukup banyak. Kini ada keinginan untuk bertemu kembali, siapa tahu dia bisa belajar bela diri pada laki-laki tersebut. “Hoi, anak dara satu ini, lagi lamunkan apa?” Akmal kawan main Alia mengagetkatnya, “si Bos dari tadi cakap ... you kenapa?” 

 “Penat, lah, nak balik saya,” ucap Kamaliah sembari beranjak dari tempatnya menuju bawah tenda. “Bos, sorry lah, Bos. Tak boleh esok saja, Bos? Tak konsen, lah....” “Alia, kamu kenapa?” tanya Sang Sutradara. Melihat gadis ini bermuka masam laki-laki yang sangat disegani itu pun kembali bicara, “Yelah, yelah, kita tunda sampai esok hari. Lagian ini pun sudah petang.” Matahari memanglah sudah tergantikan dengan rembulan sedari tadi. Tidak heran kalau para pemain dan para kru drama laga itu menjadi lelah seharian bekerja. Kamaliah sendiri sebenarnya bukan lelah, melainkan pikirannya yang sedang tidak fokus. Ia asyik memikirkan bagaimana caranya agar bisa membangun sebuah tempat di mana nantinya akan dijadikan untuk melatih anak didiknya dalam hal bela diri. Tekatnya untuk mendirikan asrama silat sudah bulat, dan itu harus ada di tahun ini. Ada banyak kendala juga untuk bisa meraih apa yang diinginkan walaupun tidak butuh waktu lama apabila ia tidak memikirkannya seorang diri. Sebenarnya, dengan sekejab saja asrama itu bisa ia dapatkan kalau saja dia mau memintanya pada Sang Ayahanda. Namun, Kamaliah ingin melakukannya sendiri. Ia tidak mau mengandalkan kehebatan Ayahandanya di Negeri ini, hanya untuk kepentingan pribadi. Drama laga yang dibintanginya memanglah cukup melambung tinggi. Ketenaran drama laga tersebut bukan hanya di negara tempat Kamaliah berpijak—Indera saja. Namun, sudah merembet ke negara tetangga yakni Kutaradja. Adegan demi adegan bela diri yang ia perankan sangat bagus tanpa pernah digantikan oleh seorang stuntman—walau saat adegan bahaya sekali pun. Namun, itu semua tidak mampu membuat dia bahagia. Masih ada yang kurang, dan namanya saja drama pastinya tidak nyata. Maka dari itu, sikapnya yang bosan menjadi gagal fokus saat syuting. *** 

 Kerja hari ini lumanyan bisa diatasi oleh Kamaliah walau ada beberapa bagian harus diulang. Dia mencoba untuk jadikan adegan yang dia lakoni itu menjadi nyata dalam dirinya, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama pada saat syuting dan bila itu terjadi, Kamaliah sendiri akan lelah menjalaninya. Saat ini dia lebih memilih menyendiri saat lainnya masih sibuk dengan pengambilan gambar. Sekitar 50 meter dari jarak tempat syuting ada taman yang halamannya cukup luas dan di situlah sekarang Kamaliah berada. Tidak ada orang lain di tempat itu. Gadis berumur 23 tahun ini sekarang sedang melakukan pemanasan, dia masih ingin melatih tubuhnya dengan jurus-jurus ringan yang dimilikinya. Posisi kaki sedikit renggang ia lakukan, dan tubuh agak menyamping dengan tangan menyelang bagian depan dada. Sesekali satu tendangan lepas ia lakukan. Bergantian dengan kaki sebelahnya dengan cara memutar badan ke arah kanan atau kiri. Kamaliah mencoba untuk tidak memikirkan tentang asrama yang ingin ia bangun saat ini, dengan sesekali mencoba mempraktikan jurus yang baru saja ia pelajari. “Aliaaa ...,” teriakan Irham seketika membuat Kamaliah berdiri tegak, “ayok, balik.” Laki-laki yang berumur lima tahun lebih tua dari Kamaliah ini, selalu setia menemani gadis itu kerja. Tidak hanya Irham saja. Dua orang gadis sebaya Kamaliah pun tidak pernah jauh darinya. Akan tetapi, kalau Kamaliah ingin sendiri mereka bertiga mau tidak mau harus rela memantau dari jauh. “Sudah selesai?” tanya Kamalaih. “Sudah, Tungku1 Alia,” jawab gadis bertubuh kecil itu. “Engkau nak saya tinju?” gurau Kamaliah sembari mengenggam jemarinya. “Hais, gitu sangatlah dara ni,” ada tawa dari mereka. “Sudah, sudah, ayo, Bos sudah menunggu itu.” Irham berjalan setelah mengajak mereka untuk berkumpul dengan lainnya, dan ketiga dara itu mengikutinya. Tidak terasa hari telah sore dan sebentar lagi malam akan hadir dengan membawa sinar rembulan serta bintang yang aduhai indahnya. Sebenarnya, saat ini Kamaliah ingin pergi ke suatu tempat dan dia ingin pergi seorang 13 11 diri. Tetapi itu tidak akan bisa ia lakukan karena dua orang gadis itu tidak akan mengizinkan bosnya berkeliaran seorang diri. Apalagi Irham yang sangat menjaga Kamaliah. Irham sudah menganggap Kamaliah seperti adiknya sendiri, jadi dia sangat menjaganya. Sedangkan Lela dan Mila ini walau bisa dibilang dayang-dayangnya Kamaliah, tetapi mereka berdua akan selalu mengikuti ke mana pun Kamaliah pergi. Karena bagi artis yang sedang “naik daun” ini mereka berdua bukan sekadar dayang-dayang saja, melainkan sahabat sejak kecil dan kalau dipikir-pikir tidak salah juga bila mereka ikut serta sekalian Lela dan Mila bisa dijadikan asisten Kamaliah saat di lokasi syuting, dan sebenarnya tidak ada yang tahu kalau mereka berdua adalah dayang-dayang istana begitu pun dengan Kamaliah yang sebenarnya adalah seorang Putri Diraja. Kamaliah tidak ingin orang lain mengetahui tentang pribadinya. Apalagi kalau sampai tahu dia seorang Putri, yang ada nanti orang-orang akan menyeganinya dan itu sedikit risih bagi Kamaliah. Putri Diraja ini ingin orang lain memandangnya sama seperti rakyat biasa. “Dari kemarin Abang tengok, asyik melamun saja,” kata Irham pada Kamaliah yang tadinya diam akhirnya tersenyum manis. “Bang, mau tak kawanin Alia?” tanya gadis itu sembari berjalan menuju tempat istirahat, matanya takut-takut memandangi Irham dan juga dua temannya. “Hendak ke mana Adinda?” Irham kembali bertanya dengan sedikit menggoda. “Janganlah, panggil saya Adinda, Kanda.” Terdengar ketawa lepas dari samping Kamaliah, ”tak usah pula kalian ketawa. Tak ada yang lucu.” “Kami berdua ikut juga, ‘kan?” tanya Lela. “Kalau tak nak kasih ikut, marah tak?” “Tak marah. Tapi nanti saya adukan pada Seri2 Maharani3.” Ada sekelumit senyum dari Lela. “Lela tak asyik ‘kan, Mila.” Mila yang ditanya pun hanya bisa senyumsenyum saja. “Memangnya hendak ke mana, Alia?” Irham kembali bertanya.  “Nak lihat bukit,” jawabnya singkat. “Bedua saja?” Irham kembali bertanya. Lela dan Mila yang berjalan di samping Kamaliah menyimak pembicaraan mereka berdua. “Yelah....” Kamaliah terus berjalan sembari memandang ke arah kiri. Ada sekelompok laki-laki dengan pakaian kemeja putih dan jas berwarna hitam sedang memerhatikannya. Sesuatu yang patut dicurigai. “Macam pacaran saja cuma pigi bedua.” Lela ini sangat pandai berbual. “Hei, kalau nak ikut, ikut saja. Jangan bual macam tu, Lela.” “Lela ini, mati di tangan Tungku Alia baru tahu.” Irham mengingatkan. Sekelompok laki-laki di sudut kiri sana masih terus memperhatikan mereka berempat. Dan itu sedikit mengganggu pikiran Kamaliah. “Bang, sepertinya ada yang memperhatikan kita.” “Mana?” mata Irham menyapu ke semua area yang ada. “Jangan terlalu ketara begitu, Bang. Biasa saja.” “Ada apa?” Mila pun ikut memandangi sekelilingnya. “Tak ada apa-apa.” Mereka kini telah sampai di sebuah tenda. Ada begitu banyak orang di sana; termasuk para fans yang ingin menyapa para aktor dan aktris yang mereka kagumi. Dan tidak butuh waktu yang lama, kini pemeran utama di drama laga itu pun dikerumuni oleh banyak orang. Rata-rata muda-mudi yang masih sekolah. Kamaliah sedikit lelah serta pikirannya terganggu oleh kumpulan para laki-laki berjas hitam di sana mencoba meladeni penggemarnya. Senyum manis mengiasi bibir munyilnya. Ia dengan senang hati bersalaman serta meladeni mereka untuk berfoto atau tandatangan. Kedua gadis yang selalu setia menemani Kamaliah pun kewalahan mengahadapi begitu banyaknya muda-mudi. Mereka takut kalau terjadi yang tidak diinginkan pada majikan yang telah menganggap mereka sahabat. “Lihatlah, Alia. Begitu banyak penggemarnya,” kata Akmal pada Irham. 15 13 “Dan lihatlah kedua-dua gadis cantik itu,” Irham menunjuk ke arah Lela dan Mila. “Kasihan I lihatnya, Bang,” ucap Akmal. “Sama, saya juga.” Irham melirik ke arah sudut kiri, tapi para laki-laki berjas telah hilang dari tempat semula. Satu jam artis cantik nyaris sempurna ini akhirnya menyerah mengahadapi para penggemarnya. Benar-benar melelahkan. Dengan bantuan Lela dan Mila akhirnya Kamaliah berhasil pindah dari sana, dan pergi menuju tempat Sang Sutradara istirahat. “Artis yang namanya sedang ‘naik daun’ itu memang harus seperti itu, Alia. Melelahkan.” Sang Sutradara memberinya botol minuman dingin. “Ya, mau tidak mau Bos,” ucapnya sembari meminum air bening itu. “Lepas Magrib nanti kita kumpul di dewan penginapan, ya.” Laki-laki paruh baya ini kembali memberi tahu kepada rekan-rekan kerjanya. “Ada apa, Bos?” Akmal yang baru saja ikut bergabung bertanya. “O, tak ada apa-apa hanya sekadar briefing saja,” lanjutnya. “Bila kita berpindah lokasi penggambaran, Bos?” kali ini Reza yang bertanya, sembari duduk di samping Kamaliah. “Belum tahu, hmm ... nantilah, tunggu lepas Magrib akan dikasih tahu.” “Bos, kalau nak balik sekarang boleh tak?” minta Kamaliah. “Nak pulang? Tunggulah kejab, lepas Isya baru pulang. Bos pun nak pulang juga malam ini.” “Yelah, Bos.” Hari hampir masuk waktu Magrib. Langit sudah mulai berubah warna. Biru kemerah-merahan terlihat sudah. Banyak dari para rekan kerja memilih pergi menuju penginapan. Namun, tidak dengan Kamaliah serta dua gadis cantik; Lela dan Mila. Mereka lebih memilih melihat mentari terbenam sebelum beranjak untuk salat. “Bang Irham ke mana?” Kamaliah tidak melihat Irham sedari tadi. 16 14 “Entah, saya pun tidak melihatnya Tungku,” Mila menjawab. Jilbabnya yang ditiup angin sedikit mengganggunya. Begitu juga dengan Lela dan Kamaliah. Masing-masing memegang kain penutup kepala itu agar tidak ditiup angin. “Sepertinya ada yang dicari oleh Tuan Irham, Tungku.” Kali ini Lela yang bersuara. Memang iya, selepas duduk dengan Akmal tadi Irham meminta izin untuk melihat sekeliling tempat penginapan. Ia pun merasa tidak tenang dengan sekelompok laki-laki yang berkumpul di sudut kiri sore tadi. “Tungku Alia, lebih baik kita masuk. Waktu Magrib hanya sebentar saja,” ajak Mila. Kamaliah tidak menanggapi perkataan Mila, hanya saja dia langsung beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju penginapan. Kalau saja si Bos izinkan pulang, saya bisa pergi ke tempat itu sekarang, batinnya. *** 

 “Sudah pada kumpul semuanya?” tanya Sutradara. “Belum Bos,” Riza yang menjawabnya. Malam itu begitu dingin. Penginapan yang tidak jauh dari perbukitan anginnya memang mampu menusuk tulang. Sebagian sudah pada duduk di aula, dan sebagian lagi masih di kamarnya. Beberapa orang menyimak sembari makan malam. Ada juga yang asyik dengan ponselnya. Kamaliah memilih duduk di pojokan kanan. Ia ingin menenangkan isi pikiran yang tidak karuan sedari tadi. Walau terkadang Akmal dan Reza—lawan mainnya di drama laga—mengajak dia bercanda. “10 menit lagi kita mulai briefing, ya.” Sebagian para kru meng-iya-kannya. “Sudah tengok Bang Irham, Mila?” Kamaliah tiba-tiba bertanya. Irham yang menghilang saat senja tadi belum juga kembali. Entah ke mana perginya lelaki itu. “Belum. Sepertinya Tuan Akmal tahu ke mana perginya Tuan Irham.” Mila memberitahu sembari memberikan sepiring kue pada Kamaliah. Kamaliah melihat Akmal yang sedang asyik bicara bersama Reza, “Akmal, tahu tak ke mana piginya Abang Irham?” “Tidak tahu pasti ke mana piginya. Cuma tadi Bang Irham meminta diri begitu saja dan berjalan menuju taman seberang jalan sana.” Tempat di mana para laki-laki berjas itu berdiri tadi petang, gumam Kamaliah. “O, terima kasih Akmal.” Sepuluh menit berlalu, itu tandanya Sang Sutradara akan memulai memberikan pengarahannya. Drama laga yang berjudul “Kau Dalam Ingatanku” itu sebenarnya sudah masuk ke episode terakhir. Jadi tidak membutuhkan waktu lama lagi untuk pengambilan gambar selanjutnya. “Baiklah, untuk memanfaatkan masa, saya tidak mahu berlama-lama lagi. Dan tidak banyak arahan yang akan saya bagi tahu pada rakanrakan semuanya. Hari ini adalah hari terakhir kita penggambaran kerana memang sudah tidak banyak lagi gambar yang perlu diambil. Untuk pengambilan gambar terakhir, kita akan ganti lokasi—sesuai dengan senario—tetapi kapan itu nanti akan saya kasih tahu lagi.” Ada rasa bahagia di diri Kamaliah mendengar pemberitahuan dari Sang Sutradara, 

 dengan demikian ia mampu melakukan apa yang hendak ia raih. “Dan untuk Alia, tidak banyak lagi adegan yang harus dia lakonkan. Dengan kata lain dia tidak perlu ikut mengambil gambar semasa di perkampungan nanti. Itu bermakna sebelum kita cuti panjang ada satu adegan yang perlu kita ambil kembali, dan itu mungkin kira-kira dua hari lagi. Selepas itu kita akan cuti panjang sampai saya bagi tahu semula pada bila-bila mula bekerja lagi. Paham semuanya?” lanjut sang sutradara sembari bertanya dengan nada tegasnya. “Paham, Bos.” Semua orang di sana merespon apa yang dikatakan oleh bos mereka. “Baiklah, boleh bubar sekarang. Saya pun nak minta izin balik duluan,” kata Sutradara dan langsung berlalu meninggalkan aula penginapan. Libur panjang. Sesuatu yang sangat diharapkan oleh seorang Shazana Syafara Kamaliah. Bagaimana tidak, itu adalah suatu kesempan yang tidak akan dilewatkan begitu saja olehnya. Suatu kesempatan baginya untuk meraih mimpinya selama ini. Drama laga itu ingin ia jadikan nyata. Ya, laga yang sesungguhnya. Dia tidak ingin hanya bermain dalam drama saja, melainkan nyata. Tantangannya lebih menyenangkan pastinya, dan itu akan ia lakukan dalam waktu dekat. 1


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices