bisikan lada
Bisikan Lada

Bisikan Lada

Reads
18
Votes
0
Parts
1
Vote
by Titikoma

Bersatu Kembali

 Semua kejadian seolah sudah mempunyai koridornya masing-masing, terlebih tentang jalan hidup yang telah kupilih. Semua tentangnya masih melekat dalam pikiran, terutama hati. Saling menyalahkan sudah menjadi candu saat itu, hingga kami lupa ada 2 orang yang mungkin lebih tersakiti. Mereka sangat jauh dalam jangkauan, bahkan hanya untuk membicarakan pengalamannya di sekolah pun rasanya enggan. Ego yang telah kami ciptakan membuat jarak semakin jauh. Bahkan aku tak pernah tahu apa yang mereka berdua sukai. Aku masih bercermin, menyisir rambut yang sebenarnya sudah beberapa kali dirapikan. Pantas dan tidak pantas masih memenuhi pikiran, tentang keputusan kali ini entah mengapa banyak menimbulkan keraguan. Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang perempuan berambut sebahu muncul “Ma, Nindya masuk ya,” ucapnya. Aku hanya mengangguk, tanda mempersilahkan dia masuk. “Mama kenapa? Kok dari tadi masih merapikan rambut?” Nindya mendekat ke arahku. “Gak ada apa-apa kok, hanya saja Mama lupa belum memberitahu kamu satu hal.” Aku berbalik menghadapnya. “Apa, Ma?” “Papa dan adikmu, Ragam akan kembali lagi bersama kita.” Dari raut wajahnya terlihat jelas ekspresi kaget yang tidak bisa disembunyikan. Ya, dia mungkin terkejut, sama halnya dengan diriku yang sama sekali tidak pernah menduga hal ini bisa terjadi. “Beneran, Ma?” Aku menuntun Nindya untuk duduk di samping ranjang. “Benar, Mama harap kamu setuju.” Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa tersenyum di hadapan putriku. “Aku percaya sama pilihan Mama, kok. Nindya ke kamar dulu ya, Ma, mau ngerjain tugas. Kalau misalkan Papa udah nyampe kabarin Nindy.” 

 Nindya bangkit dan bergegas pergi. Aku tak tahu apakah dia benar-benar ingin mengerjakan tugas atau justru mengutuki ibunya ini gara-gara memberitahu hal penting secara mendadak. Aku menghela napas panjang. Hari ini bisa dibilang hari terberat, mencoba berdamai dengan masa lalu dan kembali melibatkan 2 orang yang tak seharusnya merasakan ketidaknyamanan yang kami ciptakan. “Semoga saja tidak ada alasan lagi meminta cerai kepadanya,” gumamku. Beberapa menit kemudian, terdengar suara klakson mobil di halaman depan. Aku segera pergi ke luar, memberitahu Nindya terlebih dahulu, lantas bersama Nindy kami berdua ke luar. Di halaman sudah terlihat 2 orang lelaki, yang satu 5 tahun lebih tua dariku, dengan tubuh tegap, kumis tipis, dan lebih tinggi beberapa centimeter dariku. Satunya lagi, ah anak ini memang susah dideskripsikan. Dia kurang lebih sama seperti ayahnya, wajah bersih, hidung mancung dan bermata sipit serta satu lagi, ada lesung di pipi saat tersenyum. “Papa apa kabar?” ucap Nindya setelah sebelumnya mencium tangan ayahnya. “Kabar baik, wah anak Papa makin cantik ya.” Papa tersenyum, lantas mengulurkan tangan kepadaku. “Gam, ayo salaman sama Mama dan kakakmu, kamu gak rindu setelah tiga tahun gak ketemu?” ucap papa. Tapi, yang disuruh salaman malah terus memainkan gadget-nya, terlebih dia juga memakai headset. Kulihat, Nindy mendekati lelaki itu, menyikutnya dan melepas paksa headset yang ada di telinganya. “Apa-apaan sih?” ketus Ragam. “Udah lupa sama kakakmu ya, Gam? Papa nyuruh kamu salaman tuh,” ucap Nindya datar. Ragam hanya mengangguk, dia mendekatiku dan bersalaman. Setelah itu, dia mencium tangan Nindya. Dia tidak tersenyum sama sekali. 8 6 Aku mempersilakan mereka masuk, sementara Nindya menyiapkan minuman dan cemilan. Ragam masih setia dengan gadget-nya, bahkan telinganya sudah ditutupi dengan headset kembali. “Maaf ya, Ragam pasti sedang main game online jadinya kurang fokus,” ucap Papa, seakan mengerti apa yang menjadi pertanyaan besar dalam benakku. “Berapa lama dia main game?” tanyaku heran. “Secapeknya dia, kadang sampai pagi dia kuat main game.” “Lalu sekolahnya? Nilai-nilainya?” “Entahlah, Mas tak pernah mengecek semua itu. Mas sibuk kerja, lagi pula dia sudah gede,” ucapnya santai. Mendengar perkataannya, emosiku memuncak. Walau bagaimana pun, kejadian ini pernah terjadi 3 tahun yang lalu dan hatiku seolah tak rela. “Minumannya datang,” ucap Nindya. Dia menyajikan minuman dingin dengan beberapa cemilan di meja. “Nindy duduk ya,” ucapnya, lantas duduk dengan Papanya. Tiba-tiba Ragam bangkit, headset-nya dilepas “Ma, kamar Ragam masih sama, kan?” “Iya, masih sama,” ucapku. “Ya udah, Ragam ke kamar dulu.” Tanpa mengindahkan pernyataan kami, Ragam langsung saja pergi meninggalkan banyak tanya di pikiran masing-masing. Aku melirik ke arah Mas Ezira “Ragam kenapa?” Dia mengangkat bahu “Entahlah.” Setelah kepergian Ragam, kami berusaha menciptakan suasana senyaman mungkin. Nindya lebih banyak berbicara, tapi tetap saja dia menghindari pertanyaan seputar dirinya dan masalah yang mungkin saat ini telah dialaminya. 9 7 Setelah berbincang, aku dan Nindya memutuskan untuk memasak makanan. Sementara Mas Ezira beristirahat dulu di sofa. Sikap Ragam tadi menimbulkan banyak pertanyaan. Dia sama sekali tidak tersenyum kepadaku, bahkan untuk mengucapkan kata mama pun sepertinya enggan dia ucapkan. Hanya terus saja memainkan gadgetnya. Aku juga tak habis pikir kenapa Mas Ezira membiarkan Ragam jauh darinya. Ya, jasad bisa saja dekat, tapi hati? Aku tidak melihat kedekatan di antara mereka. Padahal, jelas-jelas Ragam adalah darah dagingnya sendiri. “Mama kenapa?” Nindya menyenggolku. Aku tersentak “Ah tidak, ngomong-ngomong kamu ngerasa ada yang aneh gak dengan Ragam? Kok Mama ngerasa Ragam sudah berubah,” ucapku, sambil sesekali mengaduk sayur. “Aneh gimana emangnya, Ma? Nindy rasa gak ada apa-apa kok dengan Ragam. Sikapnya kan memang begitu, gak pernah bisa sopan santun,” ucap Nindya. Dia sama sekali tidak melihat ke arahku. Fokusnya sudah diambil alih oleh tempe-tempe yang sedang dipotong. “Lah, kayak kamu kenal deket aja sama Ragam. Orang Kalian gak pernah akur, ah Mama salah nanya sama kamu, mana mungkin kamu tahu tentang Ragam, dari kecil pun kamu seolah tak ingin melihatnya,” ketusku. “Ya udah, ngapain juga nanya ke Nindya kalau ujung-ujungnya malah nyudutin. Nindy siapin meja makan dulu, Ma.” Nindy pergi. Lagi-lagi, aku gak bisa bersikap manis pada anak-anak. Mungkin saja hati Nindya terluka dengan perkataan itu, tapi Nindya sudah besar, dia pasti mengerti apa yang sebenarnya kurasakan. Setelah Nindya pergi, aku segera menyelesaikan pekerjaan ini, hingga beberapa menit kemudian semuanya telah selesai. Makanan sudah tersaji dan siap dihidangkan. Aku segera membawa makanan itu ke meja makan. Di sana terlihat Nindya sedang menuangkan air ke gelas, lantas setelah itu dia membantuku menyajikan makanan. Gadis itu tidak berbicara sama sekali, melihat ke arahku pun enggan dilakukannya. “Rasanya semakin rumit saja,” gumamku. 10 8 “Wah, aroma makanannya enak sekali. Kamu yang masak, Dya?” Tibatiba Papa datang, dia segera duduk di kursi. “Bukan Pa, Dya masih belum bisa masak. Ini masakan Mama,” ucapnya sembari tersenyum. Aku segera melayani Mas Ezira. Kutuangkan nasi ke piring, lantas menanyakan ingin makan dengan apa. “Nindy, tolong panggilkan adikmu,” pintaku. Tanpa berkomentar apapun, Nindya segera pergi ke kamar adiknya. Sementara aku duduk bersama Mas Ezira. Momen seperti inilah yang paling kutunggu setelah 3 tahun tak bersama. Tiba-tiba Dya datang, wajahnya ditekuk, lantas langsung duduk bersama kami dan tak terlihat akan kedatangan Ragam. Aku dan Mas Ezira saling tatap, memberikan isyarat satu sama lain tentang apa yang sebenarnya terjadi. “Kamu kenapa? Ragam mana?” tanyaku. “Enggak tahu, Ma. Mama aja yang bangunin Ragam,” ketus Nindya. Dia segera mengambil nasi beserta lauknya dan segera memakan dengan lahap dan tergesa-gesa. “Makannya jangan terlalu cepat Nindy, nanti keselek,” saranku. Tapi Nindya tak menggubrisnya, dia terus saja makan dengan cepat. “Mama ke kamar Ragam dulu.” Aku segera bangkit. “Gak usah, Ma. Ragam udah di sini kok.” Aku terkejut, segera menoleh ke arah suara itu. Tak terkecuali Papa dan Nindya. Aku segera persilakan Ragam untuk duduk dan memberikannya nasi beserta lauk pauknya. Setelah itu Ragam tak berbicara apapun, dia langsung makan. 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices