
by Titikoma

Firasat Buruk Lagi
Aku turun dari mobil mewah. Kini aku telah tiba di redaksi majalah ternama di Jakarta. Redaksi majalah tempat di mana aku bekerja selama 3 tahun ini. Silau cahaya matahari mengenai mataku, cepat-cepat aku memasang kacamata hitam. Semua mata tertuju padaku. Siapa sih yang tak mengenalku? Aku adalah Devinta Anggraini, 3 bulan lagi aku akan menikah dengan ponakan direktur utama redaksi majalah. Ditambah lagi penampilanku yang sekarang tidak beda jauh dengan selebriti tanah air yang penuh sensasi yakni Syahrini. Hal inilah yang membuat popularitasku naik, meskipun jabatanku di sini masih sebagai editor cerpen. Drtttttt… drttttttttt… handphone di tanganku bergetar. Aku langsung menekan tombol answers, tanpa melihat siapa yang meneleponku. “Dev, lo sekarang ada di mana? Kok jam segini lum datang ke kantor?” tanya si penelepon bertubi-tubi. Dari suara cemprengnya aku sudah tahu bahwa si penelepon itu adalah Ivana, sahabat karibku sejak SD. “Gue udah ada di kantor kok. Bentar lagi gue masuk ke ruang kerja. Stay aja, Sis,” ucapku. Usai berkata demikian aku memutuskan sambungan telepon. Lalu aku kembali melangkahkan kaki menuju ruang kerja. Cukup 5 menit aku sudah berada di ruang kerja. Wew, seluruh karyawan termasuk Adipati Dimas, calon suamiku sudah stand by di meja kerjanya. Jujur aku sendiri bingung, Dimas itu ponakannya direktur utama di redaksi majalah ini tapi dia lebih memilih jadi karyawan biasa. Katanya dia tidak suka jabatan tinggi, ingin memulai sesuatu dari nol dan ingin membantu pekerjaanku, sebab posisi dia juga sebagai editor cerpen. Sedikit aku jelaskan tentang Adipati Dimas dan mengapa aku mau menikah dengannya. Dari segi fisik sebenarnya Dimas bukan tipeku banget. Dia kurus kering, tinggi, nggak cakep, dan penampilan kurang rapi. Tapi di balik kekurangannya itu ia memiliki sifat yang luar biasa yaitu perhatian, pengertian, sabar, penyayang, tulus mencintaiku. Well, itulah alasan mengapa aku mau menikah dengan Dimas. Aku duduk di sebelah Dimas, seketika mataku tertuju pada meja kerja Elyana dan Rista yang kosong alias mereka tidak masuk kerja. Ke mana mereka? Mendadak firasat buruk kembali bersarang di hatiku. Elyana itu ditugaskan sebagai orang yang meliput tentang pariwisata di Indonesia ataupun dunia. Sedangkan Rista tugasnya mengedit hasil liputan dari Elyana. Setahun yang lalu Elyana dan Rista pernah juga cuti kerja, akibatnya aku dan Dimas yang menggantikan tugas mereka. Aku takut hal itu terjadi lagi, tugas Elyana dan Rista kali ini adalah meliput tempat 7 keajaiban dunia. Jika aku dan Dimas yang menggantikan tugas mereka, alamat pernikahanku akan diundur. Ya iyalah meliput tempat 7 keajaiban dunia memakan waktu 3 bulanan, mana aku belum melakukan foto pre wedding. Setengah bulan lagi pula jadwal foto pre wedding-nya. Tiba-tiba direktur utama redaksi majalah ini memasuki ruang kerjaku. Jantungku berdegup kencang dan hatiku bertanya-tanya, “Ngapain beliau ke sini?” Beliau itu jarang banget datang ke sini, kalau datang saat memecat karyawan saja. Aku semakin takut. Hawa panas pun menyerang tubuhku, padahal di ruangan ini ada AC-nya. “Hay, kok pada tegang gitu liatin saya? Santai aja kali! Saya datang ke sini bukan untuk memecat karyawan kok,” ujar bos besar. Aku bernapas lega. Dalam hati mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Oh ya semuanya, saya datang ke sini hanya untuk meminta Devi dan Dimas ke ruangan saya. Soalnya ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan mereka berdua.” Usai berkata demikian, bos besar pergi meninggalkan ruangan kerjaku. Aku langsung menoleh ke Dimas. “Dim, ngapain Om kamu minta kita berdua ke ruangannya?” tanyaku ke Dimas. Si Dimas hanya mengangkat bahu. “Meneketehe. Daripada kita kena semprot mending sekarang kita ke ruangan bos besar aja yuk!” Dimas bangkit dari tempat duduknya lalu menarik tanganku. Huft, menyebalkan. Mau tak mau aku harus mengikuti langkahnya. Ruang Direktur Utama sudah terlihat di depan mataku. Aku menoleh ke arah Dimas. “Dim, kita sudah nyampai di ruangan direktur ya?” tanyaku. Dimas mengangguk pasti. Aku membalas anggukan Dimas dengan senyum merekah. Ini pertama kalinya aku tersenyum sama Dimas. Tapi senyumanku ini seolah-olah berkata, “Dim, lo aja ya yang mengetuk pintu ruangan bos besar. Please!” Dimas membalas senyumanku dengan senyuman juga. Wah, senangnya 8 6 hatiku Dimas bisa diajak kerja sama dengan baik. Namun semenit kemudian Dimas menggelengkan kepala seolah-olah berkata, “Ogah ah. Lo aja kali yang ngetuk pintunya.” Ya, sudahlah sekali-kali mengalah dengan cowok. Dengan gemetar tanganku mengetuk pintu ruangan bos besar. “Selamat pagi, Pak. Saya Devi dan Dimas,” ucapku sopan. “Oh iya. Silakan masuk, pintu nggak dikunci kok!” Ceklek! Dimas membuka pintu ruangan bos besar. Huh, dasar Dimas! Giliran buka pintu aja dia lebih laju daripada bus. Ketika pintu terbuka, aku melihat bos besar duduk santai di kursi kerajaannya. Dari wajahnya sih bos besar nggak lagi marah. “Om, ada apa ya memanggil kami?” kali ini Dimas yang bersuara. Dari tadi kek ngomong. “Devi, Dimas… duduklah terlebih dahulu! Kalau ngobrol sambil duduk kan lebih tenang dan enak.” Aku dan Dimas menuruti perintah beliau. Kami duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Jantungku tambah berdegup kencang. Keringat dingin mulai membanjiri kening. Sumpah, takut banget. Takut firasat burukku jadi kenyataan. “Begini Dim dan Devi bla… bla…” Bos besar mulai menjelaskan tujuan beliau memanggil kami ke ruangannya. Kami mendengarkan dengan saksama. “Begitulah kiranya, gimana kalian mau kan memenuhi perintah saya?” tanya bos besar setelah mengakhiri penjelasannya. Aku dan Dimas saling bertatapan. Sedetik kemudian, “Whats?” teriak kami bersamaan. Kata bos besar tadi ‘Elyana dan Rista mengundurkan diri. Dan saya ingin kalian berdua menggantikan tugas mereka untuk meliput tempat 7 keajaiban dunia’. Tuhkan feeling-ku benar, firasat burukku tadi sekarang jadi nyata. Seperti tahun lalu aku ditugaskan menulis tentang pariwisatanya sedangkan Dimas memotret gambar panorama pariwisatanya. Nggak habis pikir deh, kenapa coba bos besar memberi tugas seperti itu pada kami? Padahal kan bos besar tahu aku dan Dimas 3 bulan lagi akan melangsungkan pernikahan. Kayak nggak ada orang lain aja! Aku menggaruk kepala yang nggak gatal. Sumpah! aku dilema. Bingung banget nih, apa yang harus aku lakukan? “Tapi Om, 3 bulan lagi kan kami melangsungkan pernikahan, masa disuruh meliput tempat 7 keajaiban dunia?” Dimas mencoba menolak. “Ya nggak masalah dong!” “Jelas masalah karena setengah bulan lagi kami melaksanakan foto pre wedding di Bandung. Jika kami pergi, otomatis foto pre wedding-nya diundur dong?” “Kan kalian bisa foto pre wedding-nya di Paris atau Italy. Kan lebih romantis daripada di Bandung.” “Gini lho Om, kami itu sudah booking tempat di Bandung, kami udah bayar DP 50%, jika tidak jadi, otomatis DP hangus dong, kan sayang,” Dimas berusaha untuk mengelak tawaran kerja dadakan si om sekaligus si bos. “Itu soal gampang. Nanti saya yang akan ganti rugi uang yang kamu keluarkan. Gimana, kalian mau kan memenuhi permintaan saya?” Dimas terdiam, ia lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapan mata Dimas seolah mengatakan, “Gimana Dev, mau nggak memenuhi permintaan Om aku?” Aku berpikir sejenak. Foto pre wedding di luar negeri? Sepertinya menarik dan pastinya akan jadi momen tak terlupakan. “Baik Pak, saya setuju memenuhi permintaan Anda,” jawabku yakin. Akhirnya aku menganggukkan kepala tanda setuju memenuhi permintaan bos besar. Wajah bos besar berubah jadi ceria. Beliau mengulurkan tangan dan aku membalas uluran tangan beliau. “Terima kasih ya Devi. Saya senang punya karyawan sekaligus calon ponakan ipar seperti kamu,” ujar bos besar memuji. Aku jadi tersipu malu. Berhubung sudah tidak ada yang dibicarakan lagi, aku dan Dimas keluar dari ruangan bos besar. Yang harus aku pikirkan adalah gimana cara menyampaikan hal ini ke Ivana. Aish, menyebalkan. Dia pasti heboh mendengar penjelasanku.