Cinta Dibalik Rasa

Reads
61
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Gara Gara Pertemanan

 Palembang, 9 Desember 2012 Ada sesuatu yang berbeda di hari Minggu pagi ini, tidak biasanya sebelum azan subuh, aku beranjak dari surga dunia yang selalu kurindukan ini, ia adalah tempat tidurku. Brr... aku tidak tahu mengapa dinginnya sangat menusuk tulang, tak kuat rasanya untuk mandi dan beraktivitas sekarang, namun beberapa hari yang lalu aku dan keluarga candy sudah membuat janji untuk olahraga pagi setelah salat subuh. Di sisi lain, ada bagian diriku yang sangat semangat untuk olahraga, namun ada pula bagian diriku yang menyarankan untuk melanjutkan tidur lagi. Hal ini biasa terjadi pada diriku terutama saat mengambil sebuah keputusan penting pasti selalu ada bagian diri yang mendukung, ada pula yang menentang. Pernah aku membaca sebuah buku hipnoterapi, ternyata diri manusia itu terbagi dalam beberapa bagian. Namun aku tidak tahu persis bagianbagian apa yang dimaksud itu. Sehingga terjadilah dialog internal di dalam diri. Dan, ternyata aku lebih memilih untuk menepati janjiku dengan keluarga candy, selain tidak enak dibatalkan, juga karena aku yang menyarankan untuk olahraga Minggu ini. Jadilah aku mandi dan bergegas untuk menjemput Rani dan Rana yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari rumahku. Untungnya sahabatku ini sangat menghargai waktu, bila sudah janji jam lima maka jam lima sudah siap. Usai menjemput si kembar, kami langsung bergegas menuju Car Free Day di Jalan Jend. Sudirman untuk bertemu Martin dan Agnes. Selama perjalanan, aku dan si kembar menyempatkan untuk sarapan dulu, kebetulan ibu si kembar membawakan kami roti untuk sarapan. Ohh baik sekali ibunya hehehe… tahu aja dia kalau aku belum sarapan. Setibanya di Jalan Jend.Sudirman, aku langsung menelepon Agnes untuk mengetahui keberadaannya. Jam menunjukkan pukul 05.20 WIB, tapi sudah ramai masyarakat yang olahraga di sini. Mulai dari anak-anak hingga orang tua. Mulai dari yang berjalan, berlari, bersepeda hingga senam. Wah, aku sudah membayangkan betapa asyiknya bisa olahraga pagi bersama sahabat-sahabatku ini. Aku memang malas berolahraga, namun kalau ada yang menemani, aku mau hehe… maklum jomblo. Akhirnya kami bertiga menemui Agnes dan Martin yang berdiri di sudut dekat orang jualan bubur kacang hijau. “Haiiiii… May! Apa kabar?” tanya Martin kepadaku. Belum sempat aku menjawab, langsung disambar oleh si kembar Rani dan Rana. “Oh… jadi Maya doang yang ditanya? Kita enggak? Ya udah balik yuk, Na?” ucap Rani. “Ya elahhh baper amat sih, ya udah apa kabar semuanya? Hehe….” tanya Martin. “Baik dong!” sorak kami serempak. “Ya udah, yuk mari kita jalan, habis itu lari,” ajak Martin. Sepanjang jalan, aku tak henti-hentinya melihat ke kanan dan kiri. Ternyata asyik juga ya kalau setiap Minggu pagi datang ke sini, ramai dan banyak orang yang jualan. Sesekali mataku memandang Martin yang tak sengaja ketika ia sedang memperhatikanku juga, dengan cepat ia memalingkan muka karena takut ketahuan, padahal sebenarnya aku tahu kalau ia sedang memperhatikanku. Usai olahraga, kami langsung mencari tempat untuk sarapan pagi. Karena menurut Martin, percuma kita olahraga kalau tidak diiringi nutrisi. Datanglah kami ke salah satu toko bubur ayam terkenal di seputaran Kambang Iwak tidak jauh dari Car Free Day, warga sini mengenalnya dengan warung bubur Bang KD atau Kang Didin, aku pun jadi penasaran ketika melihat pengunjung yang cukup ramai makan di sana, apa iya memang enak? Atau jangan-jangan memang tidak ada penjual bubur yang lainnya? Otak kritisku memang selalu bermain, terlebih lagi bila ada sesuatu hal baru yang belum pernah kucoba atau belum pernah kubuktiikan. Tidak butuh waktu lama, pesanan kami tiba. Aku yang tidak sabar, langsung mencicipi bubur tersebut. “Ahh… panas sekali,” ucapku refleks. Melihat reaksiku, lantas membuat Martin langsung menyentuh bibirku dengan jari tangannya sambil berkata pelan, “Tidak apa-apa May? Makanya sabar, nunggu adem dulu,” tiba-tiba saja aku terdiam melihat perlakuan Martin yang baru pertama kalinya itu. Speechles, itulah yang kurasakan. Apalagi ketika melihat tatapan tajamnya. Agnes yang sedari tadi memperhatikan kami sambil tersenyum lalu berkata, “Sudah Tin, jangan kelamaan, ntar baper.” “Wahahaha, nggak mungkin kali baper dengan keluarga sendiri,” ucapku sambil tertawa. “Sudah-sudah, yuk lanjut makan lagi. Setelah itu pulang dan membuat tugas untuk besok,” tegas Rani. “Dringgg... dring...” handphone-ku berdering. Lho kok Pak Karyo menelepon? Padahal aku belum memintanya untuk menjemputku. Karena ingin menikmati makan, kuhiraukanlah panggilan itu. Beberapa menit setelahnya ia menelepon lagi, sepertinya ini penting, pikirku. “Mbak, Mbak di mana? Bapak ndak bisa jemput, mesti ke bandara jemput Ayahmu. Nanti nebeng sama anak kembar yang dekat rumah kita saja ya,” ucap Pak Karyo. “Yahhh, oke deh, Pak,” jawabku lesu sambil mengakhiri panggilan. “Ehh… Ran, pulangnya nebeng dong. Kalian pulang sama siapa?” tanyaku. “Waduh, kami nggak pulang ke rumah May, karena mau langsung ke rumah nenek. Gimana dong? Gimana kalau nebeng sama Agnes atau Martin?” jawab Rani. “Agnes juga dijemput temen May,” sambung Agnes. “Tin, kalau kamu bawa kendaraan nggak?” ucapku. “Bawa. Ya udah nanti aku antar deh ke rumah. Yang penting habisin dulu makannya,” jawab Martin. Perlahan langit mulai gelap diiringi angin yang juga mulai berdansa dengan riang. Di saat yang sama, matahari malah menutup diri, seolah malu menampakkan wujudnya. Tetesan air terlihat jatuh persis di meja makan kami, tak heran bila kami mendongak ke atas melihat atap yang ternyata bocor itu. Pengamen yang sudah beraksi sejak lima menit lalu tiba-tiba menghentikan permainannya. Dar! Petir muncul menandakan bahwa cuaca sedang tidak bersahabat. Hujan deras turun seketika, orangorang yang sedang berjualan di sekitar jalan Kambang Iwak kaget ketika dihujami hujan yang datang tanpa izin itu. Sontak mereka langsung gerak cepat mengamankan barang dagangannya. Hal yang sama juga kami rasakan ketika tetesan air mulai menganggu perbincangan kami. “Yahhh hujan. Gimana ini? Nggak bisa pulang dong?” ucap Agnes. “Kita tunggu aja sampai reda,” ujarku sambil menenangkan Agnes yang sudah ditunggu acara ulang tahun temannya. Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit hujan tak kunjung reda, Agnes mulai gelisah mengingat acara ulang tahun temannya dimulai pada pukul 11.00 WIB. Sedangkan ia masih di sini, belum lagi harus mandi dan bersiap-siap. Aku, Rana-Rani dan Martin tidak punya kesibukan hari ini, jadi terlihat biasa-biasa saja. Tidak lama kemudian, penantian pun tiba, hujan mulai mereda, segera Agnes mengambil Iphone seri terbaru yang belum lama dirilis dan menelepon keberadaan teman yang menjemputnya. “Oh shit!” teriak Agnes, yang mengagetkan kami juga pengunjung lainnya. “Kenapa, Nes?” tanya Rani. “Temenku kejebak hujan deras di daerah Plaju, sama aja artinya aku harus menunggu lagi. Ini sudah jam setengah sebelas”, ucapnya geram. Kami semua hening, bingung tak mengomentari. Sepertinya dia harus mengikhlaskan hari Minggunya bersama keluarga candy saja hehehe, pikirku. “Ehhh… liburan yok?” seru Rani berusaha mencairkan suasana. “Yukkkkk!!! Kapan dan ke mana?” ucapku. Terus terang aku sangat menyukai jalan-jalan, apalagi kalau rame-rame. “Ahhh nggak deh, nanti wacana dan ngomong doang,” ujar Martin. “Makanya, ayok direncanain detail biar gak wacana doang,” jawab Rani. “Kalian ini, malah mikirin liburan. Nasibku gimana? Nggak enak kalau nggak hadir ke acara ulang tahun temanku,” potong Agnes dengan sedikit kesal. “Gimana ya? Kondisinya begini, aku juga bingung,” jawabku pelan. “Ya udah, kita rencanain liburan aja dulu selagi menunggu temen yang menjemput,” sambung Rani. “Emang mau ke mana deh kalian? Yakin diizinin sama orang tua kalian? Secara kalian kan perempuan, masih kecil lagi,” ucap Martin seolah mematahkan semangat kami. “Bukannya gitu, dulu aku juga sering diajak temen-temen liburan bareng, tapi selalu saja ada hambatan. Yang izinlah, inilah, itulah. Coba dipikir lagi deh”, sambung Martin. 15 13 Belum selesai bicara, tiba-tiba datang seorang lelaki berjubah hitam mengenakan helm fullface menghampiri meja kami. Kami tak mengenalinya. “Agnes, yuk jalan,” ucap lelaki itu sambil berusaha membuka helmnya. “Ohhh Zalu, lho kok sudah sampai sini? Ngagetin aku aja,” seru Agnes. “Ngagetin atau ngangenin nih, Nes?” jawab Zalu sambil tertawa. “Hmmmmm…” celetuk Rana. “Ihhh… apaaan sih Zal, serius. Katanya tadi masih ke jebak hujan?” tanya Agnes. “Iya kejebak hujan, tapi aku kan pake jas hujan biar kamu nggak menunggu lama,” jawab Zalu. “Kamu emang terbaik deh! Oh ya, btw kalo kita jalan sekarang, aman nggak ya? Aku mau mandi dan ganti pakaian dulu,” seru Agnes. “Ayok sekarang, aku juga udah bawain jas hujan untuk kamu,” sahut Zalu. “Yaelah buru-buru amat, kenalan aja belum, Nes. Kenalin dulu dong ke kita-kita, siapa dia?” sahutku. “Iya nih, parah banget sih Agnes,” teriak Rana-Rani. Martin tak banyak komentar, hanya berkata, “Sudahlah kapan-kapan aja, dia kan mau cepat ngejar waktu.” “Oh iya, kenalin namaku Zalu, teman kecilnya Agnes. Nanti kapan-kapan kita ketemuan lagi ya biar lebih kenal aku hehe…” sapa Zalu. “Iya, sorry banget ya keluarga candy-ku, next time aja. Soalnya buru-buru banget nih,” celetuk Agnes. Aku langsung ambil inisiatif untuk mengizinkan Agnes segera pulang, “Ya udah hati-hati ya kalian, jalanan licin. Kabarin kalau sudah sampai.” Breeeeengg... bunyi motor Zalu. “Yuk, Nes. Oh iya semuanya, duluan ya,” sahut Zalu. Tidak sampai setengah jam setelah kepulangan Agnes, cuaca mulai 16 14 membaik. Matahari yang semula sembunyi mulai menampakkan wujud aslinya. Raut wajah penuh harap pedagang terpancar dengan jelas, pertanda ada sebuah peluang, ada sebuah harapan untuk bisa menghabiskan barang dagangan hari ini. Sempat aku meneteskan air mata saat ada seorang ibu tua penjaja gorengan yang tak sengaja terlihat mengucapkan syukur saat hujan mulai menghentikan permainannya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana bila hujan terus melanda, dan barang jualannya tidak bisa dijual. “Open Trip ke Lampung bersama Teen Tour!” teriak Rana sambil memegang Ipad-nya. “Apaan tuh? Bikin kaget aja,” jawab Martin. “Ini lho, aku baru dapet broadcast dari seorang teman bahwa ada pembukaan tur ke Lampung. Terjangkau, fasilitasnya lumayan, harganya oke, minimal empat orang. Kita kan lima orang, jadi pas! Yuk ikutan yuk?” sahut Rana dengan semangat. “Hmmm… boleh tuh! Jadiin ya,” jawabku. “Tapi... tanggal booking terakhirnya tiga hari lagi, gimana dong? Nggak bisa nabung dulu kita untuk ikut ini,” jawab Rana lagi. “Lebih baik kalian izin dulu, kasih informasi sama orang tua kalian. Kalau boleh, baru kita jadiin,” celetuk Martin. “Yups, setuju sama Martin,” ucapku. Sementara Martin melunasi uang makan kami tadi, Rani dan Rana bergegas siap menuju rumah neneknya. “Kita cabut dulu ya, May. Hati-hati lho Martin, jangan sampai sahabatku yang cantik ini ada apa-apa di jalan! Salam untuk keluarga di rumah,” ucap Rani. Selama lima belas tahun menjalani kehidupan, bukan untuk pertama kalinya aku diantar oleh seorang lelaki. Memang tidak terlalu sering, tapi setidaknya pernah. Walaupun aku dan Martin sudah akrab, tetap saja aku merasa ketidakenakan, mengingat jarak rumah Martin yang cukup jauh dari rumahku. “Ehh Martin, ga papa nih kamu mengantar aku? Kayaknya aku naik angkutan umum atau ojek aja deh. Rumahmu juga terlalu jauh lho,” pintaku. “Kamu mau naik angkutan umum?” tanyanya sambil tertawa. “Iya mau kok. Daripada ngerepotin,” ucapku. “Ya udah kalo begitu, aku duluan ya. Hati-hati May,” jawabnya. Mendengar jawaban Martin, membuatku terdiam. Aku tidak meyangka bahwa ia rela membiarkanku. Dia memang cuek, tidak bertele-tele juga tegas. Dia tidak menyadari bahwa sebenarnya aku hanya basi-basi, ahhh sungguh aku menyesal. Mengapa aku menolak tawarannya? Bukankah aku belum pernah menggunakan angkutan umum di sini? Kini aku bingung, Martin sudah meninggalkanku sendirian dengan motornya. Aku segera menelepon Pak Karyo, tiga kali menghubunginya tidak ada respons yang berarti. Sempat aku bertanya ke orang sekitar di mana aku harus menemukan angkutan umum, jawabannya pun jauh dan harus berjalan kaki sekitar sepuluh menit, karena daerah ini memang tidak dilintasi angkutan umum. Mungkin benar kata orang, perempuan itu memang labil. Di sebuah ayunan tua aku duduk sambil berharap cemas Pak Karyo menghubungiku balik. “Mayaaaaaa, Mayaaa...” teriak seorang lelaki dari belakang. Kalian tahu? Betapa shock-nya aku. Ternyata Martin datang menghampiriku lagi. “Lho, kok kamu masih di sini Mar? Bukannya tadi sudah pulang?” tanyaku heran. “Kamu sendiri kenapa belum pulang-pulang? Nggak bisa pulang ya? Kasian amat,” ledeknya. “Bisa kok, ini lagi nunggu aja. Sambil nikmatin suasana di sini,” alasanku kepada Martin. “Alah… nunggu siapa? Jangan bohonglah. Dari tadi aku perhatikan kamu sedang kebingungan,” timpalnya. “Nunggu Pak Karyo,” ucapku seraya membela diri. “Nggak usah gengsi lah, sini aku antar aja,” katanya lagi. Hmmm… gimana ya, aku jadi bimbang. Ditolak aku tidak bisa pulang, 18 16 diterima aku jadi malu. “Okelah, sorry ya ngerepotin,” akhirnya aku terima ajakannya lagi. “Lha, katanya keluarga, tapi kok malu-malu?” seru Martin. Perlahan aku menaiki motornya yang tinggi itu. Sepanjang perjalanan kami hanya diam, tak ada satu dua patah terucap dari mulut Martin, begitu juga aku. Sebenarnya aku mau ngobrol, namun bingung mau membahas apa. “May, kok diam aja sih? Kaku amat,” celetuk Martin. “Kamu juga gitu, masa harus perempuan dulu yang mulai?” seruku. “Emang salah?” Hmmm… aku tidak tahu persis ini salah atau tidak, yang pasti pernah aku membaca novel cinta, biasanya seorang lelakilah yang harus memulai. “Kayaknya salah deh,” gumamku polos. “Coba deh jelasin salahnya di mana?” tanyanya lagi. “Eh nggak tahu juga deh hehe…” jawabku sambil menatap Martin. “Oh iya May, sore ini ada rencana ke mana? Ada yang perlu aku ceritain nih.” Wah tumben nih dia mau cerita sama aku, kira-kira ada apa ya? Aku tak menjawab langsung pertanyannya, kuberi jeda sesaat untuk berpikir. “Hmm… kayaknya nggak ke mana-mana sih. Tapi nggak tahu kalo tiba-tiba keluarga ngajak family time,” jawabku. Dia diam tak menyangkal jawabanku. Setibanya di rumah, ternyata tidak ada orang , hanya ada bibi saja. Sontak aku langsung menelepon ayahku. “Ayah, di mana?” seketika aku bingung. “Ayah langsung menghadiri pernikahan teman sama Bunda dan adik juga. Kamu sudah pulang? Kalah sudah, Ayah kemarin beliin cokelat kesukaanmu, nanti tanya sama Bibi cokelatnya di mana. Ayah pulang 19 17 nanti sore,” jawab ayahku panjang. “Oh iya yah, ada Martin di rumah. Tadi pulangnya diantar dia.” “Ya udah jangan lupa dikasih makan ya, see you Sayang. Mau dibeliin apa? Nanti Ayah beliin setelah pulang ke rumah ya,” jawabnya. “Terserah deh, Yah.” Ayahku memang sosok lelaki yang romantis sama wanita. Tapi tidak ke semuanya lho ya, romantisnya sama bunda, adik dan aku saja hehe. Usai menelepon, aku mempersilakan Martin masuk dan menunggu di ruang tempat biasa kami bermain, sedangkan aku langsung menghampiri bibi yang terlihat sedang repot di dapur. “Bibi!!!!!” sahutku heboh, sontak langsung mengagetkan bibi yang sedang fokus dengan pekerjaannya. “Aduhh Neng, ngagetin aja. Ada apa Neng?” “Bibi lagi masak apa? Ada Martin nih di rumah.” “Lagi masak sup kesukaanmu. Oh iya? Berarti Bibi harus masak makanan kesukaan cowok ganteng juga nih,” celetuk bibi sambil tertawa. “Hmm... Bibi ini, inget umur Bi,” komentarku. “Sekali-kali dapet berondong nggak papa kali, Neng. Hehe…” “Bibi ini mengkhayal saja, pokoknya masaknya harus enak ya!” “Iya dong, masakan Bibi kan selalu enak. Oh iya, tadi Ayah nitip cokelat ke Bibi, katanya spesial untuk kamu. Ambil aja di lemari kamu ya, tadi Bibi taruh di situ.” “Okayy Bibiku sayang,” jawabku sambil memeluknya. “Ehhhh… Bibi lagi kotor lho, nanti kamu ikutan kotor juga,” kata bibi sambil menghindar. Aku dan bibi memang akrab bak ibu sendiri. Bibi juga enak bila diajak curhat, terlebih lagi ia selalu mengerti keadaanku, dan yang paling penting, gampang diajak kerja sama hahaha... 20 18 Aku langsung menapaki tangga untuk ke atas mengambil cokelat pemberian ayah, setelahnya datang menghampiri Martin yang sedari menunggu. “Mar, ini cokelat pemberian Ayah. Makan aja, aku izin mandi bersih-bersih dulu ya, biar cantik hehe…” ledekku sambil menepuk pundaknya. “Nggak usah mandi deh, sudah cantik dan nggak ada tamu juga selain aku,” jawabnya. “Mandi ahh, gerah. Bentar aja, paling sepuluh menit.” Tanpa basa-basi aku langsung kabur meninggalkannya. Selesainya aku menghampirinya lagi. “Hmmm… Bibi cari-cari kesempatan aja deh, mentang-mentang ditinggal sebentar,” sahutku. “Ihhh… kan Bibi cuman mau nganter minum doang, sekalianlah ngobrol sedikit hehe…” jawab bibi. “Ya udah ah, Bi. Kami mau ngobrol masalah penting dulu, nanti Nibi ke sini lagi aja kalau masakannya sudah matang,” pintaku, “Oh iya Bi, kalau mau ke belakang sekalian hidupin TV ya!” sambungku. “Sudah Neng,” teriak bibi dari belakang. Azan berkumandang, mataku langsung menyorot ke arah jam dinding yang terletak persis di atas TV, ternyata sekarang sudah asar, aku pikir baru zuhur. Mungkin karena terlalu lama kehujanan di warung bubur tadi kali ya. “May, tahu nggak aku ini sedang bingung makanya mau cerita ke kamu?” “Bingung kenapa? Cerita aja nggak apa-apa.” “Nah, pasti kamu kaget dan kalau ketahuan sama kelaurga Candy pasti mereka juga nggak nerima. Gimana ya bagusnya? Sudah beberapa minggu yang lalu sebenarnya aku ingin mencurahkannya, tapi baru kali ini saat yang tepat menurutku.” “Kalau memang itu penting untuk diceritain, aku siap mendengarkan. Kalo  memang sulit untuk diceritain, mending jangan!” jawabku seolah tegar, tapi sebenarnya ingin tahu kira-kira apa yang sedang terjadi pada Martin. “Tapi, kamu jangan cerita dulu ya ke keluarga Candy lainnya.” “Oke, kalo memang itu maumu.” “Kamu kenal kan sama Monica? Anak kelas sebelah di sekolah kita?” “Iya kenal dong, anak cheersleaders yang bawel itu kan?” komentarku. “Nah itu! Kalau aku pacaran dengan dia, gimana menurutmu May?” tanyanya bingung. Oh my god! Dia mau pacaran sama anak rempong nan bawel itu? Pantas saja dia tidak berani cerita ke keluarga Candy. Hello…! Tentu aku tidak menyetujuinya, Martin seorang anak baik, keren, cool, pacaran sama perempuan yang nggak banget itu. “Ahhh yang bener? Jangan bercanda dong Mar,” jawabku. “Ihh serius, masa iya aku bohong. Emang kenapa?” Ya Tuhan, aku tidak tahu mau jawab apa, yang pasti Martin dan Monica itu seperti bumi dan langit. Bagaimana mungkin mereka bisa bersatu? Bukan karena aku cemburu, bukan karena aku jatuh hati, bukan juga karena aku merasa iri. Aku tidak pernah sedikitpun menginginkan Martin. Tapi, mengapa ia harus bersama perempuan itu? Memang ia good looking, cantik, juga seksi. Wajar bila banyak senior yang meliriknya, namun sayang ia memiliki bad attitude. Aku hanya tidak mau bila Martin berubah garagara perempuan itu, sungguh tidak mau. “Kamu gila kali ya? Nggak lihat siapa dia? Selama ini dia selalu menjelekjelekkan keluarga kita. Terus kamu mau pacaran dengannya?” ucapku agak sedikit lantang. “Aku nggak setuju, nggak ada alasan!” sambungku lagi. Martin hanya diam tak bisa berkata-kata. Aku juga diam, mulai berpikir apakah ucapanku terlalu lantang lantas membuat Martin tak berkutik? Lima menit kami diam tak saling menatap, si bibi datang dengan membawa nampan yang menurut hematku itu adalah makanan untuk kami. “Halo Neng dan Nak Martin. Ini Bibi bawain sup kesukaan Neng, juga ayam 2 goreng kesukaan Martin. Yuk, kalian makan dulu biar nggak kelaperan. Nanti bibi yang disalahin Ayah kalau kalian kelaperan,” ujar bibi sambil menaruh makanan di meja kami. Krik… Krik... kami tak menghiraukan keberadaan bibi. “Heiiii, kenapa diam saja? Nggak lihat ada orang di sini? Kenapa kalian kayak orang kesurupan?” sambung bibi. Kami tetap tak merespons, hingga akhirnya bibi mendekatiku. “Neng, ada apa atuh? Perasaan dari tadi biasa aja, kok malah sekarang diem-dieman gini?” tanya bibi sambil merangkulku. “Tahu tuh, tanya aja sama Martin langsung.” “Udah nggak ap-apa kok Bi, kami lagi kebingungan aja sama tugas yang diberi guru,” ujar Martin ngeles. “Yaudah, kalo gitu jangan lupa dimakan ya masakan Bibi yang nikmat itu,” celetuk bibi sambil meninggalkan kami. “Hmmmm… kamu cemburu ya? Jutek banget,” seru Martin seraya tertawa. “Apaan, nggak lah. Cuman kan nggak banget gitu ihh,” jawabku. “Ya udah deh, aku nurut aja perintah kamu. Jadi kira-kira baiknya gimana?” tanya Martin. “Jauhin dia!” tegasku. “Busyet, galak amat nih cewek. Jangan gitu, ntar nggak cantik lagi,” gombal Martin. “Ini serius,” singkatku. “Makan dulu yuk, kasian Bibi sudah repot repot masak buat kita,” ucap Martin. “Makan aja sono, aku nggak laper.” “Nanti kamu sakit, semuanya repot. Aku juga udah laper nih,” sahutnya. Tanpa berpikir panjang, Martin langsung mengarahkan sendoknya ke mulutku, alhasil aku kaget gegaranya. Karena aku refleks, mulutku  mengizinkan makanan itu masuk. “Nah, giliran disuap, mau. Dasar manja, makan sendiri sana!” ucapnya meledekku. “Habis, kamunya gitu sih.” Sepertinya memang sudah sifat alamiah perempuan terlahir sebagai manusia yang tak mau kalah, yang ingin menang sendiri. Sepulang dari rumahku, Martin menjadi lebih sering cerita padaku mengenai perempuan cheersleaders itu. Namun, tetap saja aku tidak menyukainya, walau apapun itu alasannya. Sampai suatu saat pernah Martin berkata, “Ya udah kalo gitu kamu aja deh yang jadi pacarku, gimana?” Aku yakin itu hanya bercanda saja, tapi cukup membuatku blank dengan perkataannya itu. Belum sempat menjawab, dia langsung menimpali, “Hei jawab dong? Mau nggak?” Tak sengaja mulutku menjawab sambil menepak pundaknya, “Apaan sih? Kalau depresi jangan gitu juga kali. Ya, nggak mau lah.” “Nah, makanya jangan pernah permasalahin aku sama Monica,” jawabnya. “Terserah!” jawabku singkat. Sejak saat itu, mungkin karena aku mulai bete, aku jarang mengobrol dengan Martin. Di kelas pun begitu. Untungnya tidak ada satu orang pun yang mencurigai kami, termasuk keluarga Candy. Oh ya, soal liburan yang direncanakan beberapa bulan lalu pun terpaksa dibatalkan karena Agnes, Rana dan Rani belum mendapatkan izin dari orang tuanya. Ujian kenaikan kelas telah usai, artinya sebentar lagi kami akan naik ke kelas dua. Siang ini aku berencana untuk jalan-jalan ke salah satu mal terbesar di Palembang, dan tentu bersama keluarga Candy. Namun, kabar tidak enak datang satu jam sebelum jadwal yang sudah direncanakan sebelumnya. Martin yang awalnya semangat ingin bertemu di hari ini, ternyata mendadak mengurungkan niatnya untuk ikut, dengan alasan ada acara keluarga. Sebenarnya Martin adalah pria cozy yang jujur, dan selama ini belum pernah dia sekalipun membatalkan pertemuan kami secara sepihak. Malah biasanya dialah yang selalu mengingatkan kami  bila ada janji maka harus ditepati. Agnes yang sudah sedari tadi tiba di rumahku pun kesal atas kabar mendadak yang diberikan oleh Martin. Sedang Rana dan Rani yang masih dalam perjalanan ikut merasa kecewa, namun ia menginginkan agar rencana hari ini tetap jadi tanpa Martin dan menyarankan agar kami ke Palembang Square saja. Karena kebetulan di PIM sedang ada acara festival kuliner, sehingga jalan menuju ke sana menjadi macet. Kami menyetujui sarannya, dan langsung menuju TKP diantar oleh Pak Karyo. Sampai di lampu merah Charitas, aku melihat Monica sedang dibonceng oleh seorang lelaki yang menurut mataku sudah tidak asing lagi. Segera aku memberi tahu Agnes, dan serentak kami berkata, “Itu kan Martin !” Kami tahu betul bahwa itu Martin dari motor yang selalu dibawanya. “Agnes, ambil ponselmu lalu foto mereka berdua,” seruku. Agnes langsung mengambil foto mereka dan men-share-nya di grup kami. Tidak beberapa lama langsung dibalas oleh Rani. “Lho, kok Martin pergi sama perempuan itu?” Terus terang, aku bingung. Apakah aku harus bercerita bahwa mereka sudah dekat lama atau memilih diam saja. Mereka yang baru melihat pasti kaget, tidak sepertiku yang sudah tahu akan hal ini. Setelah kupikirpikir lebih baik aku diam saja, daripada nanti aku ikut disalahkan. “Aku juga tidak tahu,” balas Agnes melalui grup kami. Martin yang sedang mengendarai motor pasti belum menyadari bahwa fotonya ada di grup kami. Juga karena ia tidak melihat bahwa mobilku persis berada di sebelah motornya. Aku berpesan kepada Pak Karyo agar mengikutinya dari belakang, biar tahu mau ke mana dia sama Si Monica itu akan pergi. Ternyata tujuannya sama! Yaitu ke Palembang Square. Aku segera menelepon Rana dan Rani yang sedari tadi sudah menunggu di Starbucks Palembang Square. “Ran, mereka berdua ternyata ke Palembang Square juga! Gimana dong?” tanyaku di telepon “Malah bagus, ya udah nggak apa-pa nanti kita samperin aja,” jawab Rani. Aku tak terlalu banyak berkomentar, mengikuti apa kata Rani saja.  Tiba di Palembang Square, kami langsung menuju Starbucks dan segera menghampiri Rana-Rani. “Ehh gimana tuh jadinya sih Martin?” sahutku. “Ntar kalo ketemu kita marahin aja di depan Monica langsung,” seru Agnes. “Jangan, malu-maluin. Mending kita diemin aja pura-pura nggak kenal, sampai dia bener-bener mengakui kesalahannya. Jadi, kalau seandainya ketemu di sini pokoknya nggak usah dilirik! Oke?” tegas Rani. “Hmm… yakin?” celetuk Agnes. “Iya, gitu aja,” jawab Rana menyetujui pendapat adiknya, Rani. Karena tujuan kami ke sini adalah ingin nonton, kami naik menuju XXI. “Ehhh lihat!” teriak Agnes mengagetkan kami. “Apa?” sahut kami serentak. “Itu ada Martin lagi ngantri tiket. Jangan-jangan nanti satu studio lagi sama kita, kan kemarin yang ngebet banget pengen nonton itu dia,” sambung Agnes. “Nggak masalah, kita juga ikut ngantri. Tapi inget, pura-pura nggak kenal ya,” ajak Rani. Sebenarnya aku tidak enak dengan Martin, kasian dia, tapi ia juga harus menerima kenyataan ini. Padahal jauh sebelum ini aku sudah mengingatkan, pasti keluarga Candy tidak ada yang menyetujui hubungan mereka. Kami berempat ikut mengantri di antrian. Bah! tidak sengaja Martin menoleh ke arah kami. Mukanya masam memerah, mungkin menahan malu. Badannya tiba-tiba kaku, juga mulutnya. Aku yakin ia sedang kebingungan dan gelisah bertemu kami. Monica belum menyadari keberadaan kami, lantas Martin menjadi salah tingkah ketika melihat kami berdiri persis di belakangnya. Kalau aku jadi Martin, mungkin saja aku sudah pipis di celana. Martin hanya diam saja tak menggubris. “Ehhh, sebenarnya aku nggak bisa juga lho nonton hari ini karena ada arisan keluarga,” celetuk Rana dengan keras. Sontak membuat Martin, Monica, juga pengunjung lain menoleh ke arah kami. Haha… aku tidak bisa membayangkan apa yang ada di pikiran mereka berdua setelah menyadari keberadaan kami di belakangnya. Tidak mau ambil pusing, Martin langsung menarik Monica masuk ke dalam studio, mengingat ia sudah memegang tiket yang dibutuhkan. “Ihh… dasar perempuan nggak tahu malu,” celetuk Agnes menyindir Monica. Bukannya kami jahat, bukannya kami tidak suka dan senang. Tapi, kami tahu bagaimana sifat Si Monica. Dulu ia sangat membenci keluarga Candy, termasuk Martin, karena cuek terhadapnya. Lantas, aku tidak tahu mengapa sekarang bisa jadi seperti ini. Pasti ada maksud di balik semua ini. Aku tak sabar untuk memecahkan masalah ini. Ya, aku menganggapnya ini sebuah masalah, karena aku tahu betul ini tidak mungkin terjadi. Selesai mengantri, kami juga langsung masuk dalam studio yang sama dan menariknya lagi Martin duduk persis di depan kursi kami. Aku merasa, ia tidak akan menikmati date pertamanya ini bersama Monica. Eh, pertama? Masa sih? Jangan-jangan sudah sering. Dua jam di dalam studio, tidak ada gerak-gerik Martin yang berarti. Selesai nonton, kami langsung pulang ke rumah. Kami juga berencana tidak menerima maaf Martin bila dia chat. Ia harus berani bertemu dengan kami untuk menyatakan kesalahannya ini. Malamnya, ada sebuah pesan masuk di grup kami. Ya, siapa lagi kalau bukan dari Martin. “Hello guys, mohon maaf atas kesalahan aku hari ini. Aku benar-benar merasa bersalah, aku tidak tahu harus bagaimana, aku sendiri bingung dengan diriku”, bunyi pesan yang dikirim Martin. Sayangnya tidak ada satupun yang menggubris pernyataan Martin itu, hingga pesan kedua kembali dikirim Martin. “Keluarga, aku tahu kalian kecewa, aku tahu kalian marah, aku tahu kalian emosi gara-garanya. Tapi, izinkan aku menjelaskan ini semua kepada kalian”, tambahnya. Baru pertama kalinya kami melihat Martin mengemis maaf seperti ini, biasanya ia cuek-cuek saja. Ternyata lucu juga membaca pesannya. Namun, lagi-lagi tak ada yang berminat merespons pesan Martin. Besoknya kami sekolah seperti biasa, namun suasana berbeda kami jumpai kali ini. Kalau biasa jam istirahat Martin selalu bersama kami, sekarang ia  sendiri menuju kantin, mungkin malu untuk mendatangi kami. Sedangkan perempuan yang bernama Monica itu (mungkin) sengaja tidak masuk sekolah hari ini. Lagu Arti Sahabat dari grup band Nidji terdengar dari lapangan sebagai pengingat bahwa kegiatan sekolah hari ini telah usai. Sekolah kami sudah tidak menggunakan lonceng lagi, maklum sekolah unggulan. Martin langsung merapatkan diri ke kami yang kebetulan masih di dalam kelas untuk mengerjakan tugas bersama. “May, Ran, Nes…” panggil Martin. Tidak ada yang merespons kedatangan Martin. “Hallo semuanya,” sambungnya lagi. “Kenapa? Nggak pergi sama pacarnya lagi?” komentar Agnes sambil menggunting kertas Asturo berwarna biru. “Sudahlah, kami nggak butuh seorang teman pembohong,” tambah Rani. “Kalian kenapa sih nggak suka sama Monica? Dia anak baik-baik kok, nggak seperti yang kalian pikirkan,” bela Martin. “Kamu belum tahu aja aslinya gimana,” sambungku. “Ya udah May, susah memang bicara sama orang yang sedang jatuh cinta. Mending kita ngerjain tugas aja deh, daripada ngurusin hidupnya dia,” ujar Rana. Karena merasa dikucilkan, Martin langsung meninggalkan kami sambil berkata, “Lihat saja nanti, akan kubuktikkan kalo Monica memang perempuan baik-baik.” Kami tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh Martin. Seperti biasa di hari Jumat selalu aku menyempatkan diri untuk duduk menikmati kopi sembari menuliskan ide-ide di blog pribadiku. Setiap Jumat pula aku selalu hunting lokasi café yang belum pernah aku kunjungi. Apalagi di Palembang, pertumbuhan café/warung kopi begitu pesat belakangan ini. Kebiasaan masyarakat yang suka ngerumpi salah satu penyebabnya. Jumat ini pilihanku jatuh di salah satu café di bilangan Sekip. Dekorasi yang menarik hati, memikat hatiku untuk segera masuk ke dalamnya. 28 26 Tidak menunggu waktu lama, aku langsung duduk di paling ujung karena strategis menurutku. Gaya classic sangat merekat kuat di café ini. Juga lagu When I Need You dari penyanyi termashyur Rod Stewart ikut menjadikan pengunjung di sini selalu merasakan cinta yang mendalam. Kubuka Laptop putih kesayanganku, sembari menunggu pesanan kopi hitam ditambah sedikit sandwich sebagai peneman kopi sore ini. Tidak sengaja, aku melihat sebuah tulisan terpancar jelas di dekat meja kasir yang menarik perhatianku, “Don’t tell people your dreams. Show Them”. Di saat fokusku mencerna abjad demi abjad tulisan tersebut, seorang perempuan pirang datang menghampiriku dengan membawakan pesanananku. Begitu ramah ia menyajikan dan menyapaku. Inilah salah satu faktor yang selalu kunilai saat berkunjung ke café manapun, yaitu service excellent! Pernah aku berkunjung ke salah satu café di Bali, namun service-nya jelek! Duduk setengah jam saja aku sudah gusar melihat tingkah karyawan di sana. Budaya service yang terkadang dianggap sepele hanya sekedar tersenyum dan mengucapkan ‘selamat datang’ tentu sangat berpengaruh di mata pelanggan. Apalagi menjadi seorang pramusaji, cantik, ganteng dan berpenampilan menarik saja tidak cukup. Mereka harus diajarkan bagaimana service dengan menggunakan hati. Kubuka tab blog-ku, saatnya mulai melintasi dunia dengan tulisan. Aku masih pemula, tapi sangat hobi dalam dunia tulis menulis. Karena dengan menulis, aku menjadi puas bisa menyalurkan ide, aspirasi, gagasan dan apapun itu juga membuatku blog-ku banyak visitor, daripada diisi dengan foto-foto saja. Pertama kali menyukai dunia tulis menulis mungkin saat aku SD, karena sering melihat bunda yang suka membaca buku, akhirnya aku berpikir mengapa tidak aku belajar nulis saja. Siapa tahu, nanti aku bisa berkarya, hehe. Belum sempat aku menulis, dari sudut ini aku melihat seorang perempuan cantik yang sedang berdua dengan seorang lelaki. Bukan Martin, sekali lagi lelaki itu bukan Martin, tapi aku cukup mengenali siapa perempuan itu. Untuk memastikannya, pelan-pelan aku menuju kasir dengan pura-pura ingin membayar pesananku tadi. Kuambil ponselku lalu ‘Ckrik’, kufotolah perempuan dan lelaki itu. Rambut hitam panjang, berkulit sawo matang, menggunakan kotak lensa, begitulah gambaran seorang perempuan yang menarik perhatianku tadi.  Berbeda dengan lelakinya yang bermata sipit, berambut sedikit panjang berkulit putih seperti bintang film Korea yang sering kutonton. Kuamati dari sisi lain, kali ini dugaanku tidak keliru, sungguh aku benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri. Ya!! That’s it! Itu Monica! Aku tidak ingin menganggu acara sorenya. Kubiarkan saja ia menikmati sore yang sejuk bersama lelaki itu. Bukannya aku jahat, bukannya aku iri, bukan. Aku segera mengirim foto tadi ke keluarga Candy dan segera menghubungi Martin agar bisa menemuiku sore ini. Awalnya Martin menolak karena terlalu mendadak, namun agak sedikit kupaksa agar ia bisa menemuiku. Tidak ada respons yang berarti dari keluarga Candy, karena sebenarnya kami tahu sisi buruk sebenarnya dari Monica itu. Hanya Martin saja yang mungkin terhipnotis, terbuai akan pesonanya. Jujur, mataku perih melihat kemesraan Monica sore ini dan aku sangat terganggu dengan keberadaannya hingga sekarang belum ada satu kalimat pun yang kutulis di blog-ku. Kuseruput kopi untuk menenangkan diri, tak lama aku melihat perempuan itu jalan mendekat ke arahku. Kebetulan mejaku tidak jauh dari toilet. Jadi, bila ada orang yang ingin ke toilet, tentu melewati mejaku dulu. Segera aku pura-pura mengambil charger agar mukaku bisa berpaling dan tidak terlihat olehnya. Untungnya ia tidak mencurigakan juga tidak memperhatikanku karena sepertinya ia berjalan sambil memegang ponsel. Hmmm... itulah kebiasaan buruk anak muda di generasi sekarang. Terlalu cuek dengan lingkungan menjadikannya tidak peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan baru-baru ini ada seorang lelaki menabrak kaca pembatas di salah satu mal yang terbilang baru di Palembang, alhasil kaca yang ditabrak pecah. Dan lelaki tersebut mengalami pendarahan yang cukup serius. Menurut saksi yang ada, ternyata sebelum kejadian, sang korban terlihat berjalan sambil menundukkan kepalanya fokus dengan ponselnya! Ini menjadi warning yang cukup serius menurutku. Begitu pula ketika perempuan itu keluar dari toilet, kali ini pura-pura aku membaca majalah yang terbawa di dalam tas, sambil menutupi wajahku dengan majalah tersebut. Kutarik napas yang panjang untuk menenangkan diri. Sekarang aku mulai fokus mengerjakan tulisan agar bisa di-upload sore ini juga, mengingat koneksi wifi di café ini cukup baik. Lima belas menit kemudian, kembali kulihat meja nomor empat puluh lima itu. Ternyata sudah berganti orang, aku tidak tahu persis apakah mereka pindah ke meja lain atau malah sudah pulang, yang pasti sebentar lagi azan magrib berkumandang dan Martin akan segera tiba usai menunaikan  salat di rumahnya. Tepat pukul 19.00, Martin datang lalu langsung merapat di dekatku. Belum duduk, ia langsung berkata, “Ada apa malam-malam begini kamu memintaku datang, May?” “Ada sebuah info penting yang harus kau tahu,” jawabku. “Info apaan sih?” tanyanya bingung. Tanpa basa-basi aku menyodorkan laptop untuk menunjukkan foto-foto hasil jepretan aku tadi, kebetulan foto-fotonya sudah dipindahkan ke laptop agar ia bisa melihat lebih jelas lagi. “Apa?! itu monica?!!” ucapnya lantang. “Yups.” “Lalu, siapa lelaki itu?” sambungnya. “Aku tidak tahu persis, yang pasti selama beberapa jam di sini, mereka terlihat begitu mesra. Sampai-sampai aku tidak bisa merasakan nikmatnya kopiku lagi di sini,” jawabku. “Sial!” terlihat matanya yang mulai memerah. “Kau baru tahu sekarang kan wujud aslinya seperti apa?” tanyaku. Ia diam beberapa saat tak berkomentar sambil kembali melihat foto-foto tersebut. Tiba-tiba ia meraih ponsel yang ada di kantong jeans-nya. “Kayaknya kita sudah nggak cocok. Kita putus aja!” ucap Martin dengan emosi. Telingaku tidak cukup baik mendengar pembicaraan mereka, yang pasti kudapati bahwa malam ini Martin benar-benar shock. Terbukti tanpa mengecek langsung kebenarannya, ia langsung mengambil keputusan saat itu juga. Barangkali ia sudah terlalu sering mendengar kelakuan jahat wanita tengil itu, pikirku. “Aku benar-benar menyesal”, ucapnya singkat.  Ia meraih jaketnya dan langsung meninggalkanku di café ini. Aku memakluminya karena aku tahu perasaan yang sedang dirasakannya saat ini. Di sekolah, Martin terlihat diam tak berulah. Kami yang iba langsung mendatangi dan mengajaknya makan di kantin. Entah mengapa kami yang awalnya emosi melihatnya, tiba-tiba merasa empati dengan apa yang diamalinya. Mungkin efek sudah terlalu dekat kali ya. “Mengapa kalian mengajakku ke sini?” tanya Martin. “Bukankah aku terlalu jahat untuk berteman dengan kalian?” sambungnya lagi “I know what you fell, Mar,” jawabku. “Sudahlah, yang terjadi biarlah terjadi, untuk apa disesali?!” sambung Agnes. Baru kali ini kami melihat sosok Martin yang begitu merasa bersalah terhadap apa yang dilakukannya. Hingga beberapa kali ia harus meminta maaf kepada kami, padahal kami sudah memakluminya. Kami langsung merapat dan memeluknya, berharap ia tidak mengulang kesalahan yang sama. “Ohhhhh… jadi gara-gara wanita sok suci ini kamu mengakhiri hubungan kita?!” teriak seorang wanita yang mencoba mengganggu kami. “Jaga ya mulutmu itu!” ucap Agnes dengan emosi. “Aku yang melapor semua ini ke Martin, karena memang aku berada di sana tanpa kau ketahui,”, tambahku. Belum sempat Monica membela diri, Martin langsung berkata, “Pergi! Jangan pernah kau menganggu keluargaku lagi. Sudah cukup aku masuk dalam lingakaran permainanmu ini,” melihat Martin yang sudah kadung emosi, Rana dan Rani langsung menarik kami untuk menjauhi Monica. Hari demi hari, minggu demi minggu berlalu pertemanan kami semakin solid. Sering kami pergi dan selalu saja Martin yang selalu mengantarku pulang dan pergi. Aku tidak tahu apakah ia menyukaiku. Yang pasti aku menganggapnya biasa saja


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices