
by Titikoma

You And Me
Palembang, 11 Juli 2012 “Tin... tin... tin...” terdengar suara klakson kendaraan bermotor yang berada persis di belakang mobilku. Sungguh menyebalkan orang ini, apakah ia tidak melihat bahwa jalanan pagi ini sedang macet? Bagaimana mungkin sopirku mengendarainya dengan cepat? Gumamku dalam hati. Pak Karyo, sopirku memilih diam tanpa menggubris pengendara motor hitam tak beretika itu. Oh ya, hari ini adalah hari pertama sekolahku lho, dari semalam aku membayangkan betapa asyiknya bertemu dengan teman juga guru-guru baru. Sebenarnya dua hari yang lalu aku sudah memberi kabar pada ayah agar ia bisa mengantarkanku sekolah di hari pertama ini dan ia pun menyanggupinya. Namun pil pahit harus kuterima malam tadi, ia mendadak ada tugas di luar kota. Begitulah ayahku, sangat sibuk dengan pekerjaannya. Pernah aku memintanya untuk berhenti dari pekerjaan dan menyuruh agar membuka bisnis saja, ia hanya diam. Padahal kalo dipikir-dipikir, tentu akan lebih banyak fulus dan waktu bersama keluarga. Dengan alasan belum siap, ia pun belum menyetujui permintaan anak gadisnya ini. Seperti mau menikah saja harus siap dulu, keluhku pada sang ayah saat itu. Padahal aku yakin dengan segala macam pengalaman yang ayah miliki, bila ia berbisnis, pasti bisa jauh lebih sukses. Ya beginilah aku ini, umur belum seberapa, pengalaman hidup masih sedikit tapi sudah sok tahu dengan dunia bisnis. Ahh sudahlah… aku percaya saja dengan apapun keputusan yang ayah buat. Tidak mungkin seorang ayah tidak sayang kepada keluarganya, pasti nan jauh di lubuk hati terdalamnya menginginkan juga waktu senggang hanya sekedar untuk berlibur bersama keluarga, atau sering diistilahkan dengan family time. Saat ini aku bersekolah di salah satu sekolah favorit di kota pempek, sehingga aku merasa bangga dengan pencapaianku sekarang. Bagaimana tidak? Seleksi masuknya saja susah! Belum lagi harus bersaing bersama ratusan anak lainnya. Hmm... dari tadi asyik bercerita sampai lupa aku memperkenalkan diri. Namaku Mayusari, panggil saja May. Walaupun ada beberapa teman kecil yang memanggilku Sari, aku tetap lebih suka bila dipanggil May. Seorang perempuan pencinta kopi, penikmat makanan, pencandu yang manis-manis namun bercita-cita memiliki tubuh langsing bak Dian Sastro. Jleb! Aku sendiri tidak yakin dengan cita-citaku bila pola hidupku terus seperti ini. Hehehe… maklum olahraga pun aku jarang. Sepuluh menit sudah aku terjebak dalam kemacetan di daerah Sudirman yang konon merupakan jantung dari Kota Palembang ini. Aku tak bisa membayangkan bila setiap pagi harus seperti ini, bisa-bisa aku terkena gejala stres sebelum lulus hahaha… candaku bersama pak Karyo yang selalu setia mengantarkanku kala ayah sedang bekerja. “Hehehe, Mbak itu sebenernyo lemak nian sudah biso sekolah, fasilitas ado, tinggal belajar bae. Lah, Bapak dulu boro-boro nak sekolah, makan bae lagi susah,” ucap pak karyo dengan bahasa sehari-hari warga sini yang bila diartikan dalam Bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini, ‘Hehehe, Mbak itu sebenarnya enak sudah bisa sekolah, fasilitas ada, tinggal belajar saja. Lah, Bapak dulu alih-alih bisa sekolah, makan saja terkadang susah.’ Untungnya aku sudah 5 tahunan tinggal di sini mengikuti ayah yang pindah tugas, sehingga sedikit paham dengan bahasa yang digunakan di sini. Berbeda dengan Pak Karyo yang memang sudah lama menetap di Palembang, tak heran saat berbicara terkadang ia menggunakan bahasa Indonesia, juga sesekali bahasa Palembang. “Hehehe… May cuman bercanda atuh Pak. Masa iya bisa stres, May kan strong gitu. Ini namanya perjuangan menuntut ilmu, Pak,” ucapku dengan semangat. Jam tanganku sudah menunjukkan Pukul 07.00 WIB, ahhhhh... sial! Aku terlambat di hari pertama masuk sekolah. Kutolehkan kepalakau ke kanan dan ke kiri, ternyata masih banyak juga anak-anak yang mengenakan baju seragam sepertiku, yang artinya alhamdullilah masih ada teman yang telat sepertiku, jadi aku tidak sendirian hehehe. Harus berapa lama lagi aku sampai di sekolah bila macet seperti ini? Aku pun penasaran, kok bisa macet, apakah karena hari pertama sekolah? Hmm… mungkin juga pikirku. Tidak lama kemudian, aku melihat sebuah pohon raksasa tumbang persis di sebelah kiri mobilku. Nah! Ini mungkin penyebabnya. Kok bisa ya, pohon segede Hulk ini tumbang? Bukannya dia kuat? Tanyaku dalam hati. Oh iya, aku baru ingat, ternyata semalam itu hujan ditambah angin yang intensitasnya cukup tinggi. Mungkin itu penyebabnya, mudahmudahan kejadian semalam tidak menelan korban jiwa. Pukul 07.15 WIB, aku tiba di sekolah. Dag, dig, dug tanganku gemetar, badanku keringat dingin ketika melihat para siswa dan siswi serta guru yang sedang baris di lapangan. Apakah apel hari pertama sudah dimulai? tanyaku dalam hati. Ahh… masa iya aku harus dihukum di hari pertama sekolah? Pelan-pelan aku turun dari mobil, baru saja menginjakkan kaki di tanah, aku mendengar sebuah pengumuman, mungkin dari seorang guru, “Sepuluh menit lagi apel hari pertama segera dimulai, diharapkan seluruh anak menyiapkan diri!” Yeahh! Senangnya bukan main, ternyata belum telat. Aku langsung berlari menuju guru piket yang sudah berdiri di depan pagar untuk menyalami para siswa/i yang hadir. Setelahnya, aku langsung menaruh tas dan langsung menuju lapangan apel. Sepatu yang baru masih kaku membuatku kesusahan berjalan. Aku sangat senang melihat dan berinteraksi dengan teman-teman baru yang begitu ramah kepadaku. Tiba-tiba seorang lelaki berkulit putih, berawakan tinggi ditambah hidung mancungnya yang bengkok datang menghampiriku, sontak aku harus mendongak bila berbicara dengannya. “Hai, siapa namanya?” tanya lelaki misterius itu. “May, namamu siapa?” ucapku agak menutup diri. “Namaku Martin, dari kelas sepuluh satu. Salam kenal ya,” ucapnya dengan percaya diri. “Oh ya? Aku juga kelas sepuluh satu lho, salam kenal juga Martin.” Hari-hari di sekolah kulalui dengan lancar, dan lagi-lagi aku sangat bahagia bisa bertemu dengan sahabat-sahabat baru di sekolah ini. Mereka sangat ramah, baik, bersahabat. Walau ada beberapa yang menurut persepsiku tidak asyik. Ingat yaa, ini persepsiku saja. Mungkin bagi yang lain belum tentu. Senada dengan apa yang dikatakan oleh David Krech, seorang pakar psikologi, bahwa persepsi adalah proses pemberian arti atau makna terhadap lingkungan atau objek oleh seorang individu. Sehingga makna yang diciptakan oleh satu individu ke individu lainnya tentu berbedabeda. Konon, persepsi juga ternyata dapat dipengaruhi oleh pengalaman kita. Tidak butuh waktu lama aku langsung akrab dengan teman-teman kelasku, namun sudah menjadi hal yang lumrah bila di balik yang akrab masih ada yang lebih akrab lagi, that’s why kebanyakan orang menyebutnya dengan istilah sahabat. Kebetulan aku termasuk orang yang selektif dalam memilih sahabat. Karena aku yakin biasanya seorang sahabat adalah cerminan diri kita juga. sehingga aku sangat sepakat dengan apa yang dikatakan oleh 9 7 Russian Proverb, “Tell me who’s your friend and I’ll tell you who you are”. Selain itu, sahabat dapat mendorong kita semakin bertumbuh juga dapat mematikan pertumbuhan kita. Jadi, memang kita dituntut untuk cerdik dalam memilih sahabat. Ingat ya cerdik, karena pintar saja belum cukup. Setelah kupikir-pikir, ternyata secara sederhana teori dari Russian Proverb itu ada benarnya juga, buktinya dari sekian banyak anggota kelas, aku memiliki empat sahabat saja, lima ditambah denganku dan kami samasama dari Jakarta alias pindahan dari Jakarta serta memiliki kesukaan yang sama, yaitu membaca, hehehe. Apakah kalian masih ingat dengan Martin? Ya, Martin, seorang lelaki tinggi yang mengajakku berkenalan di hari pertama sekolah itu sekarang menjadi sahabatku. Dia satu-satunya lelaki yang masuk ke dalam keluarga candy. Keluarga candy adalah nama geng yang kami buat. Kami menyebutnya ‘keluarga’ karena kami ingin lebih akrab dari sekedar sahabat. Martin adalah sosok lelaki yang memiliki aura pemimpin super duper cool! Pendiam namun mengayomi, itulah yang tergambar dalam diri Martin. Tak heran bila banyak siswi perempuan di sekolah ini mengidolakannya. Bukan hanya siswi perempuan, guru-guru pun banyak yang memperhatikannya setelah tahu bahwa ia termasuk siswa berprestasi sejak duduk di bangku sekolah dasar dulu. Di balik sosoknya yang keren, ternyata ia juga lelaki yang gampang baper lho, jadi harus hati-hati kalau bercanda dengannya. Kalau sudah tersinggung, bisa lama didieminnya. Kalau Martin tadi pendiam, lain lagi dengan sahabatku yang bernama Agnes. Perempuan tomboy ini sangat cerewet namun cerdas! Akibat kecerdasan yang dimilikinya, terkadang ia terkesan sombong, karena merasa tahu banyak hal. But, so far so good hehe. Agnes adalah anak seorang guru berprestasi, mungkin hal ini yang menyebabkannya juga berprestasi. Hmm… tapi menurutku tidak juga. Karena tetap saja untuk menjadi seorang yang berprestasi dibutuhkan kerja keras dan kegigihan untuk senantiasa belajar, sehingga masalah keturunan menurutku tak terlalu menjadi soal. Contohnya Pak Chairul Tanjung yang dikenal sebagai ‘anak singkong’ atau anak biasa saja yang kemudian sejarah mencatatkan namanya sebagai seorang konglomerat asal Indonesia. Dalam bukunya, lelaki kelahiran Jakarta itu bercerita bahwa ia bukan keturunan orang besar juga kaya. Namun, karena semangat perjuangan, kerja keras, kegigihan dalam meraih impianlah yang membuatnya dikenal seperti sekarang. Dua lagi sahabatku yang tidak boleh dilupakan adalah Rani dan Rana. Mereka adalah anak kembar. Bukan sekedar kembar, penampilan mereka dari ujung rambut hingga kaki pun sama! Aku terkadang suka bingung membedakannya, tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali tahi lalat yang ada di dekat dahi Rani. Kerennya lagi, belakangan ini mereka dipercaya menjadi pemain basket andalan Kota Palembang lho. Bagaimana ya kalau mereka sama-sama di lapangan? Hahaha... coba bayangin sendiri deh. Di awal-awal semester, dengan serentak kami masuk ke dalam ekstrakurikuler debat bahasa Indonesia dan komunitas gemar membaca di sekolahku, sehingga menjadikan kami lebih kompak karena sering bertemu, berdiskusi, membuat tugas hingga makan dan pergi bersama. Sungguh hari-hariku menjadi lebih berwarna dengan adanya keberadaan mereka.